Selasa, 24 Januari 2017

[Cerbung] Affogato #5-2









Sebelumnya  



* * *


Luken mengerjapkan mata sambil mengerang ketika ponselnya berbunyi. Sambil menguap lebar, ia meraih ponsel di meja samping ranjangnya. Ia mengerjapkan mata beberapa kali lagi sebelum bisa fokus pada pesan di layar. Tapi sejenak kemudian ia tersenyum. Makin lebar. Bahkan tawanya pecah ketika melihat video kiriman dari Olivia melalui aplikasi Whatsapp.

Tak pelak, video pendek yang memperlihatkan kegembiraan Carmela itu sudah membangkitkan semangatnya walaupun mendung menggantung begitu tebal di atas sana. Setelah membalas pesan itu, bergegas ia kemudian menuju ke kamar mandi. Dalam waktu setengah jam, ia sudah siap keluar dari kamar sambil menenteng sebuah ransel.

“Mbok Rumi...”

Seorang perempuan berusia pertengahan 50-an yang tengah menjemur baju di teras belakang itu menoleh mendengar panggilan Luken.

“Ya, Mas?”

“Aku pulang ke Purwakarta, ya. Nanti aku titipin ke satpam juga biar ikut jagain rumah.”

“Pulang ke sini kapan, Mas?”

“Hm... Senin sore. Nanti Senin pagi aku langsung ngantor.”

“Baik, Mas,” Rumi mengangguk. “Hati-hati di jalan.”

Luken melenggang ke arah garasi sambil mengacungkan jempol kanannya tinggi-tinggi. Beberapa saat kemudian SUV-nya sudah meluncur keluar dari garasi, keluar dari blok, mampir ke pos satpam, keluar dari kompleks, dan masuk ke jalan besar. Terus meluncur menuju ke arah Purwakarta.

* * *

Prima melongok ke garasi dan melihat Maxi tengah sibuk dengan motor sport-nya. Sepulang dari mengantarkan Carmela, Maxi memang segera tenggelam dalam kesibukannya sendiri.

“Kamu apain lagi motormu, Max?” Prima mendekati anak laki-lakinya itu.

Maxi menoleh sekilas. “Nggak apa-apa, Pa, cuma setel rem sama minyakin rantainya saja.”

“Kamu mau pergi ini nanti?”

“Enggak,” Maxi menggeleng. “Ada tugas makalah buat dikumpul hari Senin, belum selesai. Cuma tinggal sedikit lagi, sih. Rencananya mau aku selesaikan hari ini. Soalnya besok mau kongkow ke Bogor sama geng.”

“Oh... Berarti bisa ikut Papa jemput Mela? Sama Mbak Livi juga. Sekalian kita makan di luar.”

“Hm...,” Maxi terlihat berpikir sejenak. “Sebetulnya aku butuh sepatu, sih, Pa. Yang biasanya kupakai sudah mulai nggak enak di kaki.”

“Ya, sudah, sekalian saja beli.”

“Beneran?” Maxi mengangkat alis.

“Ya, iyalah...,” senyum Prima sambil melihat ke arah arlojinya. “Ayo, kamu siap-siap. Kasihan Mela kalau kita telat menjemput.”

Maxi mengangguk sambil meringkas segala piranti merawat motor kesayangannya.

* * *

Wajah Carmela tampak riang ketika melihat siapa saja yang menjemputnya. Apalagi ketika tahu tujuan mereka berikutnya. Tapi sejenak kemudian ia cemberut sambil menghempaskan punggungnya ke sandaran jok belakang city car itu.

“Ih! Semua pada keren, cuma aku yang pakai seragam,” gerutunya.

“Ish! Ngomel melulu,” Olivia, yang duduk di jok kiri depan, balas menggerutu. Ia kemudian mengangkat sebuah kantong non-woven. “Nih, aku bawain baju. Nggak usah berisik begitu. Nanti ganti di toilet mall.”

“Oh? Hehehe...,” Carmela nyengir lucu.

Prima mencubit pipi si bungsu itu dengan gemas. Baginya, ketiga anaknya itu masihlah tetap menjadi bayi-bayi yang lucu dan menggemaskan. Terutama Carmela yang masih senang dimanja-manja. Pun saat ini. Gadis remaja itu merebahkan kepalanya di lengan kiri Prima. Yang disambut Prima dengan tepukan lembut di pipi Carmela.

“Ini jadi ke Gancit, Pa?” Maxi sekilas menatap Prima melalui spion tengah sebelum kakinya menekan pedal gas.

“Terserah kalian,” jawab Prima.

Maxi menoleh ke arah Olivia. Gadis itu segera memberi kode ‘jalan!’ yang segera dituruti Maxi.

Setengah jam kemudian Maxi sudah memarkir mobil mereka di tempat parkir Gandaria City. Tujuan pertama Olivia dan Carmela adalah toilet. Dan dalam hitungan menit, keduanya sudah bergabung dengan Prima dan Maxi.

Sementara para lelaki menuju ke gerai sepatu sebuah toko retail besar, Olivia membelokkan langkahnya ke gerai kosmetik. Tentu saja bersama Carmela.

“Kamu butuh apa?” ujar Olivia sambil memilih-milih lipstick. Terkadang bosan juga hanya memakai lip balm berwarna setiap hari. Sesekali ia ingin juga tampil lain daripada biasanya.

“Bedak sama body lotion, Mbak.”

“Ya, sudah, sekalian ambil. Cologne masih ada?”

“Mm... Ingin ganti aroma, sih. Yang fruity manis gitu.”

“Sana, pilih.”

Carmela tersenyum senang. Olivia memang selalu murah hati. Apalagi tanggal muda begini. Maka Carmela memborong semua kebutuhannya. Sebotol hand and body lotion beraroma musk ringan berukuran 500 ml, cologne beraroma strawberry, sekotak bedak padat untuk remaja, plus sebatang lip balm transparan beraroma strawberry juga.

“Deodorannya nggak sekalian?” tanya Olivia sebelum membayar semua belanjaan itu.

“Baru beli, belum seminggu.”

Setelah selesai, Olivia kemudian menggandeng tangan Carmela untuk mencari Prima dan Maxi di gerai sepatu. Kedua laki-laki itu rupanya masih sibuk. Olivia dan Carmela kemudian duduk manis di sebuah bangku empuk di dekat mereka. Prima menoleh ke arah Carmela.

“Kamu nggak sekalian mau beli sepatu?” ujarnya.

“Nggak usah!” sergah Olivia. “Sepatu Mela bejibun begitu di rumah.”

Carmela hanya terkekeh. “Kalau baju, sih, mau.”

“Haaa! Kalau itu boleh!” Olivia segera berdiri. “Yuk!”

“Eh? Serius?” Carmela ikut berdiri.

“Sepotong, yang obralan,” ledek Olivia.

Carmela nyengir. “Nggak apa-apa, deh!”

Olivia tergelak sambil menarik tangan Carmela.

“Nanti Papa susul ke sana,” ucap Prima, sejenak menahan langkah kedua anak gadisnya. “Papa juga mau beli celana sama kemeja. Sekalian saja nanti bayarnya.”

“Asyik!” Olivia berseru tertahan.

“Eh... Mela yang Papa bayarin, Liv,” Prima tertawa. “Kamu beli sendiri. Sudah punya punya gaji juga...”

“Huuuh...,” Olivia segera angkat kaki, diiringi tawa Prima dan Maxi, disertai cekikikan Carmela.

* * *

Biasanya mereka berkumpul berempat. Linda, Selly, Sarah, dan Navita. Tapi kali ini hanya bertiga saja. Minus Sarah yang sedang hamil tua. Dia antara mereka berempat, hanya Linda dan Navita saja yang masih lajang. Tapi walaupun lajang, Linda sudah memiliki tunangan dan sudah merencanakan untuk menikah tahun depan. Selly sudah punya seorang bayi laki-laki berusia delapan bulan yang saat ini tampak anteng digendong sang ayah yang duduk tak jauh dari mereka di kafe itu.

“Aku nggak bisa lama-lama, nih,” ujar Selly sambil menyedot teh leci-nya. “Mau langsung ke rumah mertua.”

“Iya, nggak apa-apa,” senyum Linda. “Kita bisa ketemuan kayak gini, suamimu oke saja, itu sudah asyik banget, kok.”

“Iya, Sel,” timpal Navita. “Nyantai saja...”

“Eh, iya,” Selly menatap Navita dengan serius. “Kamu mau nggak, aku kenalin sama teman Mas Oddy?”

“Hah?” Navita urung melahap har gow terjepit sepasang sumpit yang sudah sampai di depan mulut. “Maksudnya, mau kamu jodohin sama aku, gitu?”

“Orangnya gimana?” sambar Linda.

“Ya, kalau cocok, siapa tahu beneran jodoh,” jawab Selly. “Orangnya, sih, baik. Rada pendiem. Sabar. Ya, setipe sama Mas Oddy-lah... Nggak jauh-jauh amat. Ganteng juga, sih.”

“Iya saja, sudah...,” tukas Linda.

“Hm...,” Navita tercenung sejenak.

Seutuhnya ia memahami maksud baik sahabat-sahabatnya itu. Bila selama ini maksud menjodohkan itu barulah sekadar wacana yang lebih kental beraroma main-main, tampaknya kali ini Selly serius. Rutinitas yang ia jalani setiap hari membuatnya kurang memiliki waktu untuk bersosialisasi di luar kantor, terutama dengan lawan jenis. Apalagi ia sendiri adalah sosok yang cukup pendiam.

Navita bukannya tidak cukup dikenal di lingkungan tempat tinggalnya. Tapi ia juga merasa berhak untuk memilih masa depannya bersama laki-laki yang ia anggap layak. Ia tak pernah bermimpi untuk mendapatkan pasangan yang ‘kaya’. Ia masih cukup tahu diri. Dan di level ‘cukup mapan’ itulah ia meletakkan standar.

Suara rengekan bayi menariknya kembali ke alam nyata. Ia menoleh dan mendapati Boby, bayi Selly-Oddy sudah mulai rewel dan mengacungkan lengannya ke arah sang ibu.

“Oke, Sel,” putusnya kemudian. “Asal orangnya benar-benar recommended dan nggak terlalu tinggi.”

“Sip!” Selly mengacungkan jempol sambil berdiri. “Eh, sorry, ya? Boby, nih! Nanti aku hubungi kamu lagi, Vit.”

Navita mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Selly kemudian undur diri, meninggalkan Linda dan Navita. Sepeninggal Selly, Linda menatap Navita.

“Jadi memang benar-benar nggak ada laki-laki yang bisa diharapkan di kantormu?” Linda meringis sedikit.

Navita tergelak ringan. Jujur, ia suka bekerja di kantornya yang sekarang. Suasananya menyenangkan. Gajinya juga memuaskan. Berhubungan istimewa dengan rekan sekantor, yang berujung pada pernikahan, itu artinya salah satu pihak harus mengundurkan diri. Peraturan perusahaan tidak membolehkan sepasang suami-istri bekerja bersama di sana, lain divisi sekali pun. Itulah yang membuatnya berpikir ribuan kali hingga memutuskan untuk tidak mau membayangkan sekian banyak laki-laki di sana, kecuali...

Pak Prima... Ah!

“Yang diharapkan sudah telanjur jadi suami orang,” jawab Navita dengan nada main-main.

“Ah, kamu!” gerutu Linda. “Untuk yang satu ini, kamu jangan pernah coba-coba lah...”

“Enggak...,” Navita tergelak ringan. “Bercanda, kok, dianggap serius?”

Keduanya kemudian menghabiskan hidangan di depan mereka sambil mengobrolkan aneka topik ringan, sebelum cabut untuk cuci mata.

* * *

“Bagus, nggak, Mbak?” Maxi menempelkan sebuah windbreaker jacket ke depan dadanya.

Alih-alih langsung ke gerai pakaian setelah meninggalkan gerai sepatu pria, Olivia dan Carmela berbelok dulu cuci mata ke gerai lainnya. Gerai boneka. Dan setelah puas, barulah keduanya benar-benar bergeser ke arah gerai pakaian. Bertemu lagi dengan Prima dan Maxi, kemudian bertukar pasangan. Olivia dengan Maxi, Prima dengan Carmela.

Olivia mengamati jaket berwarna abu-abu tua dengan kerah tinggi, hoodie, dan berkaret di ujung lengan itu dengan seksama. Segera ia mengeluarkan penilaiannya.

“Bagus,” angguknya. “Cocok buat musim hujan kayak gini, Max. Apalagi, kan, kamu motoran tiap hari.”

Maxi mengintip label harga jaket itu. “Waduh...”

“Berapa?” Olivia ikut mengintip, sebelum tersenyum lebar. “Wuidiiih... Mihilll...”

Maxi mengembalikan jaket itu ke gantungan sambil tertawa. Tapi tatapannya belum beralih. Olivia tersenyum melihat tingkah laku Maxi.

“Kamu beneran ingin?” usiknya.

Maxi hanya menggeleng sambil meringis. Kemudian beranjak meninggalkan tempat itu.

“Max,” panggil Olivia.

Maxi berbalik dan melihat Olivia sudah menurunkan jaket itu dari gantungan. Ditatapnya Olivia dengan kening berkerut. Kakaknya itu tampak serius memeriksa keseluruhan jaket itu. Bahannya, jahitannya, retsleting dan kancingnya. Sejenak kemudian Olivia mengalihkan tatapannya pada Maxi.

“Ambil. Aku yang bayar,” senyum Olivia.

“Nggak usah, Mbak,” sahut Maxi cepat. Ada nada segan dalam suaranya. “Mahal begitu.”

“Sekali-sekali, Max. Toh, aku juga nggak tiap bulan belikan kamu ini-itu.”

Maxi masih berdiri tercenung. Tapi Olivia sudah mengulurkan jaket itu pada Maxi, menyuruh adiknya itu untuk mencoba. Maxi melakukannya di tempat, dan memutuskan untuk memilih ukuran satu nomor lebih besar. Ia kemudian memasukkan jaket itu ke dalam sebuah kantong transparan besar yang sedari tadi ditentengnya. Bercampur dengan beberapa potong baju yang sudah dipilih Olivia.

“Makasih, Mbak,” senyum Maxi.

Tangan Olivia terulur, menepuk lembut bagian belakang kepala adiknya itu. Di benak Maxi sendiri, diam-diam sudah terjalin sebuah rencana.

* * *

“Aku jadinya dibelikan apa, nih, Pa?” Carmela menggelendot di lengan kanan Prima sambil melangkahkan kaki ke bagian busana remaja.

Mereka sudah selesai memilih busana kebutuhan Prima. Dua buah kemeja polos lengan pendek, dua lengan panjang, dan dua celana panjang berbeda warna sudah terlipat rapi dalam kantong transparan yang ditenteng Prima.

“Lho, kamu maunya apa?” Prima balik bertanya sambil membebaskan lengannya dari cengkeraman Carmela dan beralih merengkuh bahu gadis remajanya itu.

Carmela terkekeh. “Kaus buat di rumah. Yang obralan saja nggak apa-apa.”

“Serius?” Prima mengerling.

Carmela kembali terkekeh sambil menarik Prima ke bagian obralan yang digelar dalam beberapa kotak. Sekejap kemudian gadis remaja itu sudah sibuk memilih aneka kaus warna-warni di dalam kotak. Prima berdiri menyisih. Menunggui Carmela dengan sabar sambil menenteng kantung transparan yang cukup menggembung.

* * *

“Ada obralan, tuh!” Linda menarik Navita ke arah kotak-kotak di tengah jalur.

Dan seketika jantungnya berdebar kencang. Walaupun penampilan laki-laki itu sangat berbeda dari biasanya, ia masih sangat mengenalinya. Mereka makin dekat, dan Navita terpaksa menyapanya.

“Pak Prima, selamat siang...”

Laki-laki itu menoleh. Terlihat sedikit terkejut sebelum membalas sapaan Navita dengan ramah, “Selamat siang. Oh, kamu, Vit?”

Linda yang mendengar suara berbalas sapa itu menghentikan langkahnya. Ia berdiri diam di samping Navita.

“Sama siapa, Pak?”

“Ini sama anak-anak,” senyum Prima. “Itu yang bungsu,” Prima menunjuk ke arah seorang remaja cantik yang tubuh rampingnya terbalut busana kasual yang terlihat cukup trendy. “Yang dua lagi entah kabur ke mana. Kamu sendiri?”

“Ini, Pak, sama teman.”

Linda dan Prima kemudian berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing.

“Ibu mana, Pak?” celetuk Navita, terkesan iseng.

“Lagi arisan sama teman-temannya,” jawab Prima dengan nada sabar seperti biasa.

Tepat saat itu Olivia dan Maxi muncul. Prima pun memperkenalkan keduanya pada Navita dan Linda. Sejenak kemudian Carmela mendekat dengan beberapa potong kaus aneka warna di tangannya.

“Ya, sudah, silakan dilanjut,” angguk Prima. “Ini anak-anak juga sudah selesai. Mau bayar dulu.”

“Iya, Pak, silakan,” senyum Navita.

Ketika rombongan kecil itu berlalu, Navita dan Linda pun meneruskan langkah menuju ke kotak obralan. Sambil memilih-milih aneka jenis baju yang bercampur jadi satu, Navita dan Linda bercakap dengan suara rendah.

“Kamu tahu siapa dia?” gumam Navita.

“Lha, boss-mu, kan?” Linda menoleh sekilas.

“Dia Prima Arbianto,” Navita menggumam lagi.

“Prima... Arbianto...,” suara Linda terdengar mengambang. Ia mencoba mengingat-ingat karena nama itu terdengar akrab di telinganya. Beberapa detik kemudian ia tersadar. “Prima Arbianto, suami Arlena Arbianto?”

“Yup,” jawab Navita pendek.

“Sumpah, ganteng banget bapak itu,” bisik Linda dengan nada takjub. “So charming.”

Ya, sampai rasa-rasanya aku pun jatuh cinta padanya..., gumam Navita dalam hati.

“Pantesan wajahnya kayak familiar begitu,” lanjut Linda. “Kan, fotonya pernah diunggah Arlena di artikelnya. Ih, beneran ganteng ternyataaa...”

Tentu saja Linda tahu siapa itu Arlena Arbianto, karena ia punya akun di BlogSip. Walaupun hampir tak pernah terseret untuk ikut berinteraksi dengan seorang Arlena Arbianto, ia cukup tahu bagaimana sepak-terjang perempuan itu bersama kelompoknya. Dan ia memilih untuk melihat saja dari kejauhan sambil tetap melampiaskan setiap cerita hatinya dalam bentuk puisi yang diunggahnya di BlogSip. Konten yang jarang dilirik kelompok ‘elit’ itu.

Sementara Navita, rasa-rasanya ia selamanya tak akan bisa melupakan sosok lain Prima yang baru saja ditemuinya. Laki-laki itu terlihat santai dan tetap terlihat gagah dalam balutan kaus polo garis-garis besar merah bata – abu-abu yang terlihat padu sekali dengan kulit sawo matang bersihnya, dipadu dengan celana jeans bermodel klasik berwarna biru pudar, dan sepasang sandal kulit hitam yang terlihat berkelas. Wajah Prima juga terlihat jauh lebih bersinar daripada biasanya. Terlihat sekali bahwa laki-laki itu sangat bahagia di tengah anak-anaknya.

Yang sulung cantik sekali, mirip Pak Prima. Yang laki-laki juga ganteng, mirip mamanya. Yang bungsu juga sempurna sekali, perpaduan ketampanan papanya dan kecantikan mamanya.

Ketika tanpa sengaja mereka menikmati makan siang di tempat yang sama beberapa puluh menit kemudian, sekali lagi Navita menjadi saksi betapa memikatnya seorang Prima Arbianto. Laki-laki itu tampak dengan serius mendengarkan celoteh anak-anaknya, kemudian tertawa bersama mereka. Sebuah pemandangan yang sungguh indah dan benar-benar sulit dilupakan.

“Hm... Jangan-jangan laki-laki beristri yang kamu candakan tadi itu dia, Vit?”

Celetukan lirih Linda itu seolah petir yang menggelegar di telinga Navita. Buru-buru ia mengalihkan tatapannya ke arah lain seraya memperbaiki posisi duduknya.

“Apa, sih...,” ia berusaha mengelak.

Linda tak lagi bersuara. Hanya menatap Navita dengan bersit-bersit kekhawatiran meloncat keluar dari matanya.

Semoga jodohmu teman Mas Oddy itu, Vit... Bukan bapak itu...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)


Catatan (nggak penting) : sampai akhir bagian ini, nulisnya sudah 100 halaman, lhooo...

8 komentar: