Sabtu, 08 September 2018

[Cerbung] Perangkap Dua Masa #6-1









Sebelumnya



* * *

Enam


Dengan hati riang, Ingrid duduk di kursi sesuai dengan nomor tiket yang dipegang Bimbim. Bimbim selalu siap memberinya fasilitas nyaman dengan memesan lebih dulu tiket bioskop secara daring. Kali ini, mereka berdua duduk di deretan paling belakang, kursi nomor tiga dan empat dari jalur tengah. Benar-benar posisi yang nyaman.

Tadi Bimbim menjemputnya pukul delapan. Tentu saja Bian dan Flora tak segan melepaskan putri bungsu mereka untuk pergi bersama Bimbim. Nonton film midnight sekalipun. Syaratnya cuma dua, nanti harus pulang dengan utuh dan selamat, dan harus memakai mobil.

“Sekarang lagi musim begal,” begitu alasan Bian. “Selesai nonton midnight, kan, masuk jam rawan. Sudahlah, bawa saja mobil Ingrid.”

Daripada izin ke bioskop dibatalkan, Bimbim menuruti saja ucapan Bian.



Setelah berunding akhirnya keduanya memutuskan untuk menunda keberangkatan hingga nanti saja sekitar pukul sepuluh. Toh, tiket sudah di tangan. Untuk melewatkan waktu, Bimbim kemudian mengajak Ingrid untuk jajan di taman. Malam Minggu begini, ramai sekali orang yang berjualan makanan di taman. Bahkan yang sudah jadi pedagang harian tetap pun menambah jam operasional mereka demi mendapatkan rejeki berlebih.

Taman yang cukup luas, terang benderang, dan dilengkapi aneka fasilitas bermain anak-anak dan remaja itu cukup nyaman dan aman. Membuat banyak sekali pasangan muda menghabiskan malam Minggu bersama anak-anak mereka di taman, alih-alih pergi ke mal. Apalagi bersantai di taman terbukti jauh lebih irit daripada main ke mal.

“Wah, jam segini saja orangnya kayak cendol dalam mangkuk,” celetuk Ingrid, membuat Bimbim tertawa.

“Tanggal muda ini, In.”

“Iya juga, ya.”

Food truck juga panen hari gini, In. Biar pusing abangmu sama Sierra.”

“Eh,” tiba-tiba Ingrid seperti ingat sesuatu, “bukannya salah satu food truck dekat sama bioskop, ya?”

“Iya, mau ke sana? Tunggu di sana?”

“Boleh.... Boleh....”

Keduanya langsung berbalik, tidak jadi menikmati suasana taman. Beberapa menit setelah mereka kembali ke rumah Ingrid, Bimbim sudah meluncurkan mobil mungil Ingrid keluar dari garasi.

Bimbim benar. Food truck sedang panen langganan. Dari salah satu bangku yang berhasil mereka dapatkan untuk sekadar duduk tak jauh dari food truck, Ingrid dan Bimbim bisa melihat bahwa pramusaji food truck seolah tak punya waktu untuk beristirahat. Berputar terus melayani pembeli.

“Pantesan cepat balik modal, ya?” gumam Ingrid.

Bimbim tertawa ringan mendengarnya.

“Kalau sudah tahu celahnya, tinggal jalanin, sih, In,” jawabnya, sama sekali tanpa nada sombong.

Ingrid manggut-manggut.

“Eh, kamu mau es krim?”

“Mau! Mau!” seru Ingrid, antusias.

“Ya, deh, kamu tunggu di sini, aku beli es krim dulu. Mau rasa apa?”

“Apa saja aku nggak nolak. Eh, tapi aku ikutlah, Mas.”

“Jangan, kamu tunggu di sini saja. Nanti kalau kita pergi bareng, bangkunya diserobot orang. Lagi ramai begini.”

“Oh, iya, ya.”

Dan, Ingrid ternganga ketika Bimbim kembali dengan membawa dua gelas kertas besar berisi es krim bersaus. Dua-duanya tampak menggiurkan.

“Nih, aku beli yang pakai saus coklat sama blueberry. Kamu pilih yang mana?” Bimbim menyodorkan keduanya pada Ingrid.

Ingrid memilih yang ada di tangan kiri Bimbim. Ukuran porsinya tak tanggung-tanggung. Lima scoop besar es krim vanila dengan siraman saus selai blueberry.

“Wow...,” gumam Ingrid. “Mas Bim, jajan melulu, duitnya nggak berseri, ya?”

Bimbim tergelak. Sekilas ia menoleh ke arah Ingrid.

“Aku jarang-jarang jajan, In,” ia kemudian menanggapi dengan nada cukup serius. “Sehari-harinya aku numpang makan saja di kafe warteg atau food truck. Paling keluar duit cuma buat bensin, buat ngider sana-sini. Bensin buat motor, kan, nggak seboros buat mobil. Ya, ada kalanya butuh refreshing juga, kan. Sedikit lebih menikmati hidup. Menghibur diri. Kayak gini inilah.”

Ingrid mengangguk samar. Ia kemudian mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Eh, Mas, yang itu enak?” Ingrid meringis sambil menunjuk gelas es krim di tangan Bimbim.

“Enak! Mau? Nih,” Bimbim segera menyodorkan gelasnya.

Ingrid mencolek sedikit es krim sekaligus sausnya dengan sendok kayunya sendiri.

“Mm...,” gumamnya sambil menikmati cita rasa es krim itu. Es krim vanila dengan saus coklat berjejak karamel dan taburan kacang almond cincang. “Ini enak juga. Enak banget!”

“Ambil lagi, ‘gi, kalau mau,” Bimbim masih menyodorkan gelasnya.

Ingrid kini melakukan hal yang sama. Menyodorkan gelasnya.

“Ini juga enak, lho, Mas,” ujarnya. “Saus blueberry­-nya agak asam, tapi aromanya kuat banget. Segar. Lumer campur sama es krimnya. Nge-blend banget!”

Bimbim pun dengan senang hati ikut merasakan es krim di tangan Ingrid. Keduanya kemudian saling berbagi es krim sambil terus mengobrol tentang banyak hal.

Setelah es krim, Bimbim melirik roti bakar. Lokasinya tak jauh dari tempat mereka duduk. Ingrid yang memang doyan makan mengangguk saja dengan antusias ketika Bimbim menawarinya. Dua buah piring kertas berisi dua tangkup roti bakar berukuran jumbo dengan isi berbeda dibawa Bimbim kembali ke bangku mereka. Saat berbalik dari counter roti bakar, ia berpapasan dengan salah seorang pramusaji food truck­­-nya. Dipesannya dua gelas bajigur sekadar untuk menghangatkan diri di tengah malam yang mulai dingin.

Mereka kembali asyik mengemil sambil tertawa-tawa ketika saling berbagi cerita kocak tentang keseharian mereka. Diam-diam Ingrid mengamati Bimbim. Pemuda itu terlihat biasa-biasa saja. Tetap ceria seperti biasa. Seolah tak terpengaruh dengan pernyataan hati yang belum ditanggapi oleh Ingrid.

Jangan-jangan, dia nggak benar-benar suka sama aku....

Diam-diam pikiran negatif itu menyelinap dalam benak Ingrid. Tapi ia buru-buru mengusir jauh-jauh prasangka itu. Bimbim yang dikenalnya selama ini dilihatnya cukup tahan banting. Dan, diam-diam ia bersyukur, masih bisa menikmati momen-momen menyenangkan bersama Bimbim dalam hubungan yang masih tanpa status ini.

Malam yang makin dingin dan merambat naik menuju puncak membuat keduanya segera kembali ke tujuan awal mereka. Hendak nonton bioskop.



Ingrid menyimpulkan senyumnya.

Dan, di sinilah aku sekarang!

Duduk manis menunggu dimulainya pemutaran film horor terekomendasi tengah malam ini.

“Mau dibuka sekarang pop corn­-nya?” usik Bimbim.

“Iya, daripada nanti tengah seru-serunya serem kita malah kemresek sendiri buka cemilan,” Ingrid meringis, membuat Bimbim tergelak ringan.

“Permisi....”

Suara itu membuat Ingrid dan Bimbim sama-sama mendongak. Dan, tatapan mereka bertemu dengan tatapan seorang gadis cantik dengan dengan dandanan modis.

“Permisi, mau lewat, ya...,” ucap gadis itu lagi dengan sangat sopan.

“Oh, silakan!” Bimbim buru-buru menyisihkan kakinya.

Ingrid pun hendak melakukan hal yang sama. Tapi gerakannya terhenti. Tatapannya bertemu lagi dengan satu tatapan lain. Pemilik tatapan di belakang gadis cantik itu mencoba untuk mengulas senyum.

“Eh, Ingrid, Bimbim,” sapanya kemudian, dengan suara ramah. “Suka nonton midnight juga, ya?”

“Hehehe... Iya,” Bimbim-lah yang menjawab.

Dengan mengucapkan permisi, Endra kemudian melangkah menuju ke kursinya. Sementara itu, Ingrid hanya bisa mencoba untuk balas mengulas senyum dengan perasaan tidak enak.

Aduuuh... Apes bener gini hari ketemu Mas Endra!

Pikiran Ingrid langsung melayang pada permintaan Endra yang ditolaknya. Lebih tepatnya, ia minta untuk ditunda jadi besok. Untungnya (masih bisa mengucap ‘untung’), ia tidak berbohong dengan mengungkapkan alasan palsu. Untungnya (lagi), ia memang tidak mengungkapkan alasan kenapa ia tak bisa keluar sore tadi bersama Endra. Hanya menyatakan ‘gimana kalau hari Minggu siang saja?’. Untungnya (yang ketiga), gadis yang datang bersama Endra itu duduk tepat di sebelahnya.

“Hai, teman Mas Endra, ya?” usik gadis cantik itu. Nadanya terdengart akrab

Ingrid menoleh sekilas. Tersenyum samar.

“Iya,” jawabnya dengan suara nyaris tak terdengar. “Eh, sebenarnya Mas Endra sohib abangku.”

“Oh.... Kamu adik Erwin, ya?” usik gadis itu lagi.

“Iya.”

“Suka horor juga?”

“Banget,” senyum Ingrid mulai merekah lebih lebar.

Pembicaraan itu terhenti sampai di situ. Lampu mulai dipadamkan, dan keseruan film horor itu segera dimulai. Pada Ingrid, efek horor itu lebih terasa lagi karena seolah tertangkap basah oleh Endra, bahwa ia sedang ‘berkencan’ dengan Bimbim.

Ih! Apa, sih?

Ingrid berusaha menepiskan rasa tak enak itu.

Kan, belum jadian juga! Lagian, dia juga ajak cewek lain, kan?

Maka, Ingrid berusaha untuk melupakan kehadiran Endra dan gadisnya, dan mulai menikmati rangkaian cerita mencekam dalam film terekomendasi bintang lima itu.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

Catatan : Besok (Minggu, 9 September 2018) akan tayang sebuah cerpen dengan judul "Rumah Jacaranda". Lama nggak nyerpen, nih! Just stay tune! Thank you!