Prima mendapati kantor divisinya lebih riuh daripada biasanya ketika ia kembali dari makan siang. Sejenak ia berhenti di tengah keramaian itu.
“Ada apa, nih?” senyumnya.
“Ini, Pak,” Rima tiba-tiba saja mengangkat tangan kiri Navita. “Ada yang baru saja dilamar liburan kemarin.”
Prima mengangkat alisnya dan tersenyum lebar ketika melihat sebentuk cincin melingkar di jari manis kiri Navita. Gadis itu buru-buru menarik tangannya dari genggaman Rima dengan wajah memerah. Ia tampak tersipu berat.
“Wah, selamat, ya,” Prima tertawa. “Semoga undangannya cepat terbit.”
Laki-laki itu kemudian melangkah ke mejanya begitu mendengar bunyi alarm tanda jam kerja dimulai. Tapi sebelumnya ia sempat menoleh ke arah Navita.
“Vit, berkas yang tadi kalau sudah selesai segera bawa ke mejaku, ya?”
Gadis itu mengangguk sembari mengambil beberapa map di atas mejanya, dan mengikuti langkah Prima.
“Sudah dibuat salinannya?” tanya Prima begitu Navita duduk di seberangnya.
“Sudah, Pak,” angguk Navita.
“Oh, ya, selamat, ya,” Prima mengulurkan tangan. “Ditunggu undangannya.”
Ragu-ragu Navita menerima jabat tangan itu. Wajahnya kembali menunjukkan ekspresi tersipu.
“Belum lamaran resmi, kok, Pak,” elaknya.
Prima mengangkat tatapan dari berkas yang tengah ditelitinya. Dialihkannya tatapan itu pada Navita.
“Kamu sudah mantap?” tanyanya halus.
Navita tercenung sejenak.
“Saya tidak tahu,” gumamnya.
“Lho?”
Navita menatap Prima. “Saya merasa nyaman bersama Mas Gandhi. Soal cinta atau tidak, saya tidak tahu. Yang jelas, dia sudah menyatakannya pada saya. Dan saya menerimanya.”
Prima manggut-manggut.
“Memang agak terlalu cepat,” lanjut Navita. “Tapi saya percaya Mas Gandhi laki-laki baik-baik. Ada yang bisa menjamin itu.”
“Ya, lakukan saja yang menurutmu baik untuk dilakukan,” senyum Prima. “Tapi yang penting adalah sesudahnya, Vit. Tidak mudah untuk menjaga dan merawat semuanya ketika sudah berkeluarga. Tapi bukan berarti tidak bisa. Ajaklah dia untuk berkomitmen akan menjalankannya bersamamu. Harus bersama-sama. Tidak bisa hanya salah satu pihak saja.”
“Ya, Pak. Terima kasih,” Navita mengangguk takzim. “Saya akan selalu mengingat nasihat Bapak.”
Prima kembali sibuk memeriksa berkas itu sebelum menorehkan tanda tangan.
* * *
“Bu, aku sama sekali nggak tahu kalau Pak James sangat mencintai Ibu,” bisik Olivia sambil berjalan kembali ke kantor.
Acara makan siang bersama mereka berlangsung menyenangkan. Lyra memberikan pelukan hangat pada Sandra dan Olivia sebelum kedua orang itu meninggalkan resto lebih dulu. Kini Olivia tahu dari mana asalnya sikap simpatik yang selalu ditunjukkan oleh Luken. Dari Yus dan Lyra, orang tua laki-laki itu.
Mereka cepat mengakrabkan diri. Bahkan kedua orang itu tak segan menggoda Sandra yang sudah lama mereka kenal, tentang cerita masa lalu dengan James, adik Lyra. Membuat Sandra tersipu. Olivia sempat ternganga ketika mengetahui kisah itu. Tapi ia hanya mengikuti pembicaraan saja. Tanpa berkomentar.
“Aku merasa lebih nyaman berada di samping Pak Riza daripada Pak James,” senyum Sandra. “Dan perasaan itu nggak bisa dipaksakan, Mbak Liv.”
Jawaban itu membuat Olivia tercenung sejenak. Ingatannya terlempar pada acara makan siang tadi.
“Cinta, kan, nggak bisa dipaksakan,” nada suara Luken terkesan membela Sandra, begitu candaan tentang James dan Sandra menggelinding.
“Begitu juga om-mu,” senyum Lyra. “Kita tidak bisa memaksanya move on.”
“Dia sudah move on,” kali ini Yus membela James. “Dengan caranya sendiri. Kita, kan, tahu kesibukan James sekarang.”
Sandra tersenyum simpul. Dan senyum itu melebar ketika mendapati sinar tanya dalam tatapan Olivia.
“Oh, ya, Livi, kok, liburan kemarin nggak ikut ke Bali?” tiba-tiba saja Lyra mengalihkan topik pembicaraan.
Olivia menatap Lyra dengan sorot mata bertanya. “Maaf, maksud Ibu?”
“Mama dan adikmu ke Bali, kan?” senyum Lyra. “Memangnya nggak cerita kalau kami ketemu di Sanur?”
Binar dalam mata Olivia memudar sedikit. Ia kemudian menggeleng.
“Saya banyak kegiatan saat libur kemarin,” ucap Olivia lirih. “Jadi belum sempat dengar banyak cerita soal liburan Mama dan Mela.”
Ya! Kegiatan mengukur jalan tanpa tujuan dengan teman-teman dan mendengkur di kamar.
Olivia meringis dalam hati. Sesungguhnya, ia memang tidak tertarik dan tidak ingin tahu cerita liburan ke Bali itu. Dan sepertinya Mela memahami itu, hingga tidak menceritakan apa-apa padanya walaupun secara pribadi.
Olivia menggigit sedikit bibir bawahnya.
Rasa nyaman?
Ia menggeleng samar.
Rasa itulah yang tidak mau muncul di hatinya akhir-akhir ini. Ketika Arlena hadir lagi dan pelan-pelan mengambil alih peranan yang selama ini ia jalankan. Seharusnya ia senang karena beban dan tanggung jawabnya berkurang. Tapi...
Barangkali aku sudah mulai sakit jiwa... Pikiranku sudah susah untuk fokus. Maunya lari ke mana-mana.
Diam-diam Olivia mendesah dalam hati.
* * *
Sandra menatap ragu-ragu ke arah Olivia. Sudah hampir pukul empat sore. Sedangkan Olivia terlihat masih sibuk mengetikkan sesuatu di laptopnya. Luken memang tidak kembali lagi ke kantor seusai makan siang tadi. Tapi Sandra dan Olivia tetap punya tugas untuk dikerjakan. Tidak mendesak, hanya saja tetap harus diselesaikan.
“Mbak Liv...,” akhirnya Sandra buka suara.
“Ya, Bu?” Olivia menoleh sekilas.
“Sudah hampir jam pulang, nggak siap-siap?”
Olivia menghentikan gerakan lincah jemarinya di atas keyboard. Ia kini menoleh ke arah Sandra dengan perhatian penuh.
“Ibu kalau mau pulang, pulang saja,” senyum Olivia. “Aku selesaikan dulu kerjaan kita. Biar besok kita siap untuk pekerjaan lain.”
Sandra menggelengkan kepala. “Kan, kerjaan kita nggak mendesak, Mbak Liv.”
Olivia menatap Sandra dengan serius. “Iya, aku tahu, Bu,” angguknya. “Tapi aku mau menyelesaikannya sekarang. Nggak apa-apa kalau Ibu mau pulang. Lagipula aku bebas sore ini. Nggak ada yang menjemput.”
Sandra menatap Olivia dengan putus asa. Olivia kembali tersenyum.
“Jangan merasa bersalah begitu, dong, Bu,” Olivia menyambungnya dengan tawa ringan. “Ayolah... Aku senang menyelesaikan pekerjaan ini.” ... daripada harus pulang cepat, sambungnya dalam hati.
Sandra akhirnya menyerah. Tepat pukul empat, ia berpamitan pada Olivia. Gadis itu pun kembali dengan kesibukannya. Lewat sedikit dari pukul setengah enam, Olivia menyudahi pekerjaannya dan mulai merapikan meja. Sebelum turun, ia memesan taksi online, kemudian menunggu kedatangan taksi itu dengan duduk manis di kursi satpam di sudut teras lobi.
* * *
“Ini langsung pulang atau mau ke mana dulu?” Prima pelan-pelan menekan pedal gas. Mobil itu mulai bergerak meninggalkan area parkir Chemisto.
“Habis jemput Livi, sekalian mampir makan saja, Pa,” jawab Arlena. “Kan, di Tebet banyak tempat makan enak.”
“Livi mau pulang sendiri, nggak mau dijemput,” gumam Prima.
“Lho!” Arlena terlihat kaget. “Muntik sudah telanjur nggak aku suruh masak buat makan malam. Makanya ini tadi setelah jemput Mela, langsung aku ajak untuk jemput Papa dan Livi. Maksudku, sekalian saja kita makan di luar. Tadi Maxi sudah bilang kalau dia pulang agak larut.”
Sekilas Prima menatap kaca spion tengah. Carmela tengah asyik mendengarkan sesuatu dari ponselnya melalui earphone yang menyumpal kedua telinga.
“Lain kali, kalau ada apa-apa yang berhubungan dengan Livi, tolong, Mama koordinasi dululah sama aku,” tegur Prima dengan nada sabar. “Jangan dulu ambil keputusan sendiri. Ya, aku juga salah, karena nggak kasih tahu lebih dulu ke Mama soal Livi nggak mau dijemput.”
Arlena mendesah. Ia menyadari seutuhnya bahwa ia sudah melakukan satu lagi kesalahan. Dihelanya napas panjang.
“Sudah, nggak apa-apa,” Prima menepuk lembut punggung tangan Arlena. “Jadi ini sekarang gimana? Mau tetap mampir makan dulu, atau bawa makanan pulang?”
“Aku tanya Mela dulu,” Arlena kemudian memutar badannya.
* * *
Olivia mengerutkan kening ketika turun dari taksi dan menemukan pintu pagar masih tergembok. Padahal sudah hampir pukul tujuh.
Ke mana semua orang?
Buyar sudah harapannya untuk segera beristirahat sambil menikmati makan malam hangat hasil masakan Muntik. Ia tak terbiasa membawa kunci gembok pagar dan kunci pintu rumah. Selama ini rencengan kunci itu selalu tersimpan di dashboard mobil Prima. Kalaupun ia tidak pulang bersama Prima, selalu ada orang di rumah. Minimal ada Carmela.
Dengan jengkel ia menghentakkan kaki. Ponselnya sudah mati sejak ia baru saja masuk ke taksi. Ketika mobil itu sudah melaju, barulah ia ingat bahwa power bank-nya tertinggal di laci meja kantornya. Dihelanya napas panjang.
Langit malam sudah bertambah gelap oleh mendung. Hujan seolah sudah siap untuk tercurah dari langit. Sepanjang jalan di blok itu sepi. Tampaknya semua orang sudah berada dalam kehangatan rumah masing-masing, dan Olivia sama sekali tidak mau mengganggu tetangganya.
Dan benar saja, baru lima menit ia berdiri di depan pagar, hujan sudah merinai. Olivia beringsut untuk berteduh di bawah pohon di depan pagar rumah. Kata orang, bahaya sekali hujan-hujan begini berteduh di bawah pohon.
Tapi apa aku punya pilihan lain?
Ia mengerjapkan mata dengan nelangsa.
Mela ke mana, sih?
Makin lama hujan makin deras. Walaupun berteduh, tapi Olivia tetaplah basah kuyup karena angin yang bertiup cukup kencang membawa butiran-butiran air hujan datang padanya tanpa ampun. Diam-diam Olivia menggigil.
Setelah hampir setengah jam ia diguyur hujan dalam sepinya jalanan blok, barulah sebuah city car berwarna silver muncul dan berhenti di depan pagar. Tapi perasaannya sudah telanjur tawar. Rasa lelah dan lapar sudah membuatnya tak bisa memikirkan apa-apa lagi. Tak peduli juga apakah para penumpang mobil itu bisa melihatnya atau tidak.
Ia hanya bisa terdiam ketika melihat Carmela keluar dari pintu kiri belakang, membuka gembok pagar, dan berlari untuk membuka pintu garasi. Setelah mobil itu meluncur masuk, barulah ia beringsut. Pelan-pelan ia masuk dan menutup pintu pagar. Saat itulah Carmela melihatnya.
“Mbak Liv!” serunya.
Prima yang baru keluar dari mobil turut menengok ke belakang. Hatinya mencelos ketika dilihatnya Olivia berjalan masuk dalam kondisi basah kuyup.
“Liv? Kamu baru pulang?”
Olivia hanya menatap dengan sorot mata kuyu, merah, dan berair. Wajahnya tampak pucat pasi.
“Bisa, nggak, kalau ngeluyur keluar, pintu pagar nggak usah digembok?” gumamnya dengan bibir bergetar. “Aku setengah jam kehujanan di luar.”
Prima mengulurkan tangan, hendak memeluk gadis itu. Tapi tangan itu segera tertepis dengan kasar. Olivia melangkah lurus ke arah tangga dan menghilang ke dalam kamar dengan meninggalkan suara debum kencang bantingan daun pintu. Arlena terhenyak. Ia hanya mampu bertukar tatapan dengan Carmela. Tatapan yang sama-sama dilumuri rasa bersalah.
Sebenarnya mereka sudah mengantisipasi agar tidak terlalu lambat tiba di rumah. Carmela memilih agar mereka menunda acara makan malam di luar seperti yang sudah dijanjikan Arlena, dan hanya mampir ke sebuah drive thru sebuah restoran cepat saji. Sayangnya, perjalanan pulang mereka terhadang macet parah karena ada kecelakaan lalu lintas. Prima dan Carmela sebetulnya sudah berusaha menghubungi ponsel Olivia, tapi rupanya ponsel itu tidak aktif. Dan Arlena sudah telanjur berpesan pada Muntik agar mengunci pintu pagar saat sang ART berpamitan melalui telepon menjelang pukul empat tadi.
Tanpa banyak kata, Prima kemudian naik ke lantai atas. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar Olivia yang tertutup rapat sebelum mengetuknya dengan halus.
“Liv...,” panggilnya lembut di sela-sela ketukannya. “Maafkan Papa, Liv, tadi nggak langsung kasih tahu Mama kalau kamu nggak mau pulang bareng. Liv... Livi... Maksud Mama tadi, mau ajak kita semua makan bareng di luar. Liv, tolong, dong, buka pintunya... Ayo, makan dulu. Liv...”
Sia-sia. Pintu itu tertutup rapat tanpa sedikit pun ada sahutan. Carmela yang ada di belakang Prima mengelus bahu ayahnya itu.
“Papa mandi dulu,” bisiknya. “Terus makan. Nanti Mela yang bicara sama Mbak Liv.”
Prima tertunduk sejenak sebelum menghela napas dan beringsut masuk ke kamarnya untuk membersihkan diri. Sayup didengarnya ketukan di pintu kamar Olivia.
“Mbak Liv... Tuh, tadi Mela pilihin chicken teriyaki kesukaan Mbak Liv. Lagi diangetin sama Mama. Makan, ya, Mbak. Mela tunggu di bawah.”
Tapi hingga Maxi pulang menjelang pukul sepuluh malam, Olivia tidak kelihatan batang hidungnya. Ketika pemuda itu mendengar apa yang terjadi melalui penuturan Carmela, ia segera menggelengkan kepala dengan gusar. Tatapannya jatuh pada Arlena.
“Bisa, nggak, sih, kalau mau melakukan apa-apa itu dipikir dulu?!” sentaknya penuh emosi. “Kurang apa, sih, Mbak Liv itu?!”
“Semua ini nggak disengaja, Max!” entah kenapa Prima menggelegarkan suaranya kali ini. “Maksud mamamu baik! Tolong, dong, kamu buka mata hatimu!”
Maxi menentang tatapan Prima dengan pandangan tajam menusuk.
“Buka mata hati...,” desisnya. “Papa pikir apa yang selama ini aku lakukan?!” teriak Maxi dengan nada murka. “Hanya karena aku selalu buka mata hatiku terhadap semua yang sudah dilakukan Mbak Liv, aku bisa jadi seperti ini! Hanya karena aku selalu buka mata hatiku terhadap kenyataan bahwa aku masih punya seorang adik yang harus kulindungi dan kubimbing, aku masih survive sampai sekarang! Dan dengan mata hati yang terbuka juga aku bisa melihat bahwa Papa makin lama makin berat sebelah! Belum cukup pengorbanan Mbak Liv?! BELUM CUKUP?!”
Dengan langkah lebar, Maxi kemudian meninggalkan ruang tengah itu dengan menyandang ranselnya. Wajahnya merah padam. Tak dipedulikannya panggilan Prima. Ia sempat berhenti sejenak di depan pintu kamar Olivia. Pelan, ia mencoba mengetuk pintu yang tertutup rapat itu.
“Mbak...,” panggilnya halus. “Mbak Liv...”
Pelan pintu itu terkuak. Dan ketika wajah pucat Olivia menyembul, Maxi segera merangsek masuk dan mengunci pintu itu dari dalam. Ditenggelamkannya Olivia ke dalam pelukan.
“Mbak, maafin aku,” bisiknya. “Aku nggak ada ketika Mbak butuh aku.”
Olivia hanya terdiam. Tapi Maxi jelas-jelas merasakan gigil tubuh kakaknya itu. Dan pelan-pelan ia merasakan kehangatan yang lebih daripada yang seharusnya.
“Mbak...”
Kening Olivia yang dirabanya kemudian terasa panas.
“Aku... capek, Max...”
Maxi mengeratkan dekapannya. Sepotong kata ‘capek’ yang berarti sangat banyak. Membuat hati Maxi runtuh seketika. Pelan ia kemudian membawa Olivia beringsut ke arah ranjang dan membaringkan kakaknya itu dengan sangat hati-hati di sana.
“Mbak Liv berapa lama kehujanan di luar?” Maxi menutupkan selimut hingga ke leher Olivia.
“Setengah... jam...,” gadis itu masih menggigil hebat.
Tatapan sedih Maxi menyapu wajahnya.
“Mbak belum makan?”
Olivia menggeleng. Maxi membuka ransel dan mengeluarkan sebuah dus makanan.
“Mbak, aku tadi sempat beli roti unyil. Lupa nggak aku tinggalkan di bawah. Mbak makan, ya? Biar nggak tambah masuk angin. Nanti aku bikinkan teh hangat. Tapi Mbak makan rotinya dulu.”
Maxi terus-menerus mengelus kepala Olivia yang menuruti ucapannya agar makan roti, sambil tetap bergelung di bawah selimut. Pelan mata Maxi mengaca. Terbayang di matanya Olivia yang lelah sepulang kerja, masih harus pula kehujanan dan diterpa angin dingin di luar rumah selama setengah jam. Sakit sekali hatinya merasakan itu.
Setelah Olivia menghabiskan sepotong roti, Maxi membuka laci nakas Olivia. Ditemukannya seblister obat flu yang sudah tidak utuh lagi. Dilepaskannya sebutir obat dari blister itu, dan diminumkannya pada Olivia.
“Besok kalau masih demam, Mbak Liv nggak usah masuk kerja dulu,” bisik Maxi, membelai lagi kepala Olivia. “Aku nggak akan ke mana-mana. Aku jagain Mbak sampai sembuh. Sekarang makan lagi rotinya, ya? Kalau cuma sepotong, nggak bakalan kenyang. Ukurannya mini begini...”
Sebutir air mata Olivia jatuh menggelinding ke atas bantal.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜
BalasHapusLengkap penderitaan Livi....
Lanjut, mbak Lizz
Livi oh Livi... :'(
BalasHapusðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜ðŸ˜big hugs livi
BalasHapusKasian yaaa...Livi
BalasHapus