* * *
Tiga
“Bu Sandra, Olivia, aku mau ke luar dulu. Ada perlu.”
Baik Sandra maupun Olivia mengalihkan perhatian dari kesibukan masing-masing. Tatapan mereka tertuju pada satu sosok. Luken menutup dari luar pintu ruang kantornya. Tangan kanannya menggenggam kunci mobil. Tampaknya sudah siap untuk pergi.
“Aku kembali sekitar jam dua. Silakan kalau kalian mau makan siang agak santai dan lebih awal,” senyum Luken. “Asal jam dua sudah stand by lagi. Panggilan teleponnya alihkan saja ke resepsionis.”
Sandra tersenyum. Itu artinya mereka bisa keluar makan siang pukul 11, dan kembali sebelum pukul 2. Seperti yang sudah biasa terjadi kalau Luken keluar kantor untuk ‘urusan pribadi’.
“Oke, aku pergi dulu, ya?” Luken mulai melangkah.
“Baik, Pak, terima kasih,” sahut Sandra dan Olivia bersamaan.
Sepeninggal Luken, Sandra menoleh ke arah Olivia. Tersenyum.
“Mau makan siang sendiri-sendiri, atau bareng, Mbak Liv?”
“Bareng saja, ya, Bu?” wajah Olivia tampak cerah. “Aku yang traktir.”
“Really?” Sandra mengangkat alisnya dengan mata berbinar.
“Ya!” Olivia tergelak. “Masih tanggal muda ini...”
“Whoaaa... Sip! Makasih, Mbak Liv. Aku nggak bakal nolak,” Sandra mengedipkan sebelah mata dengan wajah jenaka.
Olivia melanjutkan gelaknya. Mereka kemudian kembali sibuk dengan layar laptop dan arsip masing-masing.
Sejam kemudian, keduanya sudah duduk berhadapan di depan sebuah meja untuk berdua di sebuah resto dekat kantor. Asyik menikmati makan siang sambil mengobrolkan banyak hal.
Dalam keadaan seperti ini, Olivia seolah-olah tengah duduk mengobrol dengan ibunya sendiri. Sandra dengan sikap keibuannya yang hangat terlihat memberi atensi penuh pada semua ucapan Olivia. Demikian pula Olivia, bisa mencerna dengan baik nasihat-nasihat yang diselipkan Sandra dengan sangat halus dalam obrolan mereka. Gurauan mereka pun sangat nyambung. Apalagi ketika Olivia bercerita tentang pertemuannya dengan seorang laki-laki bernama Anggara tempo hari.
“Pak Luken ketawa waktu aku tanya dia mungut teman kayak gitu dari mana,” Olivia terkikik.
Tawa Sandra berderai karenanya. Ia sudah pernah bertemu dengan laki-laki itu. Dan ia sangat memahami bagaimana Olivia bisa merasa muak dengan sosok Anggara.
“Coba dia dandannya nggak semeriah itu,” timpal Sandra di tengah tawanya, “lumayanlah agak mengatrol sedikit penampilannya.”
“Haduh, Bu...,” Olivia mengerucutkan bibirnya. “Percuma kalau rapi dan ganteng kalau manners-nya nol besar kayak gitu. Apalagi ini, sudah manners-nya nyungsep, dandannya norak lagi. Nggak ada ganteng-gantengnya.”
Sandra tergelak lagi mendengar istilah lucu Olivia.
“Mas Miko nggak kayak gitu kan, ya?” celetuk Sandra kemudian, dengan nada menggoda.
Olivia terkikik. Tapi dia menggeleng.
“Mas Miko cukup sopan, kok, walaupun sering jaim.”
“Jaim gimana?” Sandra menyuapkan sesendok puding almond ke dalam mulutnya.
“Kayak belum lepas gitulah, Bu,” jawab Olivia dengan mata setengah menerawang. “Masih terlalu manis sikapnya. Ya, aku suka padanya. Serius, dalam arti aku nggak mau main api mencoba hubungan dengan cowok lain. Tapi kalau soal nanti lanjut ke pelaminan sama dia, masih jauh, kayaknya.”
“Iya, Mbak Liv,” Sandra menepuk lembut punggung tangan. “Mantapkan hati dulu sebelum menikah. Kamu masih muda. Masih punya banyak kesempatan untuk belajar banyak tentang hidup.”
“Termasuk tentang berusaha untuk memahami Mama?”
Sandra tercenung sejenak mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sama sekali belok arah dari pembicaraan semula. Ia merasa harus sangat berhati-hati dalam hal ini. Bukan lagi masalah umum, tapi lebih dalam dari itu.
“Tiap orang butuh dipahami, Mbak Liv,” ucap Sandra dengan sangat halus. “Termasuk mamamu. Cobalah untuk bicara hal ini dengan papamu dulu.”
Tatapan Olivia jatuh pada mangkuk puding Sandra. Sejenak kemudian ia kembali mengangkat wajah.
“Jujur, aku memang belum pernah bicara dengan Papa soal ini,” gumam Olivia. “Yang jelas, Carmela sudah pernah mengeluh soal itu. Bukan mengeluh, sih,” Olivia meralat ucapannya, “hanya bilang, betapa senangnya kalau kehidupan kami seperti yang ditulis Mama. Sedih aku, Bu...”
Hati Sandra seolah runtuh mendengarnya. Terenyuh sejadi-jadinya.
“Eh, kita di sini mau bersenang-senang, kan?” Olivia berusaha mengusir mendung di wajahnya dengan seulas senyum lebar. “Skip saja omonganku soal itu.”
Sandra menatap Olivia. Sebenarnya ia masih ingin membahas soal itu. Tapi ketika dilihatnya Olivia telah berusaha keras untuk mengubah wajah menjadi ceria kembali, ia merasa tak tega. Lalu mereka pun mengubah pembicaraan ke arah banyak hal ringan lainnya.
* * *
Prima tak bisa seutuhnya melupakan mimpinya semalam. Apalagi berkali-kali sosok itu melintas secara utuh di depannya. Hanya pekerjaan yang bisa sekejap-sekejap mengalihkan perhatiannya dari sosok itu.
“Pak, Bapak mau saya pesankan makan siang?”
Prima terpaksa mengalihkan tatapan dari layar laptop. Wajah manis itu tepat ada di depannya. Menunggu jawaban. Ia berpikir sejenak. Jam makan siang sudah tiba, tapi pekerjaannya memeriksa ulang jadwal training benar-benar sedang tanggung, karena ia harus mencocokkannya secara keseluruhan dengan kepentingan setiap divisi. Tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Maka ia pun memutuskan untuk mengangguk sambil menyerahkan kupon makannya.
“Oke, Bapak tunggu saja di sini,” ucap Navita sebelum beranjak.
“Makasih, Vit,” ucap Prima tulus.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu.
“Vit!”
“Ya, Pak?” Navita, yang sudah sampai di ambang pintu, berbalik.
“Jatah makan siang beberapa hari lalu nggak pakai kupon, siapa yang bayarin?”
“Oh...,” Navita tersenyum manis. “Nggak usah dipikirin, Pak. Sudah, ya? Saya sudah lapar.”
Prima hanya bisa menggelengkan kepala setelah Navita berbalik lagi dan menghilang dari pandangan. Mendadak, sebuah pikiran melintas dalam benaknya.
* * *
Olivia meraih ponselnya yang bergetar di atas meja kerja. Dengan cepat dibacanya pesan Whatsapp yang masuk.
‘Kamu pulang sendiri, ya, Liv? Papa masih ada kerjaan. Pulang telat.’
Tanpa sadar Olivia mendesah pelan. Sudah menjelang pukul empat sore, tapi hujan deras masih mengguyur bumi di luar jendela. Tampaknya ia memang harus mengandalkan taksi online. Apalagi ia tak membawa payung hari ini.
Tepat pukul empat, Sandra berpamitan. Kebiasaan mereka memang seperti itu. Sandra datang lebih pagi, pulang tepat saat jam kantor berakhir. Sedangkan Olivia yang datang lebih lambat, pulang lebih lambat juga, karena menunggu jemputan Prima. Kalaupun harus pulang sendiri, Olivia selalu menunggu Luken keluar dari dalam ruang kantornya sebelum ia meninggalkan meja. Maksimal, pukul lima sore laki-laki itu sudah meninggalkan kantor, kecuali ada hal yang harus dikerjakannya.
Hingga hampir pukul 5.30, Olivia belum juga mendapat taksi. Semua penuh. Sementara hujan masih juga belum berkurang intensitasnya. Luken yang keluar dari ruangan kantornya terkejut ketika mendapati Olivia masih duduk di depan meja kerja yang sudah bersih dan rapi.
“Lho, Liv?” Luken mengerutkan kening.
Ponsel di tangan Olivia nyaris meluncur jatuh karena pemiliknya kaget dengan suara itu. Dengan mata bulat, ditatapnya Luken.
“Kaget, ya?” Luken meringis. “Maaf...”
“Eh, iya, nggak apa-apa, Pak, hehehe...,” Olivia menutupi kekagetannya dengan terkekeh sedikit. “Bapak sudah mau pulang?”
“Iya, sudah jam segini,” Luken menatap sekilas arlojinya. “Papamu belum menjemput? Macet mungkin, ya?”
“Enggak, Pak,” Olivia menggeleng. “Papa saya lembur. Ini, saya belum dapat taksi online. Penuh semua. Hujan-hujan begini.”
“Oh...,” Luken mengerutkan sedikit keningnya. “Terus, gimana?”
“Kalau nggak dapat juga, coba nanti saya cari di ujung situ. Taksi biasa. Maaf, Pak, Bapak ada payung? Kalau boleh, saya mau pinjam.”
“Ada di mobil,” angguk Luken. “Tapi kamu ikut aku saja, Liv. Ayo!”
“Wah...”
“Ayo, Liv. Daripada kamu jalan kaki sampai ke pangkalan taksi,” Luken menegaskan sekali lagi. Menatap tepat di manik mata Olivia.
Ditatap Luken sedemikian rupa, Olivia pun mengangguk. Buru-buru ia menyambar tas sambil memasukkan ponsel ke dalam tas itu. Diikutinya langkah Luken.
“Terima kasih, Pak. Maaf, merepotkan.”
“Halaaah... Merepotkan gimana, Liv?” senyum Luken. “Nggak apa-apa, kok.”
Diam-diam, Olivia menghela napas lega.
* * *
“Mas Rio, aku nebeng sampai depan, ya?” Navita menatap Rio penuh harap. “Pangkalan angkot.”
“Waduh, Vit,” Rio menggaruk pelipisnya. “Bukannya aku nggak mau. Tapi hujan begini. Kasihan kamu, nanti kebasahan. Lagi pula jas hujanku bukan model ponco begini,” Rio membentangkan tangannya. Ia memang sudah siap memakai setelan jas hujannya sebelum menuju ke parkiran motor di luar. “Kamu pesan taksi online, ‘gi! Nggak apa-apa kutemani sampai taksimu datang.”
“Ada apa?” Prima yang belakangan melintasi lobi menghentikan langkahnya.
“Eh, ini, Pak, Vita mau nebeng sampai pangkalan angkot,” jawab Rio. “Saya suruh pesan taksi online saja daripada kehujanan. Deras begini. Nggak apa-apa saya tungguin sampai taksinya datang.”
“Hm...,” Prima tampak berpikir sejenak. Kemudian ditatapnya Navita. “Ayo, kamu kuantar pulang saja, Vit. Kita, kan, searah.”
Navita sempat ternganga. Baru tersadar ketika Rio menyenggol lengannya.
“Tuh, bareng Pak Prima saja,” ucap Rio lirih.
Navita sedikit melotot menatap Rio. Laki-laki muda itu terkekeh. Tapi memberi kode agar Navita menuruti ucapan Prima
“Ayo, sudah jam enam lewat ini,” ujar Prima sambil menatap sekilas arlojinya.
“Apa nggak merepotkan, Pak?” tanya Navita lirih.
“Enggak,” Prima menggeleng dengan wajah serius. “Kasihan Rio kalau harus menemani kamu tunggu taksi. Sudah, Rio, Navita sama aku. Kamu pulang saja.”
“Baik, Pak. Permisi...,” Rio buru-buru menyingkir dari lobi.
Prima segera melangkah ke arah basement. Mau tak mau Navita mengikuti langkah atasannya itu.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya. “Maaf, merepotkan.”
“Nggak apa-apa,” senyum Prima.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah duduk di dalam mobil Prima
* * *
Nasib Olivia tampaknya memang kurang baik sore ini. Armada taksi yang biasanya banyak mangkal di ujung jalan, kali ini tak terlihat bayangannya satu pun. Tanpa sadar Olivia mendesah. Belum ada tanda hujan akan mereda.
“Kelihatannya nggak ada taksi, Liv,” gumam Luken. Ia terus melajukan mobilnya.
“Saya turun di halte busway terdekat saja, Pak.”
“Hm...”
Tapi Luken melewati begitu saja halte terdekat.
“Pak...,” usik Olivia lirih.
“Ya?” Luken menoleh sekilas dengan wajah polos.
“Haltenya sudah terlewat,” Olivia meringis sedikit.
“Oh? Iya, ya?” Luken tersenyum lebar. “Ya, sudah, sekalian saja kuantar kamu pulang.”
“Lho, Pak! Jangan!” Olivia berusaha mencegah. “Nanti Bapak mutarnya kejauhan.”
“Nggak apa-apa, Liv,” suara Luken terdengar menenangkan, sekaligus tak terbantah. “Toh, nggak ada yang menunggu aku di rumah. Paling juga cuma ART-ku.”
Olivia tercenung sejenak. Tak tahu harus mengucapkan apa. Tapi ia teringat masih harus mengucapkan sesuatu pada Luken.
“Terima kasih banyak, Pak.”
“Sama-sama, Liv,” Luken mengangguk sedikit. “Oh, ya, gimana urusan tumpeng buat Bu Sandra?”
Luken berusaha untuk memecahkan kekakuan itu. Olivia yang selama dua tahun ini dikenalnya adalah gadis yang tidak banyak cakap. Puluhan kali mereka ada dalam ruangan yang sama, berkerja bersama, makan bersama, duduk berdampingan di mobil yang sama, tapi tetap saja gadis itu tidak akan bicara kalau tidak diajak bicara lebih dulu.
“Oh, itu ada ibu teman saya yang biasa terima pesanan tumpeng. Rasa dan bentuknya bolehlah diadu sama resto terkenal, Pak. Saya jamin memuaskan. Apalagi mau menyediakan perlengkapan sekali pakai untuk makan nanti.”
“Hm...,” Luken manggut-manggut. “Bagus, Liv. Ingat, ya, anggarannya berapa pun.”
“Iya, Pak,” Olivia mengangguk. Tersenyum lebar.
“Pacarmu jarang menjemput, Liv?” usik Luken kemudian.
“Oh, hehehe... Nggak praktis, Pak. Rumahnya, kan, jauh, di Serpong.”
“Oh...”
Di tengah obrolannya dengan Luken, Olivia beberapa kali mengirimkan pesan melalui akun Whatsapp-nya.
‘Mel, di rumah ada makanan apa?’
“Kantornya di mana, dia?”
“Kebon Jeruk, Pak.”
‘Tadi sama Bik Muntik dimasakin soto ayam.’
“Iya, benar, jauh juga,” gumam Luken.
‘Tolong, kamu hangatkan nanti, ya? Kemungkinan Pak Boss kuajak makan di rumah. Sudah baik hati mau anterin Mbak pulang.’
“Jadi jarang ketemu, dong, Liv?”
“Ya... Gimana, Pak?” Olivia mengedikkan sedikit bahunya. “Yang penting kami jalani dulu.”
“Hm...”
‘Lho! Nggak pulang bareng Papa?’
‘Papa lembur. Mbak nggak dapat taksi, makanya diantar pulang sama Pak Boss.’
“Tadi ke mana saja sama Bu Sandra?”
“Oh, cuma makan siang di sebelah, kok, Pak. Malas jauh-jauh. Mendungnya sudah lumayan gelap juga tadi.”
‘Oke, aku siapin makanannya, Mbak. Lagian aku mau makan juga nggak enak. Sendirian.’
Tanpa sadar, Olivia menghela napas panjang. Luken menoleh sekilas.
“Whatsapp-an sama Miko?” senyumnya.
“Enggak, Pak,” Olivia menggeleng cepat. “Ini, adik saya, sendirian di rumah. Dikiranya saya pulang sama Papa.”
“Wooo... Kasihan... Adikmu yang laki-laki? Ke mana?”
“Hari Rabu begini dia ada kuliah sore, Pak.”
Luken manggut-manggut mendengar penjelasan Olivia
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Sip! Besok lanjut lagi.
BalasHapusIya, makasih, Nisa... 😊😊😊
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasiiih, Pak Subur... 😊😊😊
Hapuswaah..semakin joss.....
BalasHapusHaikikik... 😁😁😁
Hapus