Luken
tercenung menatap foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Dihelanya napas
panjang. Sudah hampir 9 tahun ia kehilangan Irene, tapi serasa baru kemarin. Ia
masih bisa mencium aroma wangi Irene yang selalu membuatnya bagai mabuk
kepayang.
Dan
foto di atas meja itu adalah foto terakhirnya bersama Irene. Diambil ketika
mereka baru pulang dari Bali untuk merayakan ulang tahun pertama pernikahan.
Dan mereka terpaksa terpisah empat bulan kemudian. Irene dipanggilNya pulang.
Karena penyakit lupusnya yang sudah tidak bisa lagi dikendalikan.
Luken
mengerjapkan matanya yang basah. Irene tidak meninggalkan buah hati yang bisa
dijadikannya pelipur lara. Hanya kenangan saja yang Luken berusaha untuk
memelihara dan mempertahankannya agar tetap utuh. Irene-nya yang cantik,
Irene-nya yang tegar. Irena-nya yang penuh cinta.
Sejak
awal ia tahu bahwa ia bisa saja sewaktu-waktu kehilangan Irene. Hanya saja tak
pernah menyangka bahwa waktu itu datang lebih cepat dari perkiraannya. Terlalu
cepat sehingga sampai detik ini pun sesungguhnya ia belum siap untuk kehilangan
Irene.
“Luk, Mama rasa Irene sudah
sampai di tempat terindahnya di Surga,” ujar Lyra lembut sambil menyodorkan secangkir
teh camomile pada Luken.
Luken menyesap kehangatan
itu. Sebagian rasa lelahnya setelah menyetir dari Jakarta ke Purwakarta plus
didera kemacetan panjang di jalan tol karena terjadinya kecelakaan, meluruh
sedikit demi sedikit.
“Jangan halangi kebahagiaannya
dengan masih terus-menerus memikirkannya,” lanjut Lyra, duduk di sebelah putra
tunggalnya itu.
Luken tercenung sejenak.
Walau mungkin ia tak pernah merasa siap ditinggalkan Irene, tapi waktu sudah
membuatnya mengikhlaskan kepergian Irene. Tidak seketika, tapi sedikit demi
sedikit. Dan ibunya sungguh memahami hal itu.
“Papa yakin nggak ada
perempuan yang 100% mirip dengan Irene, Luk,” ujar Yus yang tahu-tahu saja
sudah muncul di teras belakang, entah datang dari mana. Laki-laki itu duduk di
sebelah Lyra dan merengkuh bahu perempuan itu. “Jadi... cobalah untuk lebih
realistis.”
“Aku nggak cari perempuan
yang serupa Irene, Pa,” tukas Luken halus. “Aku hanya menginginkan perempuan
yang bisa membuatku merasa nyaman di sampingnya. Sebaliknya, dia juga harus
bisa nyaman di sampingku. Aku tahu Irene hanya satu di dunia ini. Dan tidak
adil kalau aku mencari Irene lain, atau membandingkannya dengan Irene.”
“Ya, bagus kalau kamu punya
pemikiran seperti itu. Tapi...,” Lyra mengerjapkan mata, “sudah ada?”
Luken memilih untuk tidak
menjawabnya. Ia hanya tersenyum tipis sambil kembali menyesap teh camomile-nya.
Pelan,
Luken menyandarkan punggung dengan lebih rileks. Bergerak memutar sedikit kursinya
hingga menghadap ke arah jendela ruang kantor. Suasana di luar sana terlihat
suram karena pantulan mendung tebal di langit.
Saat
itu, terdengar ketukan di pintu. Luken mengembalikan posisi duduknya, sambil
berseru, “Ya, masuk!”
Sandra
menyelinap tanpa suara. Di tangannya ada agenda dan bolpoin.
“Maaf,
Pak, baru saja ada kabar dari Pak Julian, beliau minta bertemu siang ini jam
satu, apa Bapak bersedia?”
Luken
sekilas melirik arlojinya. Baru pukul 08.34.
“Jadwalku
kosong?” Luken menatap Sandra sambil mempertemukan ujung-ujung jarinya di depan
dada.
“Kosong,
Pak,” angguk Sandra.
“Ya,
sudah. Tolong, atur saja semuanya, Bu. Sekalian setelah ini, tolong, panggilkan
Livi untuk urusan berkas yang harus dia siapkan.”
“Baik,
Pak, permisi.”
Luken
mengangguk sambil meraih laptopnya.
Perkebunan
kopi milik Julian terus meningkatkan produksinya. Seiring dengan peningkatan
permintaan impor kopi dari klien Luken. Dan Selama ini Julian sudah berhasil
mempertahankan mutu kopi yang dihasilkan kebunnya. Membuat Luken tak ragu untuk
menambah pembelian dari Julian.
Pintu
kantor Luken kembali diketuk dari luar. Luken menyahut dengan kata standarnya.
Sedetik kemudian, Olivia sudah menutup pintu dan menghampiri meja Luken.
“Selamat
pagi, Pak,” Olivia tersenyum sambil mengangguk sedikit.
Dan
Luken segera terpana selama beberapa detik lamanya. Penampilan Olivia pagi ini
benar-benar berubah dari biasanya. Warna kecoklatan rambut lurus gadis itu
terlihat sedikit lebih terang daripada kemarin-kemarin. Belum lagi wajahnya
yang terlihat lebih berwarna pada tempat-tempat yang tepat. Bibirnya terlihat menggoda
dengan warna merah bata yang jauh lebih nyata daripada biasanya. Begitu pula
pipinya. Dan matanya. Tapi semuanya itu tak membuat wajah Olivia jadi terkesan
menor, melainkan jadi sangat segar dan cerah. Belum lagi gaun terusan selutut
berlengan pendek berwarna merah bata yang dikenakannya, menggantikan setelan
berwarna gelap atau monokrom yang biasa dipakai gadis itu. Busana itu melekat
sangat sempurna. Dan keseluruhan penampilan elegan itu dilengkapi dengan
sepasang wedges berwarna pearl white, sewarna dengan kalung
mutiara yang melingkari lehernya.
Baru
sekarang ia melihat penampilan Olivia secara utuh. Ia datang agak terlambat tadi,
meskipun sudah sepagi mungkin berangkat dari Purwakarta. Sudah pukul delapan
lewat ketika ia sampai di kantor. Langsung menuju ke ruangannya dengan langkah
bergegas dan hanya menjawab sekilas sapaan Sandra dan Olivia. Nyaris tanpa
menoleh ke arah keduanya.
Dan ternyata hari ini dia...
Astaga...
“Pak...,”
wajah Olivia terlihat ragu-ragu.
Luken
seketika tergeragap.
Astaga... Dia cantik sekali!
“Bapak
memanggil saya?”
“Oh,
iya, iya,” Luken buru-buru mengangguk. “Duduk, Liv. Ada beberapa hal yang harus
kamu siapkan untuk pertemuan kita dengan Pak Julian.”
Dan
setelahnya, Luken berusaha sekuat tenaga untuk memusatkan pikirannya pada
urusan dengan Julian. Tak ingin merasa terganggu
dengan penampilan baru Olivia. Tapi...
Aku menyerah!
“Oke,
Liv, itu saja dulu. Nanti kalau ada tambahan, secepatnya aku infokan ke kamu,”
Luken mengalihkan tatapan ke layar laptopnya.
“Baik,
Pak, permisi.”
“Ya.”
Lebih cepat kamu keluar, lebih baik!
Olivia
berdiri dan keluar dari ruangan itu. Tanpa pernah tahu rasa apa saja yang
berkecamuk dalam benak dan hati sang boss.
* * *
“Ma,
aku butuh uang satu juta untuk modif motor,” ucap Maxi sambil mengunyah sandwich-nya.
Arlena
baru saja turun dari kamar. Masih mengenakan tank top dan celana gemes seperti biasanya, tapi sudah terlihat
segar dan wangi. Perempuan itu duduk di seberang anak laki-lakinya. Sebelum ia
berteriak memanggil Muntik, ART itu sudah datang dengan membawa nampan berisi
secangkir kopi yang masih mengepul.
“Ini
rotinya kamu panggang dulu,” Arlena menyodorkan piring berisi lembaran roti
tawar pada Muntik. “Pakai butter,
jangan margarin.”
Ia
kemudian menoleh ke arah Maxi. “Penting banget modifnya?”
“Ya,
kan, sekalian buat praktekin ilmu,” sahut Maxi dengan mulut penuh.
“Ya,
setelah ini Mama transfer. Ponsel Mama ketinggalan di kamar.”
Maxi
tak menyahut. Statusnya sebagai mahasiswa teknik mesin memudahkannya mendapat
uang dari sang mama dengan alasan untuk modifikasi motor. Cepat-cepat ia menyudahi
acara sarapan itu dengan memasukkan semua sisa sandwich yang ada di tangannya ke dalam mulut. Didorongnya kunyahan
itu dengan setengah gelas teh manis yang masih menyisakan sedikit rasa hangat.
Setelah selesai, ia bergegas melangkah ke garasi seraya menggumamkan kata pamit
pada Arlena.
Beberapa
menit kemudian Muntik kembali ke ruang makan dengan membawa piring berisi
lembar-lembar roti tawar beraroma lezat yang sudah dipanggang. Arlena pun
segera menikmati sarapannya setelah mengoleskan selai pada salah satu sisi
roti.
“Tik,
ambilkan ponselku di kamar. Kalau nggak di meja rias, ada di meja samping
ranjang!” seru Arlena sambil mengunyah.
“Ya,
Bu.”
Dan
ponsel itu sudah ada di tangan Arlena dalam hitungan menit.
“Mela
biasanya pulang jam berapa?” tanya Arlena sebelum Muntik berbalik.
“Jam
setengah tiga sampai rumah, Bu. Tapi kayaknya hari ini ujian. Biasanya, sih,
pulang lebih pagi.”
“Oh...”
Segera
saja ia sibuk dengan ponselnya. Pertama, mentransfer sejumlah uang ke rekening
Maxi. Ia masih bernapas lega karena Prima tidak pernah melupakan kewajibannya
soal keuangan. Prima memang tidak mentransfer seluruh gajinya, karena terkadang
masih harus pula menutup kebutuhan rumah dan anak-anak saat Arlena sedang tidak
ada di tempat untuk dimintai uang. Tapi jumlah yang masuk ke rekening Arlena
tetaplah lebih dari cukup.
Selesai
dengan urusan e-banking, ia kemudian memeriksa
email-email yang masuk, online BBM
dan Whatsapp sejenak, dan akhirnya beranjak
ke ruang baca merangkap ruang kerja Prima. Ia sedang tak ingin ke kantor hari
ini. Hanya ingin bermalasan saja di rumah. Tapi ia sudah punya rencana untuk
mengisi hari. Hanya tinggal menunggu waktunya tiba saja.
* * *
Sandra
segera mengangkat gagang telepon begitu benda itu berbunyi, dan menyapa dengan
suaranya yang hangat. Langsung ada sahutan dari seberang sana.
“Bu Sandra, tolong, untuk
pertemuan dengan Pak Julian, Ibu saja yang berangkat sama aku, ya?”
“Eh?”
“Jadi Ibu persiapkan semuanya,
sekaligus cek kerjaan Olivia, dan diskusikan dulu dengannya. Kalau sudah, tolong
Ibu bawa berkasnya ke sini.”
“Baik,
Pak.”
“Makasih, Bu.”
“Sama-sama,
Pak.”
Sandra
menoleh sambil meletakkan kembali gagang telepon. Olivia tampak sedang sibuk
menyusun lembaran-lembaran yang baru saja selesai dicetaknya. Ketika gadis itu
beranjak hendak memfotokopi berkas, panggilan Sandra sejenak menghentikan
gerakannya.
“Mbak
Liv...”
“Ya,
Bu?” sahut Olivia.
“Tadi
dipanggil Pak Luken untuk urusan dengan Pak Julian?”
“Iya,”
angguk Olivia. “Ini berkasnya sudah selesai.”
“Mm...
Tadi Pak Luken bilangnya mau pergi sama kamu atau aku?”
Olivia
mengerutkan keningnya sedikit. Sedetik kemudian ia menggeleng.
“Nggak
bilang, sih...,” gumamnya.
“Mm...
Ini tadi baru saja bilang, perginya mau sama aku,” wajah Sandra terlihat
ragu-ragu.
“Oh?”
Olivia mengangkat alis. Tersenyum. “Ya, nggak apa-apa, kan, Bu?”
Sandra
masih berpikir-pikir. Olivia kembali melanjutkan gerakannya. Dengan cekatan ia
menggandakan berkas itu, kemudian merapikannya dalam dua lembar map plastik
bersampul bening. Map biru untuk berkas asli, map merah untuk berkas salinan.
Setelah selesai, ia mengulurkan kedua berkas itu pada Sandra. Ia mengambil
catatan dari atas mejanya sebelum duduk di depan Sandra. Keduanya kemudian
sibuk mendiskusikan semua hal yang harus diketahui Sandra terkait pertemuan
dengan Julian seusai jam makan siang nanti.
* * *
Sambil
bercanda dengan beberapa temannya, Carmela berjalan dengan langkah ringan
menuju ke gerbang sekolah. Mendung yang menggantung di langit terlihat begitu
gelap dan tebal.
“Lo
pulang naik taksi, Mel?” tanya Cindy.
“Iya,
nih,” jawab Carmela sambil mencari ponsel di dalam tasnya. “Enakan naik ojek,
sih, sebenernya. Tapi takut keduluan hujan.”
“Lo
bareng gue aja, Mel,” timpal Betty. “Tapi mampir ke kantor mami gue dulu, ambil
kunci rumah. Tadi gue kelupaan.”
“Makasih,”
Carmela tersenyum manis. “Tapi gue naik taksi aja. Bagi-bagi rejeki sama sopir
taksi.”
“Hiyaaa...
Lagak lo!” Cindy tertawa sambil mendorong lembut bahu Carmela.
Carmela
dan Betty tertawa, kemudian mereka berpisah. Tapi sebelum Carmela memesan taksi
online dari ponselnya, sebuah
panggilan sudah memaksanya untuk menoleh. Seketika keningnya berkerut.
“Mel!
Buruan! Keburu hujan, nih!”
Mama?
Carmela
terbengong sejenak.
Kesambet apa ini si Mama?
“Ayo!
Seruan
Arlena menyadarkannya. Dengan tergesa ia melangkah mendekati Arlena yang
berdiri di samping mobil dengan wajah super cerah.
“Kamu
belum pesan taksi, kan?” tanya Arlena begitu Carmela masuk ke dalam mobil.
“Belum,”
Carmela menggeleng. “Mama kesambet jin mana? Tumben menjemput?”
Arlena
mengerucutkan bibir sambil menghidupkan mobil dan mulai menekan pedal gas.
“Kamu
ini, Mama jemput, bilangnya kesambet,” gerutunya.
Carmela
diam. Tak bereaksi. Karena terlalu takjub. Alih-alih mengajak putri bungsunya
mengobrol, Arlena malah sibuk menyetir sambil bernyanyi mengikuti lagu yang
mengalun melalui CD player. Carmela tak punya pilihan lain kecuali sibuk dengan
ponselnya.
Dan
gadis itu hanya bisa terperangah ketika Arlena membawanya ke sebuah kafe. Tapi
kemudian ia tahu tujuan Arlena. Yang bisa diperbuatnya hanyalah mengikuti
Arlena dengan setengah hati.
Tempo hari Mbak Livi sudah,
sekarang giliranku rupanya... Huh!
* * *
“Senang
sekali bekerja sama dengan Mas Luken,” Julian menjabat erat tangan Luken.
Wajah
mereka tampak cerah, terutama Julian. Perjanjian kerja sama, yang sempat
tertunda karena laki-laki berusia 60-an itu sakit, baru saja diperbarui tanpa
perlu banyak pernik ataupun makan waktu lama. Sandra pun merapikan
berkas-berkas dengan cekatan. Sesaat kemudian Luken menoleh ke arahnya.
“Ayo,
Bu, kita pamitan.”
Sandra
mengangguk. Mereka pun berpamitan, kemudian meninggalkan restoran tempat
pertemuan itu dengan langkah ringan. Ketika Luken sudah mulai meluncurkan
mobilnya meninggalkan area parkir, Sandra memberanikan diri untuk buka suara.
“Pak...,
boleh saya tanya?” ujarnya lirih, terdengar ragu-ragu.
“Ya,
Bu Sandra,” Luken menoleh sekilas. “Ada apa?”
“Mm...
Saya cuma penasaran saja, sebenarnya. Kalau Bapak nggak bersedia jawab, nggak
apa-apa.”
“Iya,
Bu, kenapa?” suara Luken terdengar sabar.
“Mm...
Kalau boleh tahu, untuk meeting tadi,
kenapa Bapak ajak saya, bukan Livi seperti biasanya?”
“Memangnya
kenapa, Bu?” Luken tertawa ringan.
“Ya,
nggak apa-apa, sih, Pak,” senyum Sandra. “Cuma, kan, untuk urusan mendampingi
Bapak bertemu dengan klien, supplier,
dan sebagainya, Olivia lebih menguasai medan daripada saya.”
“Ya...
Hm...,” tampaknya Luken kesulitan menemukan kata yang tepat, walaupun Sandra
sudah bukan orang lain lagi baginya. “Jujur, ya, Bu, dandanan Livi bikin aku
kurang bisa konsentrasi hari ini,” Luken meringis.
Sandra
menoleh cepat. Ia terbengong sejenak menatap wajah Luken dari samping. Ia baru
tersadar ketika Luken berdehem.
“Ehm...
Ya, begitulah, Bu,” Luken kembali meringis. Wajahnya tampak sedikit tersipu
malu. “Nggak bener ini sebenarnya. Tapi...”
Sandra
sekuat tenaga menahan senyumnya agar tidak mekar, yang mungkin bisa menambah
rasa malu Luken.
“Bu,
jangan bilang apa-apa sama Livi, ya?” nada suara Luken terdengar seperti anak
kecil yang tak mau kenakalannya diadukan pada orang lain. “Bukan salahnya,
kok.”
“Iya,
Pak,” Sandra melepaskan senyumnya sedikit. “Tapi mungkin akan saya bilang
padanya untuk nggak dandan heboh seperti hari ini. Ya, sebetulnya nggak heboh
juga, sih. Masih jauh di bawah ambang batas menor. Dandanannya wajar,
sebetulnya. Hanya saja karena aslinya sudah cantik, dandan yang pas begitu dia
jadi makin cantik saja.”
“Jangan,
Bu!” tukas Luken seketika. “Biar saja kalau dia mau mengubah penampilan. Itu
haknya, Bu. Lagipula penampilannya masih tetap sangat sopan, kok. Aku cuma
perlu... membiasakan diri.”
Sandra
tercenung sejenak, kemudian manggut-manggut.
* * *
‘Mbak, aku sudah transfer
uang ganti beli jaket kemarin ya. Tolong dicek.’
Olivia
ternganga setelah membaca pesan WA dari Maxi. Buru-buru ia mengetikkan balasan.
‘Kamu dapat uang dari mana,
Max?’
‘Malakin Mama lah...
Hahaha... Sst! Jangan bilang Mama!’
Astaga... Olivia
meringis seketika.
‘Dikasih, gitu, sama Mama?’
‘Ya, iyalah... Aku minta
sejuta malah dikasih dua juta. Entah siapa yang sengklek.’
Olivia
menepuk keningnya. Ia mengetikkan lagi balasan berikutnya.
‘Kamu banyak duit begitu,
jangan macem-macem!’
‘Iya, Mbaaak... Paling
besok-besok Mbak Livi sama Mela kebagian traktiran. Hueheheee...’
Olivia
mengulum senyum. Ia benar-benar tak menyangka Maxi punya akal bulus ‘menipu’
sang mama hanya untuk mengganti uang pembelian jaket hari Sabtu kemarin.
Padahal ia sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang hampir delapan ratus
ribu rupiah untuk sehelai jaket yang disukai Maxi.
Rasa
kenyang seusai makan siang dan suasana suram yang menular dari luar kantor yang
dihujani gerimis membuat Olivia sedikit mengantuk. Pekerjaannya merapikan file
sudah selesai. Tidak ada yang diajaknya mengobrol karena Sandra sedang keluar
bersama Luken. Untuk beranjangsana ke ruangan lain, ia segan. Karena
sewaktu-waktu bisa saja ada telepon masuk yang penting untuk kelangsungan hidup
kantor itu.
Tanpa
sadar ia menguap. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi singkat. Ia meraih dan
membaca pesan yang masuk.
‘Tebak aku sekarang lagi di
mana dan sama siapa?’
Olivia
nyaris tergelak membaca pesan aneh dari Carmela itu. Dibalasnya seketika.
‘Memangnya mbakmu ini
cenayang atau ahli nujum atau tukang sihir?’
‘Hihihi... Aku dijemput
Mama, diajak mojok di kafe, selfie-selfie. Tunggu saja artikelnya keluar ‘tar
malem.’
Astaga...
Olivia
menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Diketikkannya balasan.
‘Tapi lumayan, kan? Irit
ongkos ojek.’
Dan
balasan yang diterima Olivia adalah sederet emoticon
tertawa hingga keluar air mata. Sekali lagi Olivia menghela napas panjang. Mungkin
ada tawa dalam dialog bisu mereka baru saja. Tapi tersirat ironi yang cukup
kental.
Seharusnya
seorang gadis menikmati dengan senang hati waktu santai bersama ibunya di
tengah kesibukan yang masing-masing mereka miliki. Seharusnya saat-saat teduh itu memberikan kesan indah yang tak
lekang oleh waktu hingga kapan pun. Dan seharusnya
kebersamaan itu bukan suatu setting-an
demi maksud tertentu.
Sayangnya,
yang terjadi adalah sebaliknya. Dan mereka hanya menemukan satu cara untuk menghadapi
semua itu. Menganggapnya lelucon. Menertawakannya. Berpikir seolah itu adalah
hiburan.
Ini sudah tidak sehat lagi!
Olivia
menatap layar ponselnya. Tapi sebelum ia sempat mengetikkan sesuatu. Carmela
mengirim pesan lagi.
‘Kali ini aku nggak akan
mengijinkan Mama menulis tentangku.’
Olivia
menyipitkan mata. ‘Kalau Mama ngeyel?’
‘Lihat saja nanti.’
Olivia
menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com
(dengan modifikasi)
good post mbak, tambak menarik, untuk menulis ini referensinya baca buku 5 atau 15 buku ya he he
BalasHapusNggak sekadar buku, Pak, orang juga 😁😁😁
Hapuskereen
BalasHapusMakasiiih, Mbak... 😊😊😊
Hapus