Jumat, 17 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #11-2 – 12 (Tamat)











* * *


Dalam remang lampu kecil di bawah tenda yang menaungi bagian belakang truknya, Rika menatap kejauhan. Pada sosok Bismaka yang tengah duduk sendiri, entah memikirkan apa.

Ia belum lama berada di situ. Beberapa menit lalu, begitu melihat mobil Bismaka ada di tempat parkir, ia memutuskan untuk memutar rutenya. Berlari-lari kecil supaya bisa menghindari Bismaka, yang ia yakin duduk tak jauh dari truk penyetan seperti biasanya. Perkiraannya benar. Pemuda itu duduk di salah satu tempat untuk berdua di bawah pohon trembesi. Tenda payung lebar sudah dibentangkan, membuat pemuda itu aman dari siraman rintik hujan.

Tak bisa lagi ia mengingkari hatinya sendiri. Ia merindukan pemuda itu. Sudah cukup lama menyadarinya. Rindu pada obrolan mereka, rindu pada canda yang setiap saat bisa terhambur begitu saja di udara, rindu pada tatapan teduh Bismaka, rindu pada senyum Bismaka yang selalu menenangkan dan menyejukkan hati.

Tapi apakah dia punya perasaan yang sama?

Sekilas-sekilas pesan-pesan pendek yang dikirimkan Bismaka muncul dalam benaknya. Menanyakan kabar, menanyakan posisinya, mengingatkan supaya ia tidak telat makan, mengingatkan agar ia tidak memforsir diri. Namun, tak satu pun mencetuskan perasaan Bismaka.

Apakah dia juga rindu padaku?

Rika menggeleng samar. Ia tidak tahu. Lebih tepatnya, ia tak mau salah sangka, tak mau gede rasa. Dihelanya napas panjang.

Samar, didengarnya suara yang cukup dikenalnya bercakap-cakap di truk. Ia mencoba mengintip melalui jendela kaca kecil yang ada di dekatnya. Di bawah terangnya cahaya lampu yang ada di depan counter, terlihat olehnya sosok Pringgo tengah memesan sesuatu pada kasir. Ditunggunya sebelum Pringgo beranjak, sebelum ia berdiri dan melangkah memutari setengah badan truknya.

“An, baru saja Om Pringgo ngapain?” tanyanya pada Antin, kasirnya.

“Biasa, Mbak. Pesan cwimie.”

“Nanti balikin saja duitnya.”

“Oh, oke, Mbak.” Antin mengacungkan jempol.

Lalu, Rika kembali ke tempatnya semula. Memuaskan diri menatap sosok Bismaka yang sedikit kabur karena adanya tirai rintik hujan. Kini, sosok itu tak lagi duduk sendirian. Ada ayahnya yang menemani. Tampak keduanya asyik mengobrol. Entah tentang apa. Ia pun mengalihkan tatapan dan kembali merenung.

Ia mencintai Andries? Ya. Tak sekadar berlembar-lembar perasaan kasihan. Ia belajar banyak hal dari Andries. Kesabaran yang lebih, ketegaran, semangat juang, kerja keras, tanggung jawab, ketenangan dalam menghadapi berbagai hal, dan juga bagaimana harus bersyukur dalam setiap situasi. Sedangkan Bismaka adalah sosok yang sama sekali lain, walaupun ia mendapati banyak hal yang sama. Ia tak ingin membandingkan, tapi ia juga bisa melihat bahwa Bismaka pun adalah seorang pejuang.

Bismaka adalah seorang pemuda yang ulet, pekerja keras, realistis, tak pernah terlena oleh kemapanan yang ditawarkan oleh kedua orang tuanya. Ia juga sangat bertanggung jawab terhadap jalan hidup yang sudah dipilihnya sendiri. Selalu terlihat riang dan bersemangat. Dua hal yang menulari Rika sejak keduanya makin dekat berteman. Membuat Rika lebih cepat mengeluarkan diri dari rasa berkabungnya.

“... Bimbim. Mama bisa rasakan bahwa dia juga pemuda yang sangat baik. Cocok sekali untukmu.”

Rika mengerjapkan mata ketika suara Sonia terngiang di telinganya.

“... Masa berkabungmu sudah habis. Andries harus pergi, memang itu yang terbaik buat dia. Yang tertinggal adalah kita, kamu, dengan kehidupan yang terus berlanjut. ...”

Benarkah? Rika kembali mengerjapkan mata. Harus bagaimana memulainya? Sedangkan....

“Rik....”

Seketika ia mendongak. Mata bulat besarnya terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri di depannya. Benar-benar ada di hadapannya.

“Rik....” Bismaka masih menatapnya. Dengan kerlip berlompatan keluar dari matanya. “Apa kabar?”

Seluruh perbendaharaan kata dalam benak Rika seolah menguap tanpa sisa. Ia masih mendongak. Menatap Bismaka. Dengan kerinduan yang tak lagi bisa disembunyikan. Pendar-pendar kerinduan itu pun mulai berlompatan keluar dari matanya. Bergandengan dengan kerlip Bismaka dan mulai menari-nari di sekitar mereka.

“Rik, aku kangen sama kamu.”

Ucapan lirih Bismaka itu seolah mengandung kekuatan sihir yang menarik kembali isi benak Rika. Ia mengerjap.

“Aku... juga kangen... sama kamu, Bim.”

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja keduanya sudah saling tenggelam dalam pelukan.

* * *


Dua Belas


Rika dan Kencana saling bertatapan melalui cermin. Kencana sempat beberapa kali mengerjapkan mata. Mengusir telaga bening yang sempat menggenang,

“Kamu sudah siap?” bisik Kencana, setengah tersendat.

Rika mengangguk. Mantap.

Sejak awal, pada saat ia menyadari bahwa Bismaka adalah laki-laki yang tepat untuknya, ia sudah siap kapan pun Bismaka akan melamarnya. Tak butuh waktu lama, hanya tiga bulan sejak mereka memutuskan untuk belajar melangkah bersama. Beberapa hari lewat dari peringatan setahun berpulangnya Andries. Ia mengangguk tanpa banyak pernik ketika Bismaka menyodorkan sebuah cincin bermata berlian tiga setengah karat dan menanyakan apakah ia bersedia selamanya menjadi belahan jiwa pemuda itu.

Lalu, keduanya mempersiapkan pernikahan setelah keluarga Bismaka datang untuk melamarnya secara resmi, sambil menunggu Bismaka menyelesaikan program S-2-nya. Wisuda Bismaka sudah berlangsung dua minggu yang lalu. Dan, hari ini adalah hari pernikahan mereka.

Rika kembali menatap pantulan dirinya pada cermin. Sudah berias cantik dengan paes adat Jawa-Solo, dengan tubuh bagian atas dibalut kebaya brokat panjang berwarna putih. Ibunya juga tampak cantik dalam rias dan sanggul tradisional Jawa, dengan tubuh rampingnya dibalut kebaya berwarna merah hati dan jarik truntum garuda berprada warisan keluarga.

“Yuk, Pakde Nanan dan Pakde Denta sudah menunggu di gereja,” ucap Kencana halus. Menyebut dua nama pastor yang akan memberkati pernikahan Rika dan Bismaka.

Rika pun berdiri.

* * *

Di kamar sebelah, bekas kamar Neri, Bismaka memasrahkan dirinya untuk didandani sesuai adatnya dan Rika. Setelah memakai jarik yang ikatannya cukup ketat di pinggang, orang yang meriasnya membantunya memakai beskap berwarna putih. Beberapa belas menit kemudian, penampilannya sudah sempurna.

Tak jauh darinya, Neri pun tampak sudah siap. Pemuda itu mengenakan jarik juga, dengan tubuh bagian atas dibalut surjan berwarna merah hati, warna seragam keluarga, dilengkapi blangkon di kepala. Tampak sibuk dengan gawainya.

Bismaka baru dua kali kali ini bertemu secara langsung dengan Neri. Pemuda yang tinggal di seminari itu memang tak bisa seenaknya pulang ke rumah. Pertama mereka bertemu adalah saat keluarganya datang melamar Rika secara resmi. Kedua kalinya adalah hari ini, hari pernikahannya dengan Rika.

“Titip putriku Rika. Cintai dan sayangi dia, jagalah baik-baik.”

Sejenak Bismaka tercenung. Teringat akan mimpinya semalam. Saat menatap Neri sekali lagi, barulah ia sadar seutuhnya siapakah yang ‘berpesan’ kepadanya itu. Laki-laki dalam mimpinya mirip sekali dengan Neri.

