Lima
Suasana
kantor benar-benar meriah pagi itu. Luken dan Sandra sudah kembali. Para staf
mendapat oleh-oleh sederhana berupa gantungan kunci dan magnet kulkas. Walaupun
terlihat remeh, tapi mereka menerimanya dengan gembira. Sandra memeluk erat
Olivia yang sudah lebih dari dua minggu tak ditemuinya.
“Aku
kesepian nggak ada Ibu,” bisik Olivia.
“Oh...,”
Sandra memeluknya lagi. “Tapi semua baik-baik saja, kan?”
Olivia
mengangguk. “Soal perkerjaan, jangan khawatir, Bu. Aku cukup bersenang-senang,
kok, dengan Pak James.”
Sandra
tersenyum lebar. Saat ini, James sedang berada di dalam ruang kerja Luken. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi hingga lewat dari
pukul sembilan pagi, keduanya belum juga keluar. Olivia dan Sandra bekerja
sambil sesekali mengobrol. Tapi lama-lama keduanya tenggelam dalam hening
karena terseret kesibukan.
Pada
saat seperti itu, baru Olivia menyadari bahwa ia sebenarnya rindu sekali pada
Luken. Dan tadi pagi, saat ia melihat lagi laki-laki itu, seolah ada aliran
semangat baru yang terpompa masuk tanpa bisa dikendalikan ke dalam hatinya.
Ia
menemukan kerinduan yang sama dalam mata Luken. Tapi kondisi sekeliling mereka
tak memungkinkan untuk menampung semua luapan rasa rindu itu. Karenanya
keduanya terpaksa menahan diri. Cukup saling mengetahui bahwa keduanya
baik-baik saja seperti dua minggu lalu saat terakhir bertemu. Itu sudah membuat
keduanya merasa lega.
Bunyi
pesawat telepon di meja membuat lamunan Olivia terputus. Dengan gerakan cepat
ia mengangkat gagang telepon itu.
“Selamat
pagi, dengan Olivia, di sini,” sapanya ramah.
“Liv, tolong, ke ruang kerjaku sekarang
ya? Makasih.”
“Baik,
Pak.”
Olivia
meletakkan gagang telepon sambil berdiri. Ia menoleh ke arah Sandra.
“Bu,
aku dipanggil Bapak. Sebentar, ya?”
“Oh,
oke,” angguk Sandra.
Olivia
pun melangkah ke arah ruang kantor Luken.
* * *
“Mbak
Liv...”
Suara
halus itu membuat Sandra menoleh. Ia mendapati Lila melangkah mendekat dari
arah tangga. Di tangan gadis itu ada sebuah tas kertas cukup besar. Ia terus
melangkah ke meja Olivia yang kosong.
“Lho,
Mbak Liv mana, Bu?” tanya Lila sambil meletakkan barang bawaannya tepat di
sebelah laptop Olivia.
“Lagi
dipanggil Pak Luken. Apa itu, Mbak Lil?” Sandra mendongak dengan wajah heran.
“Kiriman,
Bu, diantar Great-Send,” senyum Lila.
“Buat
Pak Luken? Pak James?”
“Bukan,”
Lila menggeleng. “Itu buat Mbak Livi.”
“Dari?”
“Wah,
nggak tahu, Bu. Aku nggak tanya,” jawab Lila dengan wajah menyesal.
Sejenak
kemudian gadis itu pamit. Tak enak meninggalkan mejanya lama-lama. Sepeninggal
Lila, Sandra sejenak menatap tas kertas itu, yang bergambar logo sebuah toko
souvenir di Bali.
* * *
Apalagi
yang mereka bertiga bicarakan kalau bukan soal pekerjaan? James secara singkat
namun cukup rinci memaparkan semua laporan pekerjaannya pada Luken. Sesekali ia
bertanya pada Olivia, kalau-kalau ada yang tertinggal. Terakhir, Luken
menandatangani berkas pertanggungjawaban James tanpa berkomentar. Ia percaya
sepenuhnya pada sang paman. Bukankah sesungguhnya perusahaan ini masih milik
James Sudianto? Ia hanya diberi kepercayaan untuk meneruskan jalannya saja.
“Liv,”
ujar James tiba-tiba, “aku sudah bilang boss-mu.
Sewaktu-waktu aku butuh kamu untuk menata ulang rencanaku kemarin itu, boss-mu membolehkan aku untuk pinjam
kamu.”
“Oh...,”
senyum Olivia. “Siap kalau begitu, Pak.”
Tatapan
James beralih pada Luken. “Ya, sudah, Luk, aku pamit dulu. Nanti kalau ada
kabar soal ruko sekolah musik di seberang itu, tolong, segera hubungi aku.”
“Tunggu
sekalian setelah makan sianglah, Om,” cegah Luken. “Nanti aku antar ke
hotel, terus ke bandara.”
“Sudah
hampir jam sebelas ini, Luk,” James menatap arlojinya sejenak. “Aku harus check out jam dua belas.”
“Kalau
begitu aku antar saja sekarang ke hotel, Om. Check out, setelah itu balik lagi ke sini. Kita makan siang dulu di
sebelah.”
Setelah
berpikir sejenak, James pun menyetujui usul keponakannya. Sebelum pergi, Luken
berpesan pada Olivia agar melakukan reservasi di resto langganan mereka di
sebelah kantor.
“Buat
berempat ya, Liv. Sekalian sama kamu dan Bu Sandra. Nanti kalau jam dua belas
kami belum balik, kalian langsung saja ke resto. Kita ketemu di sana.”
Olivia
mengangguk patuh. “Baik, Pak.”
Mereka
bertiga beriringan keluar dari kantor Luken. Olivia menuju ke mejanya,
sedangkan Luken dan James langsung menuruni tangga. Kening Olivia berkerut
melihat sebuah tas kertas bertengger manis di atas mejanya.
“Apa
ini, Bu?” ditatapnya Sandra.
“Nggak
tahu, Mbak. Kiriman buatmu,” jawab Sandra sambil terus bekerja.
Pelan-pelan
Olivia menurunkan tas kertas itu dari atas meja dan meletakkannya di bawah, di
dekat kaki.
“Nggak
dibuka, Mbak Liv?” tiba-tiba Sandra menoleh. Nyengir dengan wajah menggoda.
Olivia
hanya menanggapinya dengan tawa ringan. Walaupun hatinya dilanda rasa penasaran
yang sangat, tapi akan lebih baik kalau sabar menunggu hingga waktunya tiba. Lagipula ia masih punya tugas. Menelepon resto sebelah untuk melakukan
reservasi.
Sekejap
Olivia seolah dilanda deja vu.
Kembali masuk ke atmosfer minggu lalu saat ia melakukan konfirmasi sebelum
menyambut kedatangan Mr. Byrne. Allen
Byrne, bagaimana kabarmu? Pikirannya melantur saat menunggu pihak resto menjawab
panggilan teleponnya. Dan ia sedikit tersentak ketika mendengar sahutan dari
seberang sana.
Urusan
itu beres lima menit kemudian. Ketika hendak mengambil berkas dari dalam
lemari, Olivia tersandung sesuatu. Ia melihat ke arah bawah dan menemukan tas
kertas yang sempat membuat dirinya sangat penasaran itulah yang sedikit
menghambat langkahnya. Tapi ia melanjutkan maksud menuju ke lemari berkas.
Setelah
kembali lagi ke tempat duduknya, tas kertas itu seolah-olah melambai minta
diperhatikan. Olivia melirik ke arah Sandra. Perempuan itu sedang sibuk
menerima telepon. Dengan ragu-ragu, Olivia memundurkan sedikit kursinya,
kemudian menaikkan tas kertas itu ke pangkuan.
Ia
mulai membuka tas kertas itu. Ada kotak di dalamnya. Cukup besar hingga
memenuhi tas itu. Pelan-pelan ditariknya kotak itu keluar. Dengan jantung
berdebar dibukanya kotak berwarna abu-abu muda dengan hiasan pita berwarna
perak yang tersimpul manis.
Isi
kotak itu ternyata dua lembar kain yang masing-masing terlipat rapi di dalam
kertas tipis berwarna putih. Kain batik sutra Bali di atas, dan kain tenun
Lombok yang sangat halus di bagian bawah. Di bawah lipatan kain tenun Lombok
itu ada sebuah kotak lagi. Ketika ia mengintip dalamnya, tampaklah satu set
perhiasan mutiara yang sekilas saja sudah cukup membuat mata gatal. Tapi Olivia
buru-buru menutupnya kembali.
Ketika
merapikan kembali isi kotak itu, ia menemukan sehelai kartu putih di antara
tumpukan kedua kain. Kartu itu seukuran kartu pos dengan tepiannya bergambar
sulur-sulur bunga lily berwarna perak yang di-emboss. Sangat cantik! Tulisan yang tertera pada kartu itu pun tampak
cukup rapi.
‘Olivia, semoga kamu suka
kain-kain dan mutiara cantik ini.
Bisakah sore ini kita
bertemu lagi? Jam kerjaku berakhir pukul empat. Tapi mungkin butuh waktu untuk
mencapai kantormu. Bila berkenan, silakan mengabariku ke nomor ini : 081x-xxxx-xxxx.
Salam,
Allen Byrne’
Oh, my...
Olivia
seketika terhenyak. Ia menutup mulut dengan tangan kirinya.
Allen Byrne? Gosh...
Tanpa
berpikir panjang, Olivia menyimpan nomor itu di dalam memori ponselnya. Ketika
ia memeriksa lagi, nomor itu ada di dalam daftar kontak Whatsapp. Plus foto profil yang mengandung senyum dan sorot mata
yang begitu memikat. Segera saja ia mengirimkan pesan. Sesudahnya ia menarik
napas lega, dan bermaksud melanjutkan pekerjaannya, masih dengan senyum tersimpul di bibir.
“Ehem!”
Suara
deheman itu membuat Olivia tersentak. Ia menoleh dan mendapati Sandra tengah
menatapnya dengan sorot mata menggoda.
“Kelihatannya
ada yang terlewat belum diceritakan?” Sandra memiringkan sedikit kepalanya.
Sekejap
Olivia tersipu. Tapi ia belum ingin bercerita apa-apa soal ‘itu’ pada Sandra.
Dengan ekspresi wajah menyesal, ditatapnya Sandra.
“Maaf,
Bu,” ucapnya. “Aku belum bisa cerita.”
Sandra
tersenyum mengerti. Olivia mengembalikan kotak itu ke dalam tas kertas, dan
meletakkannya lagi di dekat kaki. Sekuat tenaga ia berusaha mengumpulkan
konsentrasi yang sempat terburai, dan mencurahkannya kembali pada pekerjaan
yang sudah menunggu untuk diselesaikan.
* * *
Seperti
biasa, beberapa menit lewat dari pukul empat, Sandra meninggalkan kantor.
Selesai makan siang tadi, Luken tidak kembali ke kantor karena langsung
mengantar James ke bandara. Olivia masih membereskan beberapa berkas yang
dibawa Luken pulang dari Eropa. Ia mengerjakannya dengan santai sekadar untuk
melewatkan waktu. Janji pertemuannya dengan Allen nanti paling cepat pukul
lima. Akan dilakukan di sebuah kafe dekat kantor Olivia. Perlu waktu untuk
mencapai daerah Tebet dari Sudirman, tempat kantor Allen berada.
Tepat
pukul lima, Olivia meringkas semua barangnya. Tak lupa ia meraih tas kertas
yang masih ada di dekat kakinya. Lima menit kemudian ia sudah meluncurkan
mobilnya keluar dari halaman Coffee
Storage.
* * *
Pesawat
yang akan membawa James ke Jogja baru akan berangkat dua jam lagi. Luken dan
James menghabiskan waktu dengan mengobrol di sebuah coffee shop. Pembicaraan dari hati ke hati. Antara paman dan
keponakan, sama sekali bukan pembicaraan bisnis.
“Nanti
sepulang dari sini, aku akan ke rumahnya, Om,” ucap Luken setelah menyesap esspreso-nya. “Mau kasih oleh-oleh buat
mereka.”
“Kejutan?”
senyum James.
“Kejutan,”
angguk Luken, mantap.
“Tapi
kamu harus tetap ngomong, Luk,” gumam James. “Menyatakan dengan kata-kata. Soal
diterima atau ditolak seperti aku dulu, ya, itu nasib. Mau nggak mau harus
diterima dengan lapang dada.”
Lukan
mengangguk singkat.
* * *
Ketika
hendak memasuki area parkir kafe, city
car Olivia mengantre di belakang sebuah mobil crossover berwarna biru. Dengan sabar ia mengikuti arahan tukang
parkir agar menghentikan mobil di dekat si biru. Ia dan pengemudi mobil biru
itu bersamaan keluar. Mereka bertatapan sejenak sebelum menyapa dengan mata
dipenuhi binar.
“Olivia!”
“Allen!”
Tanpa
bisa dikendalikan, keduanya berpelukan sejenak, seolah dua orang sahabat yang
sudah lama tidak bertemu. Allen kemudian menggandeng Olivia masuk ke dalam
kafe.
“Kamu
suka kain-kain itu, Liv?” Allen menatap Olivia dengan mata penuh harap.
“Oh,
Allen, oleh-olehmu indah sekali! I like
it! I like it! Terutama perhiasan mutiaranya. Bagus sekali!”
