Senin, 02 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #5








Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #4



* * *


Lima


Entah kenapa Dahlia menyukai keheningan yang terasa menenangkan seperti ini. Sendirian di dapur. Mengaduk kuah kaldu berbumbu aneka rempah, dan mencicipi rasanya sesekali. Dan Mbok Saminten, abdinya yang paling setia, dengan halus dipaksanya menyingkir. Keluar sejenak membeli lotek untuk makan siang. Meninggalkan Dahlia sendirian menikmati keheningannya.

Ketika nasi tim yang dimasak di sebelah panci kuah kaldu sudah matang, selesai pula kegiatan Dahlia mengaduk. Dimatikannya sekaligus api pada dua tungku kompor gasnya. Kini ia menyeduh serimpang jahe merah bakar yang sudah digeprek1) dalam sebuah mug. Ditambahkannya sesendok makan madu sembari mengaduknya.

Tak lama kemudian semuanya sudah siap dalam sebuah nampan. Nasi tim yang sudah hangat, kuah kaldu yang mengepulkan aroma rempah yang wangi, dan semug air seduhan jahe merah – madu. Dengan hati-hati, dibawanya nampan itu ke dalam kamar.

Swandito masih meringkuk di atas ranjang, dengan selimut menutup tubuhnya hingga ke pinggang. Sudah mulai ada rona pada wajahnya, tak lagi sepucat tadi.

“Mas...,” bisik Dahlia.

Swandito membuka matanya.

“Makan dulu...,” senyum Dahlia.

“Kok dibawa ke sini to, Jeng?” protes Swandito, halus.

Ndak apa-apa, biar panjenengan istirahatnya lebih total.”

Pelan-pelan Swandito bangun. Ia memejamkan matanya sejenak ketika dirasanya seisi ruangan itu berputar.

“Pusing banget?” Dahlia terlihat khawatir. “Sudah, sandaran saja.”

Swandito menurut. Ia juga menurut ketika Dahlia menyuapinya dengan telaten. Aroma rempah yang menguar dari kuah kaldu itu mau tak mau menggelitik nafsu makan Swandito.

“Enak?” Dahlia tampak senang ketika melihat Swandito kelihatan menikmati hasil masakannya.

Swandito mengangguk. Tersenyum. Diteguknya air seduhan jahe yang disodorkan Dahlia. Dadanya terasa hangat. Menjalar ke perutnya. Terasa lebih nyaman sekarang. Dan segera saja perasaan hangat itu menyebar ke seluruh tubuhnya.

“Terima kasih ya, Jeng...,” ucapnya lembut setelah semuanya selesai.

“Sudah, sekarang panjenengan istirahat lagi. Supaya cepat pulih. Tapi sebaiknya besok jangan kerja dulu. Diteruskan saja istirahatnya. Aku makan dulu ya, Mas...”

Swandito mengangguk. Dahlia bangkit dari duduknya, kemudian keluar membawa nampan berisi piring, mangkok, dan mug yang sudah kosong.

* * *

Hening kembali menyergap Swandito begitu Dahlia meninggalkannya. Sambil masih tetap bersandar di kepala tempat tidur, ia meraih ponselnya. Sejenak kemudian ia sudah asyik dengan benda itu. Dikirimnya BBM kepada Seruni.

Swandito : ‘Dik Runi, bagaimana undangannya buat Rengga? Sudah siapkah nanti sore?’

Segera saja muncul BBM balasan di layar.

Seruni : ‘Sudah, Mas. Tapi nanti biar kusuruh Pak Kardi saja yang antarkan.’

Swandito : ‘Biar aku saja, Dik. Nanti sore aku ambil dan langsung aku antarkan sendiri.’

Seruni : ‘Tapi panjenengan kan masih ndak enak badan. Jangan memaksa diri.’

Swandito : ‘Sudah mendingan kok, Dik. Lagipula aku benar-benar ingin membicarakan sesuatu dengan Rengga.’

Seruni : ‘Apapun itu, tolong panjenengan pikirkan dulu baik-baik, Mas. Supaya ndak menyakiti diri sendiri.’

Swandito : ‘Iya, Dik, aku paham. Ya sudah, sampai ketemu nanti sore.’

Seruni : ‘Terima kasih banyak ya, Mas. Selamat istirahat.’

Swandito : ‘Sama-sama, Dik.’

Dan keheningan itu pun datang lagi. Swandito beringsut, kembali berbaring. Ketika Swandito hendak memejamkan mata, Dahlia muncul dengan mug berada di tangannya.

“Ini kalau mau minum lagi, Mas,” ucapnya sambil meletakkan mug itu di atas nakas di samping kepala Swandito.

“Terima kasih, Jeng.”

Dahlia kemudian membaringkan tubuh di sebelah Swandito.

“Pada saat seperti ini, memang baru terasa capeknya ya, Mas...,” gumam Dahlia.

“Tapi panjenengan kuat, ndak tahu-tahu ambruk seperti aku,” senyum Swandito.

“Mungkin karena beban pikiran yang panjenengan sandang jauh lebih berat. Sudah fisiknya lelah, pikirannya juga terforsir.”

“Hm... Oh ya, sudah makan, Jeng?”

“Sudah,” Dahlia mengangguk.

“Makan apa tadi?”

“Lotek. Aku tadi suruh Mbok Saminten belikan.”

Dan Dahlia pun memejamkan matanya. Swandito menolehkan kepalanya. Napas Dahlia perlahan menjadi teratur. Dahlia terlelap dengan cepat. Terlihat menyimpan kelelahan tersendiri. Swandito menghela napas panjang.

Apapun untuk membuatmu bahagia, Jeng.

Mata Swandito mengerjap.

Apapun...

* * *

Mendadak saja Dahlia merasa dingin. Ia meraba ke sampingnya dan mendapati tempat itu kosong. Ketika ia terjaga sepenuhnya, telinganya mendengar suara gemercik air dari dalam kamar mandi. Diliriknya jam dinding. Sudah hampir pukul lima sore.

Ia menguap bertepatan dengan Swandito keluar dari kamar mandi. Wajah laki-laki itu tampak jauh lebih segar dengan ujung rambut basahnya masih meneteskan titik-titik air. Dahlia mengerjapkan mata.

“Aku mau keluar sebentar, Jeng,” ucap Swandito sambil mengusapkan handuk ke kepalanya. “Ada janji dengan klien.”

“Kan panjenengan masih sakit to, Mas...,” Dahlia mencoba untuk menahan.

“Aku sudah ndak apa-apa. Lagipula ndak akan lama kok. Aku pinjam Pak Siman ya?”

“Ya sudah, ndak apa-apa kalau sama Pak Siman,” Dahlia menguap sekali lagi. “Nanti mau makan apa?”

“Apa saja,” senyum Swandito. “Semua masakan panjenengan selalu enak kok.”

Dahlia tersipu sedikit. Ia bangkit, tapi masih duduk di tepi ranjang, menatap Swandito yang sudah mulai rapi. Sejenak kemudian Swandito berpamitan. Mencium rambut Dahlia seperti biasa sebelum beranjak pergi.

* * *

Seruni menyerahkan undangan itu dengan wajah ragu-ragu. Swandito menerimanya sambil tersenyum.

“Benar panjenengan ndak apa-apa, Mas?” Seruni memastikan sekali lagi.

“Benar,” Swandito mengangguk. “Ndak apa-apa.”

Ngapunten2) ya, Mas. Merepotkan...”

Ndak apa-apa, Dik. Sudahlah,” Swandito kembali tersenyum. “Aku permisi dulu ya? Salam buat kanjeng Romo dan Ibu.”

“Iya, nanti aku sampaikan kalau Romo dan Ibu sudah pulang.”

Beberapa saat kemudian Karsiman kembali meluncurkan mobil, sesuai dengan alamat yang diberitahukan Swandito. Swandito sendiri duduk diam di sebelah Karsiman. Asyik dengan pikirannya sendiri.

Keraguan sempat menghampirinya beberapa kali. Tapi ketika terbayang di matanya wajah teduh Dahlia, keyakinan itu menguat kembali. Ia tersentak ketika Karsiman menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah.

“Sudah sampai, Pak,” ucap Karsiman, sopan.

“Pak Siman tunggu sebentar ya? Aku ndak lama kok. Cuma mengantar undangan.”

Nggih, Pak...”

Swandito memantapkan langkahnya mendekati rumah itu. Pelan, didorongnya pintu pagar pendek yang tak terkunci. Tak sampai lima detik kemudian, tangannya sudah terulur memencet tombol bel di samping pintu.


* * *

Guyuran air dingin itu terasa menyegarkan Dahlia. Seluruh rasa penatnya seolah tersedot keluar dan terbuang bersama air yang mengalir di sekujur tubuhnya. Sambil menyabuni tubuhnya, ia memberi tekanan pada bagian-bagian tertentu hingga rasa nyaman itu datang menggantikan rasa penat.

Setelah selesai mengeringkan badan, ia mengoleskan lotion ke seluruh tubuhnya. Beberapa saat kemudian ia sudah tampak rapi dan segar dalam balutan daster batik berwarna coklat gelap. Membuat kulit kuning langsatnya terlihat makin cerah. Ia membiarkan wajahnya polos tanpa polesan apapun. Bedak paling tipis sekalipun.

“Sayurannya sudah saya bersihkan dan potong-potong, Jeng Ayu,” ucap Mbok Saminten begitu Dahlia muncul. “Sudah saya masukkan ke kulkas. Nasinya juga sudah matang.”

Dahlia mengangguk-angguk.

“Sudah bersih semua. Saya pulang dulu ya?” Saminten berpamitan.

“Iya, Mbok. Hati-hati ya? Besok datang agak siang saja. Jam sembilan juga ndak apa-apa. Aku ndak ke salon. Mau menemani Bapak istirahat di rumah.”

Nggih, Jeng...”

Sepeninggal Mbok Saminten, Dahlia duduk diam di dapur sambil meneguk segelas kunir asem dingin yang dituangnya dari sebuah botol di dalam kulkas. Capcay dan telur dadar enaknya dimakan sesaat setelah dimasak. Jadi ia menunggu Swandito pulang dulu sebelum mulai memasak.

Ia mengisi kembali gelasnya penuh-penuh sebelum beranjak ke ruang duduk. Tak ada yang dilakukannya kecuali duduk bersandar dan berselonjor kaki dengan manis sambil mencoba menikmati tayangan televisi. Biasanya pada waktu yang sama, ia sedang sibuk bersiap diri untuk pulang dari salon. Baru pukul enam atau tujuh sore ia sampai di rumah. Berselisih sedikit dengan pulangnya Swandito dari Jogja.

Ada sebuah nama yang mendesak seolah ingin dipikirkan Dahlia. Tapi sekuat tenaga Dahlia menolaknya. Hanya saja, makin ia menolak, pemilik nama itu seolah makin ngeyel untuk memunculkan bayangan dirinya. Pada akhirnya Dahlia menyerah.

Dan ia hanya sanggup mendesah dengan penuh resah, “Mas Rengga...”

* * *

Rengga menyisir rambut Lili pelan-pelan. Ada sebersit rasa kehilangan karena biasanya ia bereksperimen menguncir ataupun mengepang rambut panjang Lili. Kini rambut Lili sudah pendek. Dan kelihatannya si putri kecil menyukai betul model baru rambutnya.

“Aku sebenarnya bisa menyisir sendiri, Ayah...,” celetuk Lili.

“Iya, Ayah tahu,” gumam Rengga. “Kan Lili sudah gede, sudah mau masuk SD kan?”

Lili mengangguk-angguk. Sejenak kemudian Lili menatap ayahnya.

“Aku mau ke rumah Eyang, Ayah. Boleh? Kan aku sudah mandi.”

“Boleh...,” senyum Rengga. “Tapi nanti waktu makan pulang ya? Nanti Ayah bikinkan mi kocok paling enak buat Lili.”

Lili mengangguk sebelum berlari kecil menuju ke pintu tembusan di seberang halaman belakang. Pintu tembusan menuju ke bagian belakang rumah orangtua Rengga.

Sejenak kemudian keheningan melingkupi sekeliling Rengga. Ia menjatuhkan badannya ke sofa di ruang duduk. Sambil bersandar ia meneguk segelas air putih dingin.

Kembali...

Rengga mengatupkan kelopak matanya. Dan yang terbayang kemudian hanyalah wajah Dahlia dengan mata bulatnya.

Masih seperti dulu. Cantik. Terlihat tegar. Walaupun kehidupan pernah sama sekali tak ramah padanya.

Rengga membuka mata dan meletakkan gelas kosongnya ke atas meja. Kemudian ia kembali bersandar dan memejamkan mata.

Untuk apa sebenarnya aku kembali?

Ditariknya napas panjang.

Karena sudah mulai kewalahan mengurus Lili dan membutuhkan bantuan Ibu? Atau...

Sampai di sini Rengga memaksa diri untuk menghentikan pikirannya yang mulai melantur. Tapi pikiran itu meliar lagi.

Ataukah masih tetap menyimpan harapan tentang Dahlia? Tapi dia sudah bersuami lagi!

“Aaah...,” Rengga mengerang.

Dan kelihatannya suaminya baik-baik saja. Terlihat dekat dengan Seruni. Tanda diterima dengan baik dalam keluarga.

Mata Rengga kini terbuka lebar. Dengan bayangan wajah Dahlia memenuhi dinding di sekelilingnya layaknya motif wallpaper. Membuat Rengga menggeleng berkali-kali.

Maafkan aku, Ran... Aku masih belum bisa menghapus Dahlia dari hatiku.

Rengga tergugu. Ditatapnya senyum Rana yang terulas pada sebingkai lukisan yang tergantung di atas piano. Cantik. Ceria. Meninggalkan jauh-jauh penderitaan yang selama ini diusungnya. Dan ia teringat kalimat terakhir yang dibisikkan Rana sebelum terkulai dalam diamnya yang abadi.

“Terima kasih sudah memberikan kehidupan yang indah untukku...”

Rengga mengusap matanya yang membasah tiba-tiba.

Pernikahan yang indah, suami yang tampan, putri kecil yang cantik, keluarga yang hangat... Semuanya berhasil diperoleh Rana menjelang akhir hidupnya. Membuat perempuan itu meninggalkan dunia ini berselimut senyum damainya.

Airmata Rengga menetes lagi. Tepat saat itu bel pintu berbunyi.

Rengga buru-buru menghapus airmatanya. Terpaksa menghirup ingusnya dalam-dalam karena tak menemukan kotak tisu di dekatnya. Setelah siap, ia bangkit dan berjalan ke arah pintu.

Dan orang yang berdiri di depan pintunya sore itu membuatnya ternganga. Menatapnya dengan mengulas senyum tipis.

* * *

“Selamat sore,” ucap Swandito sopan.

Tuan rumah tampak tersentak ketika suara Swandito menggema pelan. Laki-laki itu melebarkan pintu.

“Selamat sore,” jawabnya. Sedikit tergagap. “Mari masuk, Mas. Mas Swandito bukan? Mari, Mas...”

Swandito mengangguk. Ia tampak ragu sejenak sebelum memenuhi permintaan Rengga. Dijabatnya tangan Rengga yang terulur.

“Maaf, saya mengganggu,” ucapnya.

Ndak sama sekali, Mas,” sahut Rengga, tulus.

Sambil menempatkan diri di atas sebuah sofa tamu, Swandito sekilas menatap berkeliling. Ruang tamu itu kecil saja. Minimalis dan cukup rapi. Terakhir, tatapannya berlabuh pada Rengga, yang mengambil tempat di seberangnya. Dipisahkan oleh sebuah meja pendek.

“Bagaimana kabarnya, Mas?” tanya Rengga, sopan. Basa-basi.

“Baik,” Swandito mengangguk. “Maksud kedatangan saya ke sini, saya dititipi undangan oleh Dik Seruni.” Swandito meletakkan undangan pernikahan Seruni di atas meja, kemudian mendorongnya ke arah Rengga. “Monggo, Mas.”

“Oh...,” Rengga mengambil undangan itu wajah terlihat antusias. “Lha, kok jadi merepotkan panjenengan, Mas?”

Ndak, Mas,” senyum Swandito. “Sudah jadi tugas saya. Selain itu... Saya sengaja ingin mengantarkan undangan itu ke sini, karena... saya hendak membicarakan sesuatu dengan panjenengan.

“Oh ya?” kening Rengga berkerut sesaat. “Soal apa ya, Mas?”

Swandito menatap Rengga. Berusaha menguatkan hati. Dilawannya tatapan Rengga yang terasa menusuknya.

“Saya ingin bicara... soal Jeng Dahlia...”

Rengga masih menatap Swandito dalam hening. Swandito menghela napas panjang.

Akhirnya... Harus... Demi Jeng Lia...

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #6


Catatan :

1. Digeprek = dipukul sampai memar / sedikit pecah (untuk bumbu / rempah).
2. Ngapunten = (minta) maaf.



13 komentar:

  1. Balasan
    1. Makasih singgahnya, Pak...
      Selamat berkarya!

      Hapus
    2. Mbak lis....baca cerbung ini saya jadi ngiler soalnya makanan yang disajikannya kesukaan saya semua..

      Hapus
    3. Hihihi... gitu ya, Bu?
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  2. Aku protes kudune tayang senin rebu jumat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin sengaja dihemat sama Mbak Lis biar yang baca penisiriiin bingits...

      Kawula ngrantos kemawon Mbakyu...kados pundi salajengipun...

      Hapus
    2. @Mbak Vitri : kalo njenengan juga menayangkan tulisan sepanjang 9-11 halaman per episode, dan dalam seminggu menayangkan 3 episode, saya akan menayangkan lanjutan cerita ini seminggu 3x juga.

      @Mbak Dyah : hemat nggak hemat, dari dulu jadwal dasar penayangan cerbungku ya Senin dan Kamis, Mbak...

      Hapus
  3. Jenengan jan sabar tenan kok Dik. Wis nyerat kaya ngene korban tenaga-pikiran-waktu, anggene upload neng blog saged diwaos gratisan, ijih ana bae sing ora meneri. Guyon apa ora yen aku wis suwe kuwi le bubar jalan. Untung aku ora ngeblog ya? Mesthi ora bakal payu he he ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang-kadang ya jadi males juga, Mbak. Tapi aku mbelani lebih banyak orang lain yang bisa memahami dan menghargai ada apa saja di balik penulisan sebuah cerita. Plus lebih banyak nambah stok sabar hehehe...
      Matur nuwun rawuhipun...

      Hapus
  4. Mbak lis...besok udah hari kemis lo ya..inget hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wuakakak... hari Kamisnya nggak besok lho, Mbak, tapi hari ini...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus