Episode
sebelumnya : Ruang Ketiga #9
* * *
Sepuluh
Dahlia berbaring berdampingan dengan Srikandi
di ranjang besar itu. Tanpa sadar Dahlia mengulum senyum ketika membayangkan
bahwa pastilah setiap ayah dan ibunya menempati ranjang itu bersama-sama, ayahnya
akan menempati tiga per lima lebar ranjang itu, sementara ibunya hanya mendapat
jatah sisanya.
Ditariknya napas dalam-dalam. Seolah ingin
mengunci aroma rempah yang didominasi aroma kayu manis itu di dalam hatinya.
Terasa hangat. Menenangkan.
Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur keluar
dari bibir Dahlia, “Bu, panjenengan ndak takut Romo lirik sana-sini kalau ndak
panjenengan dampingi?”
Srikandi tertawa kecil mendengar kalimat
Dahlia. Ia menoleh sekilas ke arah Dahlia sebelum kembali menatap langit-langit
dalam temaramnya ruangan itu.
“Secara fisik, romomu itu memang ganteng, gagah, gedhe dhuwur1).
Sekarang saja masih tetap seperti itu, apalagi ketika muda dulu, walaupun makin
tua makin melar saja ukuran tubuhnya.”
Dahlia tersenyum lebar mendengar penuturan
Srikandi.
“Itu yang membuat aku mau saja dijodohkan
dengannya,” lanjut Srikandi. “Setelah lebih mengenalnya lagi, ternyata baguse2)
romomu bukan hanya wajah saja,
tapi juga wataknya. Bukan orang yang sempurna memang... Tapi romomu itu tetap orang yang sangat
bertanggung jawab terhadap keluarga, selalu menghargai aku, bukan type thuk-mis3), dan hingga kini romomu masih tetap bisa menjaga hati. Ndak pernah sekalipun berusaha untuk mengingkari sucinya ikatan
perkawinan.”
“Tapi sekarang Romo justru mendorong saya untuk melakuan pengkhianatan itu,” suara
Dahlia terdengar seolah berasal dari tempat yang jauh.
“Maksud romomu
mungkin baik, agar ndhuk ayunya yang
satu ini bahagia. Tapi kalau boleh aku bilang, sayangnya caranya kurang tepat.
Apalagi itu didasari rasa bersalahnya terhadap masa lalumu. Aku tahu, sulit
sekali buat romomu untuk lepas dari
rasa bersalah itu.”
Dalem
tahu, Bu...
Dahlia berbisik dalam hati sambil menghela
napas.
...
karena Romo juga pernah ngendika4)
soal itu.
“Sebenarnya seperti apa hubungan Romo dengan Ibu setelah sekian puluh
tahun menikah?” Dahlia berguling, menghadap ke arah Srikandi.
Srikandi pun melakukan hal yang sama, hingga
mereka berhadapan. Tangan Srikandi terulur. Membelai rambut Dahlia.
“Mungkin Romo
dan aku beruntung sekali karena sejak awal menemukan cinta itu sudah ada
bibitnya dalam hati kami. Lalu terus berkembang dan tumbuh makin subur setelah
menikah. Apalagi setelah Haryo, kau, dan Seruni hadir. Semuanya membuat kami
sama-sama makin terikat. Mm... ndak...
ndak... Bukan begitu,” Srikandi cepat-cepat meralatnya. “Tapi kami saling
mengikatkan diri satu sama lain. Saling memberi tanpa pernah berpikir lagi apa
yang kami terima. Makin lama makin menjadi seperti teman. Tapi memang betul,
karena sejatinya sepasang suami-istri itu adalah teman hidup. Makanya benar
kalau disebut garwa, sigaraning nyawa, belahan jiwa.”
Teman
hidup... Dahlia mencoba untuk mengulanginya dalam hati. Sigaraning nyawa... Belahan jiwa...
“Sebetulnya
harapanmu itu seperti apa?” tanya Srikandi kemudian, lembut.
Harapan?
Dahlia tercenung.
Harapan
apa yang kini aku punya?
Pelan ia menggelengkan kepala.
“Piye,
Ndhuk?”
Dahlia menatap Srikandi dengan sorot mata
kosong. Membuat hati Srikandi mendadak terasa nyeri.
