Kamis, 26 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #12







Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #11


* * *


Dua Belas


Entah sudah berapa lama Swandito tertidur. Yang jelas ia terjaga dengan perut terasa keroncongan. Ia menyipitkan mata ke arah jam dinding. Sudah pukul dua siang.

Lama juga aku tertidur...

Swandito memejamkan matanya beberapa kali. Saat itulah samar-samar ia mendengar ada percakapan di luar kamarnya. Ia tak bisa mendengarnya dengan jelas karena pintu kamar tertutup rapat.

“Jeng...,” panggilnya.

Hingga beberapa saat lamanya tak ada orang yang datang. Dilihatnya di atas nakas masih ada beberapa keping biskuit dan segelas teh yang masih penuh tapi sudah dingin. Diraihnya biskuit-biskuit itu dan dimakannya pelan-pelan. Terakhir, diminumnya beberapa teguk teh yang terasa manis itu.

Pelan disingkirkannya selimut dari atas tubuh. Ketika ia bangun, dirasanya kepalanya tidak begitu pusing dan ia pun merasa sudah tak selemas tadi. Dengan hati-hati ia menapakkan kakinya ke lantai. Ketika merasa cukup kuat, ia pun berdiri. Sempat limbung sejenak, tapi ia bisa juga melangkahkan kakinya dengan tangan bertumpu pada apa saja yang ada di dekatnya.

Ia merasa lega ketika mencapai pegangan pintu. Ketika ia membuka pintu, dua kepala langsung menoleh ke arahnya. Yang seorang buru-buru berdiri dan melangkah mendekat untuk menyambutnya. Dahlia.

“Mas sudah bangun? Lapar ya?”

Swandito mengangguk.

“Atau perutnya sakit lagi?”

Swandito menggeleng.

“Rebahan lagi, Mas,” Dahlia mencoba membimbing Swandito kembali ke ranjang. “Kan ngendikane Paklik, panjenengan harus istirahat total seharian ini.”

Swandito menatap rona cerah di wajah Dahlia. Dengan ekor matanya, ia menangkap bahwa orang yang tadi bercakap-cakap dengan Dahlia pun turut berdiri. Sejenak Swandito lupa bernapas.

Rengga. Laki-laki itu pun menghampirinya, kemudian menjabat tangannya dengan hangat.

“Bagaimana keadaan panjenengan, Mas?” Rengga tak melepaskan tangan Swandito. Sebaliknya, ia tetap menggenggam tangan itu, dan tangan yang sebelah lagi melingkar di sekeliling bahu Swandito. Menopang Swandito melangkah tegak menyeberangi kamar kembali, ke arah ranjang.

“Sudah mendingan kok, Mas,” jawab Swandito, agak rikuh dengan perlakuan Rengga. “Terima kasih.”

“Aku sengaja ndak membangunkan panjenengan,” Dahlia menatap Swandito dengan senyum di wajahnya. “Panjenengan ndak bisa tidur semalaman, jadi pastinya mengantuk sekali.”

Swandito hanya mengangguk. Sejenak kemudian Dahlia sudah menata beberapa bantal sehingga Swandito dapat duduk bersandar dengan nyaman di atas ranjang.

“Mas,” Dahlia menoleh ke arah Rengga, “tolong panjenengan temani Mas Swan sebentar ya? Aku ambil makanan dulu buat Mas Swan.”

Rengga mengangguk. Seiring dengan perginya Dahlia, Rengga menarik sebuah ottoman dari depan meja rias, kemudian mendudukinya. Rengga menatap Swandito. Keprihatinan tampak nyata di matanya.

Panjenengan terlalu capek kelihatannya, Mas,” tak ada nada sok tahu sedikit pun dalam suara Rengga. “Ndherek belasungkawa atas berpulangnya ibu panjenengan. Saya baru tahu tadi dari Jeng Lia.”

Nggih, Mas,” Swandito mengangguk sedikit. “Matur nuwun1). Sendirian tadi ke sini?”

“Iya, Mas.”

Panjenengan makan dulu, Mas,” Dahlia muncul tak lama kemudian. Ada sebuah mangkuk di tangannya. Diserahkannya mangkuk itu pada Swandito. Berisi kentang tumbuk, telur rebus, dengan tambahan sedikit kuah kaldu. “Mas Rengga dan aku tadi sudah makan duluan.”

“Wooo... Lha piye, kok aku jadi makan sendirian?” Swandito mencoba untuk bersikap biasa.

Ndak apa-apa, Mas,” Rengga tersenyum lebar.

“Saya makan dulu ya?”

Monggo, selamat menikmati...

Tatapan Swandito jatuh pada Dahlia. Dahlia balas menatapnya, menggoda.

“Mau disuapi?” Dahlia mengangkat alisnya, dengan sorot mata dipenuhi tawa. Membuat Swandito jengah. Tatapan Dahlia kemudian beralih pada Rengga. “Tadi katanya panjenengan mau ngendikan langsung sama Mas Swan? Monggo lho...”

“Hm... Iya...,” Rengga kelihatan sedang menata betul ucapannya. “Begini, Mas. Kalau seandainya Mas Swandito nanti kami minta jadi saksi nikah, kira-kira bersedia ndak?”

Swandito berusaha untuk tidak ternganga. Tapi gagal.

“Soalnya kami rencanakan acaranya akan berlangsung di Jakarta. Masih beberapa bulan lagi. Masuk ke tahun depan. Saya tahu panjenengan orangnya sibuk, makanya saya minta waktunya dari jauh-jauh hari.”

Swandito terdiam. Terduduk kaku dengan tangan masih memegangi mangkuk di pangkuannya. Sejenak kemudian ditatapnya Dahlia.

“Kalau sudah direncanakan seperti itu, berarti proses kita harus dilakukan secepatnya,” Swandito setengah menggumam.

“Proses apa?” Dahlia mengerutkan kening.

“Perceraian kita,” suara Swandito menghilang.

Panjenengan serius mau menceraikan aku?” mata Dahlia mengerling, menggoda. “Alasannya?”

“Sebentar... sebentar...,” Rengga mengangkat tangannya. “Aku kok jadi bingung?” Ditatapnya Dahlia, “Sliramu belum cerita apa-apa sama Mas Swandito?”

“Belum,” Dahlia menggeleng dengan wajah polos.

Rengga menghela napas dengan wajah gemas. “Sliramu ini lho, kok tega-teganya jahil sama suami sendiri?”

Dahlia tertawa. Diraihnya sebelah tangan Swandito, kemudian dibawanya ke pipi. Ditatapnya laki-laki itu. Dalam.

“Mas...,” ucapnya lembut. “Ndak akan ada perceraian di antara kita. Yang akan dinikahi Mas Rengga bukan aku, tapi bulik-nya Lili, adik suwargi Mbak Rana. Namanya Denna.”

Swandito ternganga.

* * *

Nesu2)...,” Dahlia menyenggol lengan Swandito.

Swandito diam saja. Memejamkan mata. Dahlia menggulingkan badannya, berbaring miring menghadap Swandito yang masih telentang.

“Mas...”

Swandito tetap diam.

Nesu tenan ik3)...,” gumam Dahlia. Ia kemudian kembali berbaring telentang. “Seharusnya yang marah itu aku,” ucapnya kemudian. “Ndak ada angin, ndak ada hujan, kok tahu-tahu mau dicerai. Cuma gara-gara aku ketemu lagi sama mantan. Ketemunya ndak sengaja pula.”

Diam-diam Swandito mendengarkan semua keluhan Dahlia.

“Ya aku akui, memang agak goyah karena sejujurnya rasa cinta itu masih ada. Apalagi hampir semua orang seolah mendorongku untuk meraih kembali cinta itu. Bahkan garwaku sendiri. Seolah aku sekarang ini hidup cuma untuk menebus apa yang ndak bisa aku peroleh di masa lalu. Seperti ndak ada hal lain yang lebih penting saja.”

Pelan tangan Swandito bergerak. Mencari tangan Dahlia. Kemudian menggenggamnya ketika ketemu. Dahlia tersentak karenanya. Ia menolehkan kepalanya ke arah Swandito.

“Maafkan aku, Jeng,” ucap Swandito. Pelan ia menolehkan kepalanya ke arah Dahlia, kemudian diikuti dengan badannya. “Aku hanya ingin panjenengan bahagia.”

Dahlia menggulingkan badannya lagi. Kini berhadapan dengan Swandito.

“Aku tahu panjenengan mungkin ndak akan pernah bisa mencintaiku,” bisik Dahlia. Tangan kanannya yang bebas mengelus pipi Swandito yang terlihat sedikit lebih tirus daripada biasanya. “Tapi kemauan panjenengan untuk meninggalkan masa lalu itu bagiku jauh melebihi cinta. Sebelum kita menikah, panjenengan mengatakan bahwa merasa nyaman berada di dekatku. Aku pun merasakan hal yang sama. Hubungan kita istimewa. Kita sama-sama berangkat dari ketidaksempurnaan. Karenanya kita lebih bisa saling menghargai dan selalu berusaha untuk menjadi teman hidup yang baik satu sama lain.”

Dahlia memejamkan mata ketika tangan kiri Swandito terulur. Membelai lembut kepalanya.

“Ketika aku memutuskan untuk mau menikah dengan panjenengan,” lanjut Dahlia sambil membuka mata, “aku sudah siap untuk menghadapi semua kemungkinan terburuk. Tapi apa yang kudapatkan? Semuanya jauh melampaui mimpi yang pernah kubangun tentang sebuah pernikahan. Semua yang kujalani bersama panjenengan itu selalu membuatku merasa tenteram, ndak perlu mengkhawatirkan apa-apa, bersyukur atas setiap hari yang berlalu bersama panjenengan. Itu sudah lebih dari cukup buatku. Lalu panjenengan sendiri bagaimana, Mas?”

Swandito menggenggam kedua tangan Dahlia.

“Aku...,” terlihat sekali Swandito kesulitan untuk menemukan kata. “Aku sebenarnya sama sekali ndak ingin kehilangan panjenengan. Aku ndak tahu caranya mencintai lawan jenis, tapi buatku panjenengan ini setengah nyawaku. Kalau disuruh menjelaskannya, aku ndak bisa. Yang pasti, aku merasa ndak ada artinya apa-apa tanpa panjenengan di sampingku. Tapi... aku hanya ingin panjenengan bahagia, Jeng...”

“Aku bahagia,” tukas Dahlia halus. “Rasa syukur itu membuatku bahagia. Katakanlah kita memang ndak menjalani pernikahan yang menurut orang lain normal, tapi apa yang sebenarnya kita butuhkan? Kita sama-sama butuh teman hidup yang tak pernah saling menuntut. Dan kita sudah memilikinya. Bagiku semua ini sudah pas pada tempatnya.”

Swandito masih menatap Dahlia. Lama. Dalam. Dan di relung tersembunyi mata Dahlia, ia mendapati bahwa semua ucapan Dahlia benar adanya.

“Jadi... Panjenengan memang betul-betul ndak tergoda untuk memulai hal yang baru dengan Rengga?” tanya Swandito, hati-hati.

“Hm... Pada awalnya, iya,” Dahlia mengerjapkan mata. Berusaha untuk mengungkapkan kejujuran. “Karena begitu banyak yang mendukungku untuk kembali dengan Mas Rengga. Bahkan panjenengan sendiri seolah memberiku jalan selebar-lebarnya. Tapi kemudian aku bicara dengan Ibu.

“Aku bertanya pada Ibu banyak hal tentang hubungan Ibu dengan Romo, karena aku merasa bahwa Romo dan Ibu adalah pola yang pas untuk kuikuti. Romo selalu menjaga hati, selalu menghargai Ibu, keduanya juga berteman dengan baik, saling mencintai, saling mengikatkan diri. Benar-benar menganggap satu sama lain sebagai sigaraning nyawa.

“Dan ketika kurenungkan kembali, aku menemukan pola yang sama pada pernikahan kita. Walau pasti ada yang berbeda, tapi tetap saja hal-hal yang pokok itu sama dengan yang kita miliki. Haruskah aku mempertaruhkan semuanya untuk suatu hal yang tidak pasti hanya dengan bermodalkan cinta lama yang aku sendiri ndak yakin kadarnya masih seberapa?

“Saat itulah aku memutuskan untuk melangkah pada jalur yang sudah ditetapkan ini. Pernikahan istimewa kita. Dalam ruang ketiga kehidupanku. Kehidupan kita. Di mana aku mendapatkan banyak kebahagiaan di dalamnya, bersama panjenengan, teman hidupku, sigaraning nyawaku...

Lama Swandito tercenung. Merenungkan semua ucapan Dahlia. Lalu ia teringat sesuatu.

Panjenengan benar-benar menggodaku soal Rengga ini,” desah Swandito kemudian.

“Sengaja,” Dahlia tersenyum lebar. “Supaya panjenengan besok-besok ndak lagi seenak udel panjenengan memutuskan sendiri sesuatu tentang kita.”

Swandito tertawa ringan. Beberapa detik kemudian mereka kembali bertatapan.

“Maafkan aku, Jeng,” ucap Swandito sungguh-sungguh. “Tentunya aku sudah membuat hidup panjenengan jadi makin ndak tenang akhir-akhir ini.”

Ndak apa-apa... Toh panjenengan sudah menebusnya dengan sakit begini. Muara dari stress panjenengan sendiri memikirkan hal yang sebetulnya ndak perlu dipikirkan.”

“Tapi enak sakit begini,” ucap Swandito dengan nada jahil. “Selalu ditemani, diperhatikan, dirawat baik-baik.”

“Hm... Kalau tahu ada yang sengaja aleman begini mendingan aku luluran saja di salon,” Dahlia mengerling sadis.

Swandito terbahak.

“Sudah, mandi dulu sana,” Dahlia menarik tangan Swandito. “Keburu tambah sore. Nanti perutnya ndak enak lagi...”

“Terus, kapan panjenengan mau cerita soal kencan sama Rengga?”

“Yang mana?”

“Waktu aku kembali ke Jogja, sebelum besoknya berangkat ke Singapura itu...”

“Haish... Sana mandi dulu! Nanti saja dongengnya, menjelang tidur.”

Swandito tergelak sambil bangkit dari ranjang.

* * *

“Aku... ingin bicara... tentang kita...,” ucap Dahlia kemudian, terbata.

Rengga duduk diam, berusaha menyimak baik-baik semua perkataan Dahlia.

“Aku ingin bertanya pada panjenengan, Mas. Apakah panjenengan benar-benar ingin kita melanjutkan semua yang sudah terputus di antara kita?”

Rengga menatap Dahlia. Dan jawaban itu meluncur begitu saja dari sela bibirnya, “Aku ndak tahu, Jeng...”

Keduanya bertatapan. Rengga kemudian berusaha mengumpulkan kembali semua pemikiran yang telah menyimpul di otaknya, kemudian mengutarakannya pelan-pelan.

“Sliramu bahagia dalam perkawinan itu, Jeng?”

“Ya, aku bahagia,” suara Dahlia terdengar tegas.

“Sliramu masih mencintai aku?”

“Mungkin...,” Dahlia berubah menjadi ragu-ragu. “Aku ndak tahu masih sebesar apa. Karena jujur, aku sudah ndak pernah memikirkannya lagi.”

“Hm...,” Rengga tertunduk sejenak, sebelum mengangkat lagi wajahnya. “Sebetulnya suwargi Rana pernah berpesan padaku untuk mencari ibu yang baik buat Lili. Aku yakin sliramu adalah seorang ibu yang baik buat Lili. Masalahnya, sliramu sudah menikah. Dan aku melihat ndak ada yang salah dengan pernikahan itu. Di lain pihak, ada Denna...”

“Denna?” mata Dahlia menyipit sekilas dengan kening berkerut.

“Denna itu satu-satunya bulik-nya Lili, adik suwargi Rana,” Rengga menyandarkan punggungnya pelan-pelan. “Lili dekat dengan Denna. Aku tahu Denna sangat menyayangi Lili. Dua hari yang lalu Denna kemari. Dia sengaja mengambil cuti tahunan untuk menghabiskan waktu bersama Lili. Kelihatan sekali dia kangen banget pada Lili. Dia menginap di rumah Bapak dan Ibu. Dan semalam, Bapak dan Ibu memanggilku, untuk membicarakan kemungkinan aku menikahi Denna. Hanya saja, aku belum punya jawabannya.”

Hening sesaat. Hanya terdengar dua napas panjang yang terhela bersamaan.

“Mas...,” gumam Dahlia beberapa detik kemudian. “Panjenengan percayakah pada pertanda-pertanda yang saat ini sebetulnya sedang kita hadapi?”

“Maksudnya bagaimana, Jeng?” Rengga mengerutkan kening.

“Maksudku..., aku ndak tahu apakah aku tepat menerjemahkannya ataukah tidak. Tapi, coba panjenengan pikir, kita bertemu lagi dalam keadaan seperti sekarang, ketika salah satu dari kita masih punya pagar tinggi bernama pernikahan. Sementara panjenengan, walaupun sudah bebas, tapi ternyata masih memiliki kemungkinan jalan lain untuk panjenengan lalui. Masih ada seorang Denna, yang kemungkinan besar jauh lebih baik daripada aku dalam merawat panjenengan dan Lili. Bagaimana menurut panjenengan?”

Rengga tercenung lama. Dicobanya untuk mencerna ucapan Dahlia baik-baik dalam otaknya. Makin ia berpikir, seolah semua tirai makin terbuka dan segalanya jadi terang.

“Jeng...,” ucapnya kemudian, lirih. “Kita masih bisa menikmati bahagia itu walaupun kita tidak bersama kan?”

Dahlia mengangguk.

“Kita masih bisa meraih kebahagiaan itu kalau kita mau berjuang kan?”

Dahlia kembali mengangguk.

“Berjuanglah untuk terus-menerus meraih bahagia itu bersama garwamu, Jeng. Dan aku akan berjuang untuk meraihnya bersama Lili dan Denna. Bagaimana?”

“Kita masih punya kesempatan itu, Mas. Itu yang harus kita gunakan baik-baik. Bersama keluarga kita masing-masing. Kita berhak atas itu, setelah semua hal buruk yang pernah kita alami dalam kehidupan kita masing-masing.”

Rengga mengangguk mantap.

“Aku banyak mendengar soal kepahitan yang sliramu alami dalam pernikahan terdahulu. Sedih sekali mendengarnya,” gumam Rengga kemudian.

“Semuanya sudah berlalu. Gusti mboten nate sare, Mas. Terbukti sekarang semuanya sudah berakhir.”

“Ya. Aku pun begitu. Aku cukup merasa berarti sudah memberi banyak kebahagiaan buat suwargi Rana. Dan masih ada seorang Dahlia kecil yang boleh kumiliki. Hidupku, cahayaku, permata hatiku.”

“Jadi kehidupan kita sekarang sudah pas pada tempatnya kan?” senyum Dahlia.

“Ya,” Rengga mengangguk mantap. “Sangat pas. Walaupun kita tetap tak bisa bersatu.”

* * *

“Ayo, Jeng...” seperti biasa, Swandito mengulurkan tangannya pada Dahlia sambil berdiri dari duduknya.

Sudah ada panggilan bagi para penumpang untuk naik ke sebuah pesawat jurusan Jakarta. Dahlia menyambut uluran tangan itu, lalu mereka bergandengan tangan, berjalan berdampingan menuju gerbang keberangkatan. Haryo dan Kusrini telah melangkah terlebih dahulu di belakang Eyang Murti yang tangan kanan dan kirinya digandeng Candra dan Bintang. Di belakang Dahlia dan Swandito masih ada Srikandi dan Priyo. Sebuah rombongan keluarga bahagia yang akan menghadiri acara ngundhuh mantu.

Seperti biasa pula, sebelah tangan Priyo merengkuh bahu Srikandi. Memberinya perlindungan yang selalu terasa hangat. Srikandi menengadah sedikit, membisikkan sesuatu. Dan seperti biasanya pula, Priyo membungkuk sedikit, mendengarkan baik-baik.

“Aku kok ndak yakin Swandito itu benar-benar ndak bisa mencintai Ndhuk,” lirih suara Srikandi.

“Cinta itu bermacam-macam, Jeng,” Priyo menanggapi dengan suara rendah. Tersenyum. “Swandito mencintai Dahlia dengan caranya yang lain. Dan mungkin juga mereka saling mencintai bukan dengan cara yang kita kenal.”

Srikandi mengangguk-angguk. Dalam banyak hal, Priyo selalu benar. Tapi bagi Priyo, Srikandilah yang selalu benar.

* * *


Epilog


“Kau mau ke mana?”

Denna menghentikan gerakan tangannya, memasukkan semua bajunya ke dalam kopor. Ditatapnya Rengga dengan mata kelam. Tapi dicobanya untuk tersenyum.

“Pulang, ke Jakarta.”

Rengga mengerutkan kening. “Bukannya cutimu masih lama?”

“Semuanya sudah selesai di sini,” ucap Denna, terdengar sangat sedih. “Tolong jaga Lili, Mas. Katakan padanya juga untuk mencintai dan merawat Lili baik-baik. Kalau tak bisa dan Lili sampai terlantar, aku tak akan segan-segan membawa Lili menjauh dari kehidupanmu.”

“Katakan pada-NYA?” Rengga tersenyum, berlagak bodoh. “Siapa?”

“Siapa lagi?” Denna menatap Rengga dengan gemas. “Calon istrimu itu! Mantan pacarmu itu!”

Rengga menyipitkan matanya. “Kau menguping pembicaraanku dengan Ibu?”

Denna mengalihkan tatapannya. Ia membungkuk untuk menutup kopornya.

“Lain kali kalau menguping jangan tanggung. Lakukan sampai selesai. Supaya ndak salah paham,” ucapan Rengga terdengar lebih mirip gumaman.

Denna menegakkan punggungnya. Ditatapnya Rengga dengan sengit. Tapi ia tak mampu menanggapi lebih lanjut ucapan Rengga. Rengga mendekatinya. Tersenyum.

“Tolong jangan pulang dulu,” ucap Rengga, halus. “Jangan pergi. Lili membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu untuk membantu merawat Lili...”

Kening Denna berkerut karenanya. Rengga makin dekat. Dan kini mereka berdiri berhadapan. Rengga memegang lembut kedua bahu Denna dengan tangannya yang kukuh.

“... dan menemukan kembali cintaku. Kau memang bukan Rana. Bukan Dahlia. Tapi bagiku kau yang terbaik. Untuk menemaniku dan Lili. Selamanya.”

Denna ternganga. Tak bisa bergerak. Pun ketika Rengga menenggelamkannya ke dalam pelukan.

“Kau yang diminta Lili untuk jadi ibunya. Bukan orang lain,” ucap Rengga, lembut. “Kau pula yang hendak kuminta untuk menjadi pendamping hidupku berikutnya. Bukan orang lain.”

“Lalu... dia?” hanya itu yang bisa dibisikkan Denna.

“Hanya sekeping pecahan masa lalu yang kebetulan terlihat kembali...”

“Oh...”

Pelan, Denna membalas pelukan Rengga.

* * * * *

S.E.L.E.S.A.I


Catatan :
                                             
1. Matur nuwun = terima kasih.
2. Nesu = marah ; ngambek.
3. Nesu tenan ik = benar-benar ngambek nih.


24 komentar:

  1. Akhirnya happy ending seperti harapan sy...keren bgt mba lizz smpe sy ikut kebawa bahagianya,ikut senyum2 bahagia...TOP BGT

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih mampirnya, Mbak Tri... Silakan mampir lagi ke cerpen stripping yang mulai tayang hari ini...

      Hapus
  2. “Begini, Mas. Kalau seandainya Mas Rengga nanti kami minta jadi saksi nikah, kira-kira bersedia ndak?”

    kayaknya bukan mas rengga deh...
    mas swandito tuh...

    selebihnya... TOP MARKOTOPPPPP...
    batal dah nyuci pake rinso...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya Mbak Dani....aku juga mau komen soal typo itu. Kalau lainnya...seperti biasa penyelesaian konflik yang diluar dugaan. Great!
      Ajari to nulis sing koyo ngene...please...#pasang muka melas

      Hapus
    2. Makasih mampirnya, Jeng dan Mbak...
      Udah diedit dari jaman Jepang ya, makasih...

      Hapus
  3. Bahagia di kehidupan masing-masing.

    Seru ceritanya Mba Lis....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Afris... Mampir ke cerpen stripping terbaru yuuuk...

      Hapus
  4. (buatku) ending ndak penting sewaktu membaca cerita ini. Aku mencari isinya. Penuh .... itu yg kutemukan dng melihat suatu cara pandang & filosofi yg dalam.
    Ini salah 1 karya terbaikmu. Maju terus dik! Gusti mberkahi ....

    BalasHapus
  5. Bahagia itu unik, ukuran kebahagiaan kita nggak bisa diterapkan pada orang lain. Cerita yang manis dan menggugah. Makasih bu Lis utk ceritanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama-sama, Bu... Makasih juga buat kesetiaannya mampir ke sini.

      Hapus
  6. Matur nuwun sampet saged nderek maos cerita ingkang sae puniko....

    BalasHapus
  7. Aq terpesona to the max sampek ga isa komen mba

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jiaaah...
      Ada stripping baru, Nit. Mampir yuk!
      Makasih ya...

      Hapus
  8. Bookmark wis lengkap kari mocone. Super recommended jarene nyonya :D

    BalasHapus
  9. Oh akuu sukaaaaa sekali akhir yang indaaaah bingit. Bagus banget bu cerbungnya (y) Maksih ya buu.. enak dinikmati.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh... aku suka Mbak Indah juga suka cerbungku...
      Makasih ya, Mbak...

      Hapus
  10. Telaaaat...suka endingnya..semua bahagia...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, Mbak Retno... Telat nggak disetrap kok, hihihi...

      Hapus