Senin, 10 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #6-2











* * *


Endra benar-benar tak bisa berkonsentrasi mengikuti jalannya cerita film itu. Berkali-kali Joya menyembunyikan wajah di lengannya, berkali-kali pula ia terlambat menyadari adegan menyeramkan apa yang sedang terpampang di layar lebar bioskop. Semuanya karena....

Ini kali kedua dia nonton midnight sama Bimbim. Kali kedua kupergoki. Yang nggak ketahuan sudah berapa kali?

Tapi Endra buru-buru menepis pikiran buruknya. ‘Memergoki’ atau kata yang setara tentunya kurang pas. Toh, hingga detik ini Ingrid belum menjawab ‘lamaran’-nya. Jadi tetap saja hubungannya dengan Ingrid masih ada di titik tanpa status.

Dan, mungkin dia sebetulnya sudah jadian sama Bimbim.

Pikiran buruknya terus berlanjut. Ia buru-buru menepisnya lagi. Kali ini mencoba menggantinya dengan pikiran optimis.

Tapi, barangkali nasib Bimbim pun sama digantungnya seperti aku.

Endra meringis dalam hati.

Kalau dia juga suka nonton midnight, kenapa nggak aku ajak saja sesekali? Biar nggak midnight-an sama Bimbim terus.

Seolah mendapati ada bola lampu menyala terang dalam pikirannya, Endra tersenyum samar. Apalagi besok siang ada kesempatan untuk ‘berkencan’ dengan Ingrid.

* * *

Ingrid menoleh sekilas ketika Bimbim berusaha meraup segenggam pop corn yang wadahnya ada di pangkuan Ingrid. Buru-buru disodorkannya wadah itu. Adegan di layar sedang menurun sedikit tensinya, walaupun tetap asyik untuk dinikmati.

“Ngomong-ngomong,” bisik Ingrid, “pesta ulang tahun Zora Sabtu depan pukul berapa?”

“Oh, pukul empat sore,” jawab Bimbim dengan suara rendah.

“Habis itu nonton midnight lagi, yuk!”

Bimbim menoleh sekilas. Tersenyum lebar.

“Yang trailer tadi itu? Yang drama pembunuhan?”

Ingrid mengangguk. “He eh. Aku yang bayar.”

“Halah.... Nggak usah, aku saja.”

“Ish! Masa Mas Bimbim bayarin terus? Aku yang bayar, ah!”

“Ya, deh, aku tiketnya, kamu pop corn sama minuman ringannya.”

Deal!” wajah Ingrid tampak puas.

Perhatian mereka kembali beralih ke layar. Tensi cerita mulai naik lagi karena adegan perang antar galaksi seri kedua segera pecah.

* * *

Nonton midnight lagi?

Bimbim merasa dadanya sesak karena terlalu gembira. Apalagi kali ini Ingrid yang berinisiatif untuk mengajaknya. Apalagi filmnya thriller­ lagi. Apalagi slotnya yang midnight. Semua itu adalah hal yang disukainya.

Setelah seminggu bekerja keras, ia merasa berhak untuk menyenangkan diri sendiri seperti ini. Apalagi Ingrid yang sudah diseretnya untuk menikmati pula kesenangan itu tampak sangat menikmatinya. Kalau cuma untuk makan di luar, nonton midnight, membeli pop corn dan minuman ringan, ia masih punya lebih dari cukup uang. Tapi ia memahami Ingrid. Membiarkan Ingrid sekali-sekali terlibat mendanai kesenangan mereka tentunya bisa membuat hati gadis itu jadi lebih lega, dan mereka bisa lebih menikmati lagi kebersamaan itu.

Diam-diam, ada perasaan menang ketika mendapati Endra menjumpai kebersamaannya dengan Ingrid. Sungguh, ia tak tahu seperti apa sebenarnya hubungan Ingrid dengan Endra. Bertanya pada Ernest? Sahabatnya yang satu ini sehari-harinya sangat sibuk sehingga kurang bisa memantau keseharian adik bungsu kesayangannya.

Lagipula Endra sudah punya gandengan. Masa iya, masih mau melirik Ingrid? Tapi... kelihatannya dia dan Ingrid pun cukup dekat.

Ingatannya melayang pada kejadian beberapa hari lalu, saat sore-sore ia mendapati Ingrid dan Endra hendak melewatkan waktu di taman. Tapi, harapannya kembali merambat naik saat ini. Saat mendapati Endra ‘kepergok’ nonton midnight berdua dengan seorang gadis cantik nan modis.

Ayolah, In.... Terima cintaku. Please....

Gerakan Ingrid menyentakkan Bimbim. Gadis di sebelahnya itu kini menyembunyikan wajah di lengan kirinya. Adegan seram kembali terpampang di layar. Dari semua film horor atau menegangkan yang pernah ia tonton bersama Ingrid, adegan seram selalu ditunggunya mengudara. Karena itu artinya Ingrid akan buru-buru menyembunyikan wajah di salah satu lengannya. Membuat lengannya terasa hangat, yang kemudian rasa itu menjalar sampai ke dalam hati. Seperti detik ini.

* * *

Joya tersenyum menatap wajah lesu sepupunya. Ingrid dan Bimbim baru saja berlalu dengan mobil mungil yang mereka tumpangi, sementara mereka berdua masih berada di teras luar bioskop. Telapak tangan kanannya kemudian menengadah, membuat Endra menoleh dan menatapnya penuh tanya.

“Sini kunci mobilmu, Mas,” ujarnya.

“Ngapain?” Endra mengerutkan kening.

“Sini, aku saja yang menyetir,” Joya menyimpulkan senyum. “Daripada kita celaka karena Mas kebanyakan melamun di jalan.”

Endra berpikir sejenak sebelum memutuskan untuk menyerahkan kunci mobilnya kepada Joya. Sepupunya yang cantik ini benar. Pikirannya lewat tengah malam ini benar-benar tidak fokus.

Joya kemudian meluncurkan mobil Endra keluar dari area parkir bioskop. Alih-alih mengarahkan mobil ke rumahnya sendiri, ia langsung mengarahkannya ke rumah Endra. Itu pun Endra kelihatan tak menyadarinya. Perjalanan mereka membelah jalanan yang mulai lengang pun berlangsung dalam sunyi. Hanya alunan lembut musik instrumental saja yang menggema dalam kabin mobil.

Endra baru tersentak ketika mobil sudah berhenti, dan Joya menggeratak laci dasbor di depannya. Ia mengerjapkan mata sekaligus mengerutkan kening.

“Lho, kok, pulang?” tanyanya dengan nada bodoh.

“Ya, iyalah, pulang,” Joya tertawa. Ia sudah menemukan kunci gembok pintu gerbang rumah Endra. “Masa mau menginap di parkiran bioskop?”

“Maksudku, kok, nggak pulang dulu ke rumahmu?”

“Enggak, ah! Aku menginap saja,” Joya kemudian membuka pintu mobil, hendak membuka pintu gerbang.

Tapi Endra buru-buru mencegahnya. “Eh, sini! Aku saja!”

“Nah, gitu, dong!” Joya kembali tertawa sambil menyerahkan serenceng kunci.

Endra kemudian keluar dan membuka pintu gerbang, sekalian membuka pintu garasi. Joya pun meluncurkan mobil kembali, sementara Endra kembali ke depan, menutup dan menggembok pintu gerbang.

Keduanya kemudian berjingkat masuk ke ruang dalam. Berusaha untuk tidak menimbulkan suara gaduh. Tapi begitu pintu penghubung garasi dengan ruang tengah terbuka, keduanya ternganga.

Masih ada orang di ruang tengah itu. Ayah Endra tengah duduk santai, sedangkan ibu Endra merebahkan kepalanya di pangkuan ayah Endra. Tampak asyik menikmati tayangan film klasik di televisi layar lebar. Joya buru-buru menghampiri keduanya. Memberikan salam takzim. Ibu Endra pun bangun dan duduk.

“Pakde, Bude, aku mau nginep, ya, malam ini,” ujar Joya di ujung salamnya.

“Ya, sana, pakai saja kamar Kania,” ujar Laras, ibu Endra, tersenyum.

“Jam segini belum tidur?” Endra menjatuhkan diri di sebelah Laras.

“Filmnya bagus, nih,” jawab Norman, ayahnya.

“Bikinin minum Joya, Ndra,” celetuk Laras.

“Nggak usah, Bude,” Joya yang menyahuti. “Aku mau langsung tidur saja, kalau boleh, hehehe....”

“Ya, sudah, sana!” Laras tersenyum lebar.

Joya kemudian berpamitan dan bangkit. Ia melangkah ke lantai atas diiringi Endra.

“Besok anterin aku pulang, ya?” ujar Joya.

“Sekalian pas aku jemput Ingrid saja, ya?”

“He eh,” angguk Joya. “Terserah, deh!”

“Memangnya kamu bawa baju ganti?” Endra tersenyum lebar.

“Baju bekas Mbak Nia, kan, bejibun,” Joya terkekeh.

Keduanya kemudian berpisah. Endra masuk ke kamarnya sendiri, Joya masuk ke bekas kamar kakak Endra.

* * *

Endra merebahkan diri di ranjang dengan resah. Ia seperti terjebak dalam deja vu. Kejadian yang lalu terulang lagi. Lagi-lagi ia merasa terbanting karena berjumpa dengan Ingrid dan Bimbim dalam situasi yang nyaris sama.

Cemburu? Endra meringis. Banget!

Sayangnya, ia tak bisa berbuat apa-apa. Tak berhak berbuat apa-apa.

Belum! Dengan cepat ia meralat pikirannya.

Tapi mengingat Ingrid dengan entengnya menyetujui untuk menemaninya mencari kado, walaupun harus ditunda waktunya, tampaknya antara Ingrid dan Bimbim memang sedang ‘tidak ada apa-apa’.

Semoga benar demikian.

Pikiran itu membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Ia sempat melirik jam dinding yang berpendar dalam keremangan kamar. Menjelang pukul tiga pagi. Ia menguap. Dipersilakannya kantuk menguasai hidupnya saat ini.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Catatan : silakan singgah juga ke cerpen terbaru di blog FiksiLizz ini. Judulnya "Rumah Jacaranda". Terima kasih....