Delapan
Dengan
wajah ragu-ragu, Luken menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mungil yang
kental dengan suasana hijau dan sejuk karena aneka tanaman pada hari Minggu
menjelang siang itu. Ia sempat diam sejenak, berpikir lagi, sebelum akhirnya
memutuskan untuk keluar sambil menenteng sebuah tas kertas, mengunci pintu
mobil, dan menghampiri pagar. Seperti biasa, pagar itu tidak terkunci. Pintu
depan terbuka lebar, begitu juga sebuah MPV yang parkir di carport, tanda pemiliknya tidak pergi.
Dalam beberapa langkah, ia sudah berada di ambang pintu. Dengan sopan
diketuknya pintu tiga kali.
“Bapak,
Ibu, permisi...,” ucapnya.
“Ya?”
Terdengar
suara perempuan menyahut dari dalam, diikuti langkah kaki. Dalam waktu sekian
detik, pemilik suara itu muncul. Menatap Luken dengan sedikit terbelalak.
“Mas
Luken!”
Laki-laki
itu bergegas menghampiri setelah meletakkan tas kertasnya di samping sebuah
sofa tunggal. Dijabatnya tangan perempuan berusia 60-an itu sekaligus mencium
punggung tangan.
“Apa
kabar, Bu?” bisik Luken ketika perempuan itu memeluknya.
“Baik...
Baik... Mas Luken sendiri bagaimana?” tangan perempuan itu menepuk-nepuk
punggung Luken.
“Baik,
Bu.”
Keduanya
saling melepaskan pelukan.
“Bapak
mana, Bu?” Luken menatap perempuan itu.
“Ada,”
angguk perempuan itu. “Lagi mandi. Baru saja pulang main tenis. Sebentar Ibu
panggil. Ayo, Mas, duduk dulu.”
Ketika
perempuan itu masuk, Luken pelan-pelan menempatkan diri pada sebuah sofa
tunggal. Ia menatap berkeliling. Tak ada yang berubah dari ruangan ini dari
terakhir ia berkunjung ke sini beberapa bulan lalu.
Oh, ada...,
ralatnya tiba-tiba.
Pada
dinding di seberang tempat duduknya, tergantung sebuah bingkai berisi foto
baru. Sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami-istri, seorang balita
laki-laki, dan bayi yang digendong sang ibu. Mata Luken mengerjap.
Jadi Julia sudah lahiran...
Sepasang
laki-laki dan perempuan dalam foto itu adalah Gama dan Julia. Gama adalah adik tunggal
mendiang Irene. Julia adalah istri Gama. Balita laki-laki itu adalah Io, dan
tampaknya sekarang sudah memiliki adik.
Sekejap
mata Luken mengembun. Ia perlu mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir
pergi kabut itu. Tepat saat itu, sang nyonya rumah muncul kembali membawa
sebuah nampan yang berisi tiga cangkir teh dan sebuah piring berisi lapis
Surabaya dan risoles.
“Bu,
repot-repot?” Luken buru-buru mengambil alih nampan itu dan meletakkannya di
atas coffee table.
“Ah,
enggak...,” sahut Mira, sang nyonya rumah, sambil dengan cekatan menata suguhan
itu. “Sebentar,
Bapak lagi pakai baju,” senyumnya. “Ayo, Mas, minum dulu, kuenya juga dimakan.”
“Terima
kasih, Bu,” Luken menjangkau cangkir dan tatakannya di atas meja. “Saya hari
Minggu lalu ke sini, tapi Bapak dan Ibu pergi.”
“Oh,
iya... Ada undangan nikahan tetangga belakang situ.”
“Oh...,”
Luken menyesap sedikit isi cangkirnya.
Setelah
meletakkan kembali cangkir itu, Luken meraih tas kertas yang ada di sebelah
sofa yang didudukinya. Diulurkannya benda itu pada Mira.
“Ini
ada sedikit oleh-oleh untuk Ibu dan Bapak,” senyumnya. “Saya jalan ke Eropa
beberapa hari lalu.”
“Wah...
repot-repot...,” Mira menerima tas kertas itu dengan mata berbinar. “Makasih
banyak, Mas Luken.”
“Sama-sama,
Bu.”
“Liburan
ke sana?”
Luken
menggeleng. “Urusan pekerjaan, Bu.”
Ketika
Teja, sang tuan rumah, muncul, Luken menerima pelukan lagi yang begitu hangat
dari laki-laki itu. Sejujurnya sambutan yang begitu akrab itu justru
menimbulkan perasaan bersalah dalam hatinya.
Ia
tak begitu sering meluangkan waktu untuk berkunjung. Hanya tiga atau empat kali
setahun. Bahkan hingga sekarang, tiap kunjungan ke rumah ini masih menimbulkan
rasa nyeri di hati. Bagaimanapun, rumah ini pernah menjadi sebagian besar
hidupnya. Lebih tepatnya, sebagian besar hidup mendiang Irene.
“Mas...,
kapan?” senyum arif Teja menyertai pertanyaan dalam nada halus itu.
Seutuhnya
Luken memahami arti pertanyaan Teja. Sama sekali tidak ada nada mendesak. Tapi
ada aroma dorongan di sana. Sepenuhnya Teja dan Mira memahami bahwa sudah lebih
dari cukup Luken membahagiakan Irene hingga detik terakhir hidup Irene. Sudah
lebih dari cukup Luken mempertahankan kesendiriannya setelah Irene tiada. Sudah
lebih dari cukup Luken mempertahankan kesetiaannya pada Irene. Luken masih
memiliki masa depan, walaupun usianya sudah hampir masuk ke angka akhir 30-an.
“Saya...,”
Luken menghela napas panjang. “Jarak usia kami cukup jauh, Pak, Bu. Dia masih
sangat muda.”
“Mas...,”
nada suara Teja masih terdengar sangat halus. “Kalau sudah jodoh, umur itu
nggak penting. Wong presiden Perancis
terbaru saja jomplang 25 tahun sama istrinya.
Lebih tua yang perempuan pula! Memangnya Mas Luken beda berapa tahun sama dia?”
“Sekitar
14 tahun, Pak.”
“Ah,
cuma 14 tahun,” senyum Teja melebar. “Ayolah, Mas. Maju!”
“Kalau
sudah sama-sama tua, nggak bakal keliahatan beda jauh, Mas,” suara Mira
terdengar sangat menyejukkan hati. “Memangnya ketemu di mana?”
“Sekretaris
saya, Bu.”
“Nah,
itu... Sudah tiap hari ketemu,” Mira tertawa ringan.
Luken
tersenyum. Sejauh ini, tanggapan mantan mertuanya itu baik-baik saja.
Sebenarnya sudah sejak awal keduanya mendorong Luken mencari pendamping hidup
lagi setelah Irene tiada. Tapi Luken berusaha menyibukkan diri. Untuk melupakan
kesedihan dan rasa kehilangannya. Hingga tak terasa waktu terus merambat.
Ada
banyak perempuan yang berusaha didekatkan oleh teman-teman dan
sepupu-sepupunya. Tapi tak ada satu pun yang mampu menggetarkan hati.
Kecuali...
Dia yang sudah dua tahun ini
kutemui nyaris setiap hari.
Barangkali
benar bahwa cinta bisa ada dan hadir karena biasa. Biasa bertemu, biasa
bercakap, biasa bersama. Tapi sepertinya yang ia hadapi lebih daripada itu.
Tidak sesederhana yang ia bayangkan.
Ia
ingat bahwa ia belum mendapat jawaban atas pesan soal lamaran itu. Dan setelah
ia kembali dari Eropa, entah kenapa ada rasa ‘jauh’. Membuat keraguannya
timbul kembali. Padahal saat di Eropa ia sudah bicara banyak dengan Sandra.
Perempuan
itu adalah pendukung nomor satunya. Sudah berjanji untuk membantunya melakukan
pendekatan lebih lanjut pada Olivia. Tapi semua itu harus tertunda karena ritme
pekerjaan mereka beberapa hari ini sangat tinggi.
“Hanya perlu waktu yang pas,
Pak Luken,” ujar Sandra saat itu.
Waktu yang pas...
Luken
tercenung. Ia sedikit tersentak ketika Mira dan Teja mengajaknya mengobrol
lagi. Hingga tiba waktu makan siang, dan Mira menarik tangannya ke ruang makan.
* * *
Selasa
pagi itu, melihat Olivia turun tergesa melalui tangga, Arlena segera
menyambutnya. Di tangan perempuan itu ada sebuah tas non-woven besar yang terlihat cukup berisi. Semalam, gadis
sulungnya itu sudah mengatakan bahwa akan berangkat sepagi mungkin hari ini.
Hari Senin kemarin, ada
kejadian yang luar biasa menggemparkan di kantor. Menjelang pukul sebelas,
James ‘meminjam’ Olivia agar mendampinginya dalam urusan sewa-menyewa ruko
dengan sekolah musik yang ada di seberang kantor Coffee Storage. Sekolah musik
itu akan pindah ke tempat yang lebih besar. Luken turut serta karena setelah
urusan itu selesai, ia dan Olivia akan langsung bertemu dengan wakil seorang
pemasok di daerah Kebon Jeruk. Karena tidak ada pekerjaan lagi, James pun ikut.
Setelah urusan di Kebon
Jeruk selesai lewat sedikit dari pukul dua, Luken bermaksud untuk mengajak
paman dan sekretarisnya berbelok ke sebuah kafe untuk menikmati makan siang
yang jamnya terpaksa mereka lewatkan di jalanan. Tapi sebelum maksud itu
terpenuhi, Olivia mendapat telepon dari Sandra yang mengabarkan bahwa kantor
mereka sedang dilanda kekacauan. Semua karyawan, tanpa terkecuali, mengalami
keracunan yang diduga berasal dari jatah makan siang mereka yang dikirim oleh
katering langganan, dari kadar ringan sampai buruk.
Ketiganya segera melupakan perut
lapar yang berteriak minta diisi. Luken memacu mobilnya kembali ke kantor.
Ketika mereka tiba, kondisi para staf kantor cukup membuat sport jantung. Beberapa yang parah
sudah diangkut dengan ambulans ke rumah sakit terdekat. Yang masih bertahan pun
sudah mulai lemas. Luken segera meminta kunci mobil Sandra dan memberikannya
pada James. Dengan tiga mobil milik Luken, Olivia, dan Sandra, sisa staf yang
masih ada di kantor pun segera diangkut ke rumah sakit, plus sampel makanan
yang diduga sebagai sumber keracunan sebagaimana diminta pihak rumah sakit.
Semua urusan itu selesai
menjelang pukul tujuh malam. Luken menyuruh Olivia pulang, sementara ia sendiri
akan kembali ke kantor untuk membereskan kekacauan yang ada. Olivia yang
mengetahui maksud Luken segera bersikeras untuk menemaninya. Dan ternyata
memang banyak sekali yang harus dibenahi. Barang-barang pribadi staf seperti
ponsel, laptop, tas, dan dompet masih banyak yang tertinggal. Satpam yang shift
sore memang menjaga semua itu. Tapi demi
keamanan lebih, Luken memutuskan untuk memasukkan semua itu ke dalam brankas
besi di dalam ruang kerjanya. Sambil menunggui Luken melakukan semua itu
dibantu oleh James, Olivia berusaha menyelesaikan pekerjaannya sendiri dan
pekerjaan yang ditinggalkan Sandra.
Menjelang pukul sembilan,
James muncul di lantai atas sambil membawa kantong plastik berisi makanan. Olivia
segera menyimpan file di
laptopnya, sekalian mematikannya. Pekerjaan Sandra sudah beres, tinggal
pekerjaannya sendiri yang belum. Tapi masih bisa diselesaikan besok. Bertiga
mereka kemudian menikmati nasi goreng yang dibeli James.
“Aku harus menuntut katering
soal kekacauan ini,” suara Luken terdengar geram.
“Ya, harus,” James
menanggapi tanpa bermaksud memanasi. “Buktinya, cuma kita bertiga dan satpam
shift sore yang selamat, karena nggak menikmati makan siang dari katering.”
“Untung masih ada sisa paketan
katering. Entah apa masih berguna atau tidak untuk bukti,” gumam Luken. Ia
kemudian menatap Olivia. “Kamu sudah hubungi rumah, Liv? Kasihan kamu, sampai
begini malam masih di sini.”
“Sudah, Pak,” angguk Olivia.
“Nggak apa-apa. Kan, kondisi darurat.”
“Setelah ini kita bubaran,
sudah. Aku capek,” gumam Luken. “Biar mobilmu dibawa Om James, Liv. Kamu
kuantar pulang.”
“Besok aku bantu kalian,”
janji James.
“Besok pagi saya akan
berangkat sepagi mungkin, Pak,” Olivia menatap Luken. “Tidak perlu dijemput.
Biar saya diantar Maxi saja.”
“Nggak apa-apa?” Luken
menegaskan.
“Nggak apa-apa,” Olivia
mengangguk mantap.
Pukul setengah sebelas
malam, barulah Olivia sampai di rumah. Arlena dan Prima menunggunya pulang
dengan wajah khawatir. Tapi senyum lelah Olivia meluruhkan segala kekhawatiran
itu. Arlena segera membuatkannya secangkir wedang jahe hangat yang dinikmati si anak gadis
sebelum naik ke kamar untuk mandi dan beristirahat.
“Ini
sarapanmu, Liv,” ujar Arlena. “Mama kemaskan juga untuk Pak Luken dan Pak James.
Itu Maxi sudah siap. Pakai mobil Mama saja.”
Tapi
Olivia menggeleng sambil menerima tas itu. “Aku dijemput Pak Luken, Ma. Baru
saja dia meneleponku. Sudah di jalan.”
“Oh,
ya, sudah. Kamu tunggu sambil minum susu dulu. Sebentar Mama buatkan.”
Setelah
meletakkan barang bawaannya di atas sofa ruang tengah, Olivia melangkah ke
ruang makan. Di sana baru ada Maxi dan Prima. Tampaknya Carmela belum turun.
“Max,
aku dijemput Pak Luken, nggak perlu diantar,” ujarnya sambil menjatuhkan badan
di kursi sebelah Prima. Laki-laki itu memberinya kecupan hangat di kening. Tak
berapa lama Carmela muncul, dan mendapat hal yang sama seperti kakak sulungnya.
“Berarti
aku bisa tidur lagi setelah ini,” Maxi meringis.
“Lho,
kamu nggak jadi ke kampus?” tanya Arlena yang muncul sambil membawa segelas
susu coklat untuk Olivia.
“Pak
Emir minta ditunda hari Kamis.”
Bel
pagar berbunyi tepat ketika susu di gelas Olivia habis. Gadis itu buru-buru
berpamitan, menyambar semua barang bawaannya, dan berlari keluar.
* * *
Dengan
wajah tanpa minat Luken membiarkan utusan dari katering berbusa-busa
menyampaikan pembelaan. Keduanya duduk berhadapan di depan meja Sandra. Pada
ujung pembicaraan itu Luken memutuskan untuk menghentikan kontrak dengan
katering yang melayani mereka selama kurang lebih setahun ini, sekaligus
meminta pertanggungjawaban atas semua biaya rumah sakit para staf yang tidak
ditanggung asuransi.
“Saya
tidak menuntut uang saya yang sudah masuk ke kantung katering Anda untuk
dikembalikan,” ucap Luken dengan nada dan ekspresi wajah dingin. “Saya juga
tidak menuntut katering Anda untuk menutup kerugian atas berantakannya
operasional perusahaan saya selama beberapa hari ke depan karena staf saya
hampir semua terkapar di rumah dan rumah sakit. Saya HANYA minta katering
menanggung semua biaya perawatan korban yang tidak ditanggung asuransi. Kalau
Anda mengelak, sampel makanan beracun itu sudah sampai di labfor sekarang. Kita
tunggu saja hasilnya. Kalau Anda masih mengelak lagi, saya siap membawa kasus
ini ke pihak yang berwajib. Dan mulai hari ini, perusahaan saya tidak akan
menerima katering dari Anda lagi.”
Secara
halus Luken kemudian mengusir orang itu dengan alasan ‘masih banyak pekerjaan’.
Olivia diam-diam saja bekerja di mejanya.
“Sudah
jelas bermasalah begitu, masih juga mengelak macem-macem,” gerutu Luken begitu
orang itu menghilang dari pandangan.
“Berarti
harus cari katering baru, Pak,” gumam Olivia, menoleh sekilas.
“Ada
saran?”
“Kenapa
bukan Bu Min saja?” celetuk James tiba-tiba.
Dua
pasang mata langsung mengarah padanya. Sedetik kemudian tatapan Luken beralih
pada Olivia.
“Coba
kamu urus, Liv,” tegas Luken. “Cuma 17 paket setiap hari dari Senin sampai
Jumat. Aku pikir budhe-mu bisa
mengatasi. Mulai Senin depan, ya. Aku pikir Senin depan kita sudah mulai aktif
lagi secara penuh, kecuali yang parah banget. Harganya samakan dengan katering
lama. Tapi kalau Bu Min mau harga baru, kasih saja. Nggak apa-apa kalau cuma
beda tipis.”
“Baik,
nanti saya bilang ke Budhe, Pak,”
angguk Olivia.
Ketegangan
di wajah Luken perlahan mengendur. Suasana di lantai dua itu kembali hening.
Hanya sesekali terdengar percakapan antara Luken dan James yang duduk
berhadapan di meja Sandra. Sesekali pula terdengar dering telepon.
Menjelang
pukul dua belas siang, pesanan makanan dari resto sebelah sudah diantarkan.
Mereka istirahat sejenak, menikmati makan siang sambil mengobrol. Sekilas
Olivia melihat, tampak ada sedikit gurat kelelahan dalam wajah Luken.
Tentu saja!
Pekerjaan
dua belas orang harus dirangkap oleh tiga orang. Pada saat ritme kerja sedang
tinggi-tingginya pula. Dengan tanggung jawab terbesar harus disandang Luken.
Benar-benar cobaan...
Olivia
menggeleng samar.
* * *
Menjelang
pukul tujuh petang, barulah Olivia sampai di rumah. Wajahnya terlihat luar biasa
letih. Ketika gadis itu menjatuhkan diri di sebelah Arlena di sofa ruang
tengah, Carmela yang duduk di karpet dekat kaki ayahnya segera berinisiatif
mengurut dengan lembut kedua kaki kakak sulungnya.
“Aduh...
Enak banget...,” desah Olivia sambil merebahkan kepalanya ke belakang.
“Setelah
ini kamu mandi, terus kita makan,” ujar Arlena. “Habis itu kalau kamu mau, Mama
urut punggungmu, Liv.”
“Besok
nggak usah bawa mobil, Liv,” celetuk Prima. “Kamu bareng Papa saja. Sorenya
Papa jemput. Gimana, Ma?” laki-laki itu menatap istrinya.
“Begitu
juga bagus,” angguk Arlena.
“Nanti,
deh, aku pikir lagi,” gumam Olivia. “Sekarang lagi males mikir. Capek banget.”
Beberapa
menit kemudian gadis itu menghilang sejenak ke kamarnya untuk mandi. Ketika ia
turun lagi, seluruh keluarga sudah duduk manis di depan meja makan.
“Eh,
Ma,” ucapnya seraya mengambil sayur dan lauk, “katering kantor, kan, sudah
diputus sama Pak Luken. Terus Pak James usul supaya ambil katering saja dari Budhe Min. Aku tadi pas pulang mampir ke
sana. Budhe sanggup, sih, cuma
bingung cara antarnya. Kan, Budhe nggak
ada kendaraan. Mama bisa bantuin, nggak?”
“Mama
ambil ke rumah Budhe, terus antar ke kantormu?” Arlena segera tanggap. “Bisa...
Bisa...”
“Kalau
Mama lagi nggak bisa, boleh juga aku yang handle,”
sahut Maxi. “Mulai kapan memangnya, Mbak?”
“Senin
depan.”
“Nah!”
mata Arlena terlihat berbinar-binar. “Boleh, tuh!
Olivia
mengembuskan napas lega sambil mengucapkan terima kasih. Satu masalah sudah
selesai. Selanjutnya masih ada tiga hari lagi untuk menyelesaikan kerja
serabutannya.
* * *
Keesokan
paginya, seusai mengantar Prima, Arlena muncul di rumah Minarti. Masih belum
genap pukul setengah sembilan, tapi Minarti sudah mulai meringkas piranti
jualannya.
“Yah,
nasi uduknya sudah habis, Mbak?” Arlena tampak sedikit kecewa.
“Masih
ada, sedikit lagi,” jawab Minarti. “Memangnya kenapa, Dik?”
“Sini,
Mbak, aku mau.”
“Hehehe...
Pas, ini cukup buat berdua,” Minarti menyiapkan piring.
Sejenak
kemudian keduanya sudah duduk berhadapan di meja makan mungil di rumah
sederhana itu. Arlena sebenarnya sudah cukup kenyang menikmati sarapan tadi di
rumah. Tapi nasi uduk Minarti berhasil membuatnya ngiler dan lapar kembali.
“Mbak
Min, dapat pesanan katering dari kantor Livi, ya?” tanya Arlena sambil
menyuapkan sesendok nasi uduk ke dalam mulutnya.
“Livi
sudah cerita?” Minarti mengangkat alisnya. “Kaget, aku... Nggak sangka ada
kejadian seperti itu di kantornya. Mau aku tolak gimana, aku terima juga
gimana.”
“Soal
ambil dan antar, nanti urusanku, Mbak. Mbak Min tinggal mikir masaknya saja.”
“Hah?”
Minarti ternganga.
“Livi
minta tolong padaku untuk antar katering dari sini ke kantornya,” senyum
Arlena. “Dan aku sudah menyanggupi.”
“Wah,
jadi merepotkan, Dik,” wajah Minarti terlihat rikuh.
“Enggak...,”
Arlena mengibaskan sebelah tangannya. “Tenang saja... Aku juga nggak ada
kerjaan kalau jam segitu. Nanti kalau aku memang benar-benar lagi nggak bisa,
biar digantikan Maxi. Dia sudah menawarkan diri.”
“Makasih
banyak, lho, Dik.”
“Setelah
ini ada kerjaan nggak, Mbak?”
Minarti
menggeleng. “Luzar minggu ini libur katering. Lagi mau keliling-keliling ke
Depok cari tempat kost.”
“Nah,”
Arlena menepukkan kedua telapak tangannya. Wajahnya terlihat makin cerah. “Ayo,
kita cari lunch box plastik, Mbak.
Biar nggak kebanyakan buang dos.”
Minarti
ternganga lagi. Arlena mengerjapkan mata. Menunggu jawaban. Ketika Minarti
masih terdiam, Arlena bicara lagi.
“Aku
punya teman distributor barang-barang plastik, Mbak. Barangnya kualitas nomor
satu. Tadi sebelum ke sini aku sudah meneleponnya. Dia bisa kasih harga miring.
Berapa pun yang kita mau ambil. Ayo, Mbak. Kesempatan, lho!”
“Begitu,
ya?” gumam Minarti.
Makin
dipikir, ia makin bersemangat.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
jadi inget kejadian dulu di tmp kerjaku, sama keracunan katering luar. sebagian besar staff tepar, abis maem menu ikan kembung. masih pre-opening hotel gitu, jadinya ya repot. bawa ke rumah sakit, naek turun tangga hotel gotong temen lemes....
BalasHapusGood post mbak
BalasHapusWaktu yang pas ????
BalasHapusCepetan po o pa Luken hadoooo !!!!