Senin, 16 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #9








Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #8


* * *


Sembilan


Srikandi mengerutkan kening ketika melihat ada mobil lain mengikuti mobil Priyo yang masuk ke garasi. Dan keningnya berkerut makin dalam ketika melihat Dahlia turun dari mobilnya sambil menenteng sebuah travel bag.

“Mau ke mana?” tanyanya langsung, menatap Dahlia. “Kok bawa-bawa tas besar?”

“Menginap di sini,” Dahlia tersenyum sedikit, sambil mencium punggung tangan Srikandi. “Dalem sendirian di rumah, Bu.”

“Oh... Swandito ke mana?” Srikandi mencium pipi Dahlia.

“Ke Jogja.”

Ada mendung di wajah Dahlia. Srikandi dengan jelas dapat melihatnya. Sekilas tatapan Srikandi kemudian menyapu wajah Priyo. Laki-laki itu menggeleng samar. Srikandi pun memutuskan untuk diam walaupun wajahnya menyimpan ribuan tanya.

“Seruni ke mana, Bu?” tanya Dahlia, hendak beranjak ke dalam.

“Lagi keluar sama Hazel. Baru saja perginya.”

“Oh...”

“Sudah jam segini, sampun dhahar1), Mas?” tatapan Srikandi beralih pada Priyo.

“Sudah...”

“Weee... Lha sudah terlanjur kumasakkan brongkos2) je...

“Wooo... Sliramu tadi pagi-pagi ndak bilang kalau mau masak brongkos,” gumam Priyo.

“Lha agak siangan sedikit panjenengan kucari malah sudah keburu raib kok...,” gerutu Srikandi.

Priyo tertawa sambil kedua tangannya memegang bahu Srikandi dari belakang. Mendorong Srikandi dengan lembut.

“Mana brongkos-nya?” ucapnya. “Sini kuhabiskan!”

“Weee... Lha perut sudah seperti genthong begitu kok ya...”

“Lho, ini tandanya makmur to, Jeng... Diurusi dengan baik oleh istrinya,” tawa Priyo makin keras.

“Haish...,” jemari lentik Srikandi mencubit lembut perut Priyo.

Mau tak mau Dahlia tersenyum simpul mendengar dialog kedua orangtuanya. Pasangan yang sudah hampir empat puluh tahun menikah dan masih terlihat betul kemesraannya.

Pelan ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.

* * *

Entah sudah berapa lama Dahlia melamun, tapi kesadarannya kembali ketika angin berhembus dan membawa aroma itu sampai ke dalam kamarnya. Aroma yang khas. Malam3) untuk membatik.

Dahlia melongokkan kepalanya dari balik jendela yang terbuka lebar. Dan di antara batang-batang jeruji kayu yang kukuh terpasang di kusen jendela, tampak ibunya tengah membatik di selasar belakang. Ia tersenyum ketika melihat ayahnya ada juga di sana. Duduk di atas dhingklik4) tak jauh dari ibunya.

Dari tempatnya tak sengaja mengintip itu, Dahlia bisa melihat bahwa keduanya tengah memperbincangkan sesuatu sambil tetap melakukan kegiatan sendiri-sendiri. Ibunya tetap membatik, dan ayahnya menikmati sesuatu dari mangkuk yang dipegangnya. Rupanya jadi juga makan brongkos.

Ia tak bisa menguping pembicaraan itu karena jaraknya terlalu jauh. Lagipula sepertinya memang keduanya bercakap dengan suara rendah. Maka ia hanya bisa mengangkat bahu dan kembali merebahkan diri di atas ranjang.

* * *

“Itu nanti mau ditambah prada5) ndak, Jeng?” tanya Priyo dengan suara rendah.

“Terserah panjenengan, Mas...,” jawab Srikandi, tanpa mengalihkan tatapannya dari kain yang tengah dibatiknya. “Ditambah ya ndak apa-apa. Bagusnya bagaimana?”

“Kalau ndak ditambah prada kok kesannya jadi peteng6) banget...,” gumam Priyo.

“Wooo... iya ya...,” Srikandi menoleh sekilas ke arah Priyo. “Piye? Enak brongkos-nya?”

“Ya dijamin to...,” Priyo tersenyum lebar. “Yang masak garwane sopo?”

Srikandi terkekeh. Tapi sejenak kemudian ia kembali serius. Mengalihkan topik pembicaraan sambil terus membatik.

Ndhuk ayune panjenengan itu kenapa?”

Priyo menghela napas panjang sebelum menjawab, “Panjang ceritanya, Jeng...”

“Soal Rengga?”

Sliramu sudah tahu?” Priyo tak kelihatan terkejut.

Srikandi mengangguk. “Seruni yang bilang.”

“Swandito bermaksud memberi jalan. Makanya sementara waktu ini menyingkir dulu ke Jogja.”

“Aku kok ndak setuju to, Mas,” tukas Srikandi, halus.

“Lha, piye?” Priyo mengerutkan kening sambil meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di atas lantai di dekat kakinya.

“Dahlia itu kan sudah punya suami. Kalau kelihatan runtang-runtung7) berdua dengan Rengga njur piye8)? Dilihat orang kan ya ndak pantas.”

“Makanya aku ajak ke sini. Sementara menginap di sini. Biar ketemunya di sini kalau lagi pas ingin ketemu. Kalau mau.”

Tapi Srikandi menggeleng. “Tetap ndak pantas.”

Priyo menghela napas panjang. “Sliramu ndak senang to, Jeng, melihat Dahlia bahagia?”

“Bukan begitu...,” bantah Srikandi, tetap halus. “Tapi dilihat dari sisi mana pun tetap ndak pantas.”

“Meskipun suaminya sendiri merestui?”

“Swandito ki yo kudune ditatar9),” suara Srikandi terdengar gemas. “Meskipun ndak bakalan bisa cinta sama Ndhuk ya bukan begitu caranya.”

Priyo termangu melihat ekspresi Srikandi. Namun diam-diam, dalam hati, ia membenarkan seluruh ucapan Srikandi.

“Toh selama ini mereka hidup ayem-tentrem10) to?” lanjut Srikandi. “Lha kok sekarang malah mau main-main yang ndak jelas?”

“Bagaimana kalau sekarang kita lihat saja dulu perkembangannya?” ucap Priyo, sabar.

Srikandi masih cemberut. Tak puas.

Ndak usah mecucu11) begitu...,” celetuk Priyo kemudian, dengan nada jahil. “Tambah ayu rak blaik mengko12)...”

Bertepatan dengan itu tangan Srikandi meletakkan canthing13) yang dipegangnya. Dengan cepat tangan itu pun selanjutnya mampir ke lengan Priyo. Mencubit lembut.

Panjenengan ini lho...,” ucap Srikandi antara masih cemberut dan tersenyum.

“Aduh, aduh, aduuuh...,” Priyo berlagak mengelus lengannya yang baru saja dicubit Srikandi. “Yen mbokjiwit njur aku mbledhos, njur kempes piye jal?14)

Mau tak mau Srikandi tertawa lepas karenanya.

* * *

Sudah mulai ada beberapa pertemuan yang tak disengaja...

Dahlia duduk melamun sambil bertopang dagu di dalam kantornya. Tatapannya kosong, hanya tertuju pada satu arah. Pada vas bunga yang juga kosong di atas mejanya. Vas bunga yang biasanya penuh berisi puluhan batang mawar merah segar yang menebarkan wangi lembut. Mawar-mawar yang dikirimkan Swandito padanya

Apakah ini yang namanya jodoh?

Dahlia menghenyakkan punggungnya ke sandaran kursi.

Tapi kenapa justru hadir pada saat situasi sudah menjurus ke arah tak mungkin?

Dengan sedih Dahlia menangkupkan kedua telapak tangan ke wajah.

Sudah hari keempat sejak dia pergi, betapa sepinya...

Sudah empat hari pula ia menginap di rumah orangtuanya. Suasana rumah besar itu makin sepi ketika pasangan pengantin baru Seruni dan Hazel sudah kembali ke Jakarta tiga hari yang lalu. Dan hari ini hingga besok, ayahnya mengadakan perjalanan bisnis ke Surabaya. Sendirian. Tanpa ibunya.

Sepi bukan hanya berupa suasana sekitarnya saja, tapi lebih ke suasana hatinya. Apalagi sepertinya ia dan Swandito sengaja menahan diri untuk tidak saling menghubungi.

Biasanya ia dan Swandito saling bertukar cerita sambil menikmati makan malam di rumah. Atau bertukar informasi tentang apa yang akan dilakukan sepanjang hari nanti pada saat sedang menikmati sarapan. Atau menggosipkan hal-hal yang tak perlu menjelang tidur. Atau sekadar membuat awal hari jadi lebih cerah dengan bercanda berebut kamar mandi di dalam kamar mereka.

Hanya berdua. Saling mengisi hidup. Saling mendekatkan hati. Saling membiasakan diri. Dan semuanya sudah dimulai sejak tiga tahun yang lalu. Sudah jadi semacam kebutuhan seperti halnya menghirup oksigen setiap saat ataupun meneguk minuman tiap kali dahaga menyerang.

Apakah aku menikmatinya?

Dahlia memejamkan mata sejenak.

Sangat...

Dan ia tersentak ketika notifikasi BBM-nya berbunyi bertubi-tubi.

‘Jeng, selamat siang...’ / ‘Apa kabar?’ / ‘Sudah makan atau belum?’ / ‘Jangan terlambat makan, nanti sakit...’

Dahlia diam-diam mengeluh dalam hati.

Aku sedang tak mengharapkanmu menghubungiku melalui pesan seperti ini. Kenapa kau melakukannya?

Diletakkannya ponsel kembali. Tak membalas pesan itu.

* * *

Swandito menatap layar gelap ponselnya tanpa berkedip. Mendung pekat yang menaungi kota Jogja sedari pagi rupanya solider dengan suasana langit hatinya. Suram.

Apa artinya ini?

Swandito pelan-pelan meletakkan kembali ponselnya. Tak jadi menghubungi orang yang ia sangat ingin menghubunginya. Hanya ingin sekadar menanyakan kabar. Pelan-pelan ia menyandarkan punggungnya.

Hidupnya sungguh-sungguh kacau-balau selama empat hari ini. Tubuhnya di sini, tapi isi otaknya entah berhamburan di mana. Begitu juga jiwanya. Tersangkut nun jauh di sana. Pada sosok mungil Dahlia.

Cinta? Nonsense!

Dibantahnya sendiri kemungkinan itu. Ia sudah pernah merasakan jatuh cinta meskipun bukan pada sosok berjenis kelamin perempuan. Indahnya, sakitnya, manisnya, pahitnya, galaunya, semuanya.

Ini tak sama!

Semua rasa cinta itu tak satu pun pernah memberi semua perasaan yang selalu ada ketika ia bersama Dahlia, dalam kehidupan mereka di rumah yang sama, dalam sebuah ikatan resmi yang diakui sepenuhnya oleh agama dan negara bernama pernikahan. Diterima apa adanya, diakui keberadaannya, dihargai sebagai manusia, dihormati, dirawat dengan baik, tanpa perlu mengkhawatirkan apapun.

Semuanya itu memberi perasaan nyaman, tenang, tenteram, yang berujung pada perasaan bahagia dan selalu bersemangat setiap harinya. Apalagi dengan senang hati, sama sekali tak ada perasaan terpaksa, ia pun memberikan perlakuan yang sama terhadap Dahlia. Sebuah timbal balik yang sama-sama berasal dari dalam hati. Sama sekali bukan artifisial.

Lalu?

Swandito menghembuskan napas panjang. Mencoba melepaskan rasa sesak yang kini memenuhi dadanya.

Dan sekarang aku harus bersiap untuk kehilangan dia, demi kebahagiaan yang telah terenggut darinya selama ini...

Maka ia pun akhirnya membiarkan layar ponselnya tetap gelap.

* * *

Berkali-kali Rengga termangu menatap ponselnya. Sudah berlalu berjam-jam. Tak ada balasan yang masuk. Bahkan hingga ia harus pulang ke Solo menjelang sore, BBM yang tadi dikirimkannya pada Dahlia tak juga terjawab.

Rengga pun menyetir mobilnya, mulai meninggalkan daerah Pedan – Klaten – tempat usaha tenun luriknya berada. Ketika sampai di daerah Delanggu, ponselnya berbunyi. Segera ia menepikan mobilnya, dengan sebuah harapan yang mendadak saja bersemi di hatinya. Tapi saat dilihatnya siapa yang menelepon, harapannya luruh seketika, walaupun masih ada sisa senyum di hatinya.

“Halo! Ya, sayang?”

“Ayah masih lama?” terdengar suara kecil dari seberang sana.

“Ayah sudah di jalan, sayang. Kenapa?”

“Lili lapar, Yah...”

“Lho!” serasa ada yang hilang dari hati Rengga. “Lili belum makan? Memangnya Eyang ke mana?”

“Lili mau mi kocok buatan Ayah,” suara kecil itu berubah menjadi sedikit serak.

“Memangnya Eyang Putri masak apa?”

“Sup ayam.”

“Lho, Lili bukannya biasanya suka sekali makan sup ayam?”

“Iya...,” suara itu melirih, “tapi sekarang Lili maunya makan mi kocok buatan Ayah...”

“Hm...,” Rengga berpikir sejenak. “Sekarang begini, Lili dengarkan Ayah ya?”

“Iya, Yah...”

“Lili makan dulu supnya, ndak pakai nasi ndak apa-apa. Sekarang Ayah secepatnya pulang, nanti Ayah buatkan mi kocok buat Lili. Bagaimana?”

“Asyiiik! Iya, Yah. Lili tunggu ya?”

“Tapi janji, Lili makan sup ayam dulu.”

“Iya, janji.”

“Ya sudah, tutup dulu teleponnya ya? Biar Ayah jalan lagi, cepat pulang.”

I love you, Ayah...”

Love you more, sweetie...

Segera saja fokus pikiran Rengga berubah. Tak lagi pada Dahlia yang itu, tapi Dahlia yang lain. Dahlia kecil kesayangannya.

* * *

Langit sudah lama gelap ketika Rengga membelokkan mobil masuk ke carport. Lampu taman, lampu teras, dan lampu dalam rumahnya sudah menyala sempurna. Ia tertahan cukup lama di jalan. Ada kecelakaan kendaraan yang menghambat perjalanannya. Dua buah truk bertabrakan adu kambing membuat jalanan macet parah di kedua arah.

Ketika hendak menghubungi ibunya untuk menanyakan keadaan Lili, baru ia menyadari bahwa ponselnya sudah kehabisan baterai. Power bank? Entah di mana benda itu berada ketika dibutuhkan.

Rengga buru-buru masuk ke rumahnya. Masih terkunci rapat. Dan begitu berhasil membukanya, Rengga segera melangkah terus ke belakang. Menuju ke pintu tembusan ke rumah orangtuanya.

Rumah sudah sepi. Sudah hampir pukul sembilan. Lili tentunya sudah tidur. Seketika Rengga menyesali ketidakmampuannya memenuhi permintaan sederhana Lili. Hanya mi kocok untuk dimakan.

Dan ia menemukan ayah dan ibunya tengah duduk sambil menonton TV di ruang tengah. Keduanya menoleh ketika mendengar suara langkah mendekat.

“Dari mana saja jam segini baru pulang, Ngga?” tanya ibunya dengan wajah khawatir. “Ndak bisa dihubungi pula!”

“Maaf, Bu,” Rengga menjatuhkan tubuh lelahnya ke atas sofa, di sebelah ibunya. “Tadi ada kecelakaan truk di jalan. Macet dua arah. Lama pula. Dalem mau menelepon, ponsel mati. Baterai habis.”

“Oalah...,” Suryani mengelus lengan Rengga. “Mesakke15) Lili, yen ngenteni nganti koyo ngono16)...

“Aduh...,” sesal Rengga.

“Untung ada Denna,” ucap Sarjito. “Datang-datang langsung masak mi kocok buat Lili. Lili senang sekali.”

Rengga ternganga, kemudian mengerutkan kening. “Denna?”

* * *

Pelan Srikandi membuka pintu kamar Dahlia. Sengaja ia tak mengetuk pintu. Ia berdiri sejenak. Berdiam diri. Menatap putrinya.
                  
Dahlia tampak duduk membelakangi pintu, menghadap meja tulis. Siku kirinya bertumpu pada meja, telapak tangannya menopang kepala, seolah menatap serius layar laptop yang terbentang di depannya, tangan kanannya hanya diam di samping keyboard laptop.

Dari sikap Dahlia yang tak bergerak selama beberapa saat, dan sama sekali tak menyadari bahwa ada orang lain bersamanya di ruangan itu, Srikandi yakin Dahlia sedang melamun. Tanpa suara ia maju selangkah, kemudian menutup pintu di belakangnya.

Ndhuk...

Dahlia tak bereaksi.

Ndhuk...,” panggil Srikandi sekali lagi.

Dahlia tetap bergeming.

“Dahlia...,” Srikandi memanggil untuk ketiga kalinya.

Barulah Dahlia bergerak. Menoleh pelan. Ketika menyadari siapa yang kini sudah ada di dekatnya, ia menyahut pelan, “Dalem, Bu...”

“Melamun?” Srikandi mengelus kepala Dahlia. “Kangen garwamu?”

Dahlia tersipu sedikit.

“Atau Rengga?” lanjut Srikandi.

Senyum tipis di bibir Dahlia lenyap seketika. Ia langsung tertunduk. Menghindari tatapan ibunya. Srikandi mengambil tempat di tepi ranjang, tak jauh dari Dahlia.

“Aku sendirian malam ini. Bagaimana kalau kau menemaniku tidur di kamar?”

Dahlia mengangkat wajahnya. Sejenak kemudian ia mengangguk.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #10


Catatan :

1. Sampun dhahar = sudah makan (kromo inggil / bahasa Jawa halus).
2. Brongkos = masakan berkuah santan dengan bahan utama daging sapi, salah satu bumbunya adalah kluwak / kepayang. Brongkos ala Solo sedikit berbeda dengan brongkos ala Jogja yang menggunakan juga tahu dan kacang tunggak / kacang tholo (Vigna unguiculata)
3. Malam = lilin (untuk membatik).
4. Dhingklik = tempat duduk kecil pendek terbuat dari kayu.
5. Prada = pewarna emas untuk kain batik, pewarna yang asli terbuat dari bubuk emas 18-22 karat, dilekatkan pada kain batik dengan menggunakan ‘lem’ yang terbuat dari resin.
6. Peteng = gelap.
7. Runtang-runtung = ke mana-mana bersama.
8. Njur piye = lantas bagaimana.
9. Swandito ki yo kudune ditatar = Swandito ini ya seharusnya ditatar.
10. Ayem-tentrem = tenteram
11. Mecucu = cemberut.
12. Rak blaik mengko = kan (bisa) berbahaya nantinya.
13. Canthing = alat untuk membatik.
14. Yen mbokjiwit njur aku mbledhos, njur kempes piye jal? = kalau kamu cubit terus aku meletus, terus kempes bagaimana coba?
15. Mesakke (dibaca : mesak’ke) = kasihan.
16. Yen ngenteni nganti koyo ngono = kalau menunggu sampai seperti itu.



14 komentar:

  1. Oalah ternyata swandito 'sakit' ya? Gaduh, kasihan sampai kapan pun dahlia nggak.bakal.bahagia hidup dengannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Kira-kira Dahlia memang nggak bakal bahagia apa sebaliknya yaaa...?
      Makasih singgahnya ya, Bu...

      Hapus
  2. Aku hadir trs lo dik .... :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Astaga... Sampe njenengan ngartikel to, Mbaaak??? Malu akuuu...
      Matur nuwun sanget nggih, Mbak...

      Hapus
  3. Aq hadir jugak lhoh yo mba. Jarang komen. Ngurus bayi 3 tiba'e poseng jugak kikikiki

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iku bayi raksasamu nggak usah diitung, hahaha... Nggak diblanjani lho awakmu engkok...
      Suwun mampire yo, Nit...

      Hapus
  4. Apik buuu. (y). Harapanku kok Dahlia tetep ama Swandito ya buu.. dan Swandito balik jd normal lagih. mesakke mereka. Rengga mah udah deh ikhlasin ajah Dahlianya.

    BalasHapus
  5. kok aku jadi ikut merasakan apa yang dirasakan Dahlia yaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waduuuh... Nggak tanggung jawab lho aku, Mbak... Hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. Denna? Apakah dia yg akan jadi pendamping Rengga? Mari kita tunggu kelanjutannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mariii... Hehehe...
      Makasih dah mampir, Fris...

      Hapus
  7. Balasan
    1. Makasih atas kesetiaannya mampir, Pak Subur...

      Hapus