Senin, 06 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #8











* * *


Delapan


Pelan, Rika menyandarkan punggungnya. Nuansa Ayu, perusahaan kosmetiknya, berjalan dengan sangat baik belakangan ini. Bahkan berhasil memperpanjang kontrak dengan beberapa selebriti. Para selebriti itu memiliki merek sendiri, tapi ‘menumpang’ produksi di pabrik milik keluarga Rika. Tentu saja tetap dengan formula rahasia masing-masing. Ada pula kontrak baru. Melibatkan seorang artis penyanyi yang sedang naik daun.


Ia sudah bicara dengan Kencana, soal berbagi kepemilikan Nuansa Ayu dengan Mia. Tentu saja ia akan ingat selamanya, betapa Kencana menatapnya sedemikian rupa beberapa malam lalu.



“Ma, aku ingin fokus di bisnis kuliner,” ucapnya halus, tanpa basa-basi. “Aku ingin lepas dari Nuansa Ayu. Opsinya ada tiga. Membiarkannya tetap dipegang Mama sampai Mia besar dan bisa menjalankannya, mengembalikan Nuansa Ayu kepada keluarga Opa, atau menjualnya kepada pihak lain.”

Seketika Kencana menatap putrinya. Lama. Seutuhnya ia menemukan kesungguhan dalam kedalaman mata Kencana. Gadisnya itu terlihat sangat serius.  Sejenak kemudian ia menggeleng samar.

“Nuansa Ayu butuh tangan dingin, Ma. Aku lihat minat Mia sudah tepat pada jalur itu. Mama tahu, kan, subsciber vlog Mia terus merangkak naik?”

Kencana mendegut ludah. Tentu saja ia tahu apa yang diperbuat putri bungsunya itu di waktu senggang. Mia cukup aktif menggunggah video-video tutorial make up. Dari yang paling sederhana dan natural, hingga dandanan yang lebih menor untuk pesta. Sasarannya adalah para remaja putri seusianya. Tak jarang diseretnya pula Kencana atau Rika jadi model untuk penonton dengan sasaran usia lebih senior. Itu pun penontonnya juga mencapai ratusan ribu.

Yang paling penting, Mia selalu memakai produk Nuansa Ayu, dengan berbagai macam jenis dan merek yang diproduksinya. Bahkan, hampir satu tahun belakangan ini, Mia sudah menerapkan tarif untuk endorse make up dari merek milik para selebriti. Ia pun menerapkan sistem eksklusif. Tak mau memakai selain produk Nuansa Ayu. Sebuah strategi pemasaran yang sangat bagus menurut Kencana.

Hanya saja....

Kencana menghela napas panjang. Kembali ditatapnya Rika.

“Rik, kamu tahu, kan, Nuansa Ayu itu nantinya mutlak milikmu,” ujarnya kemudian, dengan suara lembut. “Yang jelas, posisi Mia di luar itu.”

“Karena garis darah?” Tatapan Rika menajam. “Ma, waktu ke Jogja beberapa hari lalu, aku sempat ketemuan dengan Pakde Denta. Aku bicara soal Nuansa Ayu. Tahu apa Pakde bilang? Nuansa Ayu itu milik Mama dan almarhum Papa. Sudah dihibahkan Opa Paul secara resmi dan penuh ketika Mama dan almarhum Papa menikah. Aku anak almarhum Papa, Mia anak Mama sekaligus adikku. Gimana bisa Mama bilang Mia nggak ada hak?”

Kencana kehabisan kata. Tak pernah membayangkan bahwa Rika sudah sejauh itu membawa pikirannya.

“Aku juga sudah bicara dengan Mia,” lanjut Rika. “Mia ada minat untuk melanjutkan tongkat estafet kepemilikan Nuansa Ayu, Ma. Mama jangan pensiun dulu. Menjual Nuansa Ayu ke pihak lain adalah opsi paling buncit yang bisa kupikirkan. Daripada kejadian, lebih baik untuk Mia saja.”

Kencana mengerjapkan mata. Rasa-rasanya ia harus menyerah kali ini.

“Ya, nanti Mama bicarakan dulu dengan Papa,” desahnya kemudian.



Semalam keputusan besar sudah dibuat. Kencana akan melepaskan Han’s Food untuk benar-benar secara penuh dikemudikan dan dikembangkan Rika. Ia akan tetap di Nuansa Ayu, menunggu hingga Mia benar-benar siap diserahi tongkat estafet kepemimpinan. Tapi satu hal Kencana tak mau berkompromi. Rika tetap memiliki saham di Nuansa Ayu. Tak bisa lepas begitu saja. Sebuah penyelesaian yang dirasa cukup adil oleh Rika.

Dan, di sinilah ia sekarang. Menjalani hari terakhirnya di Nuansa Ayu dengan menandatangani beberapa dokumen, sekaligus membersihkan kantornya dari barang-barang pribadi. Beberapa sudah dipindahkan ke kantornya yang satu lagi. Kantor pusat Han’s Food di daerah Kebon Sirih.

Menjelang jam istirahat makan siang, semua pekerjaannya sudah selesai. Tidak ada acara pelepasan dirinya secara resmi. Hanya saja ia sudah mengirim email ke semua staf Nuansa Ayu, berisi pamitannya dari perusahaan itu.

Baru saja hendak beranjak, ponselnya berbunyi. Rika segera meraih tas untuk mengambil ponsel itu.

‘Kamu lagi di mana?’

Dibacanya pesan itu. Dari Bismaka. Ia kemudian membalasnya. ’Lagi di Pasar Rebo. Kenapa?’

‘Wah, kebetulan! Makan siang bareng, yuk!’

‘Tumben....’ Rika tersenyum lebar.

‘Hehehe... iya, aku lagi di Cijantung, . Gimana? Okekah?’

‘Boleh, deh.’

Setelah menentukan tempat mereka bertemu untuk makan siang, Rika pun meraih kunci mobilnya. Tak lupa, ia menghampiri ruang kerja Kencana di sebelah ruang kerjanya. Setelah berpamitan, ia pun segera turun ke parkiran mobil dengan membawa sebuah kardus, kemudian meluncur ke bilangan Cijantung, ke sebuah pusat jajan yang ada di sana.

* * *

Bismaka segera menyimpan gawainya begitu melihat Rika muncul. Rasanya senang sekali berhasil menyisihkan sedikit waktu untuk makan siang bersama gadis itu di tengah kesibukannya bekerja. Apalagi pada saat yang sama, Rika pun sedang punya waktu luang. Dari kejauhan, gadis itu melambaikan tangan, sembari melangkah cepat menghampiri Bismaka.

Sorry, telat. Pas pamitan, malah diajak ngobrol sebentar sama Mama.” Rika menghenyakkan diri pada kursi di seberang Bismaka.

“Nggak apa-apa. Aku rada santai hari ini. Tadi jam sepuluh ada meeting sama klien di Simatupang. Nanti jam dua meeting lagi sama klien lain Di  sekitar sini aja, sih.”

Meeting teruuus....” Rika tertawa kecil di ujung ucapannya.

Bismaka tergelak ringan. Mereka segera memesan makanan dan minuman. Setelah itu, Bismaka bergerak cepat ke kasir untuk membayarnya, dan kembali lagi ke depan Rika. Keduanya kemudian asyik mengobrol. Bismaka takjub dengan cahaya riang yang berlompatan keluar dari mata Rika ketika gadis itu menceritakan keputusan besar ibunya.

“Jadi, mulai siang ini, aku sudah resmi lepas dari perusahaan,” pungkas Rika. “Aku hanya aktif di food truck saja. Aku juga butuh waktu buat diriku sendiri.”

Bismaka menanggapinya dengan simpulan senyum lebar. Senang sekali rasanya melihat Rika sudah keluar dari naungan awan kelabu yang seolah ada di atas kepalanya belakangan ini.

“Berarti kita bisa lebih sering ketemuan di food truck, ya?” ujar Bismaka, antusias.

Rika sempat ternganga sejenak. Tapi melihat ekspresi riang Bismaka, ia pun tersenyum lebar. Walaupun tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Untung saja sejenak ada jeda dalam obrolan mereka karena pesanan mereka sedang disajikan. Ketika pramusaji sudah meninggalkan mereka, mau tak mau Rika teringat berakhir di mana obrolan mereka baru saja.

“Wah, berarti aku bisa dapat gratisan aneka penyetan, ya, kalau kamu lagi ada di truk?” celetuknya dengan nada jenaka.

Seketika Bismaka tergelak.

“Boleh... Boleh.... Barter sama tumpeh-tumpeh, ya?” ujarnya, di sela tawa.

Mulut Rika sudah terbuka, hendak menanggapi gurauan Bismaka. Tapi sebuah tepukan lembut di bahu kirinya membuatnya batal berucap. Dan, ketika melihat siapa yang baru saja menepuk lembut bahunya, seketika bibir Rika terkatup.

“Hai! Kebetulan ketemu di sini.” Pingkan, adik Andries, tersenyum manis.

Rika masih terlalu kaget. Tapi dibalasnya juga senyum itu. Kikuk.

“Sama siapa, Ke?” tanyanya kemudian, retoris. Sama seperti keluarga Andries lainnya, ia pun memanggil Pingkan dengan nama Keke.

“Sama misua-lah....” Pingkan tertawa ringan. “Tuh, lagi bayar makanan.”

“Duduk sini saja,” ujar Bismaka. “Penuh, tuh, tempat lainnnya.”

Tanpa banyak kata, Pingkan menghenyakkan diri di sebelah Rika. Sedetik kemudian ia melambaikan tangannya pada sosok seorang laki-laki muda yang sedang antre di depan kasir.

“Lagi istirahat siang kalian, ya?” celetuk Pingkan, dengan nada akrab. Ia cukup mengenal Bismaka, karena menjadi pelanggan truk penyetan pemuda itu. Pernah beberapa kali bertemu dan sempat mengobrol. Karenanya Bismaka didapuk juga untuk mengisi slot truk di resepsi pernikahannya beberapa bulan lalu.

“Iya, kebeneran punya waktu sinkron,” jawab Bismaka. “Temen, tapi susah banget ketemuannya.”

Pingkan tertawa ringan. Sementara itu, dalam hati Rika menyumpah-nyumpah. Ia sama sekali belum siap bertemu dengan keluarga Andries dalam kondisi seperti itu. Apalagi, sudah kedua kalinya ini Pingkan memergokinya tengah berdua dengan pemuda yang sama.

“Aku sebetulnya mau bikin janji sama kamu, Rik,” ujar Pingkan. Kali ini dengan wajah serius. “Aku mau bikin merek kosmetik sendiri untuk jaringan salonku di pabrikmu. Masih bisa, nggak?”

“Oh, nanti aku bilang Mama, deh, supaya kirim tim marketing ke tempatmu. Tinggal bilang saja mau ketemuan di mana.”

“Langsung sama kamu saja, nggak bisakah?” tawar Pingkan.

“Mm.... Aku sudah nggak di Nuansa Ayu lagi, Ke,” jawab Rika, dengan ekspresi menyesal.

Sejenak pembicaraan itu terjeda karena hadirnya Maxi, suami Pingkan. Setelah saling bertukar sapa dan kabar, Pingkan kembali menatap Rika.

“Memangnya kamu keluar dari sana? Bukannya Nuansa Ayu bakalan kamu yang pegang?” Pingkan mengerutkan kening.

Rika menggeleng. “Aku mau fokus di kuliner saja, Ke. Nanti biar adikku saja yang nerusin pegang Nuansa Ayu.”

“Oh....” Bibir Pingkan membundar tanpa suara.

Sejenak kemudian pembicaraan mereka beralih ke hal lain. Rika berusaha ikut terlibat di dalamnya. Untungnya Maxi dan Bismaka seolah punya frekuensi yang sama. Obrolan mereka nyambung, dengan sesekali melibatkan Rika dan Pingkan.

Menjelang pukul satu, Maxi dan Bismaka menyudahi obrolan itu. Maxi menoleh ke arah Pingkan.

“Kamu jadi ke rumah Mama atau pulang ke Cikarang?” tanyanya.

“Ke rumah Mamalah...,” jawab Pingkan mantap. “Kamu langsung saja balik ke Cikarang. Nanti sore biar aku pulang diantar sopir Papa.”

“Ya, sudah, pesen taksi dulu, aku tungguin.”

“Eh, pesen taksi segala,” sela Rika, otomatis, tanpa berpikir dulu. “Sini, aku anterin!”

Pingkan dan Maxi sama-sama menatapnya sebelum keduanya bertukar pandang. Pada detik itu, Rika seolah menyadari ucapannya yang meluncur begitu saja, seolah tanpa melewati saringan di otaknya.

“Nggak apa-apa?” Pingkan memastikan.

Rika mengerjapkan mata. Kepalang basah!

“Ya, enggaklah,” jawabnya kemudian. “Aku bawa mobil sendiri, kok, nggak nebeng Bimbim tadi.”

“Gimana, Yang?” Pingkan menatap Maxi.

Tapi laki-laki muda itu menyerahkan keputusan padanya. Akhirnya Pingkan mengangguk. Rika menatap Bismaka.

“Bim, cabut dulu, ya. Makasih traktirannya,” senyumnya.

“Nanti sore ke truk mana?” Bismaka masih sempat menahannya sejenak.

“Kayaknya hari ini enggak.” Rika menggeleng. “Nanti jam tiga aku sudah janji mau jemput Mia. Mau ke rumah Eyang, sekalian mampir menengok Opa.”

“Oh....” Bismaka manggut-manggut. “Ya, deh! Nanti-nanti aku WA kamu lagi, ya?”

Mereka kemudian berpisah.

Satu kalimat yang diucapkan Pingkan kemudian nyaris membuat Rika hilang kendali saat mulai meluncurkan mobilnya.

“Aku senang kamu sudah dapat pengganti Andries secepat ini,” gumam Pingkan.

Lalu, frasa yang tanpa bisa dicegah menggema berkali-kali dalam benak Rika adalah ‘secepat ini’. Membuat seluruh pikiran dan ucapannya seolah terkunci.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar