Tujuh
“Kamu nanti pulang jam berapa, Mel?” tanya Maxi sebelum Carmela turun dari mobil.
“Jam dua belas sudah selesai,” jawab Carmela.
“Ya, nanti Mas jemput.”
“Oke,” ucap Carmela sambil menutup pintu mobil.
Kaki Maxi kembali menekan pedal gas dan mobil itu meluncur meninggalkan sekolah Carmela. Maxi menoleh sekilas pada Olivia.
“Mbak...,” ujarnya kemudian. Terdengar sangat ragu-ragu.
Olivia yang sudah selesai berdandan menoleh ke samping. “Ya?”
“Aku, kok, khawatir sama sakitnya Papa, ya?” gumam Maxi.
Olivia terdiam. Sesungguhnya ia pun merasakan hal yang sama.
“Kemarin pagi nggak apa-apa, tahu-tahu sore nge-drop begitu,” lanjut Maxi.
“Papa lagi banyak beban, Max,” ujar Olivia lirih. “Kerjaan di kantor lagi banyak. Belum lagi Mama kayak gitu. Papa memang nggak pernah mengeluh. Tapi justru itu, semuanya jadi disimpan sendiri. Aku sendiri abai, belum pernah ajak Papa bicarakan itu.”
“Bukan salah Mbak Livi-lah...,” Maxi menanggapi. “Mbak Livi selama ini sudah sibuk dari pagi sampai pulang kerja. Mbak capek juga, kan?”
Olivia mengangguk. “Makanya, Max, sebisa mungkin kita nggak usah nambah masalah. Kamu kuliah yang bener, aku kerja yang baik, dan kita berdua juga harus bisa kerja sama ngawasin dan bimbing Mela. Biar beban Papa nggak makin berat.”
“Iya, Mbak,” ucap Maxi dengan nada patuh.
Olivia menepuk bahu kiri Maxi sambil tersenyum.
“Eh, Mbak...”
“Ya? Apa lagi?”
“Mm... Itu... Semalam...”
Maxi sudah terkantuk-kantuk menghadapi diktatnya. Sesekali ia mengucek mata sambil menguap. Baru pukul sepuluh. Padahal biasanya ia kuat begadang sampai lewat tengah malam, bahkan menjelang pagi. Pada akhirnya ia menyerah. Ia menguap sekali lagi sambil meringkas buku-buku yang bertebaran di atas mejanya.
Ketika berdiri dari duduknya, sekilas ia melayangkan tatapan ke arah ranjang. Ada ayahnya berbaring di sana. Dalam tidurnya yang agak gelisah. Saat masih menghadapi buku-bukunya tadi, beberapa kali ia menoleh ketika Prima bergerak untuk beralih posisi, sekadar untuk memastikan ayahnya itu baik-baik saja. Dan ia mengembalikan arah tatapan pada bacaannya setelah dilihatnya mata Prima tetap terpejam.
Sejenak ia masuk ke kamar mandi sebelum merebahkan diri di sebelah Prima di atas ranjang berukuran king size itu. Dihelanya napas panjang. Menghela kelegaan karena Prima mau menuruti kata-katanya untuk pindah tidur ke kamarnya ini. Dan ia pun mulai memejamkan mata.
Tapi baru sekejap rasanya ia tertidur ketika didengarnya suara gumaman tak jelas. Susah payah ia membuka mata. Perlu beberapa detik untuk menyadari bahwa kali ini ia tidak sendirian di atas ranjangnya.
Ayahnya sedang mengigau. Dalam keremangan cahaya lampu kamar, Maxi melihat bahwa wajah Prima berkeringat. Dirabanya kening ayahnya itu. Tidak demam, justru agak dingin. Dengan halus, ia membangunkan Prima. Dan sebelum Prima membuka mata, dari bibirnya meluncur sebuah desahan lirih yang masih bisa ditangkap telinga Maxi dengan sangat jelas.
“Navita?” Olivia mengerutkan kening.
Nama itu terdengar akrab di telinganya. Tapi ia tak ingat siapa dan di mana ia menemukan nama itu. Ia kemudian menoleh lagi ke arah Maxi.
“Kamu nggak tanya sama Papa?”
Maxi menggeleng sambil menggumam, “Nggak tega, Mbak.”
Olivia menghela napas panjang.
Navita?
Dicobanya untuk berpikir lebih keras lagi.
Navita... Navita... Navita...
Dan tiba-tiba saja ia tersentak.
Navita? Navita!
“Kamu ingat cewek yang ketemu di Gancit kemarin itu?” ditatapnya Maxi.
Maxi menoleh sekilas. “Ya. Kenapa?”
“Yang rambutnya pendek namanya Navita,” sahut Olivia.
Maxi mengerutkan kening. Dan selanjutnya mereka berdiam diri hingga sampai di kantor Olivia. Gadis itu menoleh sekilas sebelum membuka pintu mobil.
“Aku nanti pulangnya naik taksi saja, Max,” ucapnya. “Kalau Papa kenapa-napa, cepat kabari aku. Kalau bisa, bawa ke dokter. Jangan lupa jemput Mela.”
“Oke.”
* * *
Sepeninggal ketiga anaknya memulai aktivitas, Prima memutuskan untuk kembali ke kamar utama. Di depan pintu kamar Maxi, ia berpapasan dengan Muntik.
“Tik, tolong ringkas bekas sarapanku tadi, ya. Sekalian bersihkan kamar Maxi,” ucapnya halus.
“Bapak mau ke mana?” Muntik menatap Prima dengan khawatir.
“Kembali ke kamar.”
“Oh, iya, Pak. Sudah selesai saya rapikan, kok.”
Dengan menumpukan tangan kirinya pada sepanjang dinding, Prima melangkah perlahan ke arah kamarnya. Kepalanya masih terasa pening. Ulu hatinya juga masih terasa nyeri walau tak sehebat kemarin. Dan kombinasi dua rasa tak nyaman itu menimbulkan mual, sekaligus keringat dingin.
Masuk angin model apa ini?
Diam-diam ia menggerutu dalam hati. Ketika ia sampai ke kamar, didengarnya ada aktivitas di kamar mandi. Juga senandung Arlena yang sayup-sayup sampai ke telinganya. Pelan ia membaringkan dirinya di atas ranjang dan mengatupkan mata. Tapi ketika ia hampir terlelap sempurna, sebuah suara menggelitik telinganya, terdengar lembut.
“Pa... Mandi dulu. Ayo, ke dokter...”
Prima mengerjap beberapa kali. Dan ketika matanya terbuka sempurna, dilihatnya Arlena sudah duduk di tepi ranjang. Masih mengenakan jubah mandi. Menghadap ke arahnya. Dengan telapak tangan Arlena lekat di pipi kirinya.
* * *
Arlena berlama-lama membiarkan air dari shower membasahi kepala dan tubuhnya. Berharap kegilaannya semalam ikut luruh bersama aliran air yang menghilang melalui lubang pembuangan.
Sesungguhnya ia mengkhawatirkan Prima. Sangat. Ada penyesalan tersendiri setelah ia menyingkirkan diri dari kamar kemarin sore. Menyesal karena ia sudah meninggalkan Prima begitu saja. Menyesal karena ia tak punya alasan yang masuk akal untuk membantah ucapan Prima. Menyesal karena komunikasi mereka sepertinya sudah benar-benar berada dalam kondisi parah. Penyesalan itu pula yang membawanya kembali ke kamar setelah melihat Olivia dan Carmela berada di ruang makan.
Tapi emosinya yang sempat menyurut justru kembali ke level semula ketika ia tidak mendapati Prima ada di dalam kamar. Kamar mandi juga kosong. Ketika ia berbalik dan sudah sampai di ambang pintu, ia menajamkan pendengaran. Sayup-sayup didengarnya percakapan antara dua orang laki-laki dari kamar sebelah.
“Nggak apa-apa Papa tidur di sini malam ini, Max?”
“Hadeh, Paaa... Kayak sama orang lain saja.”
Hening sejenak.
“Sudah, Pa, Papa tidur dulu. Aku matikan lampunya, ya?”
“Katanya tadi kamu mau belajar?”
“Iya, kan, bisa pakai lampu meja. Ayo, Papa istirahat.”
Lalu hening lagi. Pintu kamar sebelah pun kini tertutup rapat. Dan Arlena langsung balik badan. Kembali ke ruang baca.
Ya, sudah, kalau memang benar-benar sudah nggak mau diurusin!
Sesudahnya, nyaris sepanjang malam ia meluapkan emosi dengan cara yang ia sendiri tak pernah pikirkan sebelumnya.
Dan saat ini, ia sungguh-sungguh menyesal sudah melakukannya. Tapi sudah telanjur. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berharap bahwa keadaan akan bermurah hati padanya.
Ketika keluar dari kamar mandi dengan masih mengenakan jubah mandi tanpa apa-apa di baliknya, sambil menggosokkan handuk ke rambutnya yang basah, didapatinya Prima sudah berbaring di atas ranjang dengan mata terkatup. Tanpa suara ia mendekat. Sejenak ia menatap wajah Prima.
Wajah yang terlihat sedikit pucat itu masih mampu mendebarkan hatinya. Sesungguhnya ia tak pernah melupakan sensasi aneh yang dulu dirasakannya setiap kali menatap wajah teduh Prima. Wajah yang sudah memenjarakan hatinya atas nama rasa cinta.
Wajah Prima memang sudah banyak berubah. Sedikit lebih bulat dengan tambahan bentuk gembul di kedua belah pipi. Pun helai-helai berwarna keperakan yang bersemburat malu-malu pada rambut hitam yang membingkai wajah itu. Juga ada kerut samar di ujung luar kedua matanya.
Arlena menghela napas panjang. Berusaha menormalkan debar jantungnya. Dengan hati-hati ia duduk di tepi ranjang. Menghadapkan tubuhnya ke arah Prima. Pelan ia mengulurkan tangan kanan. Menempelkannya di pipi kiri Prima.
“Pa...,” ucapnya lembut. “Pa, bangun, Pa... Papa... Pa... Mandi dulu. Ayo, ke dokter...”
Dan sudah terlalu lambat untuk menarik kembali telapak tangannya yang masih menempel di pipi kiri Prima. Tiba-tiba saja Prima sudah membuka mata setelah mengerjapkannya beberapa kali.
* * *
Bagaimana penampilannya pagi ini? Apakah sama seperti kemarin? Ataukah lebih cantik? Ataukah ada kejutan lagi? Hm... Aku tidak mau melewatkannya!
Laki-laki itu duduk bersandar di kursi Olivia. Terlihat menjulurkan kaki sambil tangannya sibuk memainkan ponsel. Sikap yang terkesan sangat santai. Sandra sedikit kaget ketika mendapati Luken sudah datang sepagi itu.
“Pagi, Pak Luken,” sapanya hangat.
Luken mengangkat wajahnya dan membalas sapaan Sandra dengan manis, “Pagi juga, Bu Sandra...”
“Tumben duluan Bapak?” Sandra duduk di kursinya.
“Belum kena macet, Bu,” senyum Luken. “Repot juga, sih. Beda sepuluh menit saja berangkatnya dari rumah, bisa selisih jauh sampainya di sini.”
“Ambil apartemenlah di dekat sini, Pak.”
“Sayang rumahku, Bu,” suara Luken terdengar serius.
Sandra tersenyum tipis mendengarnya. Setengah hati. Suara Luken terdengar sedikit menyedihkan di telinganya, karena ia tahu apa arti rumah itu bagi Luken. Semua kenangan manis bersama mendiang istrinya ada di sana. Sandra kemudian memutuskan untuk diam sambil mulai menghidupkan laptopnya.
“Jangan kerja dulu, Bu,” tegur Luken halus. “Jam kerja masih nanti jam delapan.”
Kali ini bibir Sandra melebar sempurna.
“Selamat pagi...”
Keduanya menoleh sambil membalas sapaan itu. Gegas langkah Olivia terhenti begitu meihat Luken duduk di kursinya. Ia kemudian duduk di kursi depan meja Sandra.
Sejujurnya, Luken sedikit kecewa dengan kemunculan Olivia pagi ini. Dandanan gadis itu kembali seperti biasa. Tidak ‘semewah’ kemarin. Kali ini mengenakan setelan rok pensil selutut dan rompi berwarna khaki dengan dalaman kemeja lengan panjang. Penampilan itu dipermanis dengan seuntai kalung panjang terbuat dari manik kayu. Rambutnya hanya dikepang tempel. Rias wajahnya jelas-jelas hanya bedak dan sheer colored lip balm saja. Sepatu dan hobo bag-nya sewarna, coklat tua. Benar-benar standar walaupun sama sekali tidak mengurangi kecantikannya.
Tanpa berkata apa-apa, Luken pun bangkit dari duduk dan masuk ke ruangannya. Olivia melirik sosok itu dengan wajah heran. Biasanya Luken tidak sedingin itu. Dan ia merasa sejak kemarin laki-laki itu bersikap aneh.
“Bapak kenapa, sih, Bu?” bisiknya sambil melangkah ke arah mejanya.
Sandra mengangkat tatapan sejenak dari layar laptopnya. “Memangnya kenapa?”
Olivia menggeleng.
Kok, aku jadi sensitif begini, sih?
Sambil menghela napas panjang, ia pun mulai menyiapkan piranti kerjanya. Masih pukul 7.40 saat ia melirik arloji. Tanpa suara, ia meraih ponsel dan mulai mengetikkan sesuatu melalui aplikasi Whatsapp.
‘Pak Topo, selamat pagi... Ini Olivia, putri Pak Prima. Pak, saya boleh bertanya? Di kantor Chemisto, yang namanya Navita itu bagian apa, ya?’
Jawaban itu ia dapat beberapa menit kemudian.
‘Pagi, Mbak Olivia. Setahu saya Mbak Navita itu di HRD, Mbak. Salah satu staf Bapak. Bapak bagaimana, Mbak? Sudah mendingan?’
Olivia tercenung sejenak.
Hm... Berarti satu divisi dengan Papa...
Tapi ia segera tersadar. Dibalasnya pesan itu.
‘Papa masih istirahat di rumah hari ini. Terima kasih infonya, ya, Pak...’
Kemarin saat menyerahkan kunci mobil, Topo memang sempat memberikan juga nomor kontaknya. Dengan pesan agar Olivia tak segan menghubunginya bila butuh bantuan apa saja, terutama soal mengemudi.
‘Sama-sama, Mbak. Semoga Bapak cepat sembuh. Oh, ya, saya dipanggil untuk wawancara sebentar lagi, Mbak. Mohon doanya, ya?’
Olivia tersenyum tipis. Saat ia menyetir kemarin dari kantor pulang ke rumah, Prima memang sempat bercerita sedikit tentang Topo. Dari Prima pula ia tahun bahwa hari ini juga Topo akan dipanggil untuk wawancara guna mengisi posisi sopir pribadi putri boss Chemisto, atas rekomendasi dari Prima.
“Nyetirnya enak dia, Liv. Halus.” Begitu ucapan ayahnya.
‘Iya, Pak. Semoga diterima ya...’ balasnya kemudian. Tulus.
Olivia meletakkan kembali ponselnya. Ia sempat tercenung sejenak. Kembali ke nama yang sudah membuatnya penasaran.
Navita... Bisa sampai mengigau begitu?
Bibir Olivia mengerucut.
Staf Papa. Tapi kelihatannya pas ketemu kemarin biasa-biasa saja? Hm...
Olivia menghela napas panjang. Ia kemudian menghidupkan laptop. Sandra menatap gadis itu sejenak. Menyadari bahwa Olivia terlihat tidak seceria biasanya. Bahkan terlihat agak lesu dan termenung-menung.
“Mbak Liv... Sakit?”
Olivia tersentak sedikit. Ia menoleh sekilas dan menggeleng.
“Nggak, Bu,” jawabnya pendek.
“Kok, lesu begitu? Oh, ya, bagaimana Carmela kemarin?”
“Sudah nggak apa-apa,” Olivia kembali menggeleng.
Sandra hendak kepo lebih jauh, tapi gema alarm sudah membungkamnya terlebih dulu. Sudah masuk jam kerja resmi. Saatnya mengesampingkan urusan pribadi. Tanpa membuang banyak waktu, Sandra berdiri dan masuk ke ruangan Luken dengan membawa agendanya.
* * *
Kening Maxi berkerut ketika mendapati garasi hanya berisi motornya saja ketika ia meluncurkan city car ayahnya masuk ke dalam. Ia keluar dari mobil bersamaan dengan Muntik selesai menutup pintu pagar. Perempuan itu bergegas menutup pintu garasi.
“Mama pergi, Bik?” ditatapnya Muntik.
“Antar Bapak periksa ke rumah sakit, Mas.”
“Oh...” Tumben sadar...
“Mas Maxi mau keluar lagi?”
“Enggak,” geleng Maxi. “Eh, Bik, kalau aku ketiduran, tolong, bangunin jam sebelas, ya? Mau jemput Mela.”
“Iya, Mas.”
Maxi kemudian naik ke kamarnya sambil menguap. Ia memang masih mengantuk karena semalam tidurnya sama sekali tidak nyenyak. Ditambah lagi tadi harus bangun pagi-pagi karena mendapat tugas mengantarkan kakak dan adiknya. Tapi masih ingat untuk mengirim pesan pada Olivia agar kakaknya itu berhenti mengkhawatirkan ayah mereka.
‘Mama lagi bawa Papa periksa ke RS, Mbak.’
Sejenak kemudian, ia sudah terlelap.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Semoga mereka baikan lagi ..
BalasHapusSetujuuu... :-)
Hapus😊😊😊
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasiiih, Pak Subur... 😊😊😊
Hapuslanjuut mbk
BalasHapusSiaaap, Mas Topo 👌👌👌
HapusApik saestu mbak :-*
BalasHapusMatur nuwun sanget, Mbak Bilbil... 😊😊😊
Hapuskeeeereeeennnn
BalasHapusMakasiiih, Nisa... 😊😊😊
Hapus