Sebelas
Olivia
menyimpan dua nama itu dalam lipatan-lipatan pekerjaannya. Allen dan Luken.
Berusaha untuk tidak memikirkan hal lain kecuali pekerjaan. Mata dan hatinya
jelas-jelas melihat bahwa Luken agak menarik diri setelah ‘membuatnya’
kelelahan. Ia tidak bisa berbuat apa-apa walaupun ingin sekali meyakinkan bahwa
laki-laki itu tidak bersalah. Dilihat dari sudut mana pun, hubungannya dengan
Luken adalah profesional belaka.
Walaupun
sudah diselipkan rapat-rapat, sesekali nama Allen masih muncul menyapanya
melalui pesan pendek. Mengabarkan bahwa laki-laki itu sedang berada di suatu
tempat dalam keadaan baik-baik saja. Terkadang mengirimkan foto dengan latar
belakang field, di anjungan
pengeboran, di ruang makan mess terapung bersama teman-temannya, atau di dalam
helikopter. Senyum dan cahaya gemerlap dalam mata abu-abu kehijauannya tak
pernah ketinggalan.
Terakhir
pada hari Minggu, Allen mengirimkan pesan bahwa ia tidak jadi ke Toraja, tapi ke
Bunaken dan Manado selepas dinasnya di field
Papua. ‘Aku akan pulang
Kamis, Liv. Sampai bertemu lagi hari Jumat.’
Sudah
lebih dari tiga minggu ia tak bertemu Allen. Diakui atau tidak, ada kerinduan
di dalam hatinya. Semangat Olivia mendadak menggelembung dan melambung ke titik
tertinggi pada Kamis menjelang siang ini. Sulit sekali mengempiskannya walaupun
ia sudah berusaha sekuat tenaga. Tentu saja radar Sandra langsung menangkap hal
itu. Perempuan itu mengira bahwa cahaya dalam wajah Olivia bersemburat merona karena seorang Luken.
“Ada
kemajuan, Pak?” ia iseng bertanya pada Luken saat Olivia ke toilet di lantai
bawah.
Luken
yang sedang memeriksa berkas di seberang Sandra mengangkat wajah sejenak.
Melihat ekspresi Sandra, ia langsung paham maksudnya. Ia menghela napas
panjang, kemudian menggeleng lemah.
“Nggak
takut keburu disambar orang lain?”
Kalimat
yang menggema dalam suara lirih itu membuat Luken tersentak. Ia kembali menatap
Sandra. Wajahnya terlihat bimbang. Tapi ia kemudian memutuskan sesuatu.
“Nanti
setelah saya pulang dari Purwakarta, Bu. Saya pikirkan lagi,” jawabnya
kemudian, bertepatan dengan terdengarnya suara ketukan sepatu Olivia menapaki
anak tangga.
Laki-laki
itu berdiri begitu Olivia muncul. Ditolehnya gadis itu.
“Setengah
jam lagi siap berangkat, ya, Liv,” ucapnya sambil masuk ke ruang kerja.
Olivia
mengangguk walaupun Luken tidak melihatnya. Sandra mengulurkan map yang sudah
selesai diperiksa Luken. Olivia menerimanya dan mulai memeriksa ulang semua
kelengkapan meeting.
Sip!
Sambil
menunggu Luken keluar dari ruang kerja, Olivia kembali sibuk dengan laptop.
Sandra sendiri cukup sibuk dengan pekerjaannya, sehingga tak sempat mengobrol
apa-apa. Hampir setengah jam kemudian, Luken keluar dari ruangannya. Olivia
sudah siap. Sebelum berangkat, Luken menoleh ke arah Sandra.
“Bu,
kalau waktunya cukup, aku nanti langsung nengok Nessa. Tapi yang jelas balik
lagi ke sini.”
“Baik,
Pak,” angguk Sandra.
“Titip
kantor, ya, Bu.” Luken menoleh ke arah Olivia, “Ayo, Liv.”
Keduanya
kemudian beriringan menuruni tangga. Dengan sikap biasa, Luken membukakan pintu
mobil untuk Olivia. Gadis itu mengangguk sambil mengucapkan terima kasih dengan
halus dan sopan.
“Nanti
selesai meeting kita beli kado buat
Nessa dulu, ya, Liv,” ujar Luken sambil menekan pedal gas SUV-nya. “Sekalian
makan siang. Kayaknya meeting kita
nggak lama.”
“Baik,
Pak,” Olivia mengangguk patuh.
* * *
Sesuai
prediksi Luken, pertemuan mereka dengan Mr. Janssen hanya makan waktu tak
sampai 25 menit. Sambil masuk kembali ke mobil, Luken menoleh ke arah Olivia.
“Di
PIM ada baby shop, nggak, Liv?”
“Ada,
Pak,” angguk Olivia. “Saya pernah antar teman saya ke sana.”
“Oke,
kita ke sana, sekalian makan siang, ya?”
“Baik,
Pak.”
Pondok
Indah Mall tidak jauh dari tempat mereka mengadakan meeting baru saja. Tak sampai lima belas menit kemudian, keduanya
sudah masuk ke area parkir mall besar
itu. Saat menyeberangi area parkir sekeluarnya dari mobil, otomatis tangan
Luken menggandeng tangan Olivia, tapi melepaskannya lagi begitu keduanya
memasuki mall. Dan sungguh, Olivia
memakluminya.
Ia
paham betul Luken bukanlah laki-laki yang suka mengambil kesempatan. Laki-laki
itu selalu memperlakukannya dengan sangat sopan. Sebuah sikap yang membuatnya
selalu merasa nyaman. Laki-laki itu mengikuti dengan sabar langkah cepat Olivia
menuju ke sebuah baby shop.
“Bapak
mau kasih kado apa, Pak?”
Luken
sedikit tersentak ketika Olivia bertanya dengan nada halus. Ditatapnya gadis
itu.
“Terserah,
Liv. Pokoknya yang pantas.”
Akhirnya
Olivia memilih sebuah tas perlengkapan bayi yang keren dan satu set gendongan
beserta selimutnya. Ditunjukkannya pilihan itu pada Luken.
“Ini,
Bapak mau pilih yang mana?”
“Mm...
Semuanya saja, Liv,” Luken meringis.
Olivia
tersenyum lebar. Sebenarnya kalau Luken memilih salah satu, yang lain akan
dibayarnya sendiri, dijadikan kado juga untuk bayi Nessa. Tapi Olivia mengalah.
Ketika Luken membayar kedua pilihan itu, dengan cepat Olivia memilih parsel
berisi satu set produk perawatan bayi lengkap dan all in one training cup.
“Lho,
kenapa nggak sekalian saja?” protes Luken ketika Olivia maju ke depan meja
kasir.
“Ya,
enggaklah, Pak. Masa kadonya Bapak borong semua? Saya kebagian apa?”
Luken
menggelengkan kepala sambil tersenyum. Menyerah. Ia kemudian dengan sabar
menunggu hingga barang-barang yang sudah dibayarnya dibungkus jadi kado yang
cukup indah. Setelah selesai, ia meraih kedua bingkisan itu.
“Sini,
Pak, jangan dibawa semua. Bapak bisa repot jalannya,” ujar Olivia sebelum
mereka keluar dari toko.
Maka
Luken menyerahkan kado miliknya yang lebih ringkas dan ringan. Keduanya
kemudian keluar dari toko itu.
“Ke
Warjok, ya, Liv,” Luken menoleh sekilas. “Aku lapar banget. Tadi pagi kesiangan
bangun, nggak sempat sarapan.”
“Bapak
jangan keseringan nggak sarapan begitu,” tegur Olivia halus. “Kasihan perutnya,
Pak.”
“Hehehe...
Iya, Liv. Sudah mulai tua.”
“Belum,
ah!” tukas Olivia. “Masih segar bugar begitu.”
Luken
tersenyum.
* * *
Untungnya
Nessa dirawat di kamar VIP yang hanya dihuni oleh ia dan bayinya saja, sesuai
dengan fasilitas dari kantor suaminya. Jadi Olivia dan Luken boleh menengok di
luar jam berkunjung. Wajah perempuan seumuran Olivia itu tampak berseri-seri.
“Wihiii...
Ibu baru itu auranya sudah lain,” ledek Olivia.
Nessa
terkikik. Kebahagiaan tergambar nyata di wajahnya. Apalagi bayinya lucu sekali.
Luken sudah gemas ingin menggendongnya. Tapi ia tidak berani meminta.
“Kapan
nyusul?” bisik Nessa ketika Oyas, suaminya, mengobrol dengan Luken.
“Masih
jauuuh...,” Olivia memasang wajah sedih.
“Si
bule gimana?” Nessa meringis jahil.
“Hah???”
Olivia terbelalak seketika. Dari mana
Nessa tahu???
“Nggak
usah ngeles, deh!” tukas Nessa lirih.
