Empat
Bunyi
alarm ponsel membuat Olivia nyaris melompat dari atas ranjangnya. Sambil
mengerjapkan mata ia meraih ponsel untuk melihat jam berapa sekarang. Tepat
pukul enam pagi. Ia buru-buru menelepon Minarti.
Kemarin
menjelang malam, James mengirim pesan padanya. Laki-laki itu minta diantar
Olivia bertemu Minarti hari ini, kalau tidak merepotkan. Tapi karena ponsel
Olivia ada di dalam tas dan ditinggalkannya di dalam kamar, maka pesan itu baru
ia baca menjelang pukul sebelas malam. Ia membalasnya dengan permohonan maaf
karena terlambat menanggapi, dan janji akan menghubungi James kembali pagi ini
setelah memastikan Minarti ada di rumah.
Setelah
nada sambung kelima, barulah ada jawaban dari seberang sana.
“Halo, selamat pagi...”
“Met
pagi, Budhe. Ini Livi.”
“Oh, Liv? Ini Vita. Ibu lagi
layani pembeli.”
“Oh,
Mbak Vit... Ini, Mbak, aku mau tanya, hari ini Budhe repot, nggak, ya? Kalau
nggak repot, aku mau ke sana. Ada yang mau ketemu Budhe, mau ngomongin soal
bisnis.”
“Hah? Bisnis apa, Liv?”
“Soal
kue buatan Budhe, Mbak. Ada yang tertarik. Jadi gimana?”
“Sebentar, aku tanya Ibu
dulu, ya?”
“Makasih,
Mbak.”
Dan
jawabannya ia peroleh kurang dari satu menit kemudian. Minarti senggang di atas
jam sembilan pagi. Akan menerima dengan senang hati kapan saja Olivia datang
berkunjung.
Gadis
itu kemudian segera menghubungi James. Ia bermaksud menjemput James di hotel,
tapi laki-laki itu menolak. Lebih memilih untuk datang ke rumah Olivia, untuk
kemudian bersama berangkat ke rumah Minarti. Sia-sia Olivia memaksa. James
tetap kukuh dengan pendiriannya.
“Paling
lambat jam sepuluh aku sampai rumahmu, Liv,” tegas James sebelum mengakhiri
pembicaraan.
Olivia
menyerah. Ia kemudian beranjak ke kamar mandi untuk cuci muka dan gosok gigi.
Ketika ia turun menjelang pukul setengah tujuh, ternyata Carmela sudah ada di
dapur bersama Arlena. Duduk berdua di depan island,
menikmati teh hangat dan satu stoples kecil kacang telur. Gadis remaja itu
sudah memakai seragamnya, tapi belum bersepatu.
“Lho,
nggak ada sarapan ini?” Olivia mengerutkan kening melihat island yang sepi.
“Tenang
saja...,” Carmela nyengir. “Sebentar lagi juga siap.”
Olivia
beralih menatap Arlena. Perempuan itu hanya mengangkat bahu sambil tersenyum.
Olivia menggeleng, kemudian ke sudut untuk membuat secangkir kopi. Tak berapa
lama, Prima juga muncul. Menerima sodoran semug teh hijau tawar hangat dari
Arlena sambil mengucapkan terima kasih.
“Ecieee...
Papa tumben Sabtu pagi gini sudah cakep?” ledek Carmela
Prima
memang kelihatan segar dan gagah dalam balutan celana bermuda jeans dan kaus oblong lengan panjang
berwarna putih dengan tulisan hitam ‘Beware,
boys! I’m her father!' di bagian dada dan punggung. Semburat samar warna
keperakan di sela-sela rambutnya tak mengurangi kharisma laki-laki itu. Justru
menambah tingkatannya hingga maksimal.
“Lho,
kan, mau antar kamu ekskul,” jawab Prima sambil duduk di depan island.
“Biasanya
Mas Maxi,” gumam Carmela.
“Mas
Maxi biar istirahat dulu,” Prima menyesap isi cangkirnya.
“Iya,”
sahut Arlena. “Kemarin pagi sampai siang, kan, pinggangnya sempat sakit.”
“Ngomong-ngomong,
kita sarapan apa, nih?” Prima celingukan,
seolah mencari sesuatu di atas island.
Bersamaan
dengan itu, terdengar bel berbunyi. Carmela buru-buru beranjak keluar.
Pertanyaan Prima segera terjawab. Luzar berjalan di belakang Olivia sambil
menenteng sebuah tas katun tebal.
“Selamat
pagi, Om, Tante, Mbak Livi,” ucapnya sopan sambil menjabat dan mencium punggung tangan Arlena dan Prima.
“Iya,
met pagi...,” jawab Arlena dan Prima serempak.