“Saya
sudah ndak punya harapan apa-apa,
Bu,” jawabnya kemudian, hanya menyerupai bisikan. “Hanya berusaha menikmati alur
kehidupan yang saat ini ada. Menjalani sebaik-baiknya. Berusaha tetap bersyukur
atas apa yang sekarang boleh saya miliki. Hanya itu.”
“Kau bahagia?” mata Srikandi mulai mengaca.
“Rasa bersyukur itu membawa bahagia, Bu. Saya ndak bisa menjabarkannya. Hanya
merasakannya saja.”
“Kau tahu Swandito ndak akan bisa mencintaimu. Lantas bagaimana?”
Dahlia mengerjapkan matanya, mencoba untuk
tersenyum. “Ketika saya memilih untuk bersedia menikahinya, saya sudah tahu hal
itu. Saya paham sepenuhnya, bahwa kehidupan saya setelah itu pastilah ndak mudah. Karenanya saya berhenti
berharap, Bu. Karena ketika kita sudah terlanjur berharap, dan harapan itu tak
tercapai, sakitnya luar biasa.”
Srikandi termangu sejenak. Keheningan sesaat
melingkupi mereka. Lalu tatapan Srikandi kembali berlabuh pada Dahlia.
“Sekarang ada kesempatan untuk mengejar cinta
dan kebahagiaanmu kembali, Ndhuk,”
bisik Srikandi. “Walau harus menikah untuk ketiga kalinya. Bagaimana?”
Dahlia menggeleng. “Saya belum tahu, Bu.”
“Eyangmu, romomu,
Mas Haryo, Seruni, bahkan garwamu sendiri
sudah memberi kesempatan itu. Toh ibu mertuamu sudah ndak ada lagi,” pancing Srikandi lebih lanjut.
“Panjenengan
sendiri, Bu?”
Pertanyaan pendek Dahlia itu benar-benar di
luar dugaan Srikandi. Ditatapnya Dahlia. “Maksudmu?”
“Apakah panjenengan
juga ingin saya mengejar cinta dan kebahagiaan itu?” mata Dahlia bulat menatap
Srikandi.
“Aku hanya ingin kau bahagia, Ndhuk...”
Dahlia tersenyum tipis. Lalu gumamnya, “Ibu ndak menjawab pertanyaan saya.”
Srikandi menghela napas panjang. “Hhh... Apa
yang harus kujawab?”
“Apakah panjenengan
juga ingin saya mengejar cinta dan kebahagiaan itu, Bu?” ulang Dahlia dengan
sabar.
Srikandi menatap Dahlia, tepat di kedalaman
manik matanya. “Sunguh ingin tahu?”
Dahlia mengangguk. “Sejujur-jujurnya.”
Srikandi kembali menghela napas panjang. “Jawabannya adalah tidak. Bila kau belum
terikat tali perkawinan, maka aku yang berada paling depan untuk mendorongmu
meraih kebahagiaan itu. Tapi kenyataannya sudah lain, Ndhuk. Kau sudah bersuami. Dan Swandito sendiri, apakah dia juga
masih ada keinginan untuk kembali ke masa lalunya?”
“Dia sudah lama berhenti, Bu,” meskipun
lirih, ada nada lugas dalam suara Dahlia. “Dan saya tahu dia sudah tak mau lagi
memikirkan dan kembali ke masa lalu itu. Dia memilih untuk itu.”
“Lalu apa pilihanmu sekarang?”
Dahlia berpikir sejenak.
Mengejar
cinta dan kebahagiaan... Harus menikah tiga kali? Dengan hanya ibunya seorang
saja yang menentang? Karena sejatinya suami istri itu adalah teman hidup?
Sigaraning nyawa? Belahan jiwa? Hm...
Dahlia mencoba untuk merangkai lagi beberapa
utas benang merah yang seolah terputus itu. Pelan... Pelan... Dan ia sudah
mulai mendapatkan jawabannya.
Kemudian ia menggumam dengan bibir mengulas
senyum, “Sekarang saya sudah tahu jawabannya. Saya diberi kesempatan untuk
meraih kebahagiaan itu. Saya akan mengejarnya.”
Mulut Srikandi terkatup. Berusaha mencerna
seluruh ucapan Dahlia. Pada akhirnya, ia tak tahu harus menangis ataukah
tertawa.
* * *
Mata Dahlia terbelalak lebar ketika
membelokkan mobilnya masuk ke halaman rumah. Pagi itu ia memutuskan untuk
kembali ke rumahnya sendiri. Dirasanya sudah cukup menginap selama beberapa
hari di rumah orangtuanya.
Ia sama sekali tak bisa mempercayai
penglihatannya. SUV Swandito tampak terparkir rapi di dalam garasi yang
pintunya terbuka lebar. Dahlia menurunkan kaca jendelanya. Ditatapnya Karsiman
yang tadi membukakan pintu pagar.
“Bapak sejak kapan pulang?” tanyanya lirih.
“Belum ada satu jam, Bu.”
Dahlia buru-buru keluar dari mobil. “Tolong
masukkan mobilku, Pak. Terima kasih.”
“Nggih,
Bu,” Karsiman mengangguk.
Hampir berlari Dahlia masuk ke dalam rumah.
Dia
pulang pada hari keenam...
Dahlia tersenyum sedikit. Pintu kamarnya
terbuka separuh. Ia yakin Swandito ada di dalam sana. Benar saja, laki-laki itu
tengah ditemuinya sedang...
Mengepak
pakaian lagi?
Dahlia tertegun di depan pintu.
“Jeng...,” Swandito rupanya menyadari
kehadiran Dahlia. Ia menegakkan badannya. “Pak Siman bilang panjenengan menginap di rumah Romo?”
Dahlia seperti kehilangan suara. Ia hanya
bisa mengangguk sambil melangkah pelan ke arah ranjang. Dengan ragu-ragu ia
duduk di tepi ranjang.
“Mas... pulang?” bisiknya.
Swandito menatapnya sambil tersenyum, lalu
menggeleng. Dahlia juga menatapnya. Mengharap jawaban.
“Aku cuma ambil paspor dan beberapa baju
lagi. Aku harus ke Singapura, kemudian lanjut ke Australia selama sepuluh hari.
Berangkat besok.”
Dahlia merasa lilin kehidupannya padam separuh.
Ia kemudian menatap kosong pada kopor Swandito yang masih terbuka lebar di atas
ranjang. Sejenak kemudian Swandito duduk di sebelah Dahlia. Diraihnya tangan
kanan Dahlia, digenggamnya hangat.
“Baik-baik di sini ya, Jeng?” ucapnya halus.
“Jaga diri baik-baik.”
Telaga bening mengembang tiba-tiba di kedua
mata Dahlia. Sejurus kemudian tangan kirinya menghapus airmata itu. Dicobanya
untuk kembali menegakkan kepala dengan tegar.
“Ya, jangan khawatir,” gumamnya kemudian. “Panjenengan juga jaga diri baik-baik
selama perjalanan.”
Swandito mengangguk samar.
“Mm... Kita makan siang bersama hari ini?”
Tapi Dahlia menggeleng. “Aku sudah ada janji,
Mas. Maaf.”
“Oh... Ndak
apa-apa,” Swandito berusaha untuk tersenyum.
Sepertinya ia tahu janji itu dijalin Dahlia
dengan siapa. Sejenak kemudian ia kembali berdiri, dan bergerak menutup
kopornya yang sudah rapi.
“Ya sudah, aku langsung kembali ke Jogja ya?”
Dahlia masih duduk diam di tepi ranjang.
Tertunduk. Dengan ekor matanya, ia menangkap bayangan Swandito yang menenteng
kopornya dengan sebelah tangan sudah mencapai handle pintu.
“Jeng...”
Dahlia mengangkat wajahnya. Mereka
bertatapan.
“Aku pergi dulu.”
Dahlia tak menjawab. Hanya mengangguk. Dan
sekejap kemudian Swandito sudah menghilang dari pandangannya.
* * *
Rengga mengangguk ketika salah seorang
pegawai Dahlia mengatakan akan mengantarnya ke dalam. Ke kantor Dahlia. Sebuah
ketidakbiasaan di hari Sabtu, di mana Dahlia mendadak saja muncul di salon dan
mengatakan ada janji dengan seorang teman. Dan laki-laki itu muncul. Seorang
laki-laki tinggi besar berwajah tampan yang membuat beberapa pegawai Dahlia
saling menyenggol lengan dan bertukar tatapan.
“Silakan, Pak,” Santini menyilakan Rengga
dengan sopan.
“Terima kasih,” Rengga mengangguk dengan senyum
terkembang di bibirnya.
Dahlia menyambutnya dengan wajah teduh.
Segera saja Rengga merasa nyaman duduk di atas sebuah sofa di dalam kantor itu.
Ketika Dahlia meninggalkannya sejenak untuk mengambil minuman, Rengga
berkesempatan sejenak untuk melihat berkeliling.
Ruangan itu didominasi warna putih, elemen
kayu, berpadu dengan sentuhan modern. Sebuah meja berukir yang cukup besar
berdiri di dekat jendela, dengan sebuah laptop dan berbagai pernak-pernik ada
di atasnya. Ada sebuah lukisan di seberang meja, di belakang kursi. Lalu
seperangkat sofa kulit yang empuk dan nyaman. Di sisi jendela ada sebuah rak
berisi beberapa piala dan berbagai pajangan lain.
Dan selanjutnya adalah hal yang membuat
Rengga merasa gamang seketika. Di berbagai sisi dinding dalam ruangan itu ada
puluhan foto berbingkai dalam berbagai ukuran. Separuhnya adalah foto-foto
Dahlia dalam berbagai event. Bersama banyak orang dan keluarganya. Selebihnya?
Hanya Dahlia dan Swandito. Dalam berbagai gaya. Dalam berbagai ragam busana.
Dalam berbagai ragam acara. Dalam berbagai ragam ekspresi. Senyum. Tawa. Ceria.
Mesra. Semuanya itu mengerucut pada beberapa hal yang menjadi satu rumpun
kesatuan rasa.
Kebahagiaan.
Diam-diam Rengga mendesah. Ah... Apa yang sebetulnya tengah kuhadapi
saat ini? Ia makin menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa.
“Maaf, lama menunggu, Mas...”
Rengga menoleh ke arah pintu. Dahlia masuk
dengan membawa nampan berisi dua buah cangkir dan sebuah piring. Ketika ia
sudah sampai di dekat meja, tampaklah bahwa cangkir itu berisi gula asem dan
piring di sebelahnya berisi aneka kue basah. Dengan cekatan Dahlia memindahkan
isi nampan itu ke atas meja.
“Monggo,
Mas...,” Dahlia kemudian menyilakan Rengga.
Rengga mengangguk sambil mengucapkan terima
kasih. Dahlia kemudian memutari setengah meja. Duduk di sofa kecil di seberang
Rengga. Hening sejenak. Lalu keduanya bertatapan.
Letupan kerinduan itu masih ada. Melompat
dari dalam mata, kemudian bergandengan tangan dan bermain di sekeliling ruangan
itu. Dahlia yang pertama kali tersadar. Ketika jam berdentang lembut sebanyak
dua belas kali.
“Aku... ingin bicara... tentang kita...,”
ucap Dahlia kemudian, terbata.
Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Rengga kemudian,
kecuali berusaha keras untuk menyimaknya baik-baik.
* * *
Swandito mengaduk mi instan di dalam panci di
depannya dengan setengah melamun. Ketika sekumpulan asap menerpa wajahnya, ia
tersadar. Ia menunduk sedikit dan melihat bahwa mi instan yang dimasaknya sudah
matang. Dengan cepat ia mematikan kompor dan memindahkan mi itu ke dalam sebuah
mangkuk.
Ia sedang malas untuk makan di luar. Apa
enaknya makan sendirian? Maka yang bisa dilakukannya hanyalah memasak mi
instan. Hanya dua bungkus mi instan, tanpa tambahan apa-apa.
Sambil menyantap makanan itu, ingatannya mau
tak mau melayang pada sebentuk rumah nun jauh di Solo. Rumahnya bersama Dahlia.
Yang selalu dipenuhi kehangatan dan berbagai hal yang menarik.
Bahkan
mi instan rasa kari ayam ini pun lain rasanya dengan di rumah...
Dengan sedih ia mendesah. Ditatapnya mi
instan yang masih mengepul di depannya itu. Terlihat polos. Tak sesemarak
penampilan mi instan yang sesekali dimasak Dahlia untuknya.
Biasanya Dahlia menambahkan irisan sawi
hijau, kol, dan segenggam sayuran beku (wortel, jagung manis, buncis, polong)
pada mi instan kari ayam yang dimasaknya. Dan akan segera terhidang sajian
warna-warni dalam mangkuk yang memanjakan mata dan perut. Selalu ada tambahan
telur dadar ataupun telur ceplok sesuai permintaan Swandito. Lezat. Memuaskan.
Dan dengan setengah hati Swandito
menghabiskan mi instan polos yang sudah terlanjur dimasaknya. Tentu saja terasa
jauh lebih hambar dari biasanya walaupun semua bumbu sudah ia masukkan dengan
sempurna.
Bagaimana
denganmu siang ini, Jeng? Menikmati makan siang yang lezat bersamanyakah?
Swandito tercenung.
* * *
Didapatinya rumah sepi menjelang sore itu.
Rengga melongok ke kamarnya. Kosong. Tak ada Lili di sana. Ia pun melanjutkan
langkahnya ke belakang, hendak ke rumah orangtuanya. Tapi langkah itu terhenti
di teras belakang.
Lili tampak tidur meringkuk di atas karpet,
dengan beberapa mainan masih tersebar di sekitarnya. Dan di sebelahnya ada Denna.
Berbaring telungkup dengan sebelah tangan menjulur, memeluk Lili. Sebelah
tangan Lili pun terjulur dengan ujung jemari ada di helai-helai ujung rambut Denna.
Rengga terdiam di tempatnya berdiri. Menatap
semuanya itu dengan hati teraduk. Ia bimbang sejenak. Harus membangunkan
keduanya karena hari mulai sore? Ataukah membiarkannya saja?
Ketika ia hendak beranjak dan memutuskan
untuk membiarkan saja Lili dan Denna tetap terlelap, pintu belakang terbuka. Ia
buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir ketika ibunya membuka mulut.
Suryani menatap Rengga, bertanya. Rengga
hanya menunjuk ke satu arah. Ketika Suryani mendekat, barulah ia paham mengapa
harus menahan suaranya. Rengga berbalik, masuk ke dalam rumah. Suryani
mengikutinya dari belakang.
“Jadi, bagaimana?” Suryani bertanya dengan
suara rendah, tanpa basa-basi.
“Apanya, Bu?” Rengga tersenyum. Berusaha
mengelak.
“Hasil pertemuanmu dengan Dahlia,” Suryani
nyaris tak sabar lagi.
Rengga mengisi gelas yang dipegangnya dengan
air dingin dari botol yang diambilnya dari dalam kulkas. Mengulur waktu.
“Ngga...,” Suryani sudah tak sabar lagi. “Piye?”
Rengga menatap ibunya. Sejenak kemudian ia
meraih bahu Suryani dan mengajaknya duduk di teras depan.
“Kami bicara banyak, Bu,” ucap Rengga lirih.
“Tentang apa yang sudah kami alami, tentang apa yang tak bisa kami lalui bersama...”
Suryani menunggu kelanjutan kalimat Rengga
dengan wajah penasaran. Rengga menghela napas panjang sebelum meneruskan
ucapannya.
“Kami sudah memutuskan, bahwa kami akan
meraih apa yang masih bisa kami raih. Menggunakan semua kesempatan yang masih
bisa kami gunakan. Karena kami berhak atas bahagia itu, Bu... Dahlia dan saya.”
Suryani terhenyak di tempat duduknya.
“Dan Lili masih sangat membutuhkan kasih
sayang seorang ibu. Itu bagian yang terpenting.”
Suryani seolah membeku. Ditatapnya Rengga.
“Lalu bagaimana dengan pembicaraan kita
bertiga semalam? Tentang kau dan Denna?”
Rengga balas menatap Suryani. Tersenyum.
“Jadi begini, Bu...”
* * *
Denna mendadak merasa terusik. Ia membuka
mata dan mendapati Lili masih terlelap dengan wajah imutnya yang terlihat
damai. Sesaat kemudian telinganya menangkap suara bernada rendah yang tak
begitu jelas. Ketika suara itu tak terdengar lagi, ia memberanikan diri untuk
berjingkat masuk ke dalam rumah.
Suara itu terdengar lagi. Rendah, berat,
dalam. Suara Rengga. Dari arah depan. Ia kemudian berdiri di belakang pintu
yang terbuka separuh.
“...Karena kami berhak atas bahagia itu,
Bu... Dahlia dan saya. Dan Lili masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang
ibu. Itu bagian yang terpenting.”
Sudah
cukup!
Denna berbalik dan melangkah gontai. Ia akan
segera kehilangan Lili. Selamanya. Bagaimanapun seorang ayah seperti Rengga
jauh lebih berhak untuk menentukan kehidupannya sendiri bersama putrinya. Dan
ia masihlah berada di luar lingkaran itu walaupun posisinya tak jauh. Bibi dari
Lili.
Maafkan
aku, Mbak... Tak bisa memenuhi harapan terakhir Mbak Rana, sebesar apapun rasa
sayangku pada Lili. Tapi siapapun perempuan itu, semoga nanti bisa menjaga Lili
dengan baik, dan menyayangi dia sepenuhnya...
Didekatinya Lili. Sejenak ditatapnya gadis
kecil itu sebelum menepuk-nepuk pipi bulat Lili dengan sangat lembut.
“Li... Li...,” bisik Denna. “Bangun yuk...
Sudah sore. Li...”
Denna menciumi pipi Lili. Lili menggeliat
ketika merasakan gangguan itu. Ia lalu menguap dan mengerjap-ngerjapkan matanya
yang dinaungi bulu mata yang sangat lentik. Sama seperti milik Denna.
“Yuk, bangun. Mandi...,” bujuk Denna halus.
Lili menguap lagi, kemudian mengulurkan kedua
tangannya pada Denna. Denna segera menyambut uluran tangan itu, kemudian
menggendong Lili dengan penuh kasih sayang ke kamar mandi.
Tampaknya tugasnya memang harus selesai
sampai di sini. Berakhir dengan kegagalan untuk memenuhi permintaan terakhir
Rana. Menjaga suami dan putri kecil kakak tercintanya itu.
“Tante kok nangis?”
Denna tersentak. Ia buru-buru menggeleng.
“Ini... mata Tante kena cipratan sabunnya
Lili. Perih...”
Dan ia ingin semua itu selesai secepatnya.
Agar secepatnya pula ia mengepak seluruh bajunya, dan meninggalkan tempat itu.
Karena harapannya sudah pecah terburai. Tanpa bisa dipungut lagi dan direkatkan
kembali semua remahnya.
* * *
Bersambung ke episode
berikutnya : Ruang Ketiga #11
Catatan :
1.
Gedhe
dhuwur (gedhe = besar ; dhuwur =
tinggi) = tinggi besar.
2.
Baguse
= gantengnya.
3.
Thuk-mis (berasal dari istilah bathuk klimis) = mata keranjang.
4.
Ngendika
(baca : ngendiko) = bicara ;
mengutarakan
good post mbak
BalasHapusMakasiiih, Pak Subur...
HapusMaca karo ketenggengen dik ckckckck ....
BalasHapusOjo suwe-suwe ketenggengen, Mbak. Lali masak blaen engkok... Hihihi...
HapusMakasih mampirnya...
Semoga semuanya bahagia
BalasHapusHehehe... dikiiit lagi ketauan hasilnya kok, Bu...
HapusMakasih mampirnya ya...
oh garwa itu artinya sigaraning nyawa. Belahan jiwa. Ck, inilah nasib anak jawa kelahiran sumatera... hehehe
BalasHapusHahaha... Pujakesuma ya? Putri Jawa kelahiran Sumatera...
HapusMakasih dah mampir, Mbak...
wis to..sama Denna aja Rengga...yg bulum punya suami..kasihan Swandito...to..
BalasHapusHehehe... Pada punya jagoan sendiri-sendiri.
HapusMakasih mampirnya ya, Mbak Bekti...
Hmmm dilema sekali..........
BalasHapus