“Gue sama Oyas lihat lu kapan hari di Kokas, di Sushi Tei. Saking asyiknya
sampai nggak tahu gue sama Oyas cuma selang satu meja di belakang lu.”
Wajah
Olivia seketika tampak ‘menderita’. Nessa terkikik lagi melihatnya.
“Kalau
nggak salah itu klien kapan hari, ya? Pas ada Pak James.”
“Anaknya,”
sahut Olivia dengan suara ogah-ogahan. “Dan itu cuma temen.”
“Temen
tapi sudah menjamu camer, hihihi...,” wajah Nessa makin jahil.
“Neeesss...,”
Olivia terlihat gemas.
Nessa
terbahak. Tapi seketika mengaduh kesakitan. Jahitan caesar-nya yang masih segar terasa nyeri. Oyas dan Luken buru-buru
menghampiri.
“Kenapa,
Nes?” wajah Oyas terlihat khawatir.
“Enggak,”
Nessa menggeleng. Meringis. “Nggak apa-apa.”
“Perut
sudah diobras gitu, ketawa nggak kira-kira,” gerutu Olivia.
Oyas
tertawa. Sudah memahami betul kelakuan istrinya. Luken hanya bisa menggelengkan
kepala. Antara geli dan tidak tega melihat ekspresi Nessa. Tadi saja ketika
Oyas menceritakan proses kelahiran baby
Joy, ia antara mulas, ngeri, dan merinding.
Nessa
masih bekerja hingga hari Senin kemarin. Mengabaikan rasa mulasnya yang sudah
sesekali muncul. Selasa, ia sudah absen. Maju sekian hari dari permohonan
cutinya. Luken langsung mengabulkan cuti mendadak itu begitu Oyas meneleponnya.
Selasa malam, diputuskan bahwa Nessa harus dioperasi dengan berbagai
pertimbangan medis demi keselamatan ibu dan bayi. Rabu pagi, Coffee Storage mendapat kabar bahwa
mereka mendapat anggota keluarga baru. Seorang bayi perempuan montok dengan
panjang 51 cm dan berat 3,7 kg. Sebongsor sang ayah.
“Hati-hati,
lho, Liv,” Oyas nyengir. “Kalau bibitnya bule, bisa lebih gede lagi bayi lu.”
“Apa,
sih?” Olivia mendelik.
Nessa
langsung mencubit perut Oyas. Laki-laki itu terlambat menyadari keusilannya.
Dan Luken telanjur mendengarnya. Hanya saja wajah laki-laki itu tetap disetel sedatar
mungkin. Untungnya rengekan baby Joy
memecahkan situasi canggung itu. Dengan hati-hati Oyas kemudian mengangkat
bayinya dan memberikannya pada Nessa.
Melihat
bahwa Nessa dan si bayi butuh waktu pribadi, Luken segera mengajak Olivia
berpamitan. Hingga keduanya tiba di kantor, Luken lebih banyak diam. Laki-laki
itu langsung masuk ke ruang kerjanya begitu sampai.
Sandra
segera mewawancara Olivia soal Nessa dan bayinya. Gadis itu pun menceritakannya
dengan antusias. Minus candaan Nessa dan celetukan ngawur Oyas, tentu saja.
“Sabtu
sudah pulang belum dia, ya?” gumam Sandra.
“Kata
Oyas, paket perawatannya lima hari, Bu,“ jawab Olivia. “Masuknya Selasa,
berarti Sabtu pas pulang.”
“Hm...
Aku nengok ke rumahnya saja Sabtu sore atau hari Minggu. Biar nggak kecele. Lagian Sabtu siang ada resepsi nikah keponakanku."
* * *
Hm... Jadi ada bule, ya?
Luken
memutar kursinya. Menghadap ke jendela. Ia meluruskan tungkai dan
menyandarkan punggung. Entah kenapa, pada saat seperti ini ia merasa sangat
letih.
Salah satu klienkah?
Luken
menggeleng samar.
Sepertinya bukan...
Rata-rata
klien bulenya sudah berusia di atas 50 tahun. Ada yang di bawah itu, 30-40
tahunan, tapi ditemuinya saat di Eropa kemarin. Belum pernah bertemu langsung
dengan Olivia.
Dan aku merasa... cemburu?
Laki-laki
itu terhenyak.
Aku jadi baper??? Astaga...
Sebuah
rasa yang benar-benar membuatnya frustrasi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Lek Livi kedisikan disaut Allen ya kapok a pa Luken.
BalasHapusLo ya aq lak male melok emosi qiqiqiqiqiq
Sangking pintere authore.
Good post mbak
BalasHapus