Sebelumnya
* * *
Ada yang terasa kosong di hati Navita hari itu. Semangatnya seolah terperosok ke titik terendah karena hingga sirene tanda jam kerja dimulai, kursi Prima masih tetap kosong. Apalagi ia kemudian mendengar kabar bahwa Pak Boss absen karena sakit.
Sebetulnya kemarin siang, saat makan di kantin, ia sempat mendapati Prima meringis sekilas dan terbungkuk sedikit ketika berdiri untuk meninggalkan kantin. Bahkan terduduk kembali. Beberapa orang teman serombongan laki-laki itu terlihat sempat menanyai, tapi laki-laki itu menggeleng sambil tersenyum, kemudian kembali berdiri, dan melangkah pergi.
Dan seusai jam makan siang, seisi divisi sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, termasuk ia. Sehingga tak lagi sempat memperhatikan Prima. Apalagi sang boss juga sibuk dengan tugasnya menyampaikan surat pemberhentian kontrak kerja secara langsung pada beberapa karyawan dalam masa percobaan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk diangkat jadi karyawan tetap.
Navita mendesah.
Semoga dia baik-baik saja...
Pukul sepuluh pagi, pada saat istirahat singkat, ia memberanikan diri untuk mengirim pesan melalui Whatsapp.
‘Semoga cepat pulih sakitnya, Pak. Salam.’
Tapi sia-sia rasanya ia mengharapkan pesan itu berbalas. Karena hingga jam makan siang tiba, ponselnya tetap hening.
* * *
Maxi membuka pintu pagar tepat ketika Arlena membelokkan mobilnya. Buru-buru Maxi melebarkan bukaan pintu itu. Jendela sebelah kanan depan terbuka.
“Mau jemput Mela?” tanya Arlena dari belakang setir.
Maxi mengangguk.
“Bawa mobil saja.”
Maxi menggeleng sambil naik ke atas motornya. “Macet.”
“Ya, sudah, sana. Biar Muntik saja yang nutup pintunya,” ujar Arlena sambil kembali menekan pedal gas.
Maxi pun segera berlalu.
Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai ke sekolah Carmela. Bel keluar belum berbunyi. Maxi menunggu di pos satpam sambil memainkan ponselnya. Dan ia menghela napas lega ketika sayup-sayup terdengar bunyi alarm. Carmela muncul tak lama kemudian. Maxi segera mengulurkan helm sambil berpamitan pada satpam yang tadi menawarinya duduk.
“Mas, jangan langsung pulang...”
Maxi urung menghidupkan mesin motornya. Ditatapnya Carmela yang belum memakai helmnya.
“Terus, ngapain?” Maxi mengerutkan kening melihat wajah penuh harap adiknya itu.
“Just wanna talk to you...”
Maxi berpikir sejenak. Ia kemudian mengangguk.
“Ya, sudah, pakai helmmu,” ujarnya sambil menghidupkan mesin motor.
Carmela segera ‘hinggap’ di boncengan motor abangnya, dan mereka pun meluncur. Memenuhi keinginan Carmela, Maxi kemudian membelokkan motornya ke sebuah kedai es krim. Digandengnya tangan Carmela, masuk ke kedai itu.
* * *
“Papa mau tidur di kamar bawah saja?” tawar Arlena.
Prima menggeleng. Ia meneruskan langkahnya menapaki anak tangga.
“Tiiik! Bikin jahe hangat buat Bapak, sama es teh buatku! Cepetan! Nanti bawa ke atas!” seru Arlena, tepat di belakang Prima.
Samar Prima menggelengkan kepala.
Untung anak-anak nggak ada yang nurun dia berisiknya!
Ia sedikit terengah ketika menggapai pegangan pintu kamar. Tapi ia tak menyesali keputusannya. Setidaknya, di kamar atas, ia tetap ada di dekat anak-anak. Sejenak kemudian ia mengganti celana panjang dan kaus polonya dengan celana pendek dan kaus oblong. Sebelum tangannya sempat menjangkau remote AC, Arlena sudah menghidupkan benda itu.
“Dokter bilang Papa harus istirahat, berarti Papa harus benar-benar istirahat,” ucap Arlena sambil mengeluarkan kantung plastik berisi obat dari dalam handbag-nya. Diletakkannya obat-obat itu di dalam laci nakas. Ia kemudian berdiri. “Aku ambilkan makan siang dulu. Habis makan, minum obat, terus istirahat. Tidur.”
“Ma...,” suara lirih Prima menahan langkah Arlena.
“Ya?”
“Bilang saja aku kecapekan dan kena maag kalau anak-anak tanya.”
Arlena menatap Prima selama beberapa detik lamanya sebelum mengangguk dan berbalik. Prima menatap punggung Arlena yang bergerak menjauh hingga hilang di balik pintu. Dihelanya napas panjang sambil duduk di tepi ranjang dan meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Ada beberapa pesan yang masuk. Termasuk dari Krisno dan Hendrik.
Hm... Berita sakitnya orang top memang cepat sekali tersebarnya...
Ia meringis geli. Tapi ada satu pesan yang menarik perhatiannya. Dengan tekun, dibaca dan dibalasnya pesan itu.
* * *
Seusai makan siang, Navita segera kembali ke mejanya, kemudian mencari ponsel yang ditinggalkannya di laci meja terkunci. Ketika ia melihat ada simbol Whatsapp di sudut kiri atas ponsel itu, jantungnya segera berdebar keras.
Dia membalas pesanku!
Dihelanya napas beberapa kali hingga ia merasa cukup tenang dan tangannya tak gemetaran lagi. Tapi harapannya seolah jatuh dari tempat tinggi ke dasar jurang setelah ia membaca pesan itu.
‘Vit, nanti sore aku jemput di kantor, ya? Kita hangout bareng. Biar kamu bisa kenalan sama teman Mas Oddy. Namanya Gandhi. Bisa?’
Navita mendegut ludah.
Selly, bukan Pak Prima.
Semangatnya menguap.
Jadi begini rasanya menyimpan harapan yang harus pecah berkeping...
Dan tiba-tiba saja ia merasa butuh pengalih perhatian.
Sangat butuh!
Maka tanpa berpikir lebih panjang lagi, ia pun membalas pesan itu.
‘Oke, Sel. Sampai nanti.’
* * *
Mungkin tadi pagi aku memang terlalu sensi...
Olivia meringis dalam hati.
Luken yang duduk sambil menikmati makanan di depannya, di seberang meja, adalah Luken yang biasa. Luken yang murah hati dan mudah tertawa. Buktinya adalah laki-laki itu dengan senyum cerah mengajak kedua sekretarisnya untuk makan siang bersama di resto sebelah kantor. Olivia sempat ternganga sejenak sebelum Sandra menyadarkannya dengan tepukan lembut di bahu.
Dan kini mereka bertiga asyik menikmati siang sambil mengobrol aneka hal. Termasuk soal penampilan Olivia kemarin dan hari ini.
“Kok, berubah monokrom lagi penampilanmu, Liv?” celetuk Luken sambil menyuapkan sesendok soto mie ke dalam mulutnya.
Olivia terbengong sejenak.
“Maksud Bapak?” Olivia mengangkat alisnya.
Luken tersenyum lebar sambil menelan makanan dalam mulutnya. Ditatapnya Olivia.
“Kemarin, kan, kamu warna-warni sekali,” Luken menjelaskan dengan nada sabar. “Lain dari biasanya. Lha... Hari ini, kok, balik lagi monokrom?”
“Oh...,” Olivia tersenyum. “Hari ini saya diantar adik saya, Pak. Nyetirnya nggak sehalus Papa. Daripada wajah saya cemong semua, mendingan saya cari aman saja.”
“Kamu biasa dandan di mobil?” Sandra membelalakkan matanya.
Olivia mengangguk dengan sedikit tersipu malu. “Nggak sempat lagi dandan di rumah.”
“Hm...,” Luken manggut-manggut. “Kok, diantar adikmu? Papamu bawa mobil sendiri?”
Olivia terdiam sejenak. Wajahnya sedikit berubah. Membuat Luken dan Sandra sejenak saling menatap.
“Papa nggak enak badan sejak kemarin, Pak,” Olivia mencoba untuk tersenyum. “Kayaknya, sih, kena maag. Jadi hari ini nggak ngantor. Istirahat di rumah.”
“Lho, terus kemarin dari kantornya ke sini, Pak Prima nyetir sendiri?” mata Luken sedikit terbelalak.
“Oh, enggak, Pak,” Olivia cepat-cepat menggeleng. “Ada temannya yang nyetirin sampai ke sini. Dari sini ke rumah, saya yang nyetir.”
“Oh...,” wajah Luken terlihat lega.
“Semoga Pak Prima cepat pulih, ya, Mbak Liv...,” Sandra menepuk lembut punggung tangan Olivia.
“Iya, Liv. Semoga papamu cepat sembuh,” Luken ikut mengucap dengan tulus.
“Amin... Makasih, Pak, Bu...”
“Terus, sore nanti kamu dijemput adikmu?” lanjut Luken.
“Enggak, Pak,” Olivia menggeleng. “Lebih praktis naik taksi.”
“Ya, sudah, nanti kuantar pulang,” putus Luken cepat.
“Lho, jangan, Pak!” Olivia buru-buru menolak. “Nggak usah repot. Makasih... Tapi beneran, nggak usah.”
“Nggak repot, Liv,” tukas Luken halus. “Kecuali kamu minta digendong dari sini sampai ke rumahmu,” Luken tersenyum lebar.
Olivia dan Sandra tergelak ringan. Luken menangkupkan sendok-garpunya.
“Pokoknya ini perintah boss, Liv. Kali ini jangan menolak,” gumam Luken. “Sekalian aku mau menengok papamu.”
Olivia menatap Sandra. Perempuan berwajah arif itu mengangguk samar. Membuat Olivia akhirnya mengangguk juga.
“Baik, Pak, terima kasih banyak,” ucapnya patuh.
“Luken!”
Mereka bertiga menoleh mendengar panggilan itu. Seorang perempuan mungil berusia 40-an dengan dandanan ngartis tampak melangkah bergegas mendekati meja mereka. Wajah perempuan itu terlihat cukup familiar, tapi tidak membuat Sandra dan Olivia berhasil mengingat siapa dia.
“Hadeeeh...”
Gumaman Luken itu membuat Olivia dan Sandra saling menatap sambil tersenyum tertahan. Perempuan itu sudah sampai di samping meja mereka. Kini, dengan jelas Olivia dan Sandra bisa mengamati keseluruhan penampilan perempuan itu.
Wajahnya terias lengkap hingga ke bulu mata palsu super lentiknya. Rambut ikal sepunggungnya dicat ombre dua tone warna coklat di atas dan tengah, plus pirang di bagian ujung. Busana yang dipakainya cukup minim. Blus tanpa lengan berwarna merah cabe dengan kerah kemeja, dipadu dengan rok jeans biru pudar. Aroma parfum yang sangat kuat langsung memenuhi atmosfer di sekitar meja itu. Membuat Sandra pening seketika.
Tanpa tedeng aling-aling perempuan itu langsung menyodorkan pipinya pada Luken. Tapi laki-laki itu tidak mengacuhkan acara nyosor yang dilakukan perempuan itu. Ia berdiri dan terlihat dalam posisi ‘aman’ karena tinggi perempuan ber-high heels seperti paku menancap bumi itu hanya setinggi dadanya. Dan Luken hanya menyodorkan tangan, mengajak berjabat, yang diterima perempuan itu dengan wajah terlihat terpaksa.
Sandra segera mencolek lengan Olivia dan berdiri. Gerakan terakhir itu diikuti Olivia tanpa kata. Sandra kemudian berdehem, membuat Luken menoleh.
“Maaf, Pak, kami balik dulu ke kantor. Jam makan siang sudah hampir habis,” ucap Sandra dengan nada resmi dan sopan.
Tatapan Luken seperti memohon pertolongan. Minta ditemani. Tapi ia tidak bisa berbuat lain ketika melihat senyum Sandra yang menyiratkan rasa geli.
