* * *
Satu
Langit pagi masih gelap, tapi Olivia sudah menyelesaikan pekerjaannya memasak nasi goreng. Ketika ia mematikan kompor, Carmela muncul di belakangnya. Sudah memakai seragam putih-abu-abu, tapi masih memakai sandal jepit, belum bersepatu. Dengan cekatan, remaja berumur 16 tahun itu mengambil beberapa butir telur ayam dari dalam kulkas, kemudian menyiapkan sebuah pan teflon kecil.
Catatan :
Thanks to Mas Ryan Mintaraga...
“Mandi dulu, Mbak Liv,” ujar Carmela sambil menuangkan sedikit minyak goreng ke dalam pan berdiameter 12 cm itu.
Olivia mengangguk sambil memindahkan isi penggorengan ke dalam sebuah mangkuk besar. Sebelum ia sempat beranjak, Prima sudah muncul juga di dapur.
“Biar Papa yang menyiapkan piring dan mentimunnya. Kamu mandi dulu,” celetuk laki-laki itu. Sekilas ditatapnya Olivia, sebelum menyibukkan diri dengan mengambil mentimun dan tomat dari dalam kulkas.
Tanpa membuang waktu lebih banyak lagi, Olivia segera mandi dan berdandan. Dipakainya sebuah blus katun polos berwarna putih berlengan setali dengan krah berbentuk jewel neck, dipadu dengan sehelai rok A-line selutut berwarna merah hati. Seuntai kalung bermodel etnik terbuat dari batu alam berwarna hitam yang dirangkai dengan rantai monel dipakainya untuk sedikit meramaikan penampilan blusnya yang terkesan polos dan sederhana.
Dengan cepat, ia kemudian mengepang tempel rambut sepunggungnya, sebagai salah satu cara untuk menyelamatkan penampilan saat belum sempat keramas. Dalam waktu sepuluh menit sejak ia meninggalkan dapur, ia sudah duduk manis di kursi makan. Sudah wangi dan cukup rapi. Siap untuk menikmati sarapan.
“Mbak, nggak bangunin Mas Maxi?” Carmela duduk di kursi sebelah Olivia.
“Biarin, Mel,” Olivia menggeleng ringan. “Semalem dia pulang hampir jam 12. Lagian kamu tahu sendiri belakangan ini dia banyak tugas.”
“Hm...,” Carmela manggut-manggut.
Hanya ada mereka bertiga pagi ini. Olivia, Carmela, dan Prima. Arlena masih belum bangun, demikian pula Maxi. Sudah jadi kebiasaan Maxi untuk bangun siang kalau jadwal kuliahnya dimulai setelah pukul 9. Sedangkan Arlena, selalu baru bangun ketika anggota keluarga lainnya sudah meninggalkan rumah untuk beraktivitas.
Gerakan Carmela memindahkan secentong nasi goreng ke dalam piringnya terhenti ketika ada beberapa lembar uang seratus ribuan tersodor ke arahnya. Remaja cantik itu mendongak ke samping kanan, menatap Prima dengan alis terangkat sedikit.
“Katanya kamu harus bayar buat karyawisata?” ujar Prima.
“Oh, iya,” Carmela menerima lembar-lembar uang itu dengan wajah cerah. “Makasih, Pa.”
“Kamu sudah dikasih uang saku mingguan sama Mama?” tanya Olivia sambil mengambil sebuah telur mata sapi, serta beberapa irisan mentimun dan tomat.
“Boro-boro,” ada nada menggerutu dalam suara Carmela. “Yang minggu lalu saja hari Rabu baru dikasih. Untung dikasih duluan sama Mbak Livi.”
Prima mengambil dompet dari saku belakang celana. Ditariknya masing-masing selembar seratus dan lima puluh ribuan dari dalamnya. Diulurkannya lembaran itu pada Carmela.
“Ini,” ucapnya halus. “Kalau kurang minta sama Papa, jangan ngerecokin Mbak Livi terus.”
Carmela nyengir senang sambil mengucapkan terima kasih.
Mendekati pukul 6 pagi, ketika sarapan ketiganya hampir selesai, Muntik muncul untuk mulai bekerja sebagai ART harian di rumah itu. Kali ini perempuan berusia 30-an itu datang menembus rinai hujan di bawah payung lebarnya.
“Jangan lupa bawa payung atau jaket,” Olivia menatap Carmela.
Gadis remaja itu mengangguk patuh.
Tepat ketika ketiganya hendak beranjak, Maxi muncul dengan wajah masih terlihat mengantuk. Tapi ia menjadi lebih bersemangat ketika melihat hidangan sarapan sederhana di atas meja. Ia tahu, Olivia-lah yang memasak nasi goreng itu. Nasi goreng yang rasanya selalu ribuan kali lebih lezat daripada hasil masakan Arlena.
Olivia kemudian masuk sejenak ke dalam kamarnya untuk melengkapi penampilannya dengan blazer yang berbahan dan berwarna sama dengan roknya. Dipakainya sepasang pump shoes bertumit 7 cm dan sebuah hobo bag, yang sama-sama berwarna hitam. Wajahnya masih polos, karena ia terbiasa berdandan di dalam mobil.
Tepat pukul 6.05, city car silver berkaca gelap itu meluncur keluar dari garasi. Prima yang tampak rapi berkemeja lengan panjang polos berwarna abu-abu muda dipadu dengan pantalon dan sepatu hitam, seperti biasa, duduk di belakang kemudi. Olivia duduk di sebelah kirinya, sedangkan Carmela di jok belakang.
“Kamu nanti nggak lembur, kan, Liv?” ujar Prima.
“Kayaknya enggak,” sahut Olivia sambil membedaki wajahnya yang sudah rata dipulas BB cream berwarna natural.
“Aku nggak ditanya,” terdengar gerutuan dari arah belakang.
Prima dan Olivia tergelak ringan.
“Kamu, sih, paten, Mel,” timpal Olivia sambil mencari-cari sheer-colored lip balm di dalam hobo bag-nya, “pulang jam berapa pun, ya, jatahnya naik ojek.”
Prima tergelak lagi mendengar ucapan putri sulungnya.
“Tapi kalau nanti masih hujan, naik taksi saja, Mel,” sambung Prima.
“Iyaaa...”
Menjelang pukul 6.30, mereka sudah menurunkan Carmela di depan gerbang sekolahnya. Remaja cantik itu berlari-lari kecil menembus rintik hujan dalam balutan hoodie jacket berwarna biru muda di luar seragam sekolahnya. Prima kembali melajukan mobilnya.
Laki-laki itu menoleh sekilas ketika ponsel Olivia bernyanyi pendek. Tanpa kata, gadis itu menarik keluar sebuah posel berlayar 5,5 inci dari dalam tas. Tanpa kata pula, ia membaca sebuah pesan yang masuk.
“Aku nanti nggak usah dijemput, Pa,” ucapnya sambil menyimpan kembali ponselnya. “Mas Miko mau menjemputku.”
“Oke,” angguk Prima.
Setelah menurunkan Olivia di depan kantornya di bilangan Tebet pada pukul 06.51, Prima kembali meluncurkan mobil ke arah tempatnya bekerja di Pasar Rebo. Lalu lintas sudah mulai diwarnai beberapa kemacetan kecil. Apalagi hujan rintik masih terus mengguyur. Dan laki-laki itu menarik napas lega ketika mobilnya berhasil meluncur masuk ke area parkir kantor 12 menit sebelum pukul 8.00.
* * *
Arlena mengerjapkan mata sambil menguap lebar-lebar. Hanya ada keheningan di sekitarnya.
Seperti biasa...
Arlena melirik jam dinding dan mengangkat badannya dari ranjang. Seperti biasanya pula ia segera menuju ke kamar mandi. Perlu waktu hampir setengah jam hingga ia menyelesaikan ritual paginya itu. Semuanya harus benar-benar bersih sempurna dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menjelang pukul delapan, dengan masih mengenakan tank top dan celana gemes, ia keluar dari kamar dan duduk di kursi makan.
“Tiiik!”
Muntik muncul dengan langkah tergopoh dari arah depan sambil menenteng keranjang berisi sayur.
“Ya, Bu?”
“Kopiku mana? Sama panasin lagi ini, nasi gorengnya.”
Muntik menuruti ‘perintah’ Arlena tanpa banyak kata. Saat Muntik menghilang ke dapur, Maxi muncul dari lantai atas. Tampak sudah siap untuk berangkat kuliah. Pemuda itu hanya berpamitan sekilas pada Arlena sebelum melangkah ke garasi. Sesungguhnya, ia risih dengan penampilan Arlena.
Diakui atau tidak, Arlena memang masih terlihat singset dan mulus di usianya yang sudah 45 tahun. Ditambah lagi dengan kegemarannya memakai busana terbuka yang cukup mempertontonkan kemolekan tubuhnya. Dan usia Maxi sudah lebih dari cukup untuk memahami bahwa penampilan mamanya sungguh ‘menggugah selera’ orang lain, bukan hanya papanya.
Bahkan Papa saja sampai bosan...
Diam-diam Maxi mencibir sambil menghidupkan mesin motor 250 cc-nya, kemudian meluncurkannya meninggalkan garasi.
Sepeninggal Maxi, Arlena asyik menikmati kopi dan nasi goreng sambil membuka tabletnya. Dijawabnya deretan komentar yang masuk ke artikelnya di BlogSip, sebuah web jurnalisme warga di mana ia menjadi anggota sekaligus selebriti pengumbar artikel di dalamnya. Ia tersenyum. Tampaknya namanya makin harum saja. Terbukti dengan trafik pembaca yang terus naik. Juga deretan komentar yang barisannya kian panjang.
Menjual mimpi memang mudah...
Arlena tersenyum dalam hati. Diselesaikannya sarapannya, kemudian masuk ke kamar lagi dan mulai berdandan. Kantor sudah menunggunya. Juga mimpi-mimpi lainnya.
* * *
“Pagi, Bu Sandra,” sapa Olivia manis begitu melihat Sandra sudah duduk di depan meja kerja, menghadapi layar laptop.
Perempuan itu menoleh sekilas sambil membalas sapaan Olivia dengan sikap hangat, “Pagi juga, Mbak Livi...”
“Bapak belum datang, Bu?” Olivia mulai menyiapkan laptop dan segala macam piranti kerjanya.
“Belum,” Sandra menggeleng singkat.
Sandra memang selalu hadir lebih dulu karena rumahnya tidak terlalu jauh dari kantor. Di samping itu, Luken terkadang sudah datang pada pukul tujuh. Sebagai seorang sekretaris yang baik, ia sebisa mungkin selalu datang sebelum sang boss muncul, walaupun jam kerja mereka baru dimulai pada pukul delapan tepat. Olivia pun seperti itu. Selalu hadir sepagi mungkin. Jauh sebelum jam kerja dimulai. Tapi memang selalu kalah pagi karena rumahnya cukup jauh.
Sejenak kemudian Sandra mengangkat wajah dari layar laptop. Ditatapnya Olivia dengan serius.
“Boleh aku bicara jujur, Mbak Liv?” ucapnya lembut.
“Ya?” seketika Olivia menghentikan semua gerakannya. Balik ditatapnya Sandra dengan penuh perhatian.
“Artikel mamamu bagus-bagus,” senyum Sandra. “Tapi...”
“Too good to be true,” sahut Olivia, tersenyum lebar.
“Sorry...,” wajah Sandra tampak menyesal.
“Aku tahu, Bu,” Olivia mengangguk dengan ekspresi maklum. “Tapi aku bisa apa?” ia mengedikkan bahu dengan ringan. “Barangkali artikelnya soal kesempurnaan hidup masih bisa menginspirasi orang untuk berbuat lebih baik lagi, biarpun nggak berefek untuk diri sendiri.”
Sandra tercenung sejenak.
Olivia Paloma...
Dua tahun bekerja bersama Olivia, sudah cukup baginya untuk mengenal sosok Olivia dengan baik. Pun sedikit-banyak tentang kehidupan pribadi dan keluarganya. Gadis cantik itu pekerja yang baik dan profesional. Tak pernah hanya mengandalkan kecantikannya saja untuk menyenangkan dan meraih hati boss. Penampilannya pun selalu sopan dan tertutup. Lain sekali dengan ibunya yang...
Hm... Sandra tersenyum samar.
Ia sebaya Arlena. Tapi cukup sadar diri bahwa sudah tak lagi pantas baginya untuk berdandan ala artis seperti Arlena.
Livi yang lebih pantas saja tidak seheboh itu..
Sandra mengulum senyum. Seandainya ia punya anak laki-laki sebaya Olivia, pasti dengan senang hati akan menyodorkannya pada Olivia. Gadis itu tipe menantu idaman dilihat melalui kacamatanya. Sayangnya, ia hanya punya satu anak yang baru berusia 19 tahun. Perempuan pula. Tak mungkin disandingkan dengan Olivia.
“Pagi, Bu Sandra, Olivia...”
“Pagi, Pak Luken...”
“Pagi, Pak,” ucapnya, nyaris bersamaan dengan sahutan Olivia.
Luken muncul dalam gegas langkah yang bersemangat. Seperti wajah tampannya yang selalu terlihat cerah dan penuh optimisme. Membuat seisi kantor terasa penuh dengan semarak warna dan energi yang seolah tak berkesudahan. Sosoknya tinggi tegapnya tampak sangat gagah dalam balutan kemeja lengan pendek polos berwarna merah bata, dipadu dengan celana jeans biru gelap.
Laki-laki berusia 38 tahun itu adalah keponakan James Sudianto, pendiri perusahaan eksportir kopi berskala menengah ini. Karena James tidak pernah menikah, maka perusahaan ini ia alihkan ke tangan satu-satunya keponakan yang ia miliki. Luken Aldrin, putra tunggal kakaknya. James sendiri sudah pensiun sepuluh tahun yang lalu. Menyingkirkan dirinya ke sebuah desa, dan mengisi hidupnya untuk memberdayakan masyarakat desa di sekitar tempat tinggalnya.
Sebersit aroma parfum dengan dasar musk yang maskulin mengelus hidung Olivia begitu Luken melintas untuk masuk ke dalam ruangan kantornya. Membuat Olivia sejenak terbuai sebelum tersadar ketika Luken mengucap tepat di depan pintu, “Liv, tolong, ke kantorku sebentar, ya?”
“Baik, Pak,” Olivia menjawab dengan sigap sambil meraih catatannya, kemudian mengikuti Luken.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :
Thanks to Mas Ryan Mintaraga...
good post mbak
BalasHapusMakasiiih, Pak Subur... 😊😊😊
HapusUwaaaa .....
BalasHapusAq ketinggalan sepur e mb Liiiiss .......
Mantep !
Wakakak.. Sing duwe blog malah mbales komene ketinggalan taun 😝😝😝
HapusSetia menunggu ep selanjutanya
BalasHapusMakasih, Sylla... 😘😘😘
HapusGreat episod! Bikin penasaran level kakap
BalasHapusMakasiiih, Nisa... 😊😊😊
Hapus