Delapan
Hari ini adalah hari kedua mereka menikmati sarapan dalam formasi lengkap. Berlima. Kemarin pagi Prima sudah mulai keluar dari kamar untuk menikmati sarapan dan makan malam bersama, begitu juga pagi ini.
Olivia sudah tidak heran lagi ketika menemukan Arlena sudah sibuk di dapur pagi-pagi tadi. Sejak Prima sakit, Arlena memang berubah jadi lebih ‘jinak’ di rumah. Bahkan mau bangun sepagi mungkin untuk menyiapkan sarapan.
“Papa jadi masuk kerja hari ini, Ma?” celetuk Olivia sambil menyiapkan piring.
“Nggak tahu, Liv,” Arlena mengangkat bahu sambil tetap sibuk di depan kompor dan penggorengan, menggoreng bakwan jagung. “Semalem, sih, sudah Mama larang. Tanggung hari Jumat begini. Lagian surat sakit dari dokter, kan, berlaku sampai hari ini.”
Olivia keluar dari dapur dengan membawa setumpuk piring ke meja makan. Ia berpapasan dengan Carmela. Gadis remaja itu sudah berseragam rapi.
“Mandi, Mbak,” ujar Carmela.
Olivia mengangguk. Carmela kemudian menggantikan pekerjaan Olivia menata piring di meja makan.
“Jangan lupa bikin minum,” pesan Olivia sebelum menapaki anak tangga.
Mereka tampak seperti keluarga yang ‘wajar’, walaupun masih ada sisa-sisa suasana dingin. Terutama sikap Maxi dan Carmela yang seolah kompak hanya bersuara seperlunya saja. Ditambah dengan Arlena yang terlihat masih canggung berada di tengah keluarganya sendiri. Kehadiran Prima-lah yang menghangatkan ruangan itu. Diam-diam Arlena merasa lega karena kelihatannya Prima menuruti ucapannya agar tidak bekerja dulu hari ini.
“Nanti Papa ikut antar Mela ke sekolah, ya?” ujar Prima.
Carmela dan Maxi bertatapan sejenak.
“Masa boncengan bertiga?” Carmela mengangkat alis, menatap ayahnya.
“Ya, pakai mobil-lah, Mel...,” senyum Prima.
Sekarang ganti Olivia dan Maxi yang saling bertatapan. Sejak hari Rabu kemarin, Olivia berangkat ke kantor dengan menyetir sendiri mobil Prima. Terlalu ruwet kalau harus mengandalkan Maxi. Carmela sendiri sebenarnya juga sudah bermaksud naik ojek saja, tapi Maxi menolak mentah-mentah keinginan Carmela.
“Mas masih bisa antar-jemput kamu, Mel,” tegas Maxi, membuat Carmela tak punya pilihan lain kecuali menuruti saja ucapan abangnya itu.
“Pakai saja mobil Mama,” celetuk Arlena. “Jadi Livi tetap berangkat pakai mobil Papa.”
“Mama nanti nggak keluar?” Prima menatap Arlena.
“Keluar, sih, tapi bisa agak siang,” Arlena balik menatap Prima . “Cuma nengok kantor sebentar, terus belanja.”
Prima tersenyum. Arlena beranjak ke kamar untuk mengambil kunci mobilnya. Kesempatan itu digunakan Maxi untuk meledek Prima.
“Nggak kerasan di rumah, ya, Pa?” cibir Maxi.
Prima tergelak. Olivia dan Carmela tersenyum lebar. Mereka kemudian cepat-cepat menyelesaikan sarapan karena pukul enam pagi sudah menjelang.
Lewat sedikit dari pukul enam, dua buah city car meluncur beriringan keluar dari garasi. Meninggalkan Arlena sendirian di rumah karena Muntik belum datang. Setelah meletakkan semua piring dan gelas bekas sarapan di tempat cuci piring, Arlena duduk sejenak di depan island.
Ia termenung. Memikirkan perjalanan hidupnya beberapa tahun belakangan ini.
Apa sebenarnya yang kuinginkan?
Dunia maya sudah memberikan begitu banyak kesenangan baginya. Hingga rasa-rasanya ia enggan untuk berhenti. Tapi sejujurnya ia mulai merasa lelah. Apalagi ia tahu betul belakangan ini mulai marak serangan terhadap artikel-artikel ‘inspiratif’-nya. Sepertinya sudah banyak yang mulai mencium bau istimewa hubungannya dengan Harmono di belakang layar.
Ia malas untuk meng-counter komentar-komentar dari akun-akun gelap itu secara langsung, dan membiarkan para penggemar melakukannya. Mereka loyal padanya dan cukup sadis terhadap haters. Haters yang benar-benar gelap jejaknya. Karena pengelola BlogSip hanya bisa menemukan bahwa IP address akun-akun gelap itu semuanya berasal dari berbagai negara luar.
Dan sakitnya Prima sudah berhasil menohok kesadarannya secara telak. Bahwa ia masih sangat mencintai laki-laki itu. Membuat hatinya terbelah. Antara ingin kembali dan meneruskan langkah.
“Kalau laki gue kayak laki lu, Len, gue nggak akan ke mana-mana lagi.”
Ucapan Virnie Kamis sore kemarin melalui telepon makin menohoknya. Memaksanya berpikir dan berpikir lagi. Tapi ia belum bisa memutuskan. Minggu depan Prima sudah mulai masuk kerja lagi. Dan ia masih butuh pengalihan karena situasi rumah belum benar-benar kondusif. Ia masih merasa canggung di depan anak-anak, dan masih belum berhasil menemukan bahan obrolan yang bisa membuatnya dan Prima tenggelam dalam kehangatan seperti yang seharusnya.
Dihelanya napas panjang. Dan sapaan halus Muntik membuatnya sedikit tersentak. Ia kemudian beranjak ke ruang baca, membiarkan Muntik menyelesaikan pekerjaan seperti biasa.
“Bapak masuk kerja, Bu?” celetuk Muntik, membuat Arlena sejenak menghentikan langkahnya.
“Enggak,” Arlena berbalik. “Ikut Maxi antar Mela ke sekolah. Bikin es teh, Tik. Antar ke ruang baca.”
Muntik mengangguk.
* * *
Prima menoleh cepat begitu Maxi menepikan mobil di depan deretan gerobak penjual makanan di dekat sekolah Carmela, seusai mengantarkan si bungsu itu.
“Ayo, Pa, mampir makan bubur dulu,” ujar Maxi sambil mematikan mesin mobil.
“Kita, kan, baru saja sarapan, Max,” Prima menanggapi dengan nada halus.
“Ya, tapi aku cuma makan bakwan saja tadi. Papa, kan, tahu sendiri, aku nggak suka tumis sawi.”
Prima berpikir sejenak sebelum berucap, “Ya, sudah, Papa temani kamu sarapan.”
“Sarapan lagilah, Pa,” Maxi membuka pintu mobil. “Aku tahu tadi Papa makan cuma sedikit.”
Prima tersenyum lebar. Maxi benar. Tapi bukan karena ia tak suka tumis sawi seperti Maxi, melainkan karena masakan Arlena memang tak pernah seenak masakan Muntik ataupun Olivia.
“Ya, sudah, pesan dua,” putus Prima.
Mereka kemudian duduk berhadapan di depan sebuah meja di bawah rerimbunan pohon. Ada berbagai macam gerobak makanan berderet rapi di tepi jalan itu. Lengkap, tinggal sebut. Soto ayam, soto mi, nasi uduk, nasi pecel, lontong sayur, bubur ayam, ketoprak, gorengan, dan masih banyak lagi lainnya. Dan kali ini Maxi memesan dua porsi lengkap bubur ayam ala Bangka.
Sambil menunggu pesanan diracik, Maxi memberanikan diri menanyakan hal yang selama beberapa hari ini masih terasa cukup mengganggunya. Ditatapnya Prima.
“Pa, boleh aku tanya?” suara Maxi terdengar rendah dan mengambang.
“Ya?” Prima balik menatap Maxi.
“Mm... Navita itu siapa?”
Prima tertegun sejenak. Tapi tatapan Maxi yang jatuh tepat di manik mata membuatnya tersadar. Ia mengerjapkan mata.
“Salah satu staf Papa di kantor.”
“Papa ada hubungan apa sama dia?”
“Nggak ada, Max,” Prima mengerutkan keningnya. “Hubungan kerja biasa.”
Ada sorot tak percaya berlompatan keluar dari mata Maxi. Dengan jelas Prima bisa menangkap arti tatapan Maxi.
“Sebenarnya ada apa, sampai kamu bertanya dengan nada kayak gini?”
“Beberapa malam lalu...,” Maxi menghentikan ucapannya sejenak ketika pesanan bubur ayam mereka terhidang. “Terima kasih,” gumamnya. Ia kemudian kembali menatap Prima. “Beberapa malam lalu, Papa mengigau. Waktu Papa tidur di kamarku. Dan... Papa menyebutkan nama itu. Navita.”
Seketika Prima tertegun karenanya.
* * *
Luken menatap sekeliling ruang rapat dengan puas. Ruang yang biasanya sepi tanpa banyak pernik itu kini terlihat meriah dengan hiasan balon dan kertas krep warna-warni. Pada sisi dinding yang berhadapan langsung dengan pintu, sudah terpasang sebuah spanduk.
Pada akhirnya ia memutuskan untuk tetap mengadakan pesta kejutan untuk Sandra. Tidak hanya sekadar tumpengan sederhana. Baginya, Sandra adalah bagian tak terpisahkan dari kesuksesan usaha yang sudah dimulai sejak jaman pamannya memimpin di sini.
Diam-diam dihelanya napas panjang. Ia tahu betul kenapa James belum juga menikah hingga detik ini. Karena pamannya itu mencintai Sandra. Hanya saja Sandra lebih memilih seorang laki-laki bernama Riza Hakim yang berprofesi sebagai dosen daripada seorang James Sudianto, dan tetap teguh dengan pilihan itu. Dan selanjutnya yang terbentuk antara Sandra dan James hanyalah hubungan profesional yang membuat Luken sangat mengagumi dan menghormati keduanya.
“Gimana, Pak? Apa lagi yang perlu ditambah?” celetuk Caesar.
Luken menoleh sekilas dan kembali mengamati seisi ruangan. “Hm... Kayaknya sudah cukup, Mas. Tinggal tunggu makanan selesai ditata saja.”
Caesar manggut-manggut.
Para lelaki di kantor itu sudah selesai menghias ruang rapat untuk merayakan pesta ulang tahun ke-47 Sandra. Para perempuan masih sibuk menata semua makanan yang baru saja diantar. Semua kesibukan itu luput dari pandangan Sandra yang memang sengaja ‘ditahan’ Luken di lantai atas. Harus menunggu telepon dari Wildan yang sebetulnya hanya akal-akalan Luken saja.
Luken menatap arlojinya. Hampir pukul sebelas. Ia kemudian mendekati Olivia. Dengan ringan, dicoleknya bahu gadis itu.
“Ya, Pak?” Olivia menghentikan sejenak kesibukannya.
“Gimana Pak Riza, Liv?”
“Beres, Pak. Sudah jalan ke sini sama Angie.”
“Jadi ini tinggal tunggu mereka saja?”
Olivia mengangguk. “Ini makanannya juga sudah beres, kok.”
Luken mengacungkan kedua jempol tangannya.
Yang ditunggu datang lima menit kemudian. Luken menyambut dan menyalami Riza dan Angie dengan hangat. Riza tampak sulit berkata-kata melihat semua yang sudah siap dalam ruangan itu. Ia hanya bisa mengucapkan berkali-kali kata ‘terima kasih’.
“Lil!”
Gadis bergaun batik itu menoleh dan segera menghampiri Luken. “Ya, Pak?”
“Tolong, panggil Bu Sandra, ya? Pokoknya kuminta ke sini sekarang.”
“Baik, Pak.”
* * *
Save!
Sandra menghela napas lega karena pekerjaannya sudah selesai. Tugasnya tidak banyak hari ini. Setelah merapikan meja, ia duduk bersandar di kursi dan bersedekap sambil menatap layar laptop.
Hanya ada ia seorang diri di ruangan besar itu. Olivia sedang mendampingi Luken rapat dengan para staf yang lain di ruang bawah sejak sebelum pukul sembilan tadi. Ia sudah mendapat mandat dari Luken untuk menunggu telepon dari Wildan, salah seorang pemasok utama mereka. Kondisi itu membuatnya leluasa untuk melakukan hal lain di luar pekerjaannya yang sudah beres. Berselancar di dunia maya, misalnya.
Sandra kembali menegakkan punggungnya. Sejenak kemudian ia sudah asyik dengan laptopnya lagi. Tentu saja dengan kewaspadaan penuh, karena Pak Boss sewaktu-waktu bisa muncul. Seperti biasa, ia membuka sebuah web proxy, dan masuk ke situs yang ditujunya melalui web itu. Dan situs itu adalah BlogSip. Tapi kali ini ia enggan login. Hanya berkunjung saja. Itu pun sudah membuatnya mencibir ketika loading halaman utama saja makan waktu hampir lima menit lamanya.
Hm... BlogSip... Penyakitnya kalau nggak lola, ya, error. Kronis. Lama-lama jadi nggak sip lagi.
Dulu, awalnya, walaupun tak punya akun di sana dan belum tertarik untuk memiliki akun, Sandra suka sekali membaca berbagai hal yang berlayar di BlogSip. Banyak artikel ringan yang berisi hal-hal unik. Ada juga catatan harian yang terkadang memancing senyum ataupun simpati. Sering kali ia mampir juga ke resensi buku atau film yang ditulis secara jujur. Belum lagi taburan fiksi gratis yang bisa dipilih sesuai selera. Pendeknya, menarik!
Tapi perlahan warna menarik itu memudar dengan munculnya akun-akun selebritis. Mereka berkumpul jadi satu kelompok besar dan pelan-pelan menguasai peta BlogSip. Pada awalnya sepak terjang mereka menarik juga, tapi lama-lama menjemukan. Hiruk-pikuk sendiri. Dengan sekian banyak fans yang berlomba memperlihatkan diri, mencoba menarik perhatian dari para selebriti, tapi menutup mata terhadap segala perilaku minus mereka. Belum lagi para oportunis yang ikut ke mana pun angin bertiup hanya demi secuil popularitas dengan mendompleng akun-akun yang cukup moncer.
Bully-an mulai dianggap sebagai canda wajar sehari-hari. Yang mengingatkan langsung mendapat cap sebagai haters. Ironisnya, pengelola blog seolah mengamini semuanya itu dengan mulai bertindak tidak adil. Mengutamakan para selebriti itu hanya demi mendulang klik hingga peringkat blog melesat naik.
Nggak perlu jadi orang jenius untuk melihat dan menyadari pola itu, Sandra mencibir. Hanya perlu membuka mata, hati, dan mata hati.
Dan ia justru membuat akun ketika situasi di BlogSip terlihat makin tak terkendali. Akun Paitun. Ia sama sekali tidak kenal siapa itu Arlena Arbianto. Ia hanya tahu bahwa tulisan Arlena sungguh menginspirasi, memotivasi, dan mempesona banyak orang. Tapi ia mengenal putri sulung perempuan itu. Seorang gadis sederhana yang tidak banyak pernik. Dan sedikit banyak ia jadi tahu kisah sesungguhnya. Bahwa Arlena Arbianto tak ubahnya seorang munafik, musang berbulu domba, atau apa pun istilahnya.
Bila selama beberapa minggu ini hanya akun Paitun saja yang muncul dan menyerang Arlena Arbianto dengan komentar-komentar pedas, beberapa hari belakangan ada beberapa akun lagi yang cukup intens menyindir Arlena melalui komentar-komentar mereka. Type-nya sama. Sopan, tanpa kata kasar, tapi sangat tajam dan tepat sasaran. Nyaris sama dengan komentar yang ditulis akun Paitun, tapi tetap ada bedanya.
Dan Arlena tak pernah sedikit pun menanggapi komentar-komentar itu. Justru para penggemarnya yang rajin membalas dengan berbagai kalimat nyinyir, bahkan cenderung mem-bully dengan sadis.
Siapa mereka?
Sandra menyipitkan mata.
“Bu...”
Sandra tersentak kaget. Lila sudah berada di puncak tangga. Sedikit menjulurkan leher dengan gesture mengintip.
“Ya, Mbak Lila?” senyum Sandra, menutupi kekagetannya.
“Ibu diminta Pak Luken ke ruang meeting sekarang,” ujar Lila.
“Lho, nanti kalau ada telepon dari Pak Wildan, gimana?” Sandra mengerutkan keningnya.
“Wah, nggak tahu, Bu,” Lila mengedikkan bahunya. “Pokoknya Pak Luken bilang gitu.”
“Oh... Oke, oke...,” Sandra mengangguk. “Aku save dulu kerjaanku, Mbak.”
“Baik, Bu,” dan Lila pun membalikkan badannya.
Sandra buru-buru menutup web proxy di layar laptopnya.
Dan dinding luar ruang rapat yang tidak tembus pandang berhasil menyembunyikan semua kemeriahan itu dari mata Sandra. Ia hanya bisa ternganga ketika membuka pintu ruang rapat dan disambut dengan spanduk bertuliskan “SELAMAT ULANG TAHUN KE-47, BU SANDRA...” yang tertempel di dinding, diiringi nyanyian “Selamat Ulang Tahun”, dan sebuah kue tart yang berada di tangan Riza dan Angie.
“Oh, my...,” ia menutup mulutnya dengan kedua tangan.
Lirik lagu kini berganti menjadi ‘tiup lilinnya...’, membuat Sandra tertawa sekaligus berlinang air mata. Ketika lilin sudah padam sempurna setelah ia tiup, sebuah kecupan hangat dari Riza berlabuh di keningnya. Dan Angie memeluknya erat. Dan sesudahnya, ia menerima banyak pelukan ringan dan ucapan selamat dari seluruh rekan kerjanya.
* * *
Prima membuka matanya dalam hening. Sekejap ia melirik jam dinding. Lewat beberapa menit dari pukul sebelas siang. Ia menggeliat sedikit dan memutuskan untuk tetap berbaring. Keheningan benar-benar terasa mengepungnya. Tapi ia kemudian teringat, bahwa Arlena tadi sudah berpamitan hendak berbelanja dan mengurus kantornya yang sudah ditinggal selama beberapa hari.
Dan kesunyian itu mau tak mau menyeretnya kembali ke pembicaraannya dengan Maxi tadi pagi. Pembicaraan yang membuat perutnya terasa mulas dan kepalanya pening seketika. Sehalus apa pun nada suara Maxi, tetap saja ia menangkap ada bayang-bayang tuduhan di dalamnya. Dihelanya napas panjang.
Papa nggak pernah berbuat apa-apa, Nak... Dan entah kenapa mimpi tentang Navita itu muncul.
Prima mengerjapkan mata dan kembali menghela napas panjang sebelum memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamar. Di lantai bawah, hanya dijumpainya Muntik yang sedang sibuk menyeterika di dekat dapur.
“Maxi sudah berangkat jemput Mela, Tik?” tanya Prima.
“Keluar dari jam sepuluh, Pak,” Muntik menoleh, menatap Maxi. “Nggak jelas ke mana. Tapi tadi bilang kalau mau sekalian jemput Mbak Mela.”
“Oh...”
“Bapak mau minum?” tawar Muntik.
Prima mengangguk. “Teh tawar hangat saja, Tik. Makasih.”
Muntik mengangguk sambil meletakkan seterika di tempat aman, kemudian beranjak ke dapur. Prima berbalik dan duduk di sofa ruang tengah. Ia termangu sejenak. Bingung harus berbuat apa. Tadi pagi sebelum terlelap lagi, ia sempat menelepon asistennya untuk memastikan bahwa pekerjaan di kantor berjalan lancar. Dan ia merasa tak ada yang perlu dikhawatirkan. Asistennya cukup bisa diandalkan.
Sebenarnya ia sudah merasa sehat sejak kemarin dan merasa siap untuk masuk kerja pagi tadi. Tapi celetukan Arlena semalam membuatnya berpikir ulang, dan merasa tak ada salahnya menuruti kata-kata Arlena.
“Tanggung amat, sih, Pa? Besok, kan, Jumat. Sabtu libur lagi. Diterusin saja sekalian absennya. Kan, surat keterangan dari dokter juga bilang kalau Papa harus istirahat empat hari dari Selasa.”
Tatapannya kemudian jatuh ke sudut ruangan. Tempat sebuah upright piano berwarna coklat gelap berdiri. Ia kemudian menghampiri benda itu, dan duduk di depannya. Bersih. Mengilap. Ia tahu bahwa Muntik tak lupa mengelap piano itu setiap hari. Juga Olivia pada setiap akhir minggu. Bahkan kadang-kadang memainkannya.
Pelan-pelan ia membuka tutupnya, dan mulai menekan beberapa tuts secara acak. Hanya beberapa detik kemudian, ia sudah meletakkan kesepuluh jari tangannya di atas deretan tuts. Dan mendentingkannya sesuai keinginan.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
good post mbak
BalasHapusMakasih mampirnya, Pak Subur... 😊😊😊
HapusHadir ! (driji ngatung)
BalasHapusAq rapelan mb Lis.
Sok sibuk wakwakwakwak
Aku mbalese yo lelet og... 😁😁😁
HapusHehehe... BlogSip mirip ama ya, Tante? ;)
BalasHapusBlog jurnalisme warga kan bejibun mereknya 😋😋😋
HapusHBD, Bu Sandra! Maaf telat ngucapin dan nggak bisa ngasih kado. He he he
BalasHapus