Selasa, 10 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #1-2











* * *


Seleksi penerimaan karyawan baru selalu membuat Prima sebagai Manajer HRD lebih sibuk daripada biasanya. Cukup repot memadukan jadwal sekian banyak user yang harus mewawancarai calon anak buah mereka, yang sudah lolos seleksi awal, pada satu waktu tertentu.

“Pak Prima...”

Prima mengangkat wajahnya dari lembar-lembar berkas hard copy yang ada di hadapannya. Navita, salah seorang anak buahnya, menatap dengan ragu-ragu.

“Ya?”

“Sudah waktunya makan siang,” lanjut Navita. “Makan dulu, Pak.”

“Oh...,” Prima mengangguk sedikit. “Duluan saja, Vit. Lagi tanggung, ini.”

Navita hendak buka mulut lagi, tapi wajah Prima sudah mengisyaratkan sedang tidak ingin diganggu. Ia memutuskan untuk menyerah dan beranjak menuju ke kantin. Bergabung dengan rekan-rekannya yang lain.

Prima memisahkan beberapa berkas dan memasukkannya jadi satu ke dalam sebuah map berwarna jingga. Berkas yang lain ditumpuknya saja. Kemudian disisihkannya ke area sebelah kiri mejanya. Ketika hendak meraih tumpukan berkas lain yang masih tersisa di sebelah kanannya, tanpa sadar tatapan matanya jatuh sejenak pada jam dinding besar yang tergantung tepat di seberangnya.

Sudah hampir setengah satu...

Ia bimbang sejenak. Waktu istirahatnya akan berakhir tepat pukul satu. Kalau ia tidak ke kantin sekarang, artinya ia bisa kehilangan waktu makan siangnya. Maka ia pun memutuskan untuk menunda mengurusi tumpukan berkas baru, dan segera pergi ke kantin. Tapi sebelum ia sempat beranjak, seorang OB sudah mendekatinya dengan nampan berisi sebuah dus nasi dan segelas besar teh.

“Permisi, Pak Prima,” ucap OB itu dengan sopan, sambil memindahkan dus nasi dan gelas teh ke atas meja Prima dengan cekatan. “Ini nasi rames pesanan Bapak, sekalian sama teh tawar. Kata Mbak Vita, Bapak sibuk, jadi nggak sempat ke kantin.”

Hm... Navita...

“Oh, ya, ya. Makasih, Mas Bono.”

OB itu segera undur diri. Prima menatap kotak nasi itu sejenak dengan ragu-ragu. Tapi waktunya memang sudah mepet. Diraih dan dibukanya juga kotak nasi itu. Isinya sungguh menggoda selera. Nasi hangat berbentuk setengah bola, cap cay, orek tempe, sambal udang, telur balado, kerupuk udang, dan sebutir jeruk. Dan sambil menyantap makan siang itu, ia mengirimkan pesan singkat melalui Whatsapp pada Navita.

‘Terima kasih atas kiriman makan siangnya, Vit.’

Sejenak kemudian ada balasan dari Navita. ‘Sama-sama, Pak. Selamat makan. Semoga Bapak menyukai semua lauknya.’

Navita...

Gadis manis itu empat tahun lebih tua daripada Olivia. Seorang yang sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Seorang yang sangat mengerti bahkan hingga ke apa saja lauk nasi rames kesukaannya. Seorang yang selalu menanggapi ucapannya dengan perhatian dan kehangatan. Semua hal yang sudah tak pernah lagi diperolehnya dari Arlena.

Ia sudah lupa kapan tepatnya mulai kehilangan Arlena. Seingatnya sejak Arlena membuka usaha penyalur ART. Ketika itu, si bungsu Carmela mulai masuk ke SD. Dengan makin besarnya anak-anak, kesibukan Arlena jadi berkurang. Maka ia mengijinkan Arlena untuk membuka usaha bersama salah seorang temannya.

“Hanya untuk kesibukan, Pa,” ucap Arlena waktu itu. “Lagipula, kan, aku nggak ngantor dengan jam ketat. Jadi masih bisa mengurus rumah.”

Kenyataannya?

Arlena seperti lupa akan ucapannya sendiri. Tapi Prima tak hendak mempertengkarkan hal itu. Anak-anaknya tetap bisa berkembang dengan baik. Olivia yang sudah beranjak remaja cukup mampu mengendalikan adik-adiknya. Tentu saja dengan pengawasan yang ketat dari Prima. Lalu mereka terbiasa dengan kondisi itu.

Sampai sekarang...

Prima menghela napas panjang.

Bahkan hingga belakangan ini, ketika Arlena menemukan dunia barunya.

Arlena makin sibuk. Dan komunikasi mereka mendingin tanpa bisa dicegah. Mempertengkarkan hal itu hanya akan menyakiti hati anak-anak. Terutama hatinya sendiri.

Mereka masih satu keluarga, berlindung di bawah atap yang sama. Tapi dunia mereka seolah berputar sendiri-sendiri. Prima sendiri tidak tahu, pernikahan macam apa yang tengah ia jalani sekarang.

Berhenti?

Ujung jawabannya selalu berhenti pada anak-anak. Anak-anak yang terpaksa harus menjalani keluarga yang abnormal karena takdir mereka sebagai anaknya dan Arlena. Anak-anak yang tak bisa memilih orang tua sendiri. Anak-anak yang ia inginkan untuk ada dan sangat ia sayangi.

Prima meringkas dan membuang sampah bekas makan siangnya beberapa menit sebelum sirine berbunyi. Satu demi satu orang dalam divisi yang dipimpinnya mulai kembali ke meja masing-masing dan menyibukkan diri. Sekilas ia melihat sosok Navita di antara mereka. Tapi ia memilih untuk meraih tumpukan berkas di sebelah kanan mejanya, dan menenggelamkan diri di dalamnya. Tanpa melirik lagi ke arah Navita.

* * *

Luken membelokkan SUV-nya ke sebuah kafe di Kemang. Sudah mendekati jam makan siang. Pukul 10 lebih tadi mereka sudah menyelesaikan pertemuan dengan seorang klien lama berasal dari Kanada yang kebetulan tengah berkunjung ke Jakarta. Dan selama lebih dari sejam berikutnya, keduanya terjebak kemacetan panjang di tol dalam kota karena ada kecelakaan mobil.

“Kita makan dulu, ya, Liv?” ujarnya sambil menarik rem tangan dan mematikan mesin mobil di area parkir kafe itu.

“Baik, Pak,” jawab Olivia dengan patuh.

Sejenak kemudian mereka sudah duduk berhadapan di dalam kafe. Memesan makanan dan minuman. Dan menunggu pesanan mereka datang sambil mengobrol ringan tentang pekerjaan.

“Oh, ya, Bu Sandra ulang tahun Jumat dua minggu lagi,” tiba-tiba saja Luken membelokkan ujung pembicaraan mereka. “Mau bikin surprise party, atau bagaimana?”

“Hm...,” Olivia tak segera menjawab.

Ia yakin surprise party tak akan berefek mengejutkan bagi Sandra, seperti tahun-tahun lalu. Lebih baik...

“Nggak usah surprise party, Pak,” jawabnya, akhirnya. “Tumpengan saja. Nanti saya pesankan nasi tumpeng yang enak.”

Luken manggut-manggut sambil tersenyum. “Berapa pun anggarannya, Liv. Tinggal bilang saja padaku.”

“Baik, Pak. Nanti saya kalkulasi dulu.”

Luken mengangguk.

Dua gelas besar ice lemon tea dan ice mint tea terhidang di depan mereka. Serempak keduanya mengucapkan terima kasih kepada pramusaji.

“Makanan sedang disiapkan, ya, Pak, Bu,” pramusaji itu tersenyum ramah. “Harap menunggu sebentar.”

Luken dan Olivia sama-sama mengangguk.

“Luken!”

Panggilan itu membuat keduanya menoleh. Seorang laki-laki berpenampilan perlente melangkah menghampiri mereka. Luken pun berdiri untuk menyambutnya.

“Apa kabar, eh?” laki-laki itu menyalami Luken dan mengguncang tangannya dengan bersemangat.

“Baik...,” jawab Luken. “Mas sendiri, bagaimana?”

“Di puncak vitalitas hidup.”

Entah kenapa, Olivia merasa risih dengan jawaban berlebihan itu. Seperti juga penampilan laki-laki itu. Dua kancing kemeja bagian atas terbuka hingga memperlihatkan seuntai kalung emas berukuran besar melingkar di leher. Belum lagi beberapa cincin dengan batu akik yang menghiasi jemari tangannya, dan gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan kanan. Masih ditambah pula dengan model rambutnya yang gondes alias gondrong ndeso. Keseluruhan penampilan laki-laki itu sungguh-sungguh menyimbolkan kesuksesan yang...

Norak!

Olivia meringis dalam hati. Apalagi ketika sebersit bau harum menerpa hidungnya. Membuatnya hampir mengernyit.

Aduh... Dia ini pakai parfum KW atau minyak nyongnyong seliter, sih?

Tapi kegelian itu berubah menjadi kedongkolan ketika mata laki-laki itu menyambar ke arahnya. Terlihat bernafsu.

“Gadismukah, Luk?” laki-laki itu tersenyum dengan cara yang menyebalkan di mata Olivia.

“Sekretarisku,” jawab Luken singkat.

Sebenarnya Olivia enggan menerima jabat tangan laki-laki itu. Tapi kedudukan laki-laki itu adalah teman boss-nya. Apalagi tatapan laki-laki itu seolah menelanjangi dirinya dengan sangat tidak pantas.

“Anggara.”

“Olivia.”

“Hm...,” tatapan Anggara beralih pada Luken. “Kamu boleh mengoperkannya padaku kalau sudah bosan.”

“Maaf, Mas,” Luken menukas dengan nada sopan. “Sekretarisku selalu profesional, bukan pelacur murahan. Jadi...”

“Oh, sorry, sorry,” Anggara mengangkat kedua tangannya dengan wajah penuh senyum yang memuakkan. “Kalau begitu aku akan kembali pada janjiku dengan klien. Sampai jumpa lagi!”

Dan Olivia menghela napas lega ketika laki-laki itu benar-benar meninggalkan mereka dengan tak lupa mengirimkan isyarat genit pada Olivia melalui tatapan matanya. Luken duduk kembali. Menatap Olivia dengan wajah prihatin bercampur menyesal.

“Maaf, Liv.”

“Tidak apa-apa, Pak,” Olivia mencoba untuk tersenyum.

Ada jeda sejenak ketika pesanan makanan mereka datang.

“Ngomong-ngomong, Bapak memungut dari mana teman seperti itu?” celetuk Olivia dengan nada bercanda, sambil mulai menyuapkan sesendok nasi sapo tahu ke dalam mulutnya.

“Hahaha...,” Luken tergelak ringan. “Dia punya usaha ekspor mutiara. Kami pernah beberapa kali bertemu di forum pengusaha ekspor.”

“Oh...,” Olivia manggut-manggut.

Sulit rasanya membayangkan Luken berteman dengan laki-laki seperti ‘itu’. Penampilan keduanya bagaikan langit dan bumi. Sehari-harinya, Luken selalu berbusana simpel dan rapi. Memakai kemeja polos aneka warna dipadu dengan celana jeans atau pantalon berwarna gelap, yang selalu terlihat pas dengan kulit sawo matang bersihnya. Kadang lengan kemejanya pendek, kadang juga panjang yang lebih sering digulungnya hingga ke siku, tapi tak jarang juga mengenakan kemeja batik bila ada acara penting atau harus bertemu dengan calon klien dari mancanegara. Tak ada perhiasan yang menyolok mata. Hanya arloji Tag Heuer yang selalu melingkar di pergelangan tangan kiri. Potongan rambutnya pun selalu rapi dan trendi. Membuat keseluruhan penampilannya tampak jauh lebih muda daripada usia sesungguhnya. Belum lagi sikapnya yang selalu sopan dan sorot matanya yang teduh. Sama sekali tidak ada kesan nakal dan norak dalam diri Luken. Membuatnya terlihat elegan dan berkelas dengan caranya sendiri. Sama sekali lain dengan laki-laki bernama Anggara itu.

“Ucapannya jangan diambil hati, ya, Liv,” sorot mata Luken terlihat serius.

“Tenang saja, Pak,” senyum Olivia. “Kelasnya sudah lain.”

Luken tersenyum lebar mendengar tanggapan santai Olivia.

* * *

Entah kenapa, artikel-artikel Arlena Arbianto selalu menimbulkan gairah tersendiri bagi Miko Wiryawan begitu selesai membacanya. Ditambah dengan fantasinya tentang kemolekan tubuh tante-tante itu. Kemolekan yang beberapa kali pernah ditemuinya ketika ia menjemput atau mengantar Olivia di rumah.

Teman-temannya sesama penggemar artikel Arlena Arbianto selalu menganggapnya beruntung karena ia berhasil memacari putri sulung perempuan fenomenal itu. Seorang gadis sempurna yang lahir dan dibesarkan oleh perempuan sempurna dalam keluarga yang sempurna pula.

Memang selalu ada perbedaan antara seorang ibu dan putrinya. Tapi ia memutuskan untuk mengabaikan perbedaan itu. Sesungguhnya ia akan memilih untuk berpikir ribuan kali sebelum mendekati Olivia bila gadis itu sama persis seperti mamanya. Bisa-bisa ia punya uban dini bila belum-belum sudah harus berhadapan dengan lovers maupun haters seseorang yang sefenomenal Arlena Arbianto.

Olivia yang ia kenal adalah seorang gadis yang berpenampilan biasa-biasa saja. Banyak sekali garis kecantikan yang gadis itu warisi dari sang mama. Hidung mancungnya, rambut ikalnya yang kecoklatan, senyumnya yang memikat, bentuk wajah bulat telur yang sempurna, kulit kuning langsatnya yang selalu terlihat bersih dan seolah bercahaya, juga sosok rampingnya yang mempesona. Ditambah lagi dengan sepasang pipi sedikit berisi yang diwarisi dari sang ayah. Membuatnya terlihat menggemaskan pada saat-saat tertentu.

Tapi Olivia selalu bersikap biasa saja. Merawat dan memperlakukan kecantikannya dengan cara biasa. Tak pernah berdandan menor maupun berbusana seperti mamanya. Seolah memang sengaja berenang menjauh dan menenggelamkan diri agar tidak ‘terkenal’ seperti Arlena Arbianto.

Diam-diam Miko merasa nyaman karenanya. Sekaligus mencoba untuk sedikit menikmati bagaimana menjadi tenar di kalangan teman dan kenalannya yang mengetahui bahwa ia adalah kekasih dari putri seorang Arlena Arbianto.

Dan saat ini, sambil menikmati makan siangnya, Miko mulai membaca artikel terbaru Arlena Arbianto di BlogSip. Berharap menemukan tulisan Arlena tentang putri sulungnya. Tapi untuk kesekian kalinya, yang ia temukan adalah artikel tentang seorang ibu dan anak-laki-lakinya. Tentang betapa bangga Arlena terhadap anak keduanya itu.

Arlena memang bukannya sama sekali tak pernah menuliskan tentang kedua putrinya, Olivia Paloma dan Carmela Nerissa. Pernah, tapi porsinya sedikit sekali bila dibandingkan dengan porsi yang diperoleh Maximilian Magenta dan suami tercintanya Prima Arbianto.

Ya, tapi itu haknya.

Miko mengedikkan bahunya sedikit.

Yang penting banyak orang yang tetap menikmati artikelnya.

Miko mengulum senyum.

Termasuk aku...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)

8 komentar: