Senin, 23 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #11







Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #10


* * *


Sebelas


Udara cerah Jogja sore hari menyambut Swandito ketika turun dari pesawat yang ditumpanginya dari Denpasar, menyambung perjalanannya dari Perth. Tapi semua itu sungguh berbanding terbalik dengan suasana hatinya. Deretan huruf dalam BBM yang kemarin dikirimkan Dahlia seolah terus bermain di depan matanya.

‘Aku senang panjenengan pulang besok. Sehingga semuanya tentang kita yang begitu melelahkan akhir-akhir ini bisa secepatnya berakhir.’

Swandito menghela napas panjang sambil menunggu taksinya. Semuanya yang sudah diawali pasti akan berakhir juga. Demikian pula perjalanan bisnisnya yang melelahkan. Ditambah dengan kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya ketika sampai di rumah.

Rumah? Yang akan diwarnai sebuah perpisahan?

Swandito menelan ludah dengan susah payah. Tampaknya ia memang harus segera pulang ke rumah. Bertemu kembali dengan Dahlia. Menerima penentuan nasibnya kemudian. Nasib yang sudah ia sodorkan pada Dahlia untuk dieksekusi.

Turun dari taksi, dengan letih Swandito menyeret kopornya masuk ke dalam rumah dan meninggalkannya di dekat pintu. Kemudian, sambil sejenak berbaring di atas ranjang, ia menelepon orang kepercayaannya.

“Iya, Mayang, aku sudah pulang,” ucapnya begitu terdengar sahutan dari seberang sana. “Aku langsung mau ke Solo sekarang juga. Tolong handle semuanya dulu sampai aku pulang dari Jakarta ya? Terima kasih.”

Pelan Swandito bangun. Dicarinya kunci mobil di dalam sebuah laci. Sejenak kemudian ia sudah memasukkan kopornya tadi ke dalam SUV-nya, mengunci pintu rumah, dan mulai meluncurkan mobilnya.

* * *

Dengan halus Karsiman membelokkan mobil yang dikemudikannya.

“Nanti kalau Pak Siman mau pulang, pulang saja langsung, Pak. Ndak apa-apa ndak usah pamitan lagi,” celetuk Dahlia.

Nggih, Bu...”

Dahlia turun dari mobil sebelum mencapai pintu garasi yang tertutup rapat. Dibiarkannya Karsiman mengurusi city car itu. Dengan lelah ia menyeret langkahnya masuk ke dalam rumah yang pintunya tadi terkunci. Arloji di tangan kirinya sudah menunjukkan pukul delapan. Tentu saja Mbok Saminten sudah pulang sejak sebelum pukul lima tadi.

Sambil menghembuskan napas keras-keras ia membuka pintu kamar. Gelap. Dijangkaunya saklar lampu.

“Jeng...”

Gusti Allah!” Dahlia memekik seketika.

Panggilan itu menggema bersamaan dengan menyalanya lampu. Membuat Dahlia sangat kaget. Seiring dengan pekikan Dahlia, Swandito bangkit dari posisi berbaringnya dengan wajah kaget juga.

Dahlia masih berdiri terpaku dengan tangan di dada. Ditatapnya Swandito dengan mata lebar. Swandito turun dari ranjang. Sedetik terhuyung sebelum kembali terduduk.

“Mas!” Dahlia memburunya. “Sakit?”

Ndak... Cuma terlalu lelah,” Swandito berusaha untuk tersenyum. “Sama kaget karena tiba-tiba lampu menyala. Pening sedikit.”

“Tadi sampai sini jam berapa?” Dahlia duduk di tepi ranjang, memperbaiki selimut Swandito yang sudah kembali berbaring.

“Belum lama kok. Dari bandara aku pulang sebentar ambil mobil, terus langsung ke sini.”

“Sudah makan?”

Swandito menggeleng.

“Pantesan lemas,” gumam Dahlia. “Sudah kurang istirahat, belum makan pula. Sebentar aku mandi dulu, setelah itu kubelikan nasi goreng di pojokan.”

“Tolong nanti belikan yang kambing ya, Jeng. Pedas.”

Dahlia mengangguk. Tanpa suara.

* * *

Hampir pukul sembilan ketika Dahlia kembali masuk ke dalam rumah dengan menenteng kantong berisi dua bungkus nasi goreng. Ia langsung ke dapur, mengambil piring dan sendok, kemudian memindahkan nasi goreng itu ke atas piring tanpa membuka bungkusnya. Didengarnya langkah kaki di belakangnya.

“Jeng, sudah pulang?”

“Iya, Mas. Sudah...”

“Ada nasi gorengnya?”

Dahlia mengangguk sambil berbalik. Disodorkannya piring berisi bungkusan nasi goreng dengan karet merah pada Swandito. Nasi goreng kambing pedas. Untuknya sendiri seperti biasa, magelangan pedas.

Mereka menikmati nasi goreng itu dalam diam, sambil menonton televisi. Sebetulnya Dahlia ingin sekali mengucapkan banyak hal. Tentang semua yang dirasakannya. Tentang keputusan yang sudah ia ambil. Tapi entah kenapa ia tak mampu mengolah perbendaharaan katanya. Apalagi sudah dilihatnya wajah lelah Swandito. Perbendaharaan katanya makin hilang saja.

Matanya jelas melihat sosok Swandito saat ini lebih kurus daripada ketika mereka terakhir bertemu sepuluh hari yang lalu, saat Swandito pulang untuk mengambil paspor dan beberapa pakaiannya. Tapi ia ingin tetap menyimpan semuanya hingga esok hari. Ketika Swandito sudah cukup beristirahat.

“Semua baik-baik saja di sini, Jeng?” suara Swandito tiba-tiba memecah keheningan.

“Ya,” jawab Dahlia, pendek.

Romo, Ibu, dan Eyang sehat semua?”

“Iya, sehat.”

Panjenengan?

Dahlia menghentikan kunyahannya. Ditatapnya Swandito sebelum menjawab, “Ya, aku baik-baik saja.”

Swandito mengangguk. Tersenyum.

“Perjalanan panjenengan juga lancar?”

“Ya.”

“Capek?”

Swandito kembali tersenyum. “Lumayan.”

“Aku kira baru besok pagi panjenengan pulang ke sini.”

Ndak, Jeng... Ndak tahu, aku ingin saja pulang ke sini secepatnya.”

Tak lama kemudian acara makan malam darurat itu pun selesai. Dahlia membawa piring dan bungkus bekas nasi goreng ke dapur, sementara Swandito keluar untuk menggembok pintu pagar dan mengunci pintu depan. Keduanya lalu bertemu di dalam kamar. Bergantian memakai kamar mandi untuk menyikat gigi, kemudian berbaring dengan nyaman di atas ranjang.

Kerinduan itu ada. Penuh. Pekat. Tapi keduanya seolah sepakat untuk menahannya dalam hening. Dan hal yang paling memungkinkan agar semuanya segera berlalu adalah memejamkan mata. Itu yang dilakukan Dahlia dan Swandito. Hampir berbarengan.

* * *

Dahlia terjaga tiba-tiba. Ada desah halus yang mampir ke telinganya. Juga terasa ada gerakan tiba-tiba. Ketika ia berbalik untuk menghadap ke arah Swandito yang berbaring di belakang punggungnya, laki-laki itu tidak ada. Yang ada selanjutnya hanya bunyi gemercik air di kamar mandi. Dahlia melihat ke arah jam digital di atas meja dengan mata setengah terkatup. Hampir pukul dua dini hari.

Swandito keluar dari kamar mandi tak lama kemudian. Langsung keluar pula dari kamar. Tak tahu bahwa Dahlia telah terjaga. Dahlia mengikuti gerakan Swandito dengan matanya dalam keremangan kamar. Beberapa menit kemudian telinganya menangkap ada suara denting sendok beradu dengan gelas. Segera saja ia memutuskan untuk bangun dan keluar dari kamar.

Dahlia melangkah tanpa suara ke dapur. Kemudian dilihatnya Swandito sedang duduk diam sambil sesekali meneguk segelas minuman berwarna pekat di depannya.

“Mas...,” panggil Dahlia lirih sambil terus mendekat, supaya Swandito tidak terlalu kaget.

Tak urung rasa terkejut meronai wajah Swandito. Ditatapnya Dahlia dengan rasa bersalah.

“Jadi ikut terbangun, Jeng?”

Dahlia duduk di sebelah Swandito. “Apa itu?”

“Teh sepet1).”

“Memangnya gulanya habis?” Dahlia mengerutkan kening sambil beranjak untuk memeriksa stoples gula di dalam lemari dinding.

“Masih ada, tapi ndak usah, Jeng,” suara Swandito menahan langkah Dahlia. “Aku diare. Makanya bikin teh sepet.

“Lho!” Dahlia berbalik cepat, menaikkan alisnya. “Sejak kapan? Sudah berapa kali? Kok panjenengan ndak bangunkan aku to?”

“Ini tadi setelah tidur. Sudah tiga kali. Sssh...,” Swandito mendesis sambil memegang perutnya, kemudian nyaris berlari ke kamar mandi belakang.

Sepuluh menit kemudian ia kembali. Dahlia memegang gelas lain yang lebih besar. Penuh berisi teh sepet. Ditatapnya Swandito.

Sare2), Mas,” ucapnya dengan mimik khawatir. “Kalau sampai pagi nanti ndak membaik, aku teleponkan Paklik Ganang.”

Swandito mengangguk sambil meneruskan langkahnya ke kamar. Dahlia mengikuti dari belakang dengan membawa gelas berisi teh sepet.

* * *

Hingga pagi hari datang, Swandito masih juga beberapa kali lagi bolak-balik ke kamar mandi walaupun sudah habis beberapa gelas teh sepet dan perut serta punggungnya sudah rata diolesi balsem oleh Dahlia. Wajahnya terlihat makin pucat dan tubuhnya makin lemas. Bahkan ketika terakhir kalinya lagi-lagi ke kamar mandi, Dahlia harus membantu karena langkahnya sudah benar-benar goyah. Selama menunggu Swandito keluar dari kamar mandi, Dahlia mengangkat ponselnya.

Sebelum pukul tujuh pagi, yang diteleponnya sudah datang. Seorang laki-laki tinggi besar serupa Priyo Harjono bernama Ganang Waluyo, adik bungsu Priyo.

“Makan apa saja masmu ini?” Ganang sekilas menatap Dahlia sambil mengeluarkan stetoskop dan tensimeter dari dalam tasnya.

“Kemarin baru pulang dari Australia, Paklik,” jawab Dahlia. “Semalam makan nasi goreng kambing pedas.”

“Hm... Siang makan ndak, Mas?” tatapan sabar Ganang jatuh pada Swandito.

mBoten, Paklik...,” jawab Swandito, hampir tak terdengar.

Dahlia langsung mendelik mendengarnya. Gerutunya kemudian, “Begitu kok ya ndak bilang to, Mas?”
           
Swandito memilih untuk menghindari tatapan Dahlia.

“Selama beberapa hari sebelumnya makan secara teratur apa ndak?” Ganang mulai memeriksa Swandito.

Ndak terlalu, Paklik. Selama beberapa hari sebelum berangkat ke luar, saya ada di Jogja. Makan seingatnya saja.”

Dahlia mendesah mendengar kejujuran Swandito.

“Mikir apa?” senyum Ganang.

Swandito bertatapan dengan Dahlia. Tak menjawab. Tapi Ganang kelihatannya memahami.

“Terlalu capek, kurang istirahat, stress, makan ndak teratur, perut kosong langsung dihantam makanan pedas, ya sudah... makin jadi...,” Ganang menatap Dahlia. “Sementara makan alusan  dulu, Ndhuk, masnya. Oatmeal juga ndak apa-apa. Kentang tumbuk, biskuit, roti panggang, pisang, apel, telur rebus. Minumnya yang banyak, boleh teh sepet, oralit. Sehari ini jangan makan sayur dulu ya? Nanti aku resepkan obat untuk mengurangi mulesnya.”

Dahlia mengangguk. Tatapan Ganang beralih pada Swandito.

“Istirahat, Mas,” ucapnya sambil tersenyum. “Jangan banyak pikiran.”

“Iya, Paklik, terima kasih banyak.”

Swandito dan Dahlia masih bertatapan ketika Ganang mengemasi alat-alatnya. Ketika Ganang melangkah keluar, Dahlia segera membuntuti Ganang.

Ndak parah to, Paklik?” tanya Dahlia begitu Ganang duduk dan menulis sesuatu di buku resepnya.

Ganang mengangkat wajahnya. Ditatapnya Dahlia baik-baik.

“Parah sih ndak,” jawab Ganang, tenang. “Tapi masalahnya sebaiknya cepat diselesaikan. Ada beban pikiran, sedikit banyak juga berpengaruh, Ndhuk.”

Dahlia menjatuhkan badannya di atas sofa di dekat Ganang.

“Sejak suwargi ibunya gerah3) sampai seda kan piyambakipun4) kurang istirahat, Paklik. Setelah itu lanjut persiapan nikahnya Seruni. Terus kami ada masalah. Dia cooling down di Jogja. Kemudian harus berangkat ke Singapura dan Australia. Yang pasti dia capek sekali.”

Yo wis... Yang penting, kalau ada masalah, masalahnya diselesaikan dulu,” Ganang menyodorkan kertas resep yang baru selesai ditulisnya pada Dahlia. “Biar beban pikirannya berkurang. Tapi sehari ini masmu biar bed rest dulu. Dijaga makanan dan minumnya, jangan sampai kurang cairan. Makannya sedikit-sedikit saja. Pasti ndak nafsu, disiasati dengan sering diberi.”

“Iya, Paklik. Terima kasih banyak. Maaf mengganggu Paklik.”

“Heleh... Kayak sama orang lain saja,” Ganang menepuk bahu Dahlia. “Aku pamit dulu.”

Ndherekaken, Paklik...

* * *

Setelah Ganang pergi, Dahlia segera memanggil Karsiman untuk menebus obat ke apotek. Setelah itu ia segera menyiapkan makanan untuk Swandito. Tak berapa lama semuanya siap dalam sebuah nampan. Semangkuk kecil oatmeal yang sudah berbentuk bubur, sesisir pisang ambon, sebuah apel, segelas teh sepet, dan segelas besar air putih hangat.

Swandito sudah selesai mandi ketika Dahlia kembali ke kamar. Swandito berbaring dengan posisi meringkuk. Dahlia meletakkan nampannya di atas nakas. Dirabanya kening Swandito. Suhunya terasa normal. Malah cenderung agak dingin. Terpengaruh oleh keringat yang tiap kali keluar saat Swandito harus menahan rasa mulas.

“Sudah mandi, Mas? Masih mules?”

Swandito mengangguk. “Hilang-timbul. Selama mandi sempat dua kali terasa mules banget, tapi sudah ndak keluar apa-apa.”

“Sabar ya? Obatnya lagi dibeli sama Pak Siman. Makan dulu, yuk!”

Walaupun Swandito sama sekali tidak bernafsu untuk makan, tapi diusahakannya untuk menikmati apa yang disodorkan oleh Dahlia. Porsi yang disediakan oleh Dahlia memang hanya sedikit. Agar Swandito tidak menjadi mual karenanya.

Karsiman datang begitu Swandito menyelesaikan acara makannya. Segera diketuknya pintu kamar. Dahlia pun segera meminumkan obat itu pada Swandito. Setelah semuanya selesai, Dahlia segera menyelimuti Swandito baik-baik.

“Sekarang panjenengan istirahat. Tidur. Aku siapkan makanan lagi. Ngendikane Paklik, makannya sedikit-sedikit tapi harus sering. Biar ndak tambah lemas.”

“Ya,” sahut Swandito lemah sambil mengatupkan kelopak matanya.

* * *

Rasa mulas itu masih juga datang dan pergi walau sudah tak sesakit sebelumnya. Membuat Swandito belum bisa tidur nyenyak. Berkali-kali ia terjaga.

Dahlia selalu melihat keadaannya tiap beberapa menit sekali. Bila Dahlia melihatnya tertidur, Dahlia akan membiarkannya saja, dan akan kembali beberapa menit kemudian. Bila dilihatnya Swandito terjaga, ia selalu memaksa Swandito untuk minum teh sepet atau oralit, atau makan satu-dua potong biskuit, atau sesendok-dua sendok makanan. Swandito memenuhi paksaan itu karena tak ingin kondisinya bertambah parah.

“Pusing, Mas?” Dahlia memotong-motong apel yang dikupasnya sambil duduk di tepi ranjang.

“Sedikit, Jeng,” Swandito mengangguk. “Karena ngantuk. Tidur juga ndak bisa nyenyak.”

“Mau dibalsem lagi perutnya?” Dahlia menyodorkan potongan apel itu.

“Boleh... Terima kasih, Jeng.”

Dahlia mengambil botol balsem dari dalam laci nakas. Sejenak kemudian ia sudah membalur rata perut Swandito dengan balsem.

“Masih mules?” Dahlia sekilas menatap Swandito.

“Masih... Tapi sudah ndak terlalu.”

“Semoga besok sudah membaik ya?” senyum Dahlia. “Jangan ngantor dulu kalau belum pulih betul.”

“Aku sudah serahkan semua urusan kantor pada Mayang kok, sampai acara di Jakarta selesai.”

“Oh... Ya bagus, jadi bisa istirahat lebih lama di rumah.”

Hening sejenak. Dahlia menyibukkan diri dengan menumpuk beberapa gelas dan piring kosong yang tak perlu lagi ada di situ.

“Jeng...,” Swandito menatap ragu.

Dalem, Mas?” Dahlia menghentikan kesibukannya.

“Bagaimana... tentang... kita?”

Dahlia tertegun sejenak. Ia kembali duduk di tepi ranjang. Beberapa saat kemudian ditatapnya Swandito.

“Menurut panjenengan sendiri? Bagaimana?”

Swandito terdiam. Melihat ketenangan yang ditunjukkan Dahlia, serasa dunia Swandito makin ciut. Dan melihat Swandito terdiam sedemikian rupa, Dahlia tersenyum.

“Aku sudah mengundang Mas Rengga siang ini. Rencana semula sih, makan siang bersama. Supaya panjenengan juga lebih mengenal Mas Rengga. Semuanya kita selesaikan baik-baik, dan semoga ndak ada lagi ganjalan di antara kita.”

Swandito memejamkan mata. Berusaha menahan guncangan yang mendadak muncul di hati dan dunia di sekelilingnya.

“Tapi karena kondisi panjenengan masih seperti ini, sepertinya harus ditunda dulu. Mungkin besok atau...”

Ndak apa-apa, Jeng,” Swandito membuka kembali matanya. “Sekarang saja. Supaya semuanya cepat selesai.”

Dahlia menatap Swandito. Lama. Akhirnya ia mengangguk.

“Baiklah, aku sendiko dhawuh5) panjenengan saja.”

Dahlia pun berbalik dan keluar. Swandito menatap punggung Dahlia dengan hati teraduk.

Sebetulnya siapa yang jadi penjahatnya di sini? Kau atau aku, Jeng? Kau yang memang ingin meraih cinta dan kebahagiaanmu? Atau aku yang sudah memberimu kesempatan seluas-luasnya walaupun harus mengorbankan pernikahan kita?

Dipejamkannya lagi matanya dengan letih.

* * *

Bersambung ke episode terakhir :  Ruang Ketiga #12


Catatan :

1. Sepet = (rasa) sepat.
2. Sare = tidur.
3. Gerah = sakit.
4. Piyambakipun = dia.
5. Sendiko dhawuh = sebuah pernyataan untuk setuju dan mengikuti saja keinginan orang yang lebih tua atau lebih dihormati

18 komentar:

  1. Wah...penasaran nih , ingin cepat hari kamis

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Marilah kita menyibukkan diri biar cepet Kamis.
      Makasih singgahnya, Bu...

      Hapus
  2. Pagi Mbak...tumben kok nggak dipasangi 'read more'? Pas tadi buka blog langsung tampil utuh di beranda...

    Gapapa ngga mengurangi keasikan membaca. Jempol sak negoro buat Mbak lizz...!

    BalasHapus
  3. Hati q ikut teraduk :(
    Maunya happy ending mba plis

    BalasHapus
  4. Penjahat nya bkn swan ato dahlia tp....tara.... sing nulis krn bikinnya spt itu hahaha

    BalasHapus
  5. Tenang Swandito, Rengga sudah sama Denna kok :)

    BalasHapus
  6. Kasihan Swandito, maksudnya dia baij demi kebahagiaan Dahlia tp ternyata hatinya pun pilu. GWS Swan :-)

    BalasHapus
  7. Wahduh ketinggalan beberapa episode, menyimak dulu tan :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tak'setrap lho... Hehehe...
      Makasih mampirnya, Mbak Put...

      Hapus