Mendiang ayah Rika dan Neri.... Begitulah kesimpulan yang ia ambil. Dengan perasaan merinding, sekaligus lega. Karena tampaknya mendiang ayah Rika pun merestui pernikahan itu.

Samar, dihelanya napas panjang. Tugas berat sudah menunggunya. Menjaga baik-baik belahan jiwanya. Tapi ia tak pernah merasa gentar. Ia sudah memilih untuk mengambil tanggung jawab itu. Ia mencintai Rika. Mengasihi gadis itu. Seutuhnya dengan segala lembar kehidupannya di masa lalu.



“Aku masih ingin tetap mengunjungi makam Andries sesekali. Bolehkah?” Tatapan Rika beberapa saat setelah ia melamar gadis itu tampak penuh harapan.

Tak ragu, Bismaka mengangguk. Bukankah ia makin dekat dengan Rika karena Andries juga?

“Lakukan apa yang kamu mau,” jawabnya kemudian. “Seperti itulah aku ingin mencintaimu.”



“Oke, kita sudah siap,” ujar periasnya. Laki-laki kemayu itu menoleh ke arah Neri. “Gimana, Mas? Mbak Rika-nya sudah siap atau belum?”

“Sudah,” angguk Neri. “Baru saja Mama WA, di kamar sebelah juga sudah siap.”

Bismaka pun dibimbing keluar dari kamar. Mereka berdua akan bersama-sama berangkat ke gereja. Ketika pintu kamar dibuka Neri, mendadak saja Bismaka merasa jantungnya berdentam lebih cepat dan keras.

* * *

Di belakang Nanan dan Denta, Rika berjalan perlahan di atas karpet merah, yang terbentang dari pintu gereja hingga ke depan altar. Tangannya menggenggam erat sebuah buket bunga lili segar. Sosok Bismaka terlihat gagah dan tampan di sebelahnya. Mereka melangkah bersisian diiringi kedua pasang ibu dan ayah, Neri dan Mia, serta didampingi perias pengantin dan seorang asistennya.

Rika merasa sangat terharu ketika sekilas melayangkan tatapan ke seluruh penjuru gereja. Segenap keluarga besarnya hadir pada misa pemberkatan pernikahan itu.

Hatinya terasa hangat ketika mendapati Ndari, dan Jati sudah duduk di bangku paling depan sebelah kiri. Keluarga dari pihak ayah kandungnya duduk di sebelah Jati. Ada Stella dan Vito dengan busana masing-masing sebagai biarawati dan pastor, dan Paul. Opa Paul-nya duduk di kursi roda. Entah bagaimana caranya, pada beberapa waktu terakhir menjelang pernikahan Rika, laki-laki renta itu bisa mengingat dengan jernih beberapa episode kehidupan sang cucu keponakan, sekaligus turut berbahagia atas persiapan pernikahan itu. Membuat Rika merasa sangat terberkati.

Di deretan kedua, ada Oma Lidya dan Opa Johan-nya. Keduanya adalah orang tua Owen. Duduk bersebelahan dengan keluarga adik Owen: Ussy, Arnold suaminya, dan ketiga putra-putri mereka.

Di deretan ketiga ada eyang-eyang Bismaka. Masih lengkap berempat, baik dari pihak ibu maupun ayahnya. Datang jauh-jauh dari Jogja dan Semarang. Keluarga besar Bismaka lainnya menempati bangku hingga deret kelima.

Keluarga besar Undap ada di deretan keenam. Formasinya sangat lengkap. Harvey dan Sonia, keluarga kecil Nicholas, serta Pingkan dan Maxi.

Tim kor yang duduk di bangku deretan kanan pun turun dengan pasukan lengkap. Mulai dari anggota senior hingga anak-anak. Pun kerabat, sahabat, dan teman-teman lainnya, baik dari pihaknya maupun Bismaka, duduk menyebar di seluruh penjuru gereja.

Dan, beberapa saat kemudian, dengan dimulainya misa pemberkatan pernikahan itu, lembar kehidupan baru Rika dan Bismaka pun dimulai.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I

Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Catatan:
Terima kasih banyak kepada semua pembaca blog FiksiLizz atas kesabarannya mengikuti cerbung ini hingga selesai. Mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan.
Sampai jumpa lagi pada cerita berikutnya....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar