Sebelumnya
* * *
Tepat pukul empat sore, Topo turun dari mobil yang dikendarainya dan bergegas melangkah masuk ke sebuah bagunan kantor berlantai dua dengan desain minimalis. Satpam yang kemarin masih mengenalinya. Laki-laki tinggi besar berseragam setelan hitam itu menyapa dan segera menggiringnya ke meja resepsionis.
“Mas ini mau jemput Mbak Livi, Mbak Lil,” satpam itu menjelaskan.
Resepsionis bernama Lila itu dengan ramah segera menyilakan Topo untuk menunggu di sofa lobi dan segera menelepon Livi. Tak berapa lama, gadis itu turun dari tempat kerjanya di lantai dua dan bergegas menghampiri Topo. Laki-laki itu berdiri melihat kedatangan Olivia.
“Pak Topo, selamat sore...,” sapanya ramah sambil menyalami Topo. “Ayo, silakan duduk.”
“Selamat sore, Mbak. Terima kasih.”
“Gimana kabarnya, Pak?” Olivia duduk di seberang Topo.
“Alhamdulillah, saya diterima jadi sopir di tempat Bu Nindy, Mbak. Itu, putrinya Pak Krisno,” senyum Topo.
“Oh... Senang banget dengarnya, Pak Topo,” Olivia menanggapinya dengan wajah cerah. “Mulai kerja kapan, Pak?”
“Tunggu ganti bulan, sih, Mbak. Karena sopirnya baru akhir bulan ini nanti berhenti kerja. Jadi sambil isi kekosongan, saya gantian sama teman saya pegang taksi online.”
“Oh, begitu...,” Olivia manggut-manggut. “Semoga hasilnya lumayan, ya, Pak...”
“Insya Allah, Mbak. Tadi saya juga sudah kabari Bapak. Bapak juga senang saya diterima sama Bu Nindy. Sempat WA-an tadi sama Bapak.”
“Oh, ya, ya...”
“Ini begini, Mbak. Tadi Bapak bilang, Mbak pulangnya naik taksi karena nggak bawa mobil. Jadi gimana kalau Mbak Livi saya antar pulang? Sebagai ungkapan terima kasih saya pada Bapak, walaupun mungkin nggak bisa dibandingkan harganya. Sekalian saya mau nengok Bapak.”
Olivia terdiam sejenak. Tepat saat itu Sandra turun diikuti Luken. Di tangan Sandra ada hobo bag Olivia, dan di tangan Luken ada tas laptop Olivia.
Waduh...
Olivia bingung sejenak. Tapi Sandra dan Luken sudah menghampirinya. Olivia buru-buru berdiri untuk mengambil barang-barangnya dari tangan Sandra dan Luken.
“Maaf, Pak, Bu, ngerepotin,” ucapnya. “Makasih.”
“Nggak ada yang ketinggalan, kok, Mbak Liv,” Sandra mengedipkan sebelah mata. “Sudah aku bersihkan semua.”
“Makasih, Bu, makasih...”
“Selesaikan dulu urusan sama tamumu, Liv,” senyum Luken. “Aku tunggu di mobil, ya?”
Sebelum Olivia menyahut, Luken sudah melanjutkan langkahnya keluar dari gedung itu. Olivia pun kembali pada Topo.
“Gini, Pak Topo, saya makasiiih banget Pak Topo bersedia antar saya pulang. Tapi itu tadi saya sudah telanjur mau diantar pulang boss saya, sekalian mau menengok Papa. Jadi mohon maaf, Pak. Saya terpaksa menolak.”
“Oh... Nggak apa-apa, Mbak Livi, nggak apa-apa,” senyum Topo. “Malah saya yang harus minta maaf karena sudah lancang kayak gini. Silakan, lho, Mbak. Sudah ditunggu sama bapaknya itu.”
“Maaf, ya, Pak Topo...”
“Iya, Mbak, Iya... Mari, Mbak, saya juga pamit kalau begitu. Oh, ya, kalau Mbak Livi butuh jemputan, silakan hubungi saya, ya, Mbak.”
Olivia mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Keduanya kemudian berjabat tangan dan melangkah bersama keluar dari gedung. Di depan lobi mereka berpisah. Topo lurus ke depan, ke arah tempat parkir untuk tamu, dan Olivia ke kanan, ke tempat Luken menunggunya di dalam mobil.
Olivia buru-buru menggumamkan permohonan maaf karena sudah membiarkan Luken menunggu. Luken menanggapinya dengan santai sambil menghidupkan mesin mobil.
“Tenang saja, Liv,” ucapnya. “Beda menit saja, kok,” Luken mulai menekan pedal gas. “Memangnya siapa itu tadi?”
“Namanya Pak Topo, Pak. Kemarin baru diberhentikan dari Chemisto karena sudah kena SP tiga kali. Baru karyawan kontrak. Terus sama Papa direkomendasikan ke bossnya, buat jadi sopir pribadi putrinya, karena sebetulnya Pak Topo ini merasa lebih senang nyopir daripada jadi operator pabrik. Dan ini tadi dia sudah diterima, tapi baru mulai kerja bulan depan. Terus dia join sama temannya jadi sopir taksi online buat mengisi kekosongan. Tadi maksudnya dia mau antar saya pulang. Tapi, kan, sudah keduluan Bapak. Jadi...,” Olivia mengedikkan sedikit bahunya.
“Oh...,” Luken manggut-manggut.
“Saya makasih banget, lho, Pak. Bapak mau antar saya pulang.”
“Nyantai saja, Liv. Kan, tadi sudah kubilang, sekalian menengok Papamu.”
“Hehehe... Iya, Pak.”
* * *
“Mbak Rima, aku nggak ikut jemputan sore ini,” Navita menoleh ke arah meja di sebelahnya. “Aku dijemput temanku.”
“Oh, oke...,” angguk Rima.
Navita segera meringkas semua barangnya begitu alarm berbunyi. Sejenak kemudian ia sudah ikut arus karyawan yang keluar. Dan Selly ditemuinya sudah menunggu di tempat parkir sambil menggendong Boby.
“Kamu cuma berdua sama Boby?”
“Sudah biasa,” Selly nyengir. “Kan, pakai baby car seat. Tapi sekarang biar tantenya saja yang gendong, ya?”
Navita segera mengulurkan tangan, dan bayi laki-laki imut yang sangat tampan itu segera berpindah ke dalam pelukannya. Mereka sudah sering bertemu. Jadi Boby sudah tak asing lagi dengan sosok Navita. Selly pun segera meluncurkan city car mungil itu meninggalkan area perusahaan.
Kantor Oddy sebenarnya tak jauh dari kantor Navita. Dan demi kepraktisan, mereka akan langsung bertemu di sebuah kafe terdekat. Ingatan Navita mau tak mau kembali pada momen saat ia mampir makan di sebuah restoran cepat saji bersama Prima beberapa sore yang lalu. Tapi ia segera mengibaskan ingatan itu keluar dari benaknya.
* * *
Perawakan laki-laki itu ternyata tinggi besar. Membuat Oddy jadi terlihat sedikit mungil berada di sampingnya. Wajahnya bersih. Tidak terlalu ganteng memang, tapi ada sesuatu yang membuatnya jadi terlihat lebih menarik. Kemeja lengan panjang yang sudah tergulung hingga ke siku berwarna coklat kemerahan, tampak serasi dengan kulit sawo matangnya. Ekspresi dan senyumnya terlihat begitu tulus. Menimbulkan kehangatan tersendiri. Seperti kehangatan yang kini dirasakan dalam genggaman Navita melalui sebuah jabat tangan.
“Gandhi,” suara itu terdengar berat dan mantap.
“Navita,” senyum Navita.
Tak lama mereka duduk berlima. Hanya prolog saja. Karena beberapa menit kemudian Oddy berpamitan, tentu saja dengan membawa serta Selly dan Boby. Sesungguhnya Navita antara siap dan tidak. Ia masih ingat tujuannya semula. Pengalihan.
“Vita sudah lama kerja di Chemisto?” tanya Gandhi sambil menikmati makaroni schotel-nya.
“Sudah hampir empat tahun. Mas sendiri?”
“Hm...,” Gandhi menghitung sejenak. “Ini masuk tahun ke sebelas.”
“Wah, senior banget,” senyum Navita.
Laki-laki itu juga tersenyum. Manis.
“Nggak senior, cuma karatan,” guraunya.
Navita tergelak ringan. Laki-laki itu cukup menyenangkan. Pembicaraan mereka nyambung dan mengalir cukup lancar. Dan sejujurnya membuat Navita bertanya-tanya, kenapa Gandhi mau saja coba ‘dijodohkan’ dengan cara seperti ini, karena ia bukannya laki-laki yang tidak menarik. Tanya itulah yang kemudian meluncur keluar dari mulut Navita. Dengan nada terdengar ragu-ragu.
“Kalau boleh tahu, kok, Mas Gandhi bersedia blind date kayak gini?”
“Kadang-kadang cara umum nggak berhasil,” wajah Gandhi terlihat serius. “Kuharap Vita nggak salah memahami,” Gandhi tersenyum. “Aku bukan laki-laki pemilih. Hanya mencari calon pendamping yang sepadan hingga sama-sama merasa nyaman. Ini sama sekali bukan sepadan masalah finansial, ya, Vit. Tapi kenyamanan berinteraksi dan berkomunikasi. Karena untuk umur-umur sekarang, targetnya bukan cuma sekadar pacar lagi, tapi calon teman hidup. Pasangan. Belahan jiwa.”
Jawaban itu membuat Navita takjub.
“Kalau Vita sendiri?”
Pengalih perhatian...
Navita menatap Gandhi.
Pelarian...
Navita mendegut ludah.
Tapi aku tak mungkin berterus terang padamu.
“Aku menghargai keprihatinan sahabat-sahabatku,” Navita tersenyum sedikit. “Jujur, aku termasuk orang yang sulit memulai. Jadi... Kupikir, nggak ada salahnya menuruti usul Selly. Apalagi aku percaya, Selly nggak akan sembarangan memilih orang untuk dikenalkan padaku.”
“Ha! Itu juga yang kupikirkan. Oddy nggak akan sembarangan,” Gandhi tersenyum lebar. “Dan dia benar.”
“Semoga,” Navita terseret oleh senyum lebar itu.
* * *
Olivia mengerutkan kening ketika melihat mobil Miko sudah terparkir di carport ketika ia dan Luken tiba. Carmela yang tengah duduk berselonjor di sofa teras depan buru-buru menurunkan kakinya dan menyambut kedatangan sang kakak bersama bossnya.
“Halo, Mel!” Luken menyalami Carmela dengan tangan kanannya, dan mengusap kepala Carmela dengan tangan kirinya.
“Halo, Bapak,” Carmela tergelak. “Oh, iya, makasih tasnya kemarin, ya?”
“Sama-sama, Mel. Papa gimana kondisinya?”
“Sudah mendingan, sih, tapi masih harus istirahat. Ayo, masuk, Pak!”
Luken pun mengikuti langkah Olivia yang merangkul bahu Carmela. Gadis itu kemudian menyilakan Luken duduk sejenak di ruang tamu.
“Mas Miko mana, Mel?” tanya Olivia.
“Ada di atas.”
“Oh.... Mel, tolong, bikin minum untuk Pak Luken dulu, ya? Mbak mau ke atas sebentar.” Olivia menatap Luken, “Pak, sebentar, ya? Saya ke atas dulu lihat Papa.”
“Oh, iya, Liv,” Luken mengangguk. “Kalau aku dirasa mengganggu, titip salam saja.”
“Enggaklah, Pak. Masa mengganggu? Tunggu, ya, Pak?”
Olivia kemudian meninggalkan ruang tamu dan masuk ke ruang tengah. Ia langsung menuju tangga. Dan di pertengahan tangga, ia bertemu dengan Miko.
“Liv!” senyum Miko, memeluk ringan Olivia. “Maaf, nggak menjemputmu. Tadi aku ada meeting dengan klien dekat sini. Tadi siang sempat baca komentar Mama di artikel, ada menyebut Papa sakit. Makanya aku langsung ke sini. Nggak apa-apa, kan?”
“Iya, nggak apa-apa,” jawab Olivia dengan sabar. Komentar di artikel??? “Aku diantar Pak Luken. Sekalian mau nengok Papa, katanya. Papa gimana?”
“Sudah mendingan,” Miko mengelus bahu Olivia. “Gimana, Pak Luken mau disuruh langsung ke sini saja?”
“Hm...,” Olivia berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Oke, deh!”
“Oke, nanti aku antar ke sini. Aku temui dia dulu, ya?”
“Makasih.”
Mereka kemudian berpisah. Sama-sama meneruskan langkah. Olivia ke atas, dan Miko ke bawah. Setelah meletakkan barang bawaannya di kamar dan melepas sepatu, Olivia segera masuk ke kamar utama.
“Kok, cepat, jam segini sudah sampai di rumah?” tanya Prima sambil mengecup kening Olivia.
“Diantar Pak Luken, Pa,” Olivia duduk di tepi ranjang. “Dia mau sekalian nengok Papa.”
“Ya, sudah, Papa turun saja kalau begitu.”
“Nggak usah, Pa... Sebentar lagi juga Pak Luken diantar ke sini sama Mas Miko.”
Dan Arlena menatap percakapan itu dalam diam. Ia ada di sana, tapi seolah transparan. Tak tampak. Tapi saat ini dia tak hendak berontak. Ada tamu yang harus diterima dengan baik. Supaya mendapat kesan yang baik pula.
Tak berapa lama, Luken muncul diantar Miko. Laki-laki itu menyalami Arlena dan Prima dengan hangat. Diam-diam, Olivia menggandeng tangan Miko. Mengajaknya menyisih keluar. Tapi sebelum itu, Arlena sempat mendekatkan bibirnya ke telinga Olivia.
“Siapkan makan malam,” bisiknya.
Olivia mengangguk.
* * *
“Aku ingin menawari Mas mampir,” ujar Navita lirih. “Tapi rumahku masuk di gang sempit. Jadi mobil Mas nggak bisa masuk.”
“Tapi bisa, kan, numpang parkir sebentar di mulut gang?” senyum Gandhi sambil terus mengemudikan city car mungilnya yang serupa milik Oddy.
“Ada, sih, minimarket yang lahan parkirnya cukup luas di dekat gang. Mas bisa parkir di situ.”
“Sip!” senyum Gandhi melebar. “Jadi aku betul-betul bisa mengantarkan Vita sampai ke rumah. Supaya Ibu nggak mengkhawatirkan anak gadisnya dilarikan orang tak dikenal.”
Navita tergelak mendengarnya.
Diam-diam ia merasa bersyukur karena sudah menerima tawaran Selly untuk berkenalan dengan Gandhi. Laki-laki itu cukup baik dan menyenangkan. Ada atensi dalam setiap bahasa tubuhnya.
Dan ketika Gandhi berpamitan pulang setelah bertemu Minarti, laki-laki itu menatap Navita dengan serius.
“Mulai besok, aku boleh menjemputmu sepulang kerja, Vit?”
“Nggak merepotkan?”
“Enggak,” jawab Gandhi, lembut tapi tegas. “Kan, kita pergi-pulangnya searah.”
Maka Navita tak punya pilihan lain kecuali mengangguk.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
good post mbak
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊😊😊
Hapus