* * *
Sepuluh
Walaupun
ditutupi rias wajah yang lebih meriah daripada biasanya, Olivia tidak bisa lagi
menyembunyikan keletihannya. Gerak-geriknya lesu. Matanya tidak lagi bercahaya.
Sandra menatapnya dengan prihatin.
“Mbak,
mintalah izin untuk istirahat di rumah barang satu atau dua hari,” ucap Sandra
halus.
Olivia
menoleh sekilas. “Kemarin-kemarin aku sudah absen terlalu banyak, Bu,” jawabnya
sambil terus mengetik.
Ketikan
itu pun sebenarnya lebih banyak tidak beresnya. Berkali-kali ia harus menghapus
ketikan yang salah. Memperlambat kerjanya. Membuatnya makin frustrasi.
Sandra
diam-diam mendesah dalam hati. Ia hanya khawatir Olivia akan ambruk karena
kelelahan yang sudah sedemikian menumpuk sejak beberapa bulan yang lalu.
Kendati kondisi keluarga gadis itu sudah jauh membaik, tapi kelelahan fisik pastilah
sudah telanjur terjadi. Ditambah dengan kejadian keracunan makanan minggu
kemarin. Gadis itu pasti sudah terjungkir balik sedemikian rupa saat harus mendampingi
Luken dalam melancarkan operasional kantor.
Ia
tersentak ketika telepon di mejanya berbunyi lirih. Tapi ia kalah cepat. Olivia
sudah menjawab panggilan telepon itu.
“Baik,
Pak,” didengarnya ujung ucapan gadis itu.
“Bu,”
Olivia menoleh ke arah Sandra. “Bapak minta berkas untuk Pak Yudi. Sudah
selesai?”
“Oh,
ya, ya,” Sandra berdiri sambil meraih map berwarna putih yang berkas di
dalamnya sudah selesai ia kerjakan beberapa saat lalu.
* * *
Sandra
duduk menunggu dengan sabar hingga Luken selesai membaca berkas yang tadi
diminta. Beberapa menit kemudian Luken mengangguk sambil mengangkat wajahnya.
Ditatapnya Sandra.
“Oke,
Bu, minta tolong Livi menggandakan, ya? Terus nanti catatan yang kita bicarakan
kemarin soal Pak Yudi, Ibu berikan pada Livi biar dia pelajari dulu sebelum
besok meeting dengan Pak Yudi.”
“Mm...,”
Sandra tampak ragu sejenak.
“Ya,
Bu?” Luken menangkap aura lain wajah Sandra.
“Pak,
mohon maaf sebelumnya,” Sandra menatap Luken. “Saya, kok, kali ini nggak yakin
Livi bisa handle tugasnya.”
Luken
mengerutkan kening. Menatap Sandra dengan sorot mata sangat serius.
“Saya
takut Livi sakit, Pak. Hari ini tadi dia kelihatan lesu sekali. Nggak biasanya
seperti itu. Saya khawatir kelelahannya selama berbulan-bulan pada akhirnya
terakumulasi dan terpicu oleh kejadian minggu lalu.”
Pelan-pelan
Luken menyandarkan punggungnya. Rasa bersalahnya timbul lagi. Ia kemudian
mengangguk.
“Aku
nggak ada jadwal lagi hari ini, ya, Bu?” gumamnya.
“Nggak
ada, Pak,” Sandra menggeleng.
“Ibu
bisa handle kerjaan Livi satu-dua
hari ini?”
“Bisa,
Pak,” Sandra menjawab tegas.
“Kalau
begitu dia akan kuantar pulang sekarang,” Luken menatap sekilas arlojinya.
Masih pukul setengah dua siang. “Kalau nggak diakalin, dia pasti menolak. Aku
langsung pulang, ya, Bu. Titip kantor.”
Sandra
tersenyum lebar. Wajahnya tampak lega.
* * *
Akhirnya...
Olivia
menghela napas lega. Seharusnya pekerjaannya ini sudah selesai beberapa puluh
menit yang lalu. Sayangnya otak, hati, dan gerakan tangannya hari ini seolah
sama sekali tidak sinkron. Ia memutuskan untuk menunda mencetak dan
menggandakan dokumen itu. Daripada lebih banyak lagi kesalahan.