Sementara
itu Olivia menyambut pemuda itu dengan toss-nya. Kemudian Luzar meletakkan tas
katun yang dibawanya di atas island,
dan duduk di sebelah Prima.
“Ini
ada kiriman dari Bu Min,” ucapnya.
“Makasih
banyak, lho, Zar,” guman Arlena sambil mengeluarkan isi tas itu.
“Ah,
saya, kan, cuma tinggal bawa saja, Tante,” kilah Luzar.
“Memang
rumahmu dekat banget sama Bu Min?” Prima menoleh ke samping.
“Beda
satu gang, Om,” Luzar menjelaskan. “Tadi pagi-pagi saya beli sarapan di tempat
Bu Min. Terus Bu Min tanya, kapan saya ke sini lagi. Saya bilang, pagi ini. Bu
Min pesan supaya saya mampir dulu kalau mau berangkat. Ternyata Bu Min titip
itu, nasi uduk.”
“Oh...”
Ada
enam bungkus nasi uduk yang terhidang di island.
Olivia segera mengambil piring dan sendok. Mereka berempat, minus Luzar segera
menikmati sarapan itu sambil mengobrol santai. Luzar menolak untuk sarapan
bersama dengan alasan tadi sudah sarapan bersama ayahnya.
Nasi
uduk itu benar-benar lezat. Berpadu sempurna dengan pelengkapnya yang berupa
bihun goreng, orek tempe, tumis buncis, telur balado, semur tahu, dan kerupuk
kanji.
“Pa,
aku berangkat ekskul sama Kak Luzar, ya?” celetuk Carmela pada suatu detik.
Hening
sejenak. Prima menatap gadis bungsunya. Ada pendar-pendar yang melompat-lompat
keluar dari dalam mata Carmela. Prima tak ingin memudarkan pendar itu. Ia
kemudian mengangguk.
“Boleh,”
jawabnya. “Tapi Luzar hati-hati di jalan, ya? Jangan ngebut.”
“Iya,
Om,” Luzar mengangguk takzim. “Terima kasih.”
“Sudah
punya SIM, belum?” celetuk Olivia. Mengangkat alisnya dengan ekspresi jenaka.
“Sudah,
dong, Mbak,” Luzar tersenyum lebar.
Lewat
beberapa menit dari pukul tujuh, Carmela beranjak untuk memakai sepatunya,
kemudian berpamitan untuk berangkat ekskul diantar Luzar. Olivia tak lupa
berpesan agar Carmela mampir ke rumah Minarti seusai ekskul agar mereka nanti
bisa pulang bersama.
“Hm...
Sudah telanjur pakai kaus keren begini,” gerutu Prima sambil menunduk menatap
tulisan di kausnya.
Seketika
Arlena dan Olivia tergelak. Ekspresi wajah Prima sungguh sangat menggelikan.
“Sebagai
obat kecewa, Papa mau ikut aku ke rumah Budhe
Min?” ledek Olivia. “Biar kausnya nggak sia-sia.”
Prima
mengangkat wajah dengan ekspresi memelas. Olivia tertawa lagi.
“Kamu
mau ke rumah Budhe?” tanya Arlena
sambil memasukkan bekas bungkusan sarapan mereka ke kantung sampah.
“Iya,”
angguk Olivia.
Gadis
itu kemudian bercerita tentang rencana James. Laki-laki itu tertarik pada rasa
dan penampilan kue-kue buatan Minarti, sekaligus punya keinginan untuk
menggandeng Minarti jadi pemasok kue basah ke coffee shop-nya kelak.
“Wuh!
Kesempatan emas, itu!” gumam Arlena.
“Ya,
semoga saja Budhe mau,” Olivia berdiri
dan beranjak.
“Kamu
mau ke mana?” celetuk Prima.
“Ya,
mandi lah, Pa,” sahut Olivia. “Masa mau jadi centeng Pak James penampilanku kusut dan bau iler begini?”
“Oh,
hehehe...,” Prima terkekeh.
“Eh,
Liv!”
Olivia
berbalik, menatap Arlena dengan sorot mata bertanya.
“Tolong,
sekalian bawakan sarapan buat adikmu.”
Olivia
mengangguk sambil menerima piring berisi bungkusan nasi uduk dan sendok yang
disodorkan Arlena. Jatah buat Maxi.
* * *
Olivia
meluncurkan mobilnya keluar dari carport diiringi
lambaian tangan Prima dan Arlena. James sudah muncul di rumah itu menjelang
pukul sembilan, menggunakan jasa ojek online.
Setelah mengobrol sejenak, Olivia pun mengajak James berangkat. Begitu mobil itu
menghilang dari pandangan, Prima dan Arlena pun beriringan masuk ke dalam
rumah.
“Nggak
belanja, Ma?” celetuk Prima.
“Mm...
Sebetulnya iya, sih. Banyak yang harus dibeli,” gumam Arlena. “Sabun, deterjen,
apa segala macem sudah menipis.”
“Ayo,
aku antar.”
Seketika
Arlena menatap Prima dengan sorot mata tak percaya. Tapi laki-laki itu
kelihatannya serius.
“Ayo!”
ulang Prima. “Kok, malah bengong?”
“Oh,
oke, oke,” Arlena mengangguk cepat.
Keduanya
kemudian beriringan menapaki tangga. Prima mampir sebentar ke kamar Maxi untuk
melihat keadaan jejakanya. Dari depan pintu yang terbuka lebar, tampak Maxi
tengah sibuk di depan layar laptop. Jendela kamarnya terbuka lebar, dan kipas
angin yang tergantung di langit-langit berputar cukup kencang.
“Kamu
ini, lho, disuruh istirahat saja, kok, susah amat?” gerutu Prima.
Maxi
memutar kursinya. Tersenyum lebar menghadap Prima.
“Aku
cuma ngetik sedikit, Pa,” elaknya. “Nanti kalau mulai nggak nyaman, aku bakal
rebahan lagi. Lagian nggak akan keluyuran, kok. Janji.”
Prima
menghela napas panjang. Mengalah.
“Ya,
sudah... Nanti kalau butuh apa-apa, kamu minta ke Muntik, ya? Papa mau antar
Mama ke hypermarket.”
“Eaaa...
Kencan siang-siang,” ledek Maxi, tertawa lebar.
Prima
tersenyum dan berlalu. Ia kemudian masuk ke kamar dan mendapati Arlena hampir
selesai berdandan. Tampak jauh lebih polos daripada biasanya. Wajahnya hanya
dilapis bedak dan lipstik berwarna merah marun. Tapi secara keseluruhan terlihat
tetap cantik dan segar. Apalagi kulitnya benar-benar mulus tanpa noda sedikit
pun. Alisnya yang tidak pernah dicukur ataupun dipelakukan aneh-aneh karena
bentuknya sudah bagus, kali ini hanya dirapikan dengan sikat alis. Perempuan
itu mengerutkan kening ketika Prima mengganti kaus yang tadi dipakainya dengan
sehelai kaus polo polos berwarna biru muda.
“Bukannya
kaus yang tadi itu cakep, Pa?” celetuknya.
“Nggak
cocoklah,” sahut Prima, kalem. “Cocoknya dipakai kalau keluar sama Livi atau
Mela.”
“Oh,
hehehe...”
Arlena
kemudian mengganti celana pendeknya dengan celana bermuda jeans serupa dengan yang dikenakan Prima, dan mengganti tank top-nya dengan sehelai kaus putih
lengan pendek berpayet warna perak. Terlihat begitu manis. Membuat Prima ingin
mengulumnya bagai sebutir permen susu.
“Aku
tadi sebetulnya mau pakai kaus ini,” Prima membentangkan sehelai kaus oblong
berwarna putih yang diambilnya dari dalam lemari.
Arlena
ternganga sejenak. Dibacanya tulisan pada kaus oblong lengan pendek itu. ‘Beware, guys! I’m her hubby!’ Di
baliknya, di bagian punggung, ada kalimat yang sama. Ia kemudian tergelak.
Prima meringis.
“Ganti
lagi!” seru Arlena dengan mata bersinar-sinar. “Pakai saja yang itu!”
“Hah?”
Prima mengangkat alisnya. “Nggak malu?”
Kening
Arlena mengernyit. “Kenapa harus malu?”
Setelah
berpikir sejenak, Prima pun mengganti lagi kaus polonya dengan kaus oblong itu.
Ketika Prima menyisir lagi rambutnya yang agar berantakan, Arlena menatap
pantulannya dari cermin. Sedetik tatapan mereka bertemu sebelum ia
mengalihkannya dengan menunduk. Memasukkan ponsel dan dompetnya ke dalam sebuah
sling bag yang berbahan sama dengan
celana bermudanya.
Beberapa
menit kemudian, Prima sudah meluncurkan mobilnya keluar dari garasi. Arlena
duduk manis di sebelah kirinya. Wajah keduanya terlihat berseri-seri. Prima senang sekali ketika merasakan bahwa keadaan keluarga mereka sudah jauh lebih baik
daripada beberapa bulan lalu. Sedangkan Arlena tak berhenti bersyukur karena
Prima bersedia memberinya kesempatan kedua. Juga anak-anak yang sudah mulai
terbiasa dengan kehadirannya.
“Mm...
Akhir bulan depan aku sertijab,” gumam Prima sambil terus menyetir.
“Oh?
Pindah divisi?” Arlena menoleh.
“Enggak,”
geleng Prima. “Mm... Aku... menggantikan Pak Hendrik. Dia dipindah ke Sidoarjo,
jadi boss di sana.”
“Hah?”
seketika Arlena tercengang. Menggantikan
Pak Hendrik? Berarti... “Papa naik jabatan?”
“Ya...
begitulah,” senyum Prima. “Tanggung jawabnya makin besar. Aku hanya bisa
berharap nggak kekurangan waktu buat anak-anak.”
“Mm...
Menurutku...,” Arlena terlihat berpikir-pikir. “Begini... Ya, anak-anak pasti
masih butuh Papa. Butuh banget. Tapi aku yakin Papa masih bisa sisihkan waktu
untuk anak-anak. Hanya saja, ada hal yang lebih penting. Kesehatan Papa. Jangan
sampai terabaikan.”
“Ya,
aku paham,” Prima mengangguk. “Pak Krisno juga memahami betul kondisiku.
Makanya dia bermaksud untuk menarik Vita jadi sekretarisku. Pak Krisno sudah
tahu kalau Vita keponakanku. Pasti bisa membantu mengurusku dengan lebih baik.
Dan ini bukan semata nepotisme, tapi Pak Krisno sudah mengamati cara kerja dan
kemampuan Vita. Anak itu cukup profesional. Menurut Mama, bagaimana?”
“Oh,
begitu?” Arlena manggut-manggut. “Aku, sih, mendukung, Pa. Yang paling tahu
kondisi Papa, kan, memang keluarga sendiri. Dan Vita sudah memahami itu. Nanti
kalau aku ada pesan apa-apa buat Papa, kan, lebih enak kalau Vita yang
menangani.”
“Hm...
Oke, kalau begitu. Nanti coba kubilang Vita untuk belajar dari Livi.
Ngomong-ngomong... Livi dan Pak Luken itu...”
Prima
kemudian secara ringkas bercerita tentang Livi, Luken, dan Allen Byrne. Arlena
mendengarkannya baik-baik. Tak menyela sedikit pun.
“Ya,
aku bercerita begini, supaya Mama tahu. Kalau ada yang aneh sama Livi, yang
nggak biasa, yang mungkin terluput dari mataku, setidaknya Mama sudah tahu
latar belakangnya," Prima mengakhiri ceritanya.
“Ya,
coba nanti aku lebih perhatikan lagi,” angguk Arlena. “Mm... Soal Maxi... Yang
aku tangkap, Keke sepertinya ada hati sama dia. Cuma Maxi adem ayem saja selama
ini. Kelihatannya juga suka, tapi... yah, begitulah. Coba Papa bicara padanya
kalau ada waktu.”
“Oh...
Ya, coba nanti sore aku ajak dia ngobrol. Eh, aku juga punya kaus yang bisa
dipakai untuk keluar sama dia,” Prima tertawa ringan.
“Oh,
ya?” Arlena melebarkan matanya dengan antusias. “Memangnya beli di mana
kaus-kaus lucu begitu?”
“Dagangan
anak Nando. Aku lihat di IG.”
“Wah,
aku mau, dong!”
“Coba
saja nanti Mama lihat-lihat sendiri,” senyum Prima.
Laki-laki
itu kemudian membelokkan mobilnya masuk ke basement
sebuah hypermarket. Setelah memarkir
baik-baik mobil itu, keduanya bergandengan tangan menyeberang untuk mencapai
pintu masuk hypermarket. Terlihat
begitu dekat, hangat, dan mesra. Seolah pernikahan mereka tak pernah dilanda
badai.
* * *
Perlu
lebih banyak upaya untuk meyakinkan Minarti tentang mutu tinggi kue-kue
buatannya. James sabar sekali membujuk perempuan sederhana itu. Pada akhirnya
Minarti menyerah. Ia setuju, tanpa berharap lebih banyak, karena semua yang
dipaparkan James baru berupa wacana, belum jadi rencana yang matang. Tapi
seandainya jadi, ia sudah siap untuk mempertahankan rasa dan kualitas kue-kue
buatannya.
Mulut
James nyaris tak berhenti mengunyah keripik singkong balado yang disuguhkan
Minarti. Pada satu detik tatapannya jatuh ke arah Olivia.
“Keripik
beginian ada prospek juga, kukira,” gumam James.
Olivia
mengangguk. “Dan cemilan kriuk yang lain.”
James
menyipitkan mata. Pada saat seperti ini, Olivia tahu bahwa otak laki-laki itu
tengah bekerja lebih keras untuk mengolah ide-ide yang muncul dan berlompatan
keluar begitu saja.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Waaaa kudu siap kaos koyok ngunu rek! Duwe baby girl hareeeee wkkkkkkk
BalasHapusYokpo? Wes krasan ta?
waah ..ketinggalan aku Mbak Lis...udah 4...kebut aah
BalasHapusAq rapelan mb Lis.
BalasHapusIs ! Lope" kambek pa Prima pokoke.