Kamis, 08 Oktober 2015

[Cerpen] Mendhol Kecing







Kulkas satu pintu di sudut dapur itu bagaikan brankas harta karun bagi Zara. Setelah melalui hari yang melelahkan di kantor, sekaranglah saatnya membuka brankas harta karun itu, mengeluarkan sesuatu dari dalamnya, membaui aromanya, menggorengnya, dan kemudian melahapnya sampai habis ditemani nasi putih hangat dan sedikit sambal.

Sebelum melakukan ritual itu, Zara terlebih dahulu menyalakan kompor dengan sebuah penggorengan kecil berisi minyak bertengger di atasnya. Dan, setelah menggosokkan-gosokkan kedua telapak tangannya dengan wajah mendamba, pelan dibukanya pintu kulkas.

Namun....

Seketika gerakan tangannya terhenti. ‘Harta’ yang tersimpan dalam sebuah kotak kecil dan diselipkannya di sudut kulkas sudah tak ada lagi wujudnya. Sudah menghilang entah ke mana. Pada detik yang sama ia tahu siapa penyebabnya. Tapi sebelum ia bergerak, sebuah suara terasa menusuk telinganya.

“Cari mendhol kecing-mu itu? Sudah kubuang. Bikin kulkas bau saja!”

“Bau gimana?” tukas Zara. “Sudah kututup rapat, kok, kotaknya.”

“Pokoknya bau!”

Tanpa bisa dicegah lagi, telaga bening mengembang di kedua mata Zara. Pelan ia menutup pintu kulkas, mematikan kompor, kemudian melangkah gontai ke kamarnya. Sambil duduk dengan wajah sedih di tepi ranjang, Zara mengelus perut yang masih belum begitu terlihat buncitnya.

“Malam ini kita ngiler bersama, ya, Nak....”

Lalu, ‘kekacauan’ hormon di awal masa kehamilan membuatnya tersedu kemudian. Membuat Dito yang pulang kerja belakangan segera memeluknya dengan sejuta rasa khawatir karena menemukannya tengah terisak hebat.

Mendhol-ku hilang,” lapor Zara dengan nada mengadu. “Dibuang Ibu.”

Jawaban yang tak disangka itu membuat Dito terperangah. Antara ikut merasa sedih sekaligus ingin tertawa. Tapi ia tak jadi melakukan hal yang terakhir itu. Tak tega.

* * *

Mendhol kecing.

Hanya lauk sederhana khas Malang, Jawa Timur. Terbuat dari tempe bosok kukus yang dihancurkan, dibumbui bawang putih, sedikiiit bawang merah, kencur, ketumbar, daun jeruk, cabe rawit atau merah, garam, dan sedikit gula, kemudian dikepal menjadi berbentuk oval kecil. Mendhol mentah itu digoreng dalam minyak panas. Aromanya khas. Kecing. Bagi sebagian orang, hampir seperti bau kaos kaki bekas pakai yang direndam tiga hari lamanya. Tapi bagi penyukanya, makin kecing aromanya, makin sempurnalah mendhol itu.

Dan, salah satu penggila mendhol kecing di dunia ini adalah Zara.

Ia merasa terberkati sejuta kali lipat ketika mendapati bahwa (saat itu masih calon) ibu mertuanya adalah salah seorang pembuat mendhol paling lezat sedunia. Keinginannya menikmati mendhol yang se-kecing-kecing-nya pada akhirnya terlampiaskan. Sebuah kenikmatan yang tak pernah didapatkannya di rumah.

Ibunya memang bukan sekali dua kali membuat mendhol untuk lauk. Tapi Ibu membenci ke-kecing-an yang sudah seharusnya melekat pada setiap gelintir mendhol. Jadi mendhol buatannya tak ubahnya tempe goreng yang dibumbui lebih. Membuat Zara dan Bapak tak pernah melirik mendhol itu sedikit pun.

Ketika harus pindah ke Jakarta mengikuti Dito, Zara tak harus seketika mengucapkan selamat tinggal pada mendhol kecing buatan ibu mertua kesayangannya. Walaupun tak bisa lagi sesering dulu menikmatinya karena jarak Malang-Jakarta lumayan jauh dan ia enggan membuat ibu mertuanya repot, tetapi paling tidak hampir dua bulan sekali ia akan menerima kiriman mendhol beku mentah dari sang ibu mertua.

Agar tak terlalu tergantung pada kebaikan hati ibu mertuanya itu, maka Zara berusaha untuk membuatnya sendiri. Tapi... hasilnya sungguh tak keruan.

“Kayak makan t*i kucing saja,” gerutunya ketika itu, sambil bersiap membuang sepiring mendhol buatannya ke tempat sampah.

“Jangan!” Larangan Dito membuat gerakan Zara terhenti. “Mendhol-mu enak, kok. Sini, aku yang habiskan! Sayang, dong, kalau dibuang. Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah makan t*i kucing, ya? Kok, tahu rasanya? Hehehe....”

Zara hanya bisa geleng kepala ketika melihat Dito dengan lahapnya menghabiskan sepiring mendhol itu ditemani segunung nasi putih hangat dan secobek sambal. Tapi ketika keesokan harinya Dito terpaksa tidak masuk kerja karena diare berat, sejak saat itu pula Zara sama sekali menghentikan eksperimennya membuat mendhol serupa buatan ibu mertuanya.

“Ini bukan karena mendhol-mu, tapi karena sambalmu benar-benar ampuh! Nendang banget,” ucap Dito, mengelus perutnya sambil meringis, sebelum masuk ke kamar mandi untuk yang kesekian kalinya.

* * *

“Kamu ini lagi hamil muda, mbok, ya, makan yang sedikit lebih bergizi,” gerutu ibunya. “Tiap pagi, kok, sarapannya mendhol. Malam juga makannya mendhol. Mendhol kecing lagi! Kalau ngidam, mbok, ya, yang agak elit dikit.”

Zara cemberut mendengar gerutuan ibunya. Segera saja dia menukas, “Wong ngidam, kok, diatur-atur harus ngidam apa. Syukur-syukur aku masih bisa makan mendhol, nggak mual tiap pagi sampai nggak bisa makan apa-apa.”

Dan, nasi goreng buatan ibunya yang lezat itu terasa makin seret di kerongkongannya. Padahal Dito sudah mulai menyantap porsi pkedua. Dalam benak Zara hanya ada bayangan mendhol yang menari-nari di atas sepiring nasi putih hangat dengan sesendok sambal di pinggirnya.

Sudah dua kali ibu Dito mengiriminya mendhol lagi setelah tragedi mendhol dibuang itu. Untuk kedua kalinya lagi Zara harus mengelus dada ketika ibunya melenyapkan lagi sisa mendhol-mendhol itu dari dalam kulkas. Ia hanya sempat menikmatinya masing-masing sekali, saat baru membawa pulang mendhol itu dari kantor. Ibu Dito sampai harus mengirimkannya ke alamat kantor Zara karena tahu bagaimana nasib mendhol-mendhol itu bila diterima langsung oleh ibu Zara.

Selera makan Zara langsung turun drastis. Membuat Dito khawatir. Tapi untuk protes pada sang ibu mertua, ia tidak berani. Takut durhaka. Daripada dikutuk jadi batu atau jambu klutuk, lebih baik ia berusaha memutar otak memikirkan cara lain.

* * *

Siang ini Zara kembali termenung di meja kerjanya. Pekerjaannya untuk hari ini sudah selesai. Kehamilan sama sekali tidak mempengaruhi kinerjanya yang sudah terkenal begitu efisien di seantero kantor.

“Kamu sore ini jadi mau ikutan hangout lagi?”

Suara itu menyentakkan Zara dari lamunan. Malas-malasan ia menoleh. Mendapati Winar tengah menatapnya. Sedetik kemudian ia mengangguk.

“Mas Dito harus lembur hari ini,” ucap Zara. “Pulangnya jam delapan. Nanti biar langsung jemput aku di tempat kita hangout.

“Jadi, kamu ikut sepengetahuan Mas Dito?” tatapan Winar terlihat menyelidik.

“Ya, iyalah....” Zara tertawa kecil. “Aku juga nggak bakal ikut kalau dia nggak ngijinin.”

“Ibumu nggak apa-apa?”

“Pret!” Ekspresi wajah Zara langsung berubah keruh. “Aku nggak kerasan di rumah juga gara-gara Ibu.”

Winar ternganga menatapnya.

* * *

Sesungguhnya yang selama ini terjadi adalah sesuatu yang melampaui hakikat sebentuk ataupun sekotak mendhol kecing. Sesuatu yang kesedapan aromanya melampaui ke-kecing-an sebentuk mendhol bagi pecintanya.

Pengertian.

Itu yang selalu Zara harapkan dari ibunya. Bahwa ia memiliki selera sendiri. Bahwa ia punya kebebasan untuk menentukan dan menikmati selera itu di rumahnya sendiri. Bahwa ia punya cara sendiri untuk menjalani dan menikmati hidupnya bersama Dito. Mendhol kecing itu hanyalah salah satu manifestasi dari pemberontakannya terhadap segala ketidak-mau-mengertian ibunya.

Pengertian itu justru lebih ia dapatkan dari ibu Dito. Seorang perempuan arif yang tak pernah mencampuri urusan anak laki-laki kesayangannya dengan sang istri. Yang justru dengan sikapnya itu berhasil memenangkan seluruh penghormatan yang dimiliki Zara. Tanpa syarat. Apalagi disertai keahliannya membuat mendhol kecing yang selalu diimpikan Zara.

Kehamilannya yang pertama ini, setelah ditunggu selama tiga tahun lamanya, rupanya membawa ‘musibah’ tersendiri bagi Zara. Ibunya segera terbang dari Malang ke Jakarta begitu mendengar kabar itu, sekitar tiga minggu yang lalu. Siap untuk mengawasinya hampir 24 jam dengan segudang ‘tidak boleh begini’, ‘harus begitu’, dan berbagai macam peraturan lain yang lebih banyak tidak masuk akalnya daripada yang dapat diterima nalar, (mungkin) hingga si jabang bayi lahir nanti. Membuat Zara dan Dito kehilangan banyak waktu untuk menikmati saat-saat bahagia itu berdua. Menikmati kelucuan ngidam Zara yang sebenarnya cukup sederhana. Hanya mendhol kecing buatan sang ibu mertua.

Menolak kehadiran beliau? Bagaimana caranya tanpa menimbulkan kesan durhaka? Itu yang membuat Zara dan Dito bingung. Sedikit banyak, akhir-akhir ini Zara mulai merasa tertekan dengan kehadiran ibunya.

* * *

Perempuan sepuh itu mengerutkan kening ketika dari jendela kamarnya ia melihat Dito pulang kerja diiringi sebuah mobil pick-up yang membawa sebuah kotak besar. Perlu dua orang untuk menurunkan kotak itu dari atas mobil. Ia buru-buru keluar dari kamar.

“Apa itu?” tanyanya lugas. “Perlengkapan bayi? Baru juga jalan empat, masih jauh dari tujuh bulan. Ora ilok. Pamali.”

“Bukan, Bu,” senyum Dito, tetap sabar seperti biasanya. “Saya belikan Zara kulkas lagi yang lebih besar.”

“Sudah punya kulkas, kok, beli kulkas lagi?” Nada suara ibu Zara mulai naik. “Mbok, ya, lebih hemat sedikit!”

Dito merasa malaikat penjaga sedang berpihak padanya. Seketika ia merasa menemukan celah untuk bicara.

“Bu, seharusnya memang satu kulkas saja sudah cukup buat kami." Suara Dito terdengar hati-hati, dan kali ini ia tak mau memberi kesempatan pada ibu mertuanya untuk memotong. “Tapi saya tahu Ibu terganggu dengan bau mendhol mentahan yang Zara simpan di kulkas dapur. Makanya saya belikan kulkas satu lagi biar Zara tetap bisa menyimpan mendhol tanpa mengkontaminasi kulkas kecil. Sekalian persiapan nanti untuk menyimpan ASI. Saya sudah konsultasi dengan dokter soal ngidam Zara. Dia mengatakan tidak apa-apa. Toh, Zara juga makan mendhol secukupnya saja. Zara sudah cukup dewasa untuk mengerti pentingnya menjaga kesehatan dirinya dan calon bayi kami. Dia sudah siap jadi ibu. Saya harap Ibu paham soal itu.”

“Kalau dia paham menjaga kesehatan, kenapa belakangan ini kerja, kok, pulangnya malam terus?” Tatapan ibu Zara terlihat menghujam Dito.

Zara memang belum pulang. Hangout lagi bersama teman-temannya. Atas persetujuan Dito, tentu saja. Dito sangat memahami alasannya. Apalagi Zara cukup kebo menjalani kehamilan pertama itu. Dito memang pernah bergabung beberapa kali dalam aktivitas itu. Hanya mengobrol sambil makan dan minum yang tidak aneh-aneh. Zara sendiri cukup cerdas untuk memilih makanan dan minuman apa saja yang sehat untuk dirinya dan bayi yang dikandungnya. Membuat Dito tak perlu mengkhawatirkan apa-apa.

“Karena dia butuh kesenangan dan ketenangan, Bu,” jawab Dito tegas. “Itu yang akhir-akhir ini dia dapatkan di luar. Jujur, dia mulai tertekan dengan kehadiran Ibu. Bukan dia tidak sayang Ibu, tapi seperti yang tadi sudah saya katakan, dia sudah cukup dewasa untuk menjalani hidupnya sendiri. Bersama saya, suaminya. Dan, sekarang sayalah yang bertugas untuk menjaganya. Bukan Ibu lagi.

"Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau ada kata-kata saya yang tidak mengenakkan Ibu. Tapi saya mulai mengkhawatirkan Zara. Saya ingin bayi kami berkembang optimal sebelum kelahirannya, Bu. Perkembangan yang hanya bisa didapat kalau Zara bahagia menjalani kehamilannya. Bukan dalam kondisi tertekan seperti sekarang ini.”

Baru saja ibu Zara hendak membuka mulut, ponsel di dalam saku dasternya berbunyi nyaring. Sejenak kemudian ia menyingkir untuk menjawab panggilan telepon itu.

Samar-samar Dito mendengar ada nada perdebatan dalam suara ibu Zara. Ia pun tersenyum sambil masuk ke dalam kamarnya untuk berganti pakaian.

* * *

Dua kejutan beruntun diterima Zara malam hari itu dan keesokan paginya. Yang pertama tentulah sebuah kulkas besar di sudut lain dapur, yang sudah terisi dua kotak mendhol kecing kiriman dari ibu mertuanya yang dikirimkan ke alamat kantor Dito dalam keadaan beku. Dan, yang kedua adalah ketika ibunya menyatakan niat untuk pulang ke Malang pada akhir minggu yang terdekat dari hari itu.

“Serius?” ucap Zara, tanpa sadar.

“Sudahlah, aku cuma mengganggu saja di sini.”

Seutuhnya telinga Zara menangkap ada nada merajuk dalam suara ibunya. Tapi dikuatkannya hati untuk mengabaikan itu.

“Bukan mengganggu, Bu." Ia kemudian menanggapi dengan tenang. “Tapi Mas Dito dan aku juga butuh waktu pribadi untuk menikmati saat indah ini dengan cara kami sendiri.”

Ibu Zara mengangkat bahu. Masih ada perasaan terusir, tapi ia berusaha untuk mencoba menempatkan diri dalam posisi Zara sebelum memutuskan untuk pulang saja ke Malang. Pada akhirnya ia memahami. Walau masih ada perasaan ‘tidak terima’.

* * *

Zara memasuki rumah mungil itu dengan langkah ringan. Tadi ketika Dito mulai membelokkan mobil mereka untuk masuk ke carport, ia seolah melihat rumahnya dinaungi halo yang berpendar indah. Mereka baru saja pulang dari bandara, mengantarkan Ibu.