Allen
tertawa melihat ekspresi Olivia. Polos seperti anak kecil. Dengan keceriaan dan
kecantikan yang memancar dari dalam dirinya. Dan mata abu-abu kehijauan Allen
seketika menghanyutkan Olivia dalam lautan entah yang membuatnya begitu
terbuai. Keduanya kemudian tenggelam dalam berbagai topik pembicaraan yang
membuat mereka hampir lupa waktu.
“Hari
Jumat nanti, bisakah kita bertemu lagi?” tanya Allen sebelum keduanya berpisah
di tempat parkir. “Kita mengobrol lagi. Kamu tentukan tempatnya, ya.”
Olivia
segera mengangguk tanpa pikir panjang.
* * *
Jantung
Olivia mendadak saja berdebar kencang ketika ia membelokkan mobil masuk ke carport melalui pintu pagar yang terbuka
lebar. SUV Luken terparkir di depan pintu garasi. Sekilas Olivia melirik jam
digital di dashboard, menunjukkan
angka 09.07 PM.
Setelah
berpikir sejenak, gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam rumah melalui
garasi. Tidak melewati pintu ruang tamu yang terbuka lebar. Tanpa suara, ia
meletakkan hobo bag, tas laptop, dan
sebuah tas kertas di atas sofa tunggal terdekat di ruang tengah. Saat hendak
beranjak untuk mengganti baju, Arlena muncul dari arah depan.
“Ditungguin,
tuh, sama Pak Luken,” celetuk Arlena, lirih. “Mama mau jelasin juga gimana?
Kamu WA Mama juga cuma bilang kalau pulang
telat karena mau ketemuan sama teman.”
“Tadi
di kantor juga ketemu,” gumam Olivia, membatalkan niatnya masuk ke kamar lebih
dulu.
Ia
kemudian melangkah ke ruang depan diiringi Arlena. Dengan munculnya Olivia,
satu per satu anggota keluarga Arbianto menghilang dari ruang tamu. Tapi Luken
tidak lama bertahan. Malam makin merambat naik. Dan sepertinya Olivia sudah
mulai tidak fokus dengan obrolan mereka.
Mungkin dia letih.
Maka
Luken pun memutuskan untuk berpamitan menjelang pukul setengah sepuluh. Olivia
mengantarnya sampai ke mobil.
“Sampai
ketemu besok, Liv,” senyum Luken sebelum menutup kaca jendela mobil dan
meluncur pergi.
Hanya
ada Prima dan Arlena di ruang tengah ketika Olivia masuk. Keduanya tampak
berbincang sambil menonton televisi. Olivia meneruskan langkahnya ke dapur
untuk mengambil minum. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali lagi dengan
segelas air dingin berada di tangannya. Dengan santai ia duduk di sofa tunggal
dekat Prima. Mengarahkan tatapannya ke layar televisi.
“Dapat
oleh-oleh khusus, nih,” goda Prima sambil meraih tas kertas tepat di
sebelahnya.
Terlambat
bagi Olivia untuk mencegah. Prima sudah mengeluarkan kotak dari dalam tas
kertas itu.
“Gede banget oleh-olehnya, Liv?” gumam
Prima.
Tapi
laki-laki itu terbengong ketika melihat isi kotak. Olivia terdiam.
“Lho,
kok?” Prima menatap Olivia.
Gadis
itu meringis dengan ekspresi jengah.
“Siapa
bilang itu oleh-oleh dari Pak Luken?” gerutunya.
Arlena
tertawa ringan. Ia ikut melongok ketika Prima membuka kotak itu. Isinya kain
etnik. Jelas bukan oleh-oleh dari Eropa. Prima kemudian mengembalikan kotak dan
tas kertas itu ke tempat semula.
“Dari
siapa, Liv?” Arlena mencoba bertanya.
“Mm...
Anak klien yang minggu kemarin datang ke kantor,” jawab Olivia sambil berdiri.
Diletakkannya
gelas di atas coffee table. Ia meraih
barang-barangnya dan berpamitan.
“Aku
ke atas dulu, ya, Ma, Pa. Gerah banget ini. Mau mandi dulu.”
“Habis
mandi langsung istirahat saja, Liv,” ucap Prima lembut
Gadis
itu mengangguk patuh. Prima tersenyum begitu Olivia melenggang pergi. Arlena
menyenggol lengannya.
“Yang
orang Kanada itu?” bisiknya.
“Kayaknya
iya,” Prima balas berbisik.
Sekejap
Prima dan Arlena saling menatap. Seketika itu juga, Prima menangkap sinar
kekhawatiran melompat keluar dari mata Arlena.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
Good post mbak
BalasHapusAaaaawwww Allen !!!!
BalasHapus