“Oke, Bu,” Luken menyerah. Meringis sekilas.
Sandra dan Olivia buru-buru meninggalkan tempat itu.
“Hadeeeh... Parfumnya bikin saya mual, Bu,” bisik Olivia.
“Cocok,” sahut Sandra cepat. “Kamu mual, aku puyeng, Mbak Liv.”
Keduanya kemudian terkikik sambil terus melangkah kembali ke kantor.
* * *
“Tadi bisa ujiannya?” Maxi menatap Carmela begitu pramusaji berlalu untuk mengambil pesanan mereka.
Gadis remaja itu mengangguk. Tanpa ragu. Karena ia memang sudah belajar, dan tadi berhasil menyelesaikan jawaban soal-soal ujian tanpa mengalami kesulitan.
“Oke, sekarang kamu mau ngomong apa?”
“Kita harus menghentikan Mama,” tatapan Carmela jatuh tepat pada manik mata Maxi.
Pemuda itu tertegun sejenak. Ia berpikir dan menemukan hal yang sama. Bahkan sejak beberapa waktu lalu. Hanya saja, ia malas untuk membicarakannya. Lebih tepatnya, ia tak tahu harus mulai dari mana.
Tadi, sebelum berangkat menjemput Carmela, setelah Muntik membangunkannya, Maxi sempat iseng membuka BlogSip dan menemukan artikel Arlena yang diunggah semalam, tengah berada di kolom ‘terlaris’. Topiknya apa lagi kalau bukan tentang acara hang out bersama si putri bungsu sepulang sekolah? Dan deretan komentar yang berjejal di bawah artikel itu sepertinya berhasil mengalahkan antrean di depan counter donat terkenal yang sedang promosi buy one get one free.
“Jujur sejujur-jujurnya, Mas,” desis Carmela, “aku sudah muak!”
Maxi mengerjapkan mata.
“Dan aku heran kenapa Mas Maxi yang lebih sering jadi obyek malah tenang-tenang saja!”
Ucapan Carmela makin tajam menusuk. Seperti tatapannya yang menghunjam wajah Maxi tanpa ampun. Maxi hendak buka suara, tapi pramusaji kian mendekat membawa pesanan mereka. Setelah semua urusan itu selesai, Maxi menatap Carmela.
“I just... don’t know what... I’ve to do,” Maxi mengedikkan bahunya sedikit. “Mas malas ribut, Mel.”
Carmela menghela napas panjang sambil mengirimkan tatapan yang sarat sinyal mencela. Sejenak kemudian Carmela mulai menyendok es krim dan menyantapnya dengan sedikit brutal. Membuat Maxi mengerutkan kening.
“Kamu nggak sakit kepala, makan es krim caranya kayak gitu?” Maxi meringis.
Carmela memutar bola matanya. Dan Maxi tersenyum. Dan senyum teduh serupa milik sang ayah itu meluruhkan sedikit rasa jengkel yang seolah sudah mengintip dan hendak meledak keluar dari ubun-ubun Carmela.
“Kita nggak bisa ribut dengan Mama di rumah, Mel,” ucap Maxi dengan nada rendah dan sabar. “Setidaknya sekarang, saat Papa lagi sakit begini. Aku berharap, aku benar-benar berharap, Papa hanya kecapekan dan masuk angin biasa. Tapi biarpun begitu, kita nggak boleh menambah beban Papa.”
“Iyaaa... Aku tahuuu...,” Carmela berusaha menahan suaranya agar tidak menggema keras dalam kedai itu. “Makanya aku lagi mikir sebuah cara.”
“Gimana?” Maxi terlihat antusias.
“Just tell me, gimana caranya supaya IP address kita nggak terlacak?”
Maxi ternganga.
“Silent attack, Mas,” lanjut Carmela lirih. “Cuma itu yang bisa kita lakukan.”
Maxi mengatupkan mulut dan mengerjapkan matanya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
good post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak... 😊😊😊
HapusKereen..bikin semakin kepo
BalasHapusHihihi... Makasih, Mbak... 😘😘😘
Hapus