“Mas, kita tidak durhaka, kan? ‘Mengusir’ Ibu dari sini?” Zara menoleh pada Dito yang mengikuti langkahnya dari belakang, sambil jemari tangannya bergerak membuat tanda kutip.

“Semoga tidak,” senyum Dito. “Kalau memang iya, jangan kaget kalau mendadak saja kita berubah jadi batu atau jambu klutuk.”

Zara tertawa panjang karenanya. Tapi tawanya terhenti ketika kemudian dilihatnya Dito mengeluarkan semua isi kulkas kecil, dan mencabut kabel kulkas itu.

“Mau diapakan, Mas?”

Dito memindahkan semuanya ke dalam kulkas baru mereka sambil mengulum senyum.

“Kulkas kecil ini sudah kutawarkan pada Pak Priyo,” jawab Dito sembari menyebutkan nama tetangga mereka yang rumahnya berada di ujung jalan. “Dia mau. Sore ini mau diambil.”

“Hm...." Zara mengulum senyum. “Plan B, rupanya?”

Dito menggeleng. “Plan C.”

Zara menatap Dito dengan heran. “Plan A, beli kulkas lagi. Plan C, jual kulkas lama. Plan B?”

Dito terbahak sambil memeluk Zara.

* * *


Epilog


Dengan dada berdebar, Dito menunggu panggilan teleponnya tersambung. Beberapa saat kemudian ada sapaan ramah dari seberang sana.

“Ya, halo... Dito, apa kabar?”

“Selamat siang, Pak,” ucap Dito, takzim.

“Zara bagaimana? Ibu?”

“Ehm, begini, Pak. Saya terpaksa menelepon Bapak. Soal Zara dan Ibu. Sebenarnya... ... ... ...”

Dito berusaha keras menjaga suaranya agar tidak terdengar sedikit pun nada ‘mengadu’. Dan, jawaban yang Dito dapatkan kemudian sungguh melegakan hatinya.

“Hmm.... Ibunya Zara memang begitu, suka sekali sok sibuk. Malah bikin repot orang lain saja. Baik, nanti sore Bapak telepon Ibu, Bapak paksa biar Ibu mau secepatnya pulang ke sini.”

Plan B!

Dito tersenyum puas.

* * * * *

Ilustrasi : diambil dari sebuah situs yang lupa nama dan URL-nya. Yang jelas, bukan gambar milik saya sendiri.


16 komentar:

  1. Akhire kok pakai bahasa Indonesia Mbak? Tapi sing boso jowo critane yo podho?
    Babahno podho tah ngak podho tah...pokoke apik!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sing boso Jowo gagalll
      Nuwus mampire, Mbak Boss...

      Hapus
  2. Wah, sayang waktu ke Malang nggak nemu makanan ini, mungkin kalo Tante lagi nggak sibuk bisa bikinin makanan ini buat saya? Waaaaakkkkk #plaaaakkk! =D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah, itu guide-nya harus tanggung jawab tuh!
      Makasih mamprnya ya...

      Hapus
  3. Aku geli banget. Asli. Malah ga cocok ama mak sendiri gmn ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya kalo emaknya terlalu bawel dan maunya ikut campur melulu? ;)
      Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
  4. Lamaaaa...ngga bikin mendolll....hihihi

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mauuu, Mbaaak...
      Nggak bisa bikin mendhol di sini. Tempenya udah lain hiks!
      Makasih mampirnya ya, Mbak...

      Hapus
  5. Hm, penasaran sama mendol tempe, rasanya pasti enak deh.

    BalasHapus
  6. Balasan
    1. Hihihi... emas permata lewaaattt...
      Makasih mampirnya, Mas...

      Hapus
  7. hahahha, nggak tahu rasanya mendhol kecing mba. btw...makanan sederhana bisa dijadikan cerita, Top.

    maksih idenya mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mampirnya, Mbak Fid. Maaf, baru bales. 😘😘😘

      Hapus