Rabu, 15 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #11-1











* * *


Sebelas


Sudah terlalu lambat untuk menyadari bahwa ucapannya tempo hari, sekitar tiga bulan lalu, adalah salah. Salah besar! Saat itu Bismaka menyatakan takut kehilangan dirinya. Sekarang, justru dirinyalah yang kehilangan Bismaka. Setelah dengan cepat, begitu saja, tanpa berpikir lebih dulu, menjawab, “Maaf, Bim. Aku belum bisa.”

Rika menyandarkan punggungnya. Menatap langit kelabu menjelang sore yang sarat titik-titik hujan di luar jendela kantor.

Sudah terlalu lambat pula untuk menyadari bahwa ia sedemikian bodoh. Teman sebaik Bismaka sangat susah didapatkan. Apalagi teman yang kemudian menginginkan hal ‘tak lagi sekadar teman’. Keinginan yang sebetulnya sama dengan yang tersimpan di sudut hatinya sendiri. Keinginan yang terpaksa ia ingkari karena faktor waktu. Faktor yang ia ciptakan sendiri batasannya.

Dihelanya napas panjang.

Sejak kejadian itu, ia memang sengaja menghindari Bismaka lagi. Pemuda itu masih mengirimkan pesan sesekali. Menanyakan posisinya pada saat yang sama. Terkadang ia membalas, terkadang juga tidak. Hingga ia sampai pada satu titik. Titik di mana ia menemukan bahwa ia merindukan pertemuan dengan pemuda itu.

Beberapa kali dilihatnya hanya ada Pringgo di truk-truk Erbim. Terkadang sendiri, terkadang bersama istri tercintanya. Sesekali ia menyapa, tapi lebih sering menghindar dan berusaha tak menampakkan diri. Hingga ia kepergok tiga hari lalu. Ketika sedang mengecek mesin kasir, dan Pringgo datang untuk memesan cwimie.



“Wah, Rik, jarang banget lihat kamu sekarang,” ucap Pringgo. “Sibuk banget, ya?”

Ia mengulas senyum. Terpaksa keluar dari truk dan menghampiri Pringgo. Dia mengucap salam dan menjabat tangan laki-laki itu.

“Ya, begitulah, Om,” jawabnya ketika Pringgo menanyakan kembali kesibukannya. “Berhubung sekarang saya sudah full di usaha kuliner ini, jadi saya banyak melakukan pembenahan. Otomatis waktu saya cukup tersita untuk itu. Apalagi sekarang lagi nego lokasi dan harga slot untuk tambah armada di tempat baru.”

“Yang di Cikarang itu?”

“Betul, Om.”

Pringgo menghela napas panjang. Tatapannya terlihat sedikit menerawang.

“Bimbim dan aku belum deal soal itu,” ujarnya kemudian, sedikit menggumam. “Aku, sih, ingin. Kesempatan emas, kan? Dananya juga ada. Tapi Bimbim keburu fokus sama program magisternya. Jadi, ya, terbengkalai.” Pringgo mengedikkan bahunya.

“Oh, Bimbim daftar program S-2?” Rika melebarkan matanya.

“Lho, dia nggak cerita sama kamu?” Pringgo menaikkan alisnya.

Rika hanya bisa menggeleng. Sejauh itu sudah jarak yang terbentang di antara dirinya dan Bismaka.

“Belakangan ini kami nggak pernah bertemu, Om. Sudah beberapa minggu.”



Ucapan Sonia dua hari lalulah yang membuatnya didera penyesalan.



“Sudah lebih dari cukup, Rika.” Ujaran Sonia terdengar begitu halus di telinga Rika. “Yang kamu lakukan untuk Andries dan kami sudah lebih dari cukup. Andries bahagia bersamamu pada saat-saat terakhir hidupnya, kita semua tahu itu. Mama sangat bisa merasakannya. Sekarang tinggal kamu. Sudah hampir setengah tahun Andries pergi. Seharusnya masa berkabungmu sudah lama usai. Bahkan seharusnya sudah usai sejak berbulan-bulan lalu. Sejak Andries dimakamkan. Pemuda yang tempo hari Mama lihat itu? Siapa namanya? Yang punya food truck sama sepertimu itu?”

“Bimbim?”

“Ah, ya! Bimbim!” suara Sonia terdengar begitu antusias. “Gimana kabarnya?”

Dan, ia hanya bisa menggeleng. Membuat Sonia menatapnya dengan sorot mata menyesal.

“Rik,” ucapnya kemudian, “bagi Andries, gadis sebaik kamu itu sangat susah dicari. Begitu pula Bimbim. Mama bisa rasakan bahwa dia juga pemuda yang sangat baik. Cocok sekali untukmu.”

“Dia....” Rika mendegut ludah. “Dia... beberapa minggu lalu... ingin meningkatkan status hubungan... dengan saya. Tapi... saya....” Rika menggeleng. “Rasanya masih terlalu cepat.”

“Rika....” Seketika Sonia menggeser duduknya. Mengulurkan kedua tangannya dan menggenggam erat jemari Rika. “Dengar Mama, sekali lagi, masa berkabungmu sudah habis. Andries harus pergi, memang itu yang terbaik buat dia. Yang tertinggal adalah kita, kamu, dengan kehidupan yang terus berlanjut. Tidak ikut berhenti dengan berhentinya napas Andries. Jangan pernah merasa bahwa rentang waktumu masih terlalu pendek untuk menengok ke arah yang lain. Kamu berhak melanjutkan hidup, berhak untuk bergaul, berhak untuk menikmati kehidupan sosialmu, dan berhak untuk memperoleh kebahagiaan baru.”

Seketika itu juga ia menyesali keputusannya untuk menunda pertemuan dengan Sonia. Karena....



Rika menggeleng samar. Seandainya waktu bisa diputar kembali.... Dengan nelangsa, ditatapnya tetes-tetes hujan yang mulai turun.

* * *

Sedikit banyak kesibukannya berkerja, mengurus usaha kuliner, dan mempersiapkan diri untuk kembali duduk di bangku kuliah bisa mengurangi bayangan wajah Rika dari benak Bismaka. Tapi tak sepenuhnya. Karena bayangan sosok gadis itu sudah telanjur menancap begitu kuat pada setiap ujung syaraf rasanya.

Pada setiap kunjungannya ke truk, ia berharap bisa menemukan wajah Rika terselip di bawah bayang-bayang puluhan tenda. Tapi nihil. Gadis itu kembali hilang bak ditelan bumi. Beberapa belas kali dicobanya untuk mengirimkan pesan pendek. Sekadar bertanya kabar dan posisi. Sayangnya, terkadang dijawab, terkadang tidak. Kalaupun ada jawaban, selalu saja gadis itu sedang berada di luar jangkauan. Pun setiap kali ia memarkir mobilnya di area parkir khusus pengelola truk, kedai, dan tenda. Dicobanya untuk menatap berkeliling. Tapi kendaraan yang biasa dipakai Rika tak juga terlihat.

Pada satu sisi, hatinya berseru-seru agar ia pasrah dan mencoba berpaling ke arah lain. Mengirimkan isyarat bahwa mungkin gadis itu bukanlah belahan jiwanya. Tapi, sisi lainnya tak kalah garang melarang. Mengingatkan bahwa ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Menyuruhnya tetap memelihara api harapan yang kian hari kian redup nyalanya.

Suara tetes-tetes air yang beradu dengan tenda menarik Bismaka keluar dari lamunannya. Gelapnya langit datang lebih cepat karena hiasan mendung yang terlihat rata. Ia menoleh ketika melihat ayahnya berlari-lari kecil menghampirinya.

“Papa pesankan cwimie,” ucap Pringgo, mengulum senyum. “Kayaknya enak banget hujan-hujan begini makan cwimie.”

“Kebetulan, aku lagi lapar.” Bismaka tersenyum lebar.

“Papa mau tanya sesuatu, boleh?” Pringgo menatap putra tunggalnya itu. Dalam-dalam.

“Boleh saja.” Bismaka mengangguk, walaupun dengan sorot mata tampak kurang yakin.

“Kamu nggak pernah kasih tahu Rika kalau kamu mau lanjut S-2?”

Seketika Bismaka kembali mengembangkan senyumnya. Ia menggeleng.

“Aku kira soal apa.” Ia menanggapi dengan nada menggerutu. “Enggak. Kan, belakangan ini memang nggak pernah ketemu.”

“Sebetulnya, hubunganmu dengan dia itu seperti apa, sih?” Pringgo mengerutkan kening. “Mamamu ngotot ada apa-apa di antara kalian. Tapi, Papa lihat....” Pringgo mengedikkan bahu.

Bismaka mengulum senyum. Selintas pikiran hadir di benaknya. Aturan pertama, Mama selalu benar. Aturan kedua, lihat aturan pertama. Ia kembali menggeleng samar.

“Mama benar,” jawabnya kemudian, dengan suara nyaris tak terdengar. “Setidaknya, aku ingin seperti itu. Nggak sekadar teman. Susah dijelaskan. Karena menyangkut rasa.”

“Tapi?” Pringgo makin menyelidik.

Bismaka mengangkat bahu. “Ya, Papa kira-kira tahu sendirilah arah anginnya tiba-tiba saja berbelok ke mana.”

“Perempuan itu memang susah dimengerti,” gumam Pringgo. “Bahkan, bertahun-tahun Papa jadi suami Mama, masih juga kadang-kadang meleset dalam hal memahami Mama.”

Bismaka tersenyum samar. Sepanjang hidupnya, ia memang pernah beberapa kali menjumpai ayah-ibunya berselisih paham. Tapi, selalu ada cara untuk akur kembali.

Pada saat itu, salah seorang pramusaji truk cwimie Han’s datang mengantarkan pesanan Pringgo. Nafsu makan Bismaka segera tergugah ketika melihat mangkuk-mangkuk cwimie yang masih mengepulkan asap tipis di atas nampan. Lengkap dengan aroma sedapnya.

Setelah menghidangkan dua mangkuk cwimie, pramusaji itu menyerahkan struk, disertai sejumlah uang, kepada Pringgo. Ucapannya membuat waktu di sekeliling Bismaka seolah membeku.

“Pak, ini pembayaran pesanan Bapak. Sama Mbak Bos disuruh mengembalikan.”

Bersamaan dengan itu, ada kilat yang menyambar di kejauhan. Cahayanya cukup mencairkan kembali waktu di sekitar Bismaka. Ia melengak.

“Rika ada?” tanyanya.

“Ada, Mas. Baru saja datang.”

Tanpa berkata apa-apa lagi, Bismaka segera bangkit dan meninggalkan kursi, makanan, dan ayahnya. Berlari menembus rintik hujan yang makin rapat. Menuju ke truk Rika.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar