Topo
melangkah masuk ke ruangan Prima dengan wajah datar. Ia sudah tahu nasibnya.
Dan sesungguhnya ia tak terlalu peduli. Setahun lalu, ia mulai bekerja di sini
karena keinginan bapak mertua dan istrinya. Padahal ia punya keinginan dan
minat lain.
“Siang,
Mas Topo, silakan duduk,” Prima mengangguk sedikit.
Topo
pun duduk di depan Prima.
“Mas
Topo, sebelumnya saya minta maaf karena harus memberikan surat ini pada Mas
Topo,” ucap Prima halus sambil menggeser sebuah amplop kabinet dengan kop resmi
perusahaan. “Terima kasih atas kerja Mas Topo di sini. Sebetulnya sayang sekali,
karena kesempatan yang ada sudah Mas Topo lewatkan begitu saja. Tapi saya
dengar, Mas Topo lebih senang menyopir daripada menjadi operator di sini?
Benar?”
Topo
mengangguk. “Ya, Pak. Saya dulu sopir taksi. Tapi sama Bapak Mertua disuruh
masukkan lamaran ke sini. Dipaksa, lebih tepatnya. Saya akui hasilnya lebih
banyak di sini, tapi...,” Topo mengedikkan bahu tanpa menyelesaikan kalimatnya.
“Hm...
Ya, saya mengerti. Ada rencana mau nyopir lagi?”
“Ya,”
Topo kembali mengangguk. “Saya diajak gantian sama teman pegang taksi online, Pak. Saya pegang mulai besok.
Tapi hanya sementara. Selanjutnya saya belum tahu bagaimana.”
“Begini,
Mas, putri Pak Krisno lagi butuh sopir pribadi. Kalau mau, Mas Topo akan saya
rekomendasikan, bagaimana?”
Seketika
wajah datar Topo berubah menjadi antusias. “Benar, Pak?”
“Iya,”
senyum Prima. “Tapi Mas Topo harus berkerja sebaik-baiknya. Tolong, jangan
bikin malu saya.”
“Kalau
itu saya berani jamin, Pak. Mungkin saya bukan karyawan yang baik di sini, tapi
insya Allah, saya sopir yang baik.”
“Oke,
kalau begitu nanti saya bilang Pak Krisno dulu. Mas Topo silakan tinggalkan
nomor kontak di sini,” Prima menyodorkan sehelai kertas sekaligus bolpoinnya.
Dengan
cepat Topo memenuhi permintaan Prima. Setelah selesai, ia menjabat tangan Prima
dengan penuh rasa terima kasih. Tapi sedetik kemudian ia menatap Prima dengan
khawatir. Genggaman Prima terasa agak dingin dan sedikit lembap di tangannya.
Dan baru detik itu ia menyadari, bahwa wajah Prima terlihat agak pucat.
“Pak,
Bapak sakit?” celetuk Topo.
“Nggak
apa-apa, Mas Topo,” Prima tersenyum sedikit. “Cuma masuk angin ini. Belakangan
ini, kan, hawanya nggak enak. Nggak apa-apa, kok. Toh, sebentar lagi jam
pulang.”
“Bapak
bawa mobil sendiri?”
“Iya,
Mas. Sekalian jemput anak saya di kantornya.”
“Di
mana, Pak, kalau saya boleh tahu?”
“Di
Tebet.”
“Wah,
jauh juga, lho, Pak,” Topo mengerutkan keningnya.
“Nggak
apa-apa, Mas. Nanti dari Tebet sampai ke rumah, biar anak saya yang menyetir.”
“Kalau
Bapak mau, saya bisa sopiri sampai kantor anak Bapak.”
Prima
berpikir sejenak. Sebetulnya ia sendiri tidak yakin sanggup menyetir mobil
sampai ke kantor Olivia. Walaupun nyeri di ulu hatinya sudah tidak terlalu
menusuk seperti seusai ia makan siang tadi, tapi tetap saja masih sangat
terasa. Belum lagi rasa pening dan keringat dinginnya.
“Mas
Topo pulangnya ke mana?” tanyanya kemudian.
“Mampang,
Pak. Kan, nggak jauh dari Tebet. Saya bisa naik ojek. Tapi kalau Bapak mau
sekalian saya antar sampai rumah, nggak apa-apa, Pak. Bener!”
“Betul
Mas Topo mau nyopirin saya ini nanti?” Prima memastikan sekali lagi.
“Betul,
Pak!” Topo mengangguk tegas. “Bapak tunggu saja di lobi, nanti saya samperin
Bapak.”
“Oke,
Mas Topo, terima kasih. Saya tunggu nanti. Sampai kantor anak saya saja.”
“Baik,
Pak. Saya juga terima kasih sekali, Bapak mau rekomendasikan saya. Mari, Pak,
saya permisi dulu.”
Prima
mengangguk sambil tersenyum.
* * *
Carmela
ngeloyor naik ke lantai dua dan masuk
ke kamarnya begitu turun dari mobil. Wajahnya masam. Untuk melampiaskan
kekesalannya, ia membanting pintu kamar kuat-kuat, sekaligus menguncinya dari
dalam. Muntik sempat terjingkat kaget mendengar suara debuman dari atas itu. Sementara
Arlena tetap melenggang santai seolah tidak terjadi apa-apa.
“Tik!
Ambilkan air dingin!” serunya sambil duduk di sofa ruang tengah.
Dalam
hitungan detik Muntik sudah datang menghampiri dengan segelas air es di atas
nampan di tangannya. Selama bekerja di rumah itu, Muntik belum pernah menjumpai
anak-anak berlaku kasar bahkan sampai membanting pintu segala. Maka ia
memberanikan diri bertanya pada Arlena.
“Bu,
maaf, itu Mbak Mela kenapa?”
“Oh...
Biasa... Ngambek,” sahut Arlena, acuh tak acuh.
Melihat
ekspresi Arlena, Muntik tak berani lagi memuaskan rasa ingin tahunya. Ia
pun kembali ke belakang. Memeriksa kembali hasil pekerjaannya, sebelum
memutuskan untuk pamit pulang. Entah kenapa, ia justru merasa kurang nyaman
kalau Arlena ada di rumah.
Sepeninggal
Muntik, Arlena masuk ke kamar, berlanjut ke kamar mandi. Setelah selesai
membersihkan seluruh tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki, kemudian berpakaian,
Arlena masuk ke ruang baca dan berkubang di sana. Tanpa peduli tentang Carmela,
wajah masam si bungsu itu, dan juga pintu kamar yang terbanting kuat-kuat.
* * *
Olivia
tercenung menatap pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Pelan ia mendesah.
‘Mbak Livi, saya pulang
lebih awal. Semua kerjaan sudah selesai. Tadi Mbak Mela pulangnya telat, sama
Ibu. Nggak tahu Ibu mau pergi lagi apa enggak. Tapi Mbak Mela banting pintu
kamar, Mbak. Kayaknya marah sama Ibu. Gitu aja, ya, Mbak.’
“Ada
apa, Mbak Liv?”
Rupanya
Sandra yang baru lima menit duduk lagi di kursinya mendengar desahan itu.
Olivia menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan sorot mata yang sukar diartikan.
Dan gadis itu mendesah lagi.
“Ah...
Nggak tahu ini, Bu,” Olivia menggeleng lemah. “Bibik bilang Mela ngambek sampai
banting pintu segala. Padahal sebelumnya nggak pernah kayak gitu,” Olivia
menghela napas panjang. “Mama ini pasti...”
“Kok,
Mama?” Sandra mengerutkan kening.
“Iya,
Bu,” Olivia mengerjapkan mata. “Tadi Mela sempat kirim pesan, lagi sama Mama,
pulang sekolah dijemput Mama, diajak ke kafe sama Mama, dan yah...,” Olivia
mengangkat bahu.
Sandra
ikut tercenung mendengarnya. Tiba-tiba ia ingat kejadian beberapa hari lalu
ketika tiba-tiba saja Arlena muncul di kantor itu pada suatu siang, dan
mengatakan bahwa sudah ada janji dengan Olivia, padahal sama sekali tidak. Sedikit
banyak, ia mencium aroma modus yang sama.
“Sabar,
Mbak Liv,” hanya itu yang bisa diucapkan Sandra. Karena sesungguhnya, ia
benar-benar tidak tahu harus menanggapi bagaimana. “Coba Mbak Livi telepon
Mela.”
Olivia
melirik arlojinya. Ia menghela napas panjang lagi. Jam kantor berakhir lima
menit lagi. Ia kembali menatap Sandra.
“Tunggu
bubaran, Bu,” ucapnya.
Sandra
mengangguk. Kemudian ia kembali mengalihkan perhatian pada mejanya sendiri.
Merapikan beberapa barang pribadinya untuk bersiap pulang. Tepat pukul empat
sore, ia berdiri dari duduknya, kemudian menghampiri Olivia.
“Mbak
Livi, mau ditemani sebentar?” tawarnya dengan nada lembut.
Olivia
menengadah sambil menggeleng. Sandra menatapnya dengan sorot mata prihatin.
Olivia mencoba untuk tersenyum.
“Ibu
pulang saja. Aku nggak apa-apa, kok.”
“Benar?”
Sandra memastikan sekali lagi.
Olivia
mengangguk sambil melebarkan bibirnya. Sandra kemudian berpamitan pada Luken
yang masih ada di dalam ruangannya, dan pulang.
Sepeninggal
Sandra, Olivia menimang ponselnya sejenak sebelum memutuskan untuk menghubungi
nomor ponsel Carmela. Cukup lama ia menunggu, tapi tak ada jawaban dari
seberang sana. Sekali lagi ia mengulangi, dan kali ini ada respons setelah nada
sambung keempat.
“Ya?”
Olivia
memejamkan mata sejenak mendengar suara lirih dan serak itu.
“Mel,
kamu kenapa?” tanya Olivia dengan nada rendah yang sangat lembut.
“Nggak apa-apa.”
“Nggak
apa-apa, kok, sampai banting-banting pintu segala?”
“Siapa yang ngadu?”
“Bukan
ngadu, cuma kasih tahu...,” ada nada membujuk yang kental dalam suara Olivia.
Terdengar
dengusan dari seberang sana.
“Mama
mau bikin artikel, ya?” Olivia tetap mempertahankan kelembutan suaranya.
“Mama itu sudah nggak
waras.”
“Mel...
Kok, ngomongnya gitu?”
“Pokoknya awas saja kalau
sampai artikel itu keluar!”
“Iya,
sudah... Eh. kamu sudah mandi?”
“Ini, mau berendem, biar
kepalaku dingin.”
“Ya,
sudah, jangan kelamaan berendemnya, nanti malah masuk angin. Kalau kamu nggak
mau keluar kamar, nggak apa-apa. Tunggu sampai Papa sama Mbak pulang, ya?”
“Ya.”
Dan
pembicaraan itu berakhir begitu saja. Membuat Olivia menggelengkan kepala
sambil menghembuskan napas panjang.
“Ada
apa, Liv?”
Olivia
tersentak kaget. Ia menoleh ke arah pintu ruangan Luken dan mendapati laki-laki
itu sudah berdiri bersandar pada kusen pintu. Menatapnya. Entah sudah berapa
lama. Dan kini, laki-laki itu mendekat, kemudian duduk di kursi Sandra.
“Nggak
apa-apa, kok, Pak,” jawab Olivia, akhirnya. “Cuma ada laporan dari Bibik.
Katanya Mela ngambek. Kayaknya berantem sama Mama.”
“Soal
apa?” Luken mengerutkan kening.
Olivia
mengangkat bahu. “Biasalah... Mama... Masalah pencitraan.”
Luken
manggut-manggut. Walaupun ingin, tapi ia menahan diri agar tidak ikut campur
terlalu dalam. Maka ia pun berusaha untuk mengalihkan pembicaraan ke hal lain.
Sekadar menghabiskan waktu sebelum keduanya pulang ke rumah masing-masing.
Sekaligus ‘membiasakan diri’ dengan penampilan baru Olivia, dengan puas-puas
menatap gadis itu.
* * *
Dengan
gerakan halus, Arlena membalurkan balsem beraroma mint segar itu secara rata di
dada dan perut Prima. Berikutnya giliran punggung. Diurutnya lembut punggung
itu.
“Mau
dikerokin?” celetuk Arlena setelah selesai.
“Nggak
usah. Makasih,” jawab Prima sambil mengenakan lagi kaos oblongnya.
Ia
kemudian merebahkan badannya ke atas ranjang. Aroma mint itu sedikit demi
sedikit mengurangi rasa mualnya. Ia memejamkan mata. Terdengar gemercik air di
kamar mandi ketika Arlena mencuci tangannya yang terkena balsem. Beberapa saat
kemudian perempuan itu muncul lagi. Mendengar suara pintu kamar mandi terbuka,
Prima membuka mata.
“Carmela
kenapa?” tanyanya lirih.
Dalam
perjalanan pulang tadi, Olivia secara ringkas sudah menceritakan apa yang
terjadi pada Carmela sesuai yang diketahui Olivia melalui pesan-pesan yang
diterimanya dari Carmela dan Muntik. Tapi ia masih ingin mendengarnya versi
Arlena.
“Biasa...
Sensi. Lagi PMS, ‘kali,” Arlena mengangkat bahu, acuh tak acuh.
“Seharusnya
kita yang berusaha mengerti dia, bukan sebaliknya.”
Ucapan
Prima yang diucapkan dengan sangat halus itu sesungguhnya terasa menusuk hati
Arlena. Tapi ia tetap tak mau kalah.
“Ya,
begitulah kalau anak terlalu dimanja. Ngelunjak.”
“Bukan
dimanja dan bukan ngelunjak,” tukas Prima, masih dengan nada halus, “tapi dia
butuh dihargai dan dihormati privasinya.”
Arlena
mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sepertinya tak ada gunanya beradu argumentasi
dengan Prima. Sejujurnya, ia sudah merasa kalah sebelum bertanding. Menyingkir
adalah hal paling baik yang saat ini bisa dilakukannya. Dan ia pun memutuskan
untuk keluar dari kamar tanpa bersuara. Di tangga, ia berpapasan dengan Olivia
yang membawa secangkir besar air jahe hangat. Dan Maxi ada di belakang kakaknya
itu.
“Papa
nggak dibawa ke dokter saja, Ma?” tanya Olivia.
“Halah,
papamu diurusin baik-baik malah ngajak ribut,” gerutu Arlena.
“Ya,
memang Mama pantes diajak ribut,” sambar Maxi lugas. “Sukanya juga bikin
ribut.”
“Kamu
ini apa lagi?!” Arlena membelalakkan matanya dengan suara mulai naik dan keras.
“Bisanya minta duit melulu!”
“Kalo
soal duit Mama nggak rela dimintain, jangan khawatir yang tadi dua juta itu aku
kembalikan!” suara Maxi lebih keras lagi.
“Max,
sudah!” sentak Olivia. “Papa lagi sakit! Malah ribut!”
Maxi
mendengus. Tak puas. Ia segera melewati Olivia, meneruskan niatnya naik ke
lantai atas. Olivia pun berbalik untuk melanjutkan langkah. Sekilas dilihatnya
Maxi mengetuk pintu kamar Carmela. Pintu itu terbuka dan ada tangan yang
menarik Maxi masuk sebelum pintu tertutup kembali. Olivia menghela napas
panjang.
Kenapa semuanya jadi ruwet
pada saat yang bersamaan? Carmela ngambek, Mama bikin ulah, Maxi nggak bisa
kontrol emosi, Papa kena maag... Hadeeeh...
Olivia
kembali menghela napas panjang sambil mengetuk pintu sebelum masuk ke kamar
utama. Yang pertama tertangkap oleh matanya adalah tatapan Prima. Tercekat
rasanya Olivia melihat sorot mata letih dan sedih ayahnya itu. Olivia
meletakkan cangkir jahe hangat yang dibawanya di atas nakas, dan duduk di tepi
ranjang. Digenggamnya tangan kanan Prima.
“Papa
nggak usah dengerin keributan tadi,” Olivia berusaha tersenyum. “Nggak
usah dimasukin ke hati. Yang penting Papa sekarang istirahat dulu. Papa mau
minum?”
Prima
mengangguk. Ia kemudian bangun pelan-pelan dan menerima cangkir yang disodorkan
Olivia. Disesapnya air jahe itu. Segera saja kehangatan terasa mengaliri
dadanya.
“Liv,
tolong kamu sabar, ya, menghadapi Maxi dan Mela,” ucap Prima sambil
mengembalikan cangkir di tangannya pada Olivia.
Olivia
mengangguk sambil tersenyum. Prima memperbaiki posisi duduknya. Bersandar pada
kepala ranjang.
“Papa
minta maaf karena sudah gagal memberi kalian kenyamanan di rumah, dalam
keluarga,” Prima melanjutkan dengan suara lirih.
“Pa...,”
Olivia menggenggam tangan Prima. Terasa agak dingin dan lembap. “Papa nggak perlulah
ngomong gitu. Nggak ada keluarga yang bisa 100% sempurna. Tapi buat Maxi, Mela,
aku, Papa adalah papa yang paling sempurna. Semua yang kami terima dari Papa
sudah lebih dari cukup. Ada ketimpangan, memang... Tapi sudah tertutup oleh
sosok Papa. We couldn’t ask for more.”
Mata
Prima tampak mengaca. Sehingga ia harus mengerjap beberapa kali supaya genangan
bening itu tidak menjadi butiran yang bisa menggelinding keluar begitu saja.
“Mela
masih ngambek? Sudah makan?” tanyanya dengan suara serak.
Olivia
menggeleng. “Belum makan, dan cuma ngambek sama Mama.”
“Coba
kamu panggil dia. Nanti kalau dia mau makan, kamu temani dia, ya?”
Olivia
mengangguk sambil berdiri dan meninggalkan kamar. Sejenak kemudian ia kembali
dengan merengkuh bahu Carmela. Didudukkannya si bungsu itu di tempatnya duduk
tadi, di tepi ranjang.
“Pa,
aku di kamar Maxi kalau perlu apa-apa.”
Prima
mengangguk. Sepeninggal Olivia, ditatapnya Carmela.
“Kamu
ini kenapa? PMS? Sampai bete segitunya...,”
senyum Prima.
“Enggak...,”
Carmela menggeleng dengan wajah cemberut. “Sebel aja sama Mama. Jadi orang, kok, munafik banget! Pencitraan melulu.”
Prima
menghela napas panjang. Ia kemudian meraih tangan Carmela dan menggenggamnya.
“Ada
andil Papa yang membuat Mama jadi seperti itu, Mel,” ucap Prima dengan wajah
serius, cenderung ke muram. “Maafkan Papa, ya? Papa sedang berusaha
memperbaikinya. Tolong, kamu bersabar.”
Carmela
membebaskan tangannya dari genggaman Prima, dan langsung memeluk laki-laki itu
dengan airmata yang mulai menetes di pipi. Prima membalasnya dengan hangat.
“You’re everything to me, Pa, to us,”
bisik Carmela.
Prima
mengelus bagian belakang kepala Carmela dengan lembut. Sejenak kemudian ia
membebaskan diri dari pelukan itu. Dirangkumnya kedua belah pipi Carmela dengan kedua
telapak tangannya.
“Sekarang
kamu makan. Lagi musim ujian, jangan sampai sakit. Jangan bikin repot Mbak
Livi. Janji?”
Carmela
mengangguk. Mencoba untuk tersenyum. Prima menghapus sisa airmata Carmela
dengan kedua ibu jarinya, sebelum mencium kening Carmela.
“Minta
Mbak Livi temani kamu makan. Sekalian panggil Mas Maxi ke sini. Oke? Jangan
ngambek lagi.”
Carmela
menggangguk lagi. Ia sempat mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan ayahnya
sebelum keluar dari kamar. Prima menghela napas panjang. Terasa agak sesak.
Tapi ditahannya rasa itu. Juga nyeri ulu hati dan peningnya. Tugasnya hari ini
belum selesai.
Pelan
ia merebahkan diri, bersamaan dengan munculnya Maxi. Pemuda itu langsung duduk
di dekatnya.
“Papa
panggil aku?”
Prima
mengangguk. Menepuk tepi ranjang hingga Maxi bergeser lebih dekat lagi.
“Uang
dua juta tadi, apa masalahnya?” tatapan Prima jatuh tepat di manik mata Maxi.
Pemuda
itu tertunduk, kemudian berdehem sebelum menjawab lirih, “Aku tadi pagi minta
uang sejuta sama Mama. Tapi ditransfer dua juta.”
“Buat
apa?” tanya Prima sabar.
Maxi
mengangkat wajahnya sekejap sebelum kembali tertunduk. “Aku bilang buat modif
motor...”
“Padahal?”
Maxi
menghela napas panjang. Ia kini menatap ayahnya.
“Buat
ganti uang Mbak Livi, Pa,” gumamnya. “Kemarin itu dia bayarin jaketku. Mahal,
Pa. Aku nggak mau, tapi Mbak Livi maksa. Makanya aku kepikiran malakin Mama
buat ganti uang Mbak Livi.”
“Berapa?”
“Delapan
ratus ribu. Dan sudah aku transfer ke Mbak Livi.”
“Max... Max...,”
Prima menggeleng pelan sambil tersenyum. “Saldomu masih ada berapa?”
“Tiga
jutaan.”
“Segera
kamu transfer balik yang dua juta itu ke rekening Mama. Nanti yang transferan
ke Mbak Livi, Papa ganti. Lagipula, kan, kemarin itu Papa sudah bilang,
belanjaan kalian itu Papa yang bayar. Kecuali Mbak Livi, karena Mbak Livi sudah
punya penghasilan sendiri. Cukup besar pula. Walaupun Papa juga nggak keberatan
kalau harus bayarin juga belanjaan Mbak Livi. Karena Mbak Livi, kan, anak Papa
juga.”
“Ya...
Aku, kan, nggak enak, Pa,” Maxi kembali tertunduk. “Baru juga Papa belikan
sepatu.”
“Papa,
kan, cari uang buat kalian, Max,” Prima mengerjapkan mata. “Buat kebutuhan
kalian. Toh, momen seperti kemarin nggak selalu terjadi setiap bulan.”
“Ya,
besok pagi-pagi aku ke ATM,” angguk Maxi.
“Kamu
sudah mulai minggu tenang?”
Maxi
mengangguk. “Tadi ke kampus cuma ngumpulin makalah doang.”
“Oh...
Jadi besok bisa antar Carmela ke sekolah, ya? Dia, kan, sudah mulai UAS. Biar
Mbak Livi langsung ngantor bawa mobil Papa. Kayaknya Papa mau istirahat dulu,
absen kerja.”
“Mm...
Tadi Mbak Livi bilang, besok aku suruh ngedrop Carmela dan dia, terus bawa
pulang mobilnya. Jaga-jaga, siapa tahu Papa butuh ke dokter.”
“Kan,
ada mobil Mama, Max.”
“Yakin
Mama nggak sibuk?”
Prima
tercenung mendengar nada sindiran yang kental dalam suara Maxi. Ia jadi
terdiam. Betul-betul tak tahu harus mengucapkan apa. Maxi kemudian berdiri.
“Pa,
Papa pindah ke kamarku saja,” ucapnya tegas. “Daripada nggak diurusin sama Mama.
Besok kalau belum mendingan, aku antar ke dokter.”
Prima
tertegun menatap Maxi. Tak tahu haruskah tersenyum atau bersedih mendengar
ucapan anak laki-laki satu-satunya itu.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
good post mbak
BalasHapusMakasih, Pak... 😊😊😊
Hapusciyaan yaa
BalasHapusHo'oh... Hehehe...
Hapuslanjut mbk...
BalasHapusSiaaap...
Hapus