Kamis, 29 Oktober 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #4







Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #3


* * *


Empat


Swandito menurunkan Seruni tanpa mampir dulu ke salon. Dengan langkah ringan, Seruni memasuki salon Dahlia. Beberapa pegawai Dahlia menyambutnya dengan senyum penuh penghormatan dan keramahan. Seruni menanggapinya dengan ceria. Bila kemarin ia menjalani perawatan pijat dan lulur, hari ini rencananya ia akan menjalani perawatan wajah, rambut, dan kuku.

Dahlia sudah menunggu Seruni di ruang dalam. Tersenyum lebar mendapati Seruni datang tepat waktu. Seruni segera mengganti bajunya dengan jubah mandi bersih yang sudah disediakan Dahlia. Tak berapa lama kemudian, Seruni sudah duduk dengan manis di atas kursi keramas.

Bukan Dahlia sendiri yang mengeramasi rambut Seruni, melainkan salah satu asisten kepercayaannya bernama Yayuk. Dahlia hanya duduk menunggui di dekat mereka. Seruni menikmati sekali pijatan Yayuk di kepalanya. Pijatan yang kuat, tapi lembut dan terstruktur. Membuatnya merasa nyaman dan lebih rileks.

“Saya ndak bisa bayangin Mbak Seruni nanti cantiknya seperti apa kalau jadi manten1),” celetuk Yayuk. “Lha wong ndak dandan saja cantiknya sudah seperti ini.”

“Apalagi nanti dhukun manten2)-nya Bu Sasongko,” timpal Dahlia. “Bisa gantung diri dia kalau manten yang didandaninya ndak manglingi3). Hehehe...”

Seruni dan Yayuk tergelak mendengar candaan Dahlia. Sejenak kemudian obrolan mereka beralih pada Bu Sasongko, seorang dhukun manten langganan para kerabat keraton, bahkan para sosialita dari ibukota. Di usianya yang sudah menginjak 70 tahun masih juga terlihat awet muda, cantik, dan enerjik. Semua itu bukan karena perawatan modern seperti operasi plastik dan lain-lain, tetapi karena berbagai laku tirakat4) yang masih dijalaninya dengan ketat sejak masih berusia muda, seperti puasa Senen-Kemis, mutih5), ngrowot6), dan sebagainya, juga merawat diri dengan berbagai ramuan jamu.

“Bu Lia apa ndak ingin seperti Bu Sasongko itu, Bu?” tanya Yayuk tiba-tiba.

Dahlia tersenyum tipis. “Laku-nya berat, Yuk. Aku memang masih biasa menjalankan laku, tapi ya ndak seketat Bu Sasongko.”

“Aku cuma sanggup puasa Senen-Kemis sama puasa weton7) saja,” Seruni nyengir.

“Jamu?” Dahlia mengerutkan keningnya.

“Masih...,” Seruni tertawa. “Jelek-jelek begini aku masih ahli meramu jamu lho! Tapi yang levelnya biasa-biasa saja.”

“Kalau butiknya sepi, jual jamu saja, Mbak Runi,” Yayuk terkekeh.

“Lho... Sudah...,” Seruni mengerling, tersenyum lebar. “Di kafeku sudah sekitar dua tahun ini jualan jamu. Kunir asem8), beras kencur, kunci suruh9), jahe anget, jahe merah – madu, gula asem, cabe puyang10), temulawak, serbat11) lidah buaya, wedang uwuh12). Laris lho! Nanti rencananya tahun depan mau jual yang instan, bubukan. Kalau sekarang belum kecandhak13).”

“Wah, hebat benar Mbak Seruni!” Yayuk mengacungkan kedua jempol tangannya.

Sambil menunggu masker rambut meresap, Dahlia memanggil asistennya yang lain. Kali ini Santini sudah siap untuk merawat kuku tangan dan kaki Seruni. Dahlia meninggalkan mereka untuk menangani seorang anak. Pada musim libur sekolah begini, cukup banyak orang tua customer anak-anak yang membuat janji potong rambut dengan Dahlia dari pagi hingga menjelang siang hari.

* * *

Setelah urusan rambut dan kuku-kuku jari selesai, inilah saat yang ditunggu Seruni. Dahlia akan menangani perawatan wajahnya secara pribadi. Tanpa dibantu seorang asisten pun. Ia menyuruh Seruni pindah ke sebuah bed khusus untuk perawatan wajah.

“Benar-benar sudah siap, Run?” tanya Dahlia halus sambil membersihkan wajah Seruni yang kini berbaring santai.

“Siap nikah maksud Mbak?”

“Iya...”

“Siap banget, Mbak,” ucap Seruni tegas. “Semuanya sesuai rencana.”

“Hm...”

“Mbak...”

“Ya?”

“Aku benar-benar minta maaf soal Mbak dan Mas Swan. Seharusnya aku sabar dan percaya sepenuhnya pada kehendak Gusti. Nyatanya, kanjeng ibunya Mas Swan seda14) pas dekat-dekat waktu seharusnya aku menikah dengan Mas Hazel. Seharusnya...”

“Run...,” potong Dahlia halus, sambil dengan lembut mengusap wajah Seruni dengan washlap basah hangat. “Kita kan sudah pernah membicarakan itu. Kita bukan ahli nujum yang bisa memperkirakan kapan hari seda-nya kanjeng ibunya Mas Swan akan tiba. Aku benar-benar ndak mau lihat adik kesayanganku berjudi dengan nasib yang ndak jelas. Nasib yang ditentukan orang lain. Mas Haryo mungkin beruntung, karena nasibnya baik. Dan aku ndak seberuntung itu. Tapi pada akhirnya aku dilepaskan juga dari mimpi buruk itu. Dan soal pernikahanku dengan Mas Swan, kali ini aku memilih nasibku sendiri, Run.”

“Dan itu adalah pilihan yang salah?” mata Seruni mengerjap.

“Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa itu adalah pilihan yang salah?”

“Mbak, a couple lives together in a marriage without making love? Is it normal?

Dahlia ternganga seketika. Tapi tangannya masih terus bekerja, melakukan scrubbing dengan lembut.

Hello...,” tampaknya Seruni masih saja ngeyel.

Dahlia menghela napas sebelum menjawab, “Normal atau tidak, yang jelas aku merasa hidupku jauh lebih damai dan tenang sekarang. Bagiku, making love bukan lagi segalanya yang aku butuhkan, Run. Setelah berkali-kali marital rape yang kualami saat masih bersama suwargi Mas Dipta, kehidupanku yang sekarang ini seperti surga buatku. Aku punya teman untuk diajak bicara kapan pun aku membutuhkan. Aku punya seseorang yang mau menjagaku dengan tangannya sendiri. Aku merasa dihargai dan dibutuhkan. Diterima apa adanya aku. Menjadi diriku sendiri. Apa lagi yang aku butuhkan, Run?”

Seruni terdiam. Tak tahu harus mengatakan apa. Semua yang diungkapkan Dahlia sungguh-sungguh melampaui apa yang mampu dipikirkannya tentang pernikahan Dahlia dan Swandito. Ternyata yang tak diketahuinya selama ini jauh lebih dalam daripada apa yang bisa ia perkirakan. Tapi ia tetap merasa harus menyelesaikan sesuatu.

“Mbak...”

“Apa lagi to, Run?”

“Bagaimana dengan Mas Rengga?”

Dahlia menunda pengolesan masker pada wajah Seruni. Ia termangu sejenak.

“Masa lalu, Run,” jawabnya. Akhirnya. “Sama seperti kehidupanku dengan suwargi Mas Dipta.”

Ndak ingin meraih apa yang seharusnya bisa Mbak raih?”

Suara lirih Seruni seolah guntur yang menggelegar di telinga Dahlia. Sejenak ia memejamkan mata. Dan sekilas bayang wajah teduh Rengga memenuhi benaknya. Tapi sekejap kemudian ia tersadar.

“Aku ndak mau membicarakan itu lagi, Run.”

Seruni terdiam. Sementara itu, dengan gerakan lembut Dahlia mengoleskan masker pada wajah halus Seruni. Beberapa saat kemudian masker sudah tertempel rata di seluruh kulit wajah dan leher Seruni. Dahlia bangkit dari duduknya. Diambilnya potongan mentimun dari dalam kulkas di sudut. Seruni mengatupkan mata begitu Dahlia hendak menempelkan potongan mentimun itu di kedua kelopak matanya.

“Sekarang kamu rileks. Tidur juga ndak apa-apa. Ndak usah cerewet membahas macam-macam. Aku tinggal dulu. Nanti aku suruh Santini sesekali memeriksamu.”

“Hm...,” Seruni hanya bisa mengeluarkan gumaman lirih itu.

* * *

Dahlia duduk terpekur di depan mejanya di dalam kantor. Hari ini mejanya bersih. Tak ada batang-batang mawar segar yang biasanya dikirimkan atau dibawa sendiri oleh Swandito. Tapi ia memakluminya. Tanpa tambahan tugas menjemput Seruni di rumah dan mengantarkannya ke salon, sebetulnya Swandito sudah cukup sibuk.

Mas Rengga...

Entah kenapa nama itu tiba-tiba saja menyeruak masuk ke dalam benaknya. Tanpa pendahuluan. Tanpa permisi. Tapi sepertinya ucapan-ucapan Seruni tadi adalah pemicunya.

A couple lives together in a marriage without making love? Is it normal?

Dahlia menghela napas panjang.

Ya, normalkah?

Dialihkannya tatapan, jauh menembus luar jendela kaca.

Kembali suara Seruni seolah terngiang di telinganya, “Ndak ingin meraih apa yang seharusnya bisa Mbak raih?”

Setelah semuanya berjalan seperti biasa, dan aku bisa menikmatinya, kenapa sekarang harus ikut mempertanyakan itu?

Dahlia mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan dering ponsel yang memecah keheningan membuatnya sedikit tersentak. Diraihnya ponsel yang tergeletak di dekat tangannya yang semula bertumpu di atas meja.

“Ya, Mas?” sapanya halus.

“Dik Runi masih lama ndak, Jeng?” terdengar suara Swandito dari seberang sana.

“Baru saja selesai dimasker.”

“Hm...”

“Kenapa, Mas?”

“Kalau bisa selesai dua jam lagi bisa sekalian aku jemput. Aku mau jalan pulang sekarang.”

“Lho, kok cepat ngantornya?” Dahlia mengerutkan kening.

“Badanku rasanya ndak enak, Jeng. Sepertinya masuk angin.”

“Oh... Tapi masih bisa nyetir, Mas?”

“Bisa, Jeng. Ndak usah khawatir.”

“Hati-hati di jalan ya, Mas... Ndak usah ngebut.”

“Iya, Jeng. Iya...”

Sebersit rasa khawatir muncul di hati Dahlia begitu sambungan telepon itu ditutup. Swandito jarang sekali sakit. Biasanya kalau Swandito sampai mengeluh, kondisinya bisa jadi lebih parah daripada yang kelihatan. Lagipula jarak Jogja-Solo cukup jauh untuk ditempuh Swandito dalam kondisi kurang sehat seperti ini. Harus menyetir sendirian pula. Ia segera beranjak ke bagian belakang salonnya.

Di pantry sedang ada Santini yang tengah mengaduk dua gelas teh manis hangat. Perempuan itu menoleh ketika menyadari kehadiran Dahlia.

“Ini saya buatkan minuman lagi, Bu,” ucap Santini. “Buat Mbak Seruni juga.”

“Ya sudah, taruh saja di meja dekat Seruni,” Dahlia mengangguk. “Eh, Tin, masih ada jahe merah? Atau jahe biasa juga ndak apa-apa.”

“Masih sepertinya, Bu. Nanti saya carikan.”

Ndak usah buru-buru. Aku butuhnya nanti kalau Bapak datang. Sekarang masih jalan dari Jogja.”

Ternyata sedang tidak ada persediaan jahe merah maupun jahe biasa di dapur salon itu. Santini kemudian pamit untuk membelinya di pasar terdekat. Sambil melangkah kembali ke kantornya, Dahlia mampir untuk memeriksa masker di wajah Seruni. Masih setengah kering, dan Seruni sendiri tengah tertidur.

Dahlia pun membatalkan langkahnya ke kantor. Ia duduk diam di dekat Seruni. Diraihnya majalah wanita terbaru yang tergeletak di atas meja di dekatnya. Tangannya sibuk membalik-balik halaman majalah itu, tapi pikirannya sama sekali tak disana.

Lagi-lagi nama, sosok, dan wajah Rengga bemain berlompatan di dalam benaknya. Membuat detak jantung dan alunan perasaannya bergelora tak keruan. Makin ia mengingkari, makin ia mendapati kenyataan bahwa sedikit banyak cintanya masih sedemikian besar buat Rengga.

Bahkan hingga sekian hari berlalu, getar yang ada ketika sekejap bertemu Rengga masih juga terasa sisanya. Apalagi ketika mendapati bahwa Rengga kini telah ‘sendirian’. Hanya hidup bersama putri kecilnya yang cantik.

Kenapa namanya Dahlia juga?

Dahlia tak memberanikan diri untuk berandai-andai. Semua pengandaian yang pernah ia pikirkan hampir tak ada yang berakhir menyenangkan. Selalu ia harus terpental dan jatuh kembali pada realita. Realita yang mendasari kehidupan yang harus dijalaninya sekarang.

Seolah tak ada ruang untuk menorehkan kata ‘menyesal’. Roda waktu terus berputar ke depan. Membuatnya kesulitan untuk memutar kembali hidupnya ke belakang. Dan bukan lagi sebuah kesulitan. Tapi suatu hal yang tak mungkin.

Sama sekali tak bisa.

* * *

Swandito muncul ketika Dahlia hampir selesai mengoleskan pelembab pada wajah Seruni. Dahlia mengerutkan kening begitu melihat betapa pucatnya wajah Swandito. Laki-laki itu langsung berbaring di sebuah kursi malas di dekat situ. Keringat tampak menitik di keningnya.

“Sebentar ya, Mas,” ucap Dahlia halus. “Ini sudah hampir selesai.”

Swandito mengangguk dengan mata terpejam. Tak lama kemudian pekerjaan Dahlia selesai. Seruni bangun dari posisi berbaringnya. Ia menoleh ke arah Swandito, dan kaget seketika.

“Astaga... Panjenengan pucat banget, Mas!” Seruni berseru tertahan.

Ndak apa-apa, Dik,” gumam Swandito tanpa membuka matanya. “Cuma masuk angin. Sejak suwargi Ibu sakit sampai tujuh hariannya, aku memang kurang istirahat.”

Dahlia muncul dengan secangkir besar air jahe merah hangat. Ia duduk di dekat pinggang Swandito.

“Ini jahenya, Mas...”

Swandito membuka mata dan bangun pelan-pelan. Disesapnya air jahe merah hangat yang disodorkan Dahlia. Dengan lembut, Dahlia mengusap keringat yang menitik di kening Swandito.

“Meriang, Mas?”

Swandito mengangguk.

“Habis ini aku keroki ya? Biar enakan badannya.”

Swandito kembali mengangguk.

* * *

Priyo muncul di salon itu, tak lama setelah putri bungsunya menelepon minta dikirim sopir untuk menjemputnya. Seruni kaget melihat ayahnya sendiri yang muncul.

“Pak Kardi ke mana? Kok Romo sendiri yang ke sini?”

Ndak suka dijemput Romo? Ya sudah, Romo pulang saja.”

Seruni langsung terkekeh mendengar rajukan ayahnya. Dengan manja ia menggayut di lengan ayahnya.

“Mbakyumu mana?”

“Masih ngeroki Mas Swan.”

“Di mana sekarang?”

“Di kantor Mbakyu.”

Priyo merengkuh bahu Seruni, kemudian berjalan ke kantor Dahlia.

Ndhuk...,” ucapnya halus sambil mengetuk pintu.

Tak ada hitungan detik, Dahlia sudah membuka pintu itu. Tampak kaget ketika melihat kehadiran ayahnya.

“Lho, Romo kok ke sini?”

Ndak boleh memangnya? Itu, ada calon pengantin yang aleman15) minta dijemput,” ucap Priyo dengan mimik jenaka.

Dahlia tertawa ringan karenanya.

“Swandito kenapa?” Priyo menunjuk Swandito yang masih tengkurap dengan punggung telanjang di atas sofa.

“Masuk angin,” jawab Dahlia sambil melebarkan pintu.

Priyo melangkah masuk, sementara Seruni tetap di luar.

“Sampai matang begitu kerokannya,” gumam Priyo.

Swandito yang baru menyadari kedatangan ayah mertuanya buru-buru berusaha bangkit.

Tapi ucapan Priyo menghentikannya, “Sudah... Tengkurap saja. Wong kerokannya juga belum selesai begitu kok, Mas...”

Nggih, Romo. Nyuwun pangapunten16)...,” gumam Swandito.

Dahlia kembali menorehkan garis-garis di punggung Swandito. Menghasilkan alur-alur berwarna merah tua

“Ke dokter, Mas,” ucap Priyo lagi.

“Dikerok sudah enakan kok, Romo. Tadi juga sudah minum jahe hangat,” jawab Swandito.

“Habis ini pulang, Mas. Istirahat,” ucap Dahlia. “Aku temani di rumah. Biar salon diurus anak-anak.”

Priyo bangkit dari duduknya. Dahlia tengadah menatap ayahnya.

Romo mau ke mana?”

“Pulang to, ya...,” senyum Priyo. “Sudah, kamu di sini saja. Urusi garwamu.”

Dahlia mengangguk. “Ndherekaken17), Romo...”

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #5


Catatan :

1. Manten = pengantin
2. Dhukun manten = perias pengantin
3. Manglingi = berubah (jadi makin cantik karena efek riasan wajah) ; membuat yang melihatnya jadi tidak mengenali karena berubah menjadi jauh lebih cantik.
4. Laku tirakat = syarat yang dilakukan dengan menahan hawa nafsu berupa berpuasa, berpantang, dan sebagainya (sebagai syarat untuk mencapai suatu maksud).
5. Mutih = tidak makan apa-apa kecuali nasi putih dan air putih.
6. Ngrowot = hanya makan umbi-umbian.
7. Weton = hari kelahiran menurut perpaduan hari dalam kalender masehi dan pasaran (hari) dalam kalender Jawa, rotasinya per 35 hari.
8. Kunir asem = minuman (jamu) yang terbuat dari ramuan kunyit dan asam, berkhasiat untuk detoksifikasi, melancarkan haid, mencerahkan warna kulit, dll.
9. Kunci suruh = minuman (jamu) yang terbuat dari ramuan temu kunci (Boesenbergia rotunda) dan sirih, berkhasiat untuk menghilangkan bau badan, anti keputihan, memperkuat gigi, dll.
10. Cabe puyang = jamu yang terbuat dari cabe Jawa (Piper retrofractum) dan rimpang lempuyang (Zingiber zerumbet), berkhasiat untuk menghangatkan tubuh, menjaga stamina, anti pegal-linu, dll.
11. Serbat = sejenis minuman manis yang terbuat dari buah-buahan / bahan yang diparut panjang / kasar, dicampur dengan es dan sirup / susu.
12. Wedang uwuh = minuman yang terbuat dari seduhan berbagai rempah (cengkeh, daun pala, kayu manis, kayu secang, jahe) dengan gula batu sebagai pemberi rasa manis.
13. Kecandhak = tertangani.
14. Seda (baca : sedo) = meninggal dunia.
15. Aleman = (sok) manja.
16. Nyuwun pangapunten = mohon maaf.
17. Ndherekaken = ucapan turut mengiringi kepergian seseorang.



19 komentar:

  1. Pertanyaan Seruni,itu lho mbak... Dalam benget. Hmmm dan sebenarnya jawabanya ada di hati yang nerimo. Always like this.

    BalasHapus
  2. Panjenengan punika lho....sageet kemawon anggenipun nyerat. Ingkang sami maos dados gimanaaa....ngaten lho.
    Ngrantos carios candhakipun....

    BalasHapus
  3. saget-sagetipun nyerat cerito sae sanget kados ngeten....lajeng pripun meniko Swandito sedo..mawon nggih kersane Dahlia saget balek kaleh Rengga maleh..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Walaaaah....lha kok tega saestu ta panjenengan Mbak Bektiii....

      Hapus
    2. Hahaha... malah kethoprakan... :P
      Makasih mampirnya, Mbak Bekti...

      Hapus
  4. Jadi pengin mampir ke kafenya Seruni, mau minum jamu, tan :D

    BalasHapus
  5. Jadi belajar bahasa Jawa deh aku :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... langsung praktekin, Fris... Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. seruni iku lapo takon aneh2...
    wong arepe ibar kok nokat ngalor ngidul... #gemesssss...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... onok sing nggondhoook...
      Nuwus mampire, Jeng...

      Hapus
  7. Kurang panjaaaaang ceritanya....:D
    Ada typho sedikit mbak,di catatan poin ke 14. Seda tertulis sedo,yg di dalam cerita bener...pas nulis,drijine keplicuk tithik hehhehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... itu udah sekitar 9-10 halaman A4, Mbaaak...
      Typo-nya udah tak'benerin. Makasiiih...

      Hapus
  8. Duh sepertinya dh kebaca ni akhir ceritanya...swandito sakit trus meninggal n dahlia balik lg sm rengga...kasian swandito

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Cerbung ini sudah terjadwal tayang sampai tamat di episode terakhir. Saya nggak akan mengubah apa-apa, jadi monggo diikuti cerita selanjutnya...
      Makasih mampirnya...

      Hapus