Kamis, 26 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #6-1








Sebelumnya  



* * *



Enam


Luken tercenung menatap foto yang terpajang di atas meja kerjanya. Dihelanya napas panjang. Sudah hampir 9 tahun ia kehilangan Irene, tapi serasa baru kemarin. Ia masih bisa mencium aroma wangi Irene yang selalu membuatnya bagai mabuk kepayang.

Dan foto di atas meja itu adalah foto terakhirnya bersama Irene. Diambil ketika mereka baru pulang dari Bali untuk merayakan ulang tahun pertama pernikahan. Dan mereka terpaksa terpisah empat bulan kemudian. Irene dipanggilNya pulang. Karena penyakit lupusnya yang sudah tidak bisa lagi dikendalikan.

Luken mengerjapkan matanya yang basah. Irene tidak meninggalkan buah hati yang bisa dijadikannya pelipur lara. Hanya kenangan saja yang Luken berusaha untuk memelihara dan mempertahankannya agar tetap utuh. Irene-nya yang cantik, Irene-nya yang tegar. Irena-nya yang penuh cinta.

Sejak awal ia tahu bahwa ia bisa saja sewaktu-waktu kehilangan Irene. Hanya saja tak pernah menyangka bahwa waktu itu datang lebih cepat dari perkiraannya. Terlalu cepat sehingga sampai detik ini pun sesungguhnya ia belum siap untuk kehilangan Irene.


“Luk, Mama rasa Irene sudah sampai di tempat terindahnya di Surga,” ujar Lyra lembut sambil menyodorkan secangkir teh camomile pada Luken.

Luken menyesap kehangatan itu. Sebagian rasa lelahnya setelah menyetir dari Jakarta ke Purwakarta plus didera kemacetan panjang di jalan tol karena terjadinya kecelakaan, meluruh sedikit demi sedikit.

“Jangan halangi kebahagiaannya dengan masih terus-menerus memikirkannya,” lanjut Lyra, duduk di sebelah putra tunggalnya itu.

Luken tercenung sejenak. Walau mungkin ia tak pernah merasa siap ditinggalkan Irene, tapi waktu sudah membuatnya mengikhlaskan kepergian Irene. Tidak seketika, tapi sedikit demi sedikit. Dan ibunya sungguh memahami hal itu.

“Papa yakin nggak ada perempuan yang 100% mirip dengan Irene, Luk,” ujar Yus yang tahu-tahu saja sudah muncul di teras belakang, entah datang dari mana. Laki-laki itu duduk di sebelah Lyra dan merengkuh bahu perempuan itu. “Jadi... cobalah untuk lebih realistis.”

“Aku nggak cari perempuan yang serupa Irene, Pa,” tukas Luken halus. “Aku hanya menginginkan perempuan yang bisa membuatku merasa nyaman di sampingnya. Sebaliknya, dia juga harus bisa nyaman di sampingku. Aku tahu Irene hanya satu di dunia ini. Dan tidak adil kalau aku mencari Irene lain, atau membandingkannya dengan Irene.”

“Ya, bagus kalau kamu punya pemikiran seperti itu. Tapi...,” Lyra mengerjapkan mata, “sudah ada?”

Luken memilih untuk tidak menjawabnya. Ia hanya tersenyum tipis sambil kembali menyesap teh camomile-nya.


Pelan, Luken menyandarkan punggung dengan lebih rileks. Bergerak memutar sedikit kursinya hingga menghadap ke arah jendela ruang kantor. Suasana di luar sana terlihat suram karena pantulan mendung tebal di langit.

Saat itu, terdengar ketukan di pintu. Luken mengembalikan posisi duduknya, sambil berseru, “Ya, masuk!”

Sandra menyelinap tanpa suara. Di tangannya ada agenda dan bolpoin.

“Maaf, Pak, baru saja ada kabar dari Pak Julian, beliau minta bertemu siang ini jam satu, apa Bapak bersedia?”

Luken sekilas melirik arlojinya. Baru pukul 08.34.

“Jadwalku kosong?” Luken menatap Sandra sambil mempertemukan ujung-ujung jarinya di depan dada.

“Kosong, Pak,” angguk Sandra.

“Ya, sudah. Tolong, atur saja semuanya, Bu. Sekalian setelah ini, tolong, panggilkan Livi untuk urusan berkas yang harus dia siapkan.”

“Baik, Pak, permisi.”

Luken mengangguk sambil meraih laptopnya.

Perkebunan kopi milik Julian terus meningkatkan produksinya. Seiring dengan peningkatan permintaan impor kopi dari klien Luken. Dan Selama ini Julian sudah berhasil mempertahankan mutu kopi yang dihasilkan kebunnya. Membuat Luken tak ragu untuk menambah pembelian dari Julian.

Pintu kantor Luken kembali diketuk dari luar. Luken menyahut dengan kata standarnya. Sedetik kemudian, Olivia sudah menutup pintu dan menghampiri meja Luken.

“Selamat pagi, Pak,” Olivia tersenyum sambil mengangguk sedikit.

Dan Luken segera terpana selama beberapa detik lamanya. Penampilan Olivia pagi ini benar-benar berubah dari biasanya. Warna kecoklatan rambut lurus gadis itu terlihat sedikit lebih terang daripada kemarin-kemarin. Belum lagi wajahnya yang terlihat lebih berwarna pada tempat-tempat yang tepat. Bibirnya terlihat menggoda dengan warna merah bata yang jauh lebih nyata daripada biasanya. Begitu pula pipinya. Dan matanya. Tapi semuanya itu tak membuat wajah Olivia jadi terkesan menor, melainkan jadi sangat segar dan cerah. Belum lagi gaun terusan selutut berlengan pendek berwarna merah bata yang dikenakannya, menggantikan setelan berwarna gelap atau monokrom yang biasa dipakai gadis itu. Busana itu melekat sangat sempurna. Dan keseluruhan penampilan elegan itu dilengkapi dengan sepasang wedges berwarna pearl white, sewarna dengan kalung mutiara yang melingkari lehernya.

Baru sekarang ia melihat penampilan Olivia secara utuh. Ia datang agak terlambat tadi, meskipun sudah sepagi mungkin berangkat dari Purwakarta. Sudah pukul delapan lewat ketika ia sampai di kantor. Langsung menuju ke ruangannya dengan langkah bergegas dan hanya menjawab sekilas sapaan Sandra dan Olivia. Nyaris tanpa menoleh ke arah keduanya.

Dan ternyata hari ini dia... Astaga...

“Pak...,” wajah Olivia terlihat ragu-ragu.

Luken seketika tergeragap.

Astaga... Dia cantik sekali!

“Bapak memanggil saya?”

“Oh, iya, iya,” Luken buru-buru mengangguk. “Duduk, Liv. Ada beberapa hal yang harus kamu siapkan untuk pertemuan kita dengan Pak Julian.”

Dan setelahnya, Luken berusaha sekuat tenaga untuk memusatkan pikirannya pada urusan dengan Julian. Tak ingin merasa terganggu dengan penampilan baru Olivia. Tapi...

Aku menyerah!

“Oke, Liv, itu saja dulu. Nanti kalau ada tambahan, secepatnya aku infokan ke kamu,” Luken mengalihkan tatapan ke layar laptopnya.

“Baik, Pak, permisi.”

“Ya.” Lebih cepat kamu keluar, lebih baik!

Olivia berdiri dan keluar dari ruangan itu. Tanpa pernah tahu rasa apa saja yang berkecamuk dalam benak dan hati sang boss.

* * *

“Ma, aku butuh uang satu juta untuk modif motor,” ucap Maxi sambil mengunyah sandwich-nya.

Arlena baru saja turun dari kamar. Masih mengenakan tank top dan celana gemes seperti biasanya, tapi sudah terlihat segar dan wangi. Perempuan itu duduk di seberang anak laki-lakinya. Sebelum ia berteriak memanggil Muntik, ART itu sudah datang dengan membawa nampan berisi secangkir kopi yang masih mengepul.

“Ini rotinya kamu panggang dulu,” Arlena menyodorkan piring berisi lembaran roti tawar pada Muntik. “Pakai butter, jangan margarin.”

Ia kemudian menoleh ke arah Maxi. “Penting banget modifnya?”

“Ya, kan, sekalian buat praktekin ilmu,” sahut Maxi dengan mulut penuh.

“Ya, setelah ini Mama transfer. Ponsel Mama ketinggalan di kamar.”

Maxi tak menyahut. Statusnya sebagai mahasiswa teknik mesin memudahkannya mendapat uang dari sang mama dengan alasan untuk modifikasi motor. Cepat-cepat ia menyudahi acara sarapan itu dengan memasukkan semua sisa sandwich yang ada di tangannya ke dalam mulut. Didorongnya kunyahan itu dengan setengah gelas teh manis yang masih menyisakan sedikit rasa hangat. Setelah selesai, ia bergegas melangkah ke garasi seraya menggumamkan kata pamit pada Arlena.

Beberapa menit kemudian Muntik kembali ke ruang makan dengan membawa piring berisi lembar-lembar roti tawar beraroma lezat yang sudah dipanggang. Arlena pun segera menikmati sarapannya setelah mengoleskan selai pada salah satu sisi roti.

“Tik, ambilkan ponselku di kamar. Kalau nggak di meja rias, ada di meja samping ranjang!” seru Arlena sambil mengunyah.

“Ya, Bu.”

Dan ponsel itu sudah ada di tangan Arlena dalam hitungan menit.

“Mela biasanya pulang jam berapa?” tanya Arlena sebelum Muntik berbalik.

“Jam setengah tiga sampai rumah, Bu. Tapi kayaknya hari ini ujian. Biasanya, sih, pulang lebih pagi.”

“Oh...”

Segera saja ia sibuk dengan ponselnya. Pertama, mentransfer sejumlah uang ke rekening Maxi. Ia masih bernapas lega karena Prima tidak pernah melupakan kewajibannya soal keuangan. Prima memang tidak mentransfer seluruh gajinya, karena terkadang masih harus pula menutup kebutuhan rumah dan anak-anak saat Arlena sedang tidak ada di tempat untuk dimintai uang. Tapi jumlah yang masuk ke rekening Arlena tetaplah lebih dari cukup.

Selesai dengan urusan e-banking, ia kemudian memeriksa email-email yang masuk, online BBM dan Whatsapp sejenak, dan akhirnya beranjak ke ruang baca merangkap ruang kerja Prima. Ia sedang tak ingin ke kantor hari ini. Hanya ingin bermalasan saja di rumah. Tapi ia sudah punya rencana untuk mengisi hari. Hanya tinggal menunggu waktunya tiba saja.

* * *

Sandra segera mengangkat gagang telepon begitu benda itu berbunyi, dan menyapa dengan suaranya yang hangat. Langsung ada sahutan dari seberang sana.

“Bu Sandra, tolong, untuk pertemuan dengan Pak Julian, Ibu saja yang berangkat sama aku, ya?”

“Eh?”

“Jadi Ibu persiapkan semuanya, sekaligus cek kerjaan Olivia, dan diskusikan dulu dengannya. Kalau sudah, tolong Ibu bawa berkasnya ke sini.”

“Baik, Pak.”

“Makasih, Bu.”

“Sama-sama, Pak.”

Sandra menoleh sambil meletakkan kembali gagang telepon. Olivia tampak sedang sibuk menyusun lembaran-lembaran yang baru saja selesai dicetaknya. Ketika gadis itu beranjak hendak memfotokopi berkas, panggilan Sandra sejenak menghentikan gerakannya.

“Mbak Liv...”

“Ya, Bu?” sahut Olivia.

“Tadi dipanggil Pak Luken untuk urusan dengan Pak Julian?”

“Iya,” angguk Olivia. “Ini berkasnya sudah selesai.”

“Mm... Tadi Pak Luken bilangnya mau pergi sama kamu atau aku?”

Olivia mengerutkan keningnya sedikit. Sedetik kemudian ia menggeleng.

“Nggak bilang, sih...,” gumamnya.

“Mm... Ini tadi baru saja bilang, perginya mau sama aku,” wajah Sandra terlihat ragu-ragu.

“Oh?” Olivia mengangkat alis. Tersenyum. “Ya, nggak apa-apa, kan, Bu?”

Sandra masih berpikir-pikir. Olivia kembali melanjutkan gerakannya. Dengan cekatan ia menggandakan berkas itu, kemudian merapikannya dalam dua lembar map plastik bersampul bening. Map biru untuk berkas asli, map merah untuk berkas salinan. Setelah selesai, ia mengulurkan kedua berkas itu pada Sandra. Ia mengambil catatan dari atas mejanya sebelum duduk di depan Sandra. Keduanya kemudian sibuk mendiskusikan semua hal yang harus diketahui Sandra terkait pertemuan dengan Julian seusai jam makan siang nanti.

* * *

Sambil bercanda dengan beberapa temannya, Carmela berjalan dengan langkah ringan menuju ke gerbang sekolah. Mendung yang menggantung di langit terlihat begitu gelap dan tebal.

“Lo pulang naik taksi, Mel?” tanya Cindy.

“Iya, nih,” jawab Carmela sambil mencari ponsel di dalam tasnya. “Enakan naik ojek, sih, sebenernya. Tapi takut keduluan hujan.”

“Lo bareng gue aja, Mel,” timpal Betty. “Tapi mampir ke kantor mami gue dulu, ambil kunci rumah. Tadi gue kelupaan.”

“Makasih,” Carmela tersenyum manis. “Tapi gue naik taksi aja. Bagi-bagi rejeki sama sopir taksi.”

“Hiyaaa... Lagak lo!” Cindy tertawa sambil mendorong lembut bahu Carmela.

Carmela dan Betty tertawa, kemudian mereka berpisah. Tapi sebelum Carmela memesan taksi online dari ponselnya, sebuah panggilan sudah memaksanya untuk menoleh. Seketika keningnya berkerut.

“Mel! Buruan! Keburu hujan, nih!”

Mama?

Carmela terbengong sejenak.

Kesambet apa ini si Mama?

“Ayo!

Seruan Arlena menyadarkannya. Dengan tergesa ia melangkah mendekati Arlena yang berdiri di samping mobil dengan wajah super cerah.

“Kamu belum pesan taksi, kan?” tanya Arlena begitu Carmela masuk ke dalam mobil.

“Belum,” Carmela menggeleng. “Mama kesambet jin mana? Tumben menjemput?”

Arlena mengerucutkan bibir sambil menghidupkan mobil dan mulai menekan pedal gas.

“Kamu ini, Mama jemput, bilangnya kesambet,” gerutunya.

Carmela diam. Tak bereaksi. Karena terlalu takjub. Alih-alih mengajak putri bungsunya mengobrol, Arlena malah sibuk menyetir sambil bernyanyi mengikuti lagu yang mengalun melalui CD player. Carmela tak punya pilihan lain kecuali sibuk dengan ponselnya.

Dan gadis itu hanya bisa terperangah ketika Arlena membawanya ke sebuah kafe. Tapi kemudian ia tahu tujuan Arlena. Yang bisa diperbuatnya hanyalah mengikuti Arlena dengan setengah hati.

Tempo hari Mbak Livi sudah, sekarang giliranku rupanya... Huh!

* * *

“Senang sekali bekerja sama dengan Mas Luken,” Julian menjabat erat tangan Luken.

Wajah mereka tampak cerah, terutama Julian. Perjanjian kerja sama, yang sempat tertunda karena laki-laki berusia 60-an itu sakit, baru saja diperbarui tanpa perlu banyak pernik ataupun makan waktu lama. Sandra pun merapikan berkas-berkas dengan cekatan. Sesaat kemudian Luken menoleh ke arahnya.

“Ayo, Bu, kita pamitan.”

Sandra mengangguk. Mereka pun berpamitan, kemudian meninggalkan restoran tempat pertemuan itu dengan langkah ringan. Ketika Luken sudah mulai meluncurkan mobilnya meninggalkan area parkir, Sandra memberanikan diri untuk buka suara.

“Pak..., boleh saya tanya?” ujarnya lirih, terdengar ragu-ragu.

“Ya, Bu Sandra,” Luken menoleh sekilas. “Ada apa?”

“Mm... Saya cuma penasaran saja, sebenarnya. Kalau Bapak nggak bersedia jawab, nggak apa-apa.”

“Iya, Bu, kenapa?” suara Luken terdengar sabar.

“Mm... Kalau boleh tahu, untuk meeting tadi, kenapa Bapak ajak saya, bukan Livi seperti biasanya?”

“Memangnya kenapa, Bu?” Luken tertawa ringan.

“Ya, nggak apa-apa, sih, Pak,” senyum Sandra. “Cuma, kan, untuk urusan mendampingi Bapak bertemu dengan klien, supplier, dan sebagainya, Olivia lebih menguasai medan daripada saya.”

“Ya... Hm...,” tampaknya Luken kesulitan menemukan kata yang tepat, walaupun Sandra sudah bukan orang lain lagi baginya. “Jujur, ya, Bu, dandanan Livi bikin aku kurang bisa konsentrasi hari ini,” Luken meringis.

Sandra menoleh cepat. Ia terbengong sejenak menatap wajah Luken dari samping. Ia baru tersadar ketika Luken berdehem.

“Ehm... Ya, begitulah, Bu,” Luken kembali meringis. Wajahnya tampak sedikit tersipu malu. “Nggak bener ini sebenarnya. Tapi...”

Sandra sekuat tenaga menahan senyumnya agar tidak mekar, yang mungkin bisa menambah rasa malu Luken.

“Bu, jangan bilang apa-apa sama Livi, ya?” nada suara Luken terdengar seperti anak kecil yang tak mau kenakalannya diadukan pada orang lain. “Bukan salahnya, kok.”

“Iya, Pak,” Sandra melepaskan senyumnya sedikit. “Tapi mungkin akan saya bilang padanya untuk nggak dandan heboh seperti hari ini. Ya, sebetulnya nggak heboh juga, sih. Masih jauh di bawah ambang batas menor. Dandanannya wajar, sebetulnya. Hanya saja karena aslinya sudah cantik, dandan yang pas begitu dia jadi makin cantik saja.”

“Jangan, Bu!” tukas Luken seketika. “Biar saja kalau dia mau mengubah penampilan. Itu haknya, Bu. Lagipula penampilannya masih tetap sangat sopan, kok. Aku cuma perlu... membiasakan diri.”

Sandra tercenung sejenak, kemudian manggut-manggut.

* * *

‘Mbak, aku sudah transfer uang ganti beli jaket kemarin ya. Tolong dicek.’

Olivia ternganga setelah membaca pesan WA dari Maxi. Buru-buru ia mengetikkan balasan.

‘Kamu dapat uang dari mana, Max?’

‘Malakin Mama lah... Hahaha... Sst! Jangan bilang Mama!’

Astaga... Olivia meringis seketika.

‘Dikasih, gitu, sama Mama?’

‘Ya, iyalah... Aku minta sejuta malah dikasih dua juta. Entah siapa yang sengklek.’

Olivia menepuk keningnya. Ia mengetikkan lagi balasan berikutnya.

‘Kamu banyak duit begitu, jangan macem-macem!’

‘Iya, Mbaaak... Paling besok-besok Mbak Livi sama Mela kebagian traktiran. Hueheheee...’

Olivia mengulum senyum. Ia benar-benar tak menyangka Maxi punya akal bulus ‘menipu’ sang mama hanya untuk mengganti uang pembelian jaket hari Sabtu kemarin. Padahal ia sama sekali tidak keberatan mengeluarkan uang hampir delapan ratus ribu rupiah untuk sehelai jaket yang disukai Maxi.

Rasa kenyang seusai makan siang dan suasana suram yang menular dari luar kantor yang dihujani gerimis membuat Olivia sedikit mengantuk. Pekerjaannya merapikan file sudah selesai. Tidak ada yang diajaknya mengobrol karena Sandra sedang keluar bersama Luken. Untuk beranjangsana ke ruangan lain, ia segan. Karena sewaktu-waktu bisa saja ada telepon masuk yang penting untuk kelangsungan hidup kantor itu.

Tanpa sadar ia menguap. Tepat saat itu, ponselnya berbunyi singkat. Ia meraih dan membaca pesan yang masuk.

‘Tebak aku sekarang lagi di mana dan sama siapa?’

Olivia nyaris tergelak membaca pesan aneh dari Carmela itu. Dibalasnya seketika.

‘Memangnya mbakmu ini cenayang atau ahli nujum atau tukang sihir?’

‘Hihihi... Aku dijemput Mama, diajak mojok di kafe, selfie-selfie. Tunggu saja artikelnya keluar ‘tar malem.’

Astaga...

Olivia menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Diketikkannya balasan.

‘Tapi lumayan, kan? Irit ongkos ojek.’

Dan balasan yang diterima Olivia adalah sederet emoticon tertawa hingga keluar air mata. Sekali lagi Olivia menghela napas panjang. Mungkin ada tawa dalam dialog bisu mereka baru saja. Tapi tersirat ironi yang cukup kental.

Seharusnya seorang gadis menikmati dengan senang hati waktu santai bersama ibunya di tengah kesibukan yang masing-masing mereka miliki. Seharusnya saat-saat teduh itu memberikan kesan indah yang tak lekang oleh waktu hingga kapan pun. Dan seharusnya kebersamaan itu bukan suatu setting-an demi maksud tertentu.

Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya. Dan mereka hanya menemukan satu cara untuk menghadapi semua itu. Menganggapnya lelucon. Menertawakannya. Berpikir seolah itu adalah hiburan.

Ini sudah tidak sehat lagi!

Olivia menatap layar ponselnya. Tapi sebelum ia sempat mengetikkan sesuatu. Carmela mengirim pesan lagi.

‘Kali ini aku nggak akan mengijinkan Mama menulis tentangku.’

Olivia menyipitkan mata. ‘Kalau Mama ngeyel?’

‘Lihat saja nanti.’

Olivia menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)



4 komentar:

  1. good post mbak, tambak menarik, untuk menulis ini referensinya baca buku 5 atau 15 buku ya he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nggak sekadar buku, Pak, orang juga 😁😁😁

      Hapus