Lagipula terpakainya masih
Jumat lusa.
Ketika
Olivia hendak mulai menyelesaikan pekerjaan berikutnya, Sandra dan Luken
muncul. Luken duduk di depan meja Olivia. Ditatapnya gadis itu.
“Pekerjaanmu
hari ini masih banyak?” tanyanya serius.
“Sudah
selesai, Pak. Tapi belum saya cek ulang.”
“Ya,
sudah, aku ada meeting mendadak. Bisa
dampingi aku?”
“Bisa,
Pak.”
“Tolong,
sekalian bawa laptopmu, ya? Barangkali nanti ada data penting yang klien kita
ingin tahu. Oh, ya, kita pakai mobilmu saja, ya?”
Olivia mengangguk walaupun agak heran dengan kemauan Luken yang tidak seperti biasanya. Tapi ia menuruti saja permintaan itu. Sudah terlalu penat untuk berpikir dan bertanya. Ia pun mematikan laptop. Dengan cepat diringkas dan dimasukkannya ke dalam tas semua barang pribadinya seperti biasa bila hendak keluar bersama Luken untuk meeting dengan pemasok maupun klien. Setelah menutup dan memasukkan laptop ke dalam tas khusus, ia menyempatkan diri menyimpan semua map berkas ke dalam lemari. Saat ia berbalik, Luken sudah membawakan tas laptopnya dan mulai melangkah ke arah tangga.
* * *
“Merem saja kalau kamu mau, Liv,” ujar
Luken sambil mulai menekan pedal gas mobil Olivia. “Nanti aku bangunkan kamu
kalau sudah sampai.”
“Memangnya
kita mau ke mana, Pak?”
“Cikarang,”
jawab Luken, sekenanya. “Belum lagi macetnya.”
Dalam
hati Olivia mendesah. Aduh... Kalau kayak
gini terus, nggak lama lagi aku bisa ambruk... Maka ia memutuskan untuk
menuruti ucapan sang boss. Ia mulai memejamkan mata.
Luken
menoleh sekilas. Terlihat lega karena Olivia mau menuruti perkataannya. Dengan
leluasa ia mengarahkan mobil itu ke jalur tujuan. Rumah Olivia.
* * *
Rasanya
baru sedetik saja ia terlelap, tapi seseorang sudah membangunkannya. Gadis itu
tersentak dan terjaga. Ada yang terasa ngilu dalam hati Luken ketika melihat
wajah linglung Olivia yang seperti ini.
“Liv,
kita sudah sampai,” ucapnya kemudian. Lembut.
Olivia
menyipitkan mata sambil menegakkan punggungnya.
Lho, ini kan...?
Dengan
bingung ditatapnya Luken. Laki-laki itu balas menatapnya. Dengan sorot mata
dipenuhi penyesalan.
“Seharusnya
aku tidak menipumu seperti ini, Liv,” gumam Luken. “Aku terpaksa membawamu
pulang. Aku mengkhawatirkan keadaanmu. Kamu sudah terlalu lelah. Istirahatlah
sampai besok.”
Luken
keluar dari mobil untuk membuka lebar pintu pagar. Ia sengaja tidak membunyikan
klakson. Olivia terhenyak. Dikerjapkannya mata berkali-kali. Berusaha
mengumpulkan kembali semua pikiran dan ingatan yang sempat tercerai-berai. Setelah
beberapa detik, barulah ia memperoleh kesadarannya kembali.
Luken
kembali ke dalam mobil. Dalam beberapa detik, mobil itu kembali melaju dan
berhenti di tempat biasanya. Olivia membuka pintu kiri depan. Luken mengambil
laptop Olivia dari jok belakang. Setelah ia menekan alarm dan berbalik, ia
tertegun. Olivia tengah menatapnya dengan pandangan yang sukar diartikan.
“Pak,”
gumam Olivia, “terima kasih.”
“Ya,
sama-sama,” angguk Luken. “Maafkan soal kemarin. Seharusnya aku bilang padamu
kalau aku mau ke sini. Seharusnya aku lebih memahami kelelahanmu.
Seharusnya...”
“Pak,”
potong Olivia halus. “Terima kasih banyak. Mari masuk dulu.”
Luken
bagai tersihir. Ia mengangguk dan mengikuti langkah Olivia.
* * *
Tujuan
pertama Prima begitu sampai di rumah adalah kamar putri sulungnya. Bau harum hand and body lotion yang bercampur
dengan aroma hangat minyak jahe menyergap hidungnya saat membuka pintu kamar
Olivia. Ketika ia mendekat, dilihatnya gadis itu sudah terlelap, bergelung nyaman
di bawah selimut.
Dengan
lembut Prima mengecup kening Olivia, mengelus kepalanya, kemudian meninggalkan
kamar itu. Putri sulungnya baik-baik saja, walaupun masih ada gurat kelelahan
tersisa di wajah. Dihelanya napas lega. Seusai mandi, Prima turun dan bergabung
dengan Maxi di ruang tengah.
“Tadi
gimana ceritanya mbakmu, Max?” tanya Prima seraya meraih semug teh hijau hangat
dari atas coffee table.
“Ya,
habis Mama sama Mela berangkat jemput Papa, kan, aku mau ke tempat kost Donner. Lagi
ambil jaket, tahu-tahu Mbak Liv nongol saja. Diantar Mas Luken. Kelihatannya
memang loyo banget. Aku suruh Bik Muntik panggilin Mpok Ranti. Untung dia bisa
langsung ke sini. Habis itu aku antar Mas Luken pulang. Daripada naik ojek online, kan. Aku suruh bawa mobil Mbak
Liv juga dia nggak mau. Terus aku telepon Mama tadi itu.”
“Mpok
Ranti siapa yang bayar?”
“Ya,
akulah. Sampai aku pulang dari antar Mas Luken, Mpok Ranti masih ngurut Mbak
Liv.”
“Nanti
minta ganti sama Mama.”
“Nggak
usah,” Maxi menggeleng tegas. “Kayak sama siapa saja.”
Prima
tersenyum. Saat itu Arlena muncul dari dapur. Carmela masih sibuk menata meja
makan. Perempuan itu duduk di sebelah Prima.
“Mbak
Liv belum makan, ya, Max?” tanya Arlena.
“Belum,
Ma. Tengah-tengah diurut sudah telanjur pulas.”
“Ya,
sudah, habis ini biar Mama belikan roti sama susu kotak di minimarket.”
“Nanti
kuantar,” Prima menepuk lembut punggung tangan Arlena.
Perempuan itu menyambut ucapan sang suami dengan seulas senyum.
Perempuan itu menyambut ucapan sang suami dengan seulas senyum.
“Oh,
ya,” celetuk Maxi, “Mas Luken tadi pesan, Mbak Liv besok nggak boleh masuk
kantor. Boleh masuk lagi kalau sudah benar-benar pulih.”
“Oh,
oke,” angguk Arlena.
“Besok
aku saja yang antar Papa, Ma. Sekalian siangnya aku antar katering dari Budhe.”
Arlena
kembali mengangguk.
“Makanan
sudah siap, nih!” seru Carmela dari arah ruang makan.
Mereka
bertiga beranjak nyaris bersamaan untuk mengurusi kebutuhan perut.
* * *
Tiba-tiba
saja Olivia terjaga. Kamarnya sudah gelap. Hanya ada berkas-berkas sinar lampu
yang berasal dari luar. Ia menyipitkan mata. Mendadak saja ia diserang rasa
lapar yang luar biasa. Dengan setengah meraba ia berusaha menemukan jam beker
digital di atas nakas. Hampir pukul satu dini hari.
Dengan
malas ia beringsut dari balik selimut. Ia masih mengenakan kemben. Bukan waktu
yang tepat untuk mandi. Maka ia hanya akan mengganti kemben itu dengan celana
pendek dan tank top saja. Untuk itu
ia menyalakan lampu. Yang pertama dilihatnya adalah lemari baju. Setelah
mendapatkan apa yang ia butuhkan, ia beranjak ke kamar mandi. Saat itulah
tatapannya jatuh pada nampan di atas meja tulisnya. Ia mendekat.
Ada
tiga buah roti aneka isi di atas nampan itu. Juga semug besar wedang jahe yang sudah dingin. Plus, dua
buah susu kotak berukuran 200 ml. Di bawah mug ada sehelai kertas catatan.
Diraihnya kertas itu.
‘Selamat makan, Liv.
Habiskan semua biar tidurmu nyenyak. Besok nggak usah bangun pagi-pagi. Kamu
dapat cuti dari Mas Luken. Jangan bandel!
Papa’
Olivia
tersenyum. Ia memutuskan untuk makan roti dan minum susu dulu sebelum berganti
baju dan menggosok gigi. Ketika keluar dari kamar mandi, pintunya diketuk dari
luar dengan suara sangat lembut.
“Liv...”
Samar-samar
didengarnya suara itu. Olivia buru-buru membuka pintu.
“Ya,
Ma?”
“Sudah
bangun? Lapar?” Arlena menatapnya dengan khawatir.
“Sudah
aku makan rotinya. Susunya juga sudah kuminum satu.”
“Kamu
mau makan nasi? Biar Mama panasi sayur sama lauknya. Masih ada sup kacang
merah, perkedel, rolade, kerupuk udang.”
Mendengar
sederet menu menggiurkan itu, Olivia menyerah. Arlena segera menggandeng tangan
si gadis sulung dan menyeretnya ke bawah. Sambil menguap lebar, Olivia duduk di
depan island.
“Sudah
lebih enak badanmu?” tanya Arlena seraya sibuk mendidihkan sup, dan
menghangatkan kembali perkedel dan rolade di dalam microwave.
“Sudah,”
angguk Olivia. “Mau mandi, kok, sudah jam segini.”
“Pakai
air hangat,” Arlena menoleh sekilas. “Setelah itu Mama baluri lagi punggungmu
sama minyak jahe, biar kamu bisa pulas lagi tidurnya. Nggak usah mikir besok
pagi mau bangun jam berapa. Matikan saja semua alarm.”
“Mama,
kok, belum tidur?” tanya Olivia sambil beranjak untuk mengambil sepiring nasi.
“Tadi
samar-samar dengar suara air dari kamar mandimu. Mama khawatir kamu nggak lihat
roti di meja.”
Sejenak
kemudian Olivia sudah menikmati makanannya. Terasa sangat enak di lidah. Arlena
menungguinya sambil membuat dua cangkir wedang
jahe hangat. Disodorkannya salah satu pada putri sulungnya. Ia kemudian
duduk di seberang. Dicomotnya sebuah perkedel dan dimakannya.
Olivia
tersenyum samar melihat Arlena. Tampak sangat mengantuk, tapi masih tetap
berusaha untuk mengurusnya dengan baik. Ia ingat betapa dengan lembut Arlena
mengurut punggungnya Senin menjelang malam. Tidak terlalu berefek, tapi dengan
jelas ia merasakan kesungguhan dan kasih sayang Arlena.
Selesai
makan, ia mengikuti anjuran Arlena untuk mandi air hangat. Benar! Tubuhnya jadi
makin segar. Punggungnya terasa sangat hangat dan nyaman setelah Arlena
membalurkan minyak jahe. Pelan-pelan kantuknya pun datang lagi.
Begitu
Arlena keluar dari kamar, Olivia mematikan semua alarm dan kembali bergelung di
bawah selimut. Terlelap lagi. Bahkan bermimpi tentang...
Allen...
Ia
menggumamkan nama itu dalam tidurnya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
kok allen? luken gitu loh.... ferotess berat aku mbak. mas luken luwih apik, biarpun duren. mbayangno seganteng ari wibowo ato kim soo hyun....
BalasHapusAdududu mimpie Livi koq Allen ?
BalasHapusNgene qi lo kambek mb Lis sing baca dibanting" emosie.
Isoooook ae pean mb Lis !
Good post mbak
BalasHapus