Kamis, 19 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #10








Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #9


* * *


Sepuluh


Dahlia berbaring berdampingan dengan Srikandi di ranjang besar itu. Tanpa sadar Dahlia mengulum senyum ketika membayangkan bahwa pastilah setiap ayah dan ibunya menempati ranjang itu bersama-sama, ayahnya akan menempati tiga per lima lebar ranjang itu, sementara ibunya hanya mendapat jatah sisanya.

Ditariknya napas dalam-dalam. Seolah ingin mengunci aroma rempah yang didominasi aroma kayu manis itu di dalam hatinya. Terasa hangat. Menenangkan.

Tiba-tiba saja pertanyaan itu meluncur keluar dari bibir Dahlia, “Bu, panjenengan ndak takut Romo lirik sana-sini kalau ndak panjenengan dampingi?”

Srikandi tertawa kecil mendengar kalimat Dahlia. Ia menoleh sekilas ke arah Dahlia sebelum kembali menatap langit-langit dalam temaramnya ruangan itu.

“Secara fisik, romomu itu memang ganteng, gagah, gedhe dhuwur1). Sekarang saja masih tetap seperti itu, apalagi ketika muda dulu, walaupun makin tua makin melar saja ukuran tubuhnya.”

Dahlia tersenyum lebar mendengar penuturan Srikandi.

“Itu yang membuat aku mau saja dijodohkan dengannya,” lanjut Srikandi. “Setelah lebih mengenalnya lagi, ternyata baguse2)  romomu bukan hanya wajah saja, tapi juga wataknya. Bukan orang yang sempurna memang... Tapi romomu itu tetap orang yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga, selalu menghargai aku, bukan type thuk-mis3), dan hingga kini romomu masih tetap bisa menjaga hati. Ndak pernah sekalipun berusaha untuk mengingkari sucinya ikatan perkawinan.”

“Tapi sekarang Romo justru mendorong saya untuk melakuan pengkhianatan itu,” suara Dahlia terdengar seolah berasal dari tempat yang jauh.

“Maksud romomu mungkin baik, agar ndhuk ayunya yang satu ini bahagia. Tapi kalau boleh aku bilang, sayangnya caranya kurang tepat. Apalagi itu didasari rasa bersalahnya terhadap masa lalumu. Aku tahu, sulit sekali buat romomu untuk lepas dari rasa bersalah itu.”

Dalem tahu, Bu...

Dahlia berbisik dalam hati sambil menghela napas.

... karena Romo juga pernah ngendika4) soal itu.

“Sebenarnya seperti apa hubungan Romo dengan Ibu setelah sekian puluh tahun menikah?” Dahlia berguling, menghadap ke arah Srikandi.

Srikandi pun melakukan hal yang sama, hingga mereka berhadapan. Tangan Srikandi terulur. Membelai rambut Dahlia.

“Mungkin Romo dan aku beruntung sekali karena sejak awal menemukan cinta itu sudah ada bibitnya dalam hati kami. Lalu terus berkembang dan tumbuh makin subur setelah menikah. Apalagi setelah Haryo, kau, dan Seruni hadir. Semuanya membuat kami sama-sama makin terikat. Mm... ndak... ndak... Bukan begitu,” Srikandi cepat-cepat meralatnya. “Tapi kami saling mengikatkan diri satu sama lain. Saling memberi tanpa pernah berpikir lagi apa yang kami terima. Makin lama makin menjadi seperti teman. Tapi memang betul, karena sejatinya sepasang suami-istri itu adalah teman hidup. Makanya benar kalau disebut garwa, sigaraning nyawa, belahan jiwa.”

Teman hidup... Dahlia mencoba untuk mengulanginya dalam hati. Sigaraning nyawa... Belahan jiwa...

 “Sebetulnya harapanmu itu seperti apa?” tanya Srikandi kemudian, lembut.

Harapan?

Dahlia tercenung.

Harapan apa yang kini aku punya?

Pelan ia menggelengkan kepala.

Piye, Ndhuk?

Dahlia menatap Srikandi dengan sorot mata kosong. Membuat hati Srikandi mendadak terasa nyeri.

“Saya sudah ndak punya harapan apa-apa, Bu,” jawabnya kemudian, hanya menyerupai bisikan. “Hanya berusaha menikmati alur kehidupan yang saat ini ada. Menjalani sebaik-baiknya. Berusaha tetap bersyukur atas apa yang sekarang boleh saya miliki. Hanya itu.”

“Kau bahagia?” mata Srikandi mulai mengaca.

“Rasa bersyukur itu membawa bahagia, Bu. Saya ndak bisa menjabarkannya. Hanya merasakannya saja.”

“Kau tahu Swandito ndak akan bisa mencintaimu. Lantas bagaimana?”

Dahlia mengerjapkan matanya, mencoba untuk tersenyum. “Ketika saya memilih untuk bersedia menikahinya, saya sudah tahu hal itu. Saya paham sepenuhnya, bahwa kehidupan saya setelah itu pastilah ndak mudah. Karenanya saya berhenti berharap, Bu. Karena ketika kita sudah terlanjur berharap, dan harapan itu tak tercapai, sakitnya luar biasa.”

Srikandi termangu sejenak. Keheningan sesaat melingkupi mereka. Lalu tatapan Srikandi kembali berlabuh pada Dahlia.

“Sekarang ada kesempatan untuk mengejar cinta dan kebahagiaanmu kembali, Ndhuk,” bisik Srikandi. “Walau harus menikah untuk ketiga kalinya. Bagaimana?”

Dahlia menggeleng. “Saya belum tahu, Bu.”

“Eyangmu, romomu, Mas Haryo, Seruni, bahkan garwamu sendiri sudah memberi kesempatan itu. Toh ibu mertuamu sudah ndak ada lagi,” pancing Srikandi lebih lanjut.

Panjenengan sendiri, Bu?”

Pertanyaan pendek Dahlia itu benar-benar di luar dugaan Srikandi. Ditatapnya Dahlia. “Maksudmu?”

“Apakah panjenengan juga ingin saya mengejar cinta dan kebahagiaan itu?” mata Dahlia bulat menatap Srikandi.

“Aku hanya ingin kau bahagia, Ndhuk...

Dahlia tersenyum tipis. Lalu gumamnya, “Ibu ndak menjawab pertanyaan saya.”

Srikandi menghela napas panjang. “Hhh... Apa yang harus kujawab?”

“Apakah panjenengan juga ingin saya mengejar cinta dan kebahagiaan itu, Bu?” ulang Dahlia dengan sabar.

Srikandi menatap Dahlia, tepat di kedalaman manik matanya. “Sunguh ingin tahu?”

Dahlia mengangguk. “Sejujur-jujurnya.”

Srikandi kembali menghela napas panjang.  “Jawabannya adalah tidak. Bila kau belum terikat tali perkawinan, maka aku yang berada paling depan untuk mendorongmu meraih kebahagiaan itu. Tapi kenyataannya sudah lain, Ndhuk. Kau sudah bersuami. Dan Swandito sendiri, apakah dia juga masih ada keinginan untuk kembali ke masa lalunya?”

“Dia sudah lama berhenti, Bu,” meskipun lirih, ada nada lugas dalam suara Dahlia. “Dan saya tahu dia sudah tak mau lagi memikirkan dan kembali ke masa lalu itu. Dia memilih untuk itu.”

“Lalu apa pilihanmu sekarang?”

Dahlia berpikir sejenak.

Mengejar cinta dan kebahagiaan... Harus menikah tiga kali? Dengan hanya ibunya seorang saja yang menentang? Karena sejatinya suami istri itu adalah teman hidup? Sigaraning nyawa? Belahan jiwa? Hm...

Dahlia mencoba untuk merangkai lagi beberapa utas benang merah yang seolah terputus itu. Pelan... Pelan... Dan ia sudah mulai mendapatkan jawabannya. 

Kemudian ia menggumam dengan bibir mengulas senyum, “Sekarang saya sudah tahu jawabannya. Saya diberi kesempatan untuk meraih kebahagiaan itu. Saya akan mengejarnya.”

Mulut Srikandi terkatup. Berusaha mencerna seluruh ucapan Dahlia. Pada akhirnya, ia tak tahu harus menangis ataukah tertawa.

* * *

Mata Dahlia terbelalak lebar ketika membelokkan mobilnya masuk ke halaman rumah. Pagi itu ia memutuskan untuk kembali ke rumahnya sendiri. Dirasanya sudah cukup menginap selama beberapa hari di rumah orangtuanya.

Ia sama sekali tak bisa mempercayai penglihatannya. SUV Swandito tampak terparkir rapi di dalam garasi yang pintunya terbuka lebar. Dahlia menurunkan kaca jendelanya. Ditatapnya Karsiman yang tadi membukakan pintu pagar.

“Bapak sejak kapan pulang?” tanyanya lirih.

“Belum ada satu jam, Bu.”

Dahlia buru-buru keluar dari mobil. “Tolong masukkan mobilku, Pak. Terima kasih.”

Nggih, Bu,” Karsiman mengangguk.

Hampir berlari Dahlia masuk ke dalam rumah.

Dia pulang pada hari keenam...

Dahlia tersenyum sedikit. Pintu kamarnya terbuka separuh. Ia yakin Swandito ada di dalam sana. Benar saja, laki-laki itu tengah ditemuinya sedang...

Mengepak pakaian lagi?

Dahlia tertegun di depan pintu.

“Jeng...,” Swandito rupanya menyadari kehadiran Dahlia. Ia menegakkan badannya. “Pak Siman bilang panjenengan menginap di rumah Romo?”

Dahlia seperti kehilangan suara. Ia hanya bisa mengangguk sambil melangkah pelan ke arah ranjang. Dengan ragu-ragu ia duduk di tepi ranjang.

“Mas... pulang?” bisiknya.

Swandito menatapnya sambil tersenyum, lalu menggeleng. Dahlia juga menatapnya. Mengharap jawaban.

“Aku cuma ambil paspor dan beberapa baju lagi. Aku harus ke Singapura, kemudian lanjut ke Australia selama sepuluh hari. Berangkat besok.”

Dahlia merasa lilin kehidupannya padam separuh. Ia kemudian menatap kosong pada kopor Swandito yang masih terbuka lebar di atas ranjang. Sejenak kemudian Swandito duduk di sebelah Dahlia. Diraihnya tangan kanan Dahlia, digenggamnya hangat.

“Baik-baik di sini ya, Jeng?” ucapnya halus. “Jaga diri baik-baik.”

Telaga bening mengembang tiba-tiba di kedua mata Dahlia. Sejurus kemudian tangan kirinya menghapus airmata itu. Dicobanya untuk kembali menegakkan kepala dengan tegar.

“Ya, jangan khawatir,” gumamnya kemudian. “Panjenengan juga jaga diri baik-baik selama perjalanan.”

Swandito mengangguk samar.

“Mm... Kita makan siang bersama hari ini?”

Tapi Dahlia menggeleng. “Aku sudah ada janji, Mas. Maaf.”

“Oh... Ndak apa-apa,” Swandito berusaha untuk tersenyum.

Sepertinya ia tahu janji itu dijalin Dahlia dengan siapa. Sejenak kemudian ia kembali berdiri, dan bergerak menutup kopornya yang sudah rapi.

“Ya sudah, aku langsung kembali ke Jogja ya?”

Dahlia masih duduk diam di tepi ranjang. Tertunduk. Dengan ekor matanya, ia menangkap bayangan Swandito yang menenteng kopornya dengan sebelah tangan sudah mencapai handle pintu.

“Jeng...”

Dahlia mengangkat wajahnya. Mereka bertatapan.

“Aku pergi dulu.”

Dahlia tak menjawab. Hanya mengangguk. Dan sekejap kemudian Swandito sudah menghilang dari pandangannya.

* * *

Rengga mengangguk ketika salah seorang pegawai Dahlia mengatakan akan mengantarnya ke dalam. Ke kantor Dahlia. Sebuah ketidakbiasaan di hari Sabtu, di mana Dahlia mendadak saja muncul di salon dan mengatakan ada janji dengan seorang teman. Dan laki-laki itu muncul. Seorang laki-laki tinggi besar berwajah tampan yang membuat beberapa pegawai Dahlia saling menyenggol lengan dan bertukar tatapan.

“Silakan, Pak,” Santini menyilakan Rengga dengan sopan.

“Terima kasih,” Rengga mengangguk dengan senyum terkembang di bibirnya.

Dahlia menyambutnya dengan wajah teduh. Segera saja Rengga merasa nyaman duduk di atas sebuah sofa di dalam kantor itu. Ketika Dahlia meninggalkannya sejenak untuk mengambil minuman, Rengga berkesempatan sejenak untuk melihat berkeliling.

Ruangan itu didominasi warna putih, elemen kayu, berpadu dengan sentuhan modern. Sebuah meja berukir yang cukup besar berdiri di dekat jendela, dengan sebuah laptop dan berbagai pernak-pernik ada di atasnya. Ada sebuah lukisan di seberang meja, di belakang kursi. Lalu seperangkat sofa kulit yang empuk dan nyaman. Di sisi jendela ada sebuah rak berisi beberapa piala dan berbagai pajangan lain.

Dan selanjutnya adalah hal yang membuat Rengga merasa gamang seketika. Di berbagai sisi dinding dalam ruangan itu ada puluhan foto berbingkai dalam berbagai ukuran. Separuhnya adalah foto-foto Dahlia dalam berbagai event. Bersama banyak orang dan keluarganya. Selebihnya? Hanya Dahlia dan Swandito. Dalam berbagai gaya. Dalam berbagai ragam busana. Dalam berbagai ragam acara. Dalam berbagai ragam ekspresi. Senyum. Tawa. Ceria. Mesra. Semuanya itu mengerucut pada beberapa hal yang menjadi satu rumpun kesatuan rasa.

Kebahagiaan.

Diam-diam Rengga mendesah. Ah... Apa yang sebetulnya tengah kuhadapi saat ini? Ia makin menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa.

“Maaf, lama menunggu, Mas...”

Rengga menoleh ke arah pintu. Dahlia masuk dengan membawa nampan berisi dua buah cangkir dan sebuah piring. Ketika ia sudah sampai di dekat meja, tampaklah bahwa cangkir itu berisi gula asem dan piring di sebelahnya berisi aneka kue basah. Dengan cekatan Dahlia memindahkan isi nampan itu ke atas meja.

Monggo, Mas...,” Dahlia kemudian menyilakan Rengga.

Rengga mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Dahlia kemudian memutari setengah meja. Duduk di sofa kecil di seberang Rengga. Hening sejenak. Lalu keduanya bertatapan.

Letupan kerinduan itu masih ada. Melompat dari dalam mata, kemudian bergandengan tangan dan bermain di sekeliling ruangan itu. Dahlia yang pertama kali tersadar. Ketika jam berdentang lembut sebanyak dua belas kali.

“Aku... ingin bicara... tentang kita...,” ucap Dahlia kemudian, terbata.

Tak ada hal lain yang bisa dilakukan Rengga kemudian, kecuali berusaha keras untuk menyimaknya baik-baik.

* * *

Swandito mengaduk mi instan di dalam panci di depannya dengan setengah melamun. Ketika sekumpulan asap menerpa wajahnya, ia tersadar. Ia menunduk sedikit dan melihat bahwa mi instan yang dimasaknya sudah matang. Dengan cepat ia mematikan kompor dan memindahkan mi itu ke dalam sebuah mangkuk.

Ia sedang malas untuk makan di luar. Apa enaknya makan sendirian? Maka yang bisa dilakukannya hanyalah memasak mi instan. Hanya dua bungkus mi instan, tanpa tambahan apa-apa.

Sambil menyantap makanan itu, ingatannya mau tak mau melayang pada sebentuk rumah nun jauh di Solo. Rumahnya bersama Dahlia. Yang selalu dipenuhi kehangatan dan berbagai hal yang menarik.

Bahkan mi instan rasa kari ayam ini pun lain rasanya dengan di rumah...

Dengan sedih ia mendesah. Ditatapnya mi instan yang masih mengepul di depannya itu. Terlihat polos. Tak sesemarak penampilan mi instan yang sesekali dimasak Dahlia untuknya.

Biasanya Dahlia menambahkan irisan sawi hijau, kol, dan segenggam sayuran beku (wortel, jagung manis, buncis, polong) pada mi instan kari ayam yang dimasaknya. Dan akan segera terhidang sajian warna-warni dalam mangkuk yang memanjakan mata dan perut. Selalu ada tambahan telur dadar ataupun telur ceplok sesuai permintaan Swandito. Lezat. Memuaskan.

Dan dengan setengah hati Swandito menghabiskan mi instan polos yang sudah terlanjur dimasaknya. Tentu saja terasa jauh lebih hambar dari biasanya walaupun semua bumbu sudah ia masukkan dengan sempurna.

Bagaimana denganmu siang ini, Jeng? Menikmati makan siang yang lezat bersamanyakah?

Swandito tercenung.

* * *

Didapatinya rumah sepi menjelang sore itu. Rengga melongok ke kamarnya. Kosong. Tak ada Lili di sana. Ia pun melanjutkan langkahnya ke belakang, hendak ke rumah orangtuanya. Tapi langkah itu terhenti di teras belakang.

Lili tampak tidur meringkuk di atas karpet, dengan beberapa mainan masih tersebar di sekitarnya. Dan di sebelahnya ada Denna. Berbaring telungkup dengan sebelah tangan menjulur, memeluk Lili. Sebelah tangan Lili pun terjulur dengan ujung jemari ada di helai-helai ujung rambut Denna.

Rengga terdiam di tempatnya berdiri. Menatap semuanya itu dengan hati teraduk. Ia bimbang sejenak. Harus membangunkan keduanya karena hari mulai sore? Ataukah membiarkannya saja?

Ketika ia hendak beranjak dan memutuskan untuk membiarkan saja Lili dan Denna tetap terlelap, pintu belakang terbuka. Ia buru-buru meletakkan telunjuknya di depan bibir ketika ibunya membuka mulut.

Suryani menatap Rengga, bertanya. Rengga hanya menunjuk ke satu arah. Ketika Suryani mendekat, barulah ia paham mengapa harus menahan suaranya. Rengga berbalik, masuk ke dalam rumah. Suryani mengikutinya dari belakang.

“Jadi, bagaimana?” Suryani bertanya dengan suara rendah, tanpa basa-basi.

“Apanya, Bu?” Rengga tersenyum. Berusaha mengelak.

“Hasil pertemuanmu dengan Dahlia,” Suryani nyaris tak sabar lagi.

Rengga mengisi gelas yang dipegangnya dengan air dingin dari botol yang diambilnya dari dalam kulkas. Mengulur waktu.

“Ngga...,” Suryani sudah tak sabar lagi. “Piye?

Rengga menatap ibunya. Sejenak kemudian ia meraih bahu Suryani dan mengajaknya duduk di teras depan.

“Kami bicara banyak, Bu,” ucap Rengga lirih. “Tentang apa yang sudah kami alami, tentang apa yang tak bisa kami lalui bersama...”

Suryani menunggu kelanjutan kalimat Rengga dengan wajah penasaran. Rengga menghela napas panjang sebelum meneruskan ucapannya.

“Kami sudah memutuskan, bahwa kami akan meraih apa yang masih bisa kami raih. Menggunakan semua kesempatan yang masih bisa kami gunakan. Karena kami berhak atas bahagia itu, Bu... Dahlia dan saya.”
                                                                                                             
Suryani terhenyak di tempat duduknya.

“Dan Lili masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Itu bagian yang terpenting.”

Suryani seolah membeku. Ditatapnya Rengga.

“Lalu bagaimana dengan pembicaraan kita bertiga semalam? Tentang kau dan Denna?”

Rengga balas menatap Suryani. Tersenyum.

“Jadi begini, Bu...”

* * *

Denna mendadak merasa terusik. Ia membuka mata dan mendapati Lili masih terlelap dengan wajah imutnya yang terlihat damai. Sesaat kemudian telinganya menangkap suara bernada rendah yang tak begitu jelas. Ketika suara itu tak terdengar lagi, ia memberanikan diri untuk berjingkat masuk ke dalam rumah.

Suara itu terdengar lagi. Rendah, berat, dalam. Suara Rengga. Dari arah depan. Ia kemudian berdiri di belakang pintu yang terbuka separuh.

“...Karena kami berhak atas bahagia itu, Bu... Dahlia dan saya. Dan Lili masih sangat membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Itu bagian yang terpenting.”

Sudah cukup!

Denna berbalik dan melangkah gontai. Ia akan segera kehilangan Lili. Selamanya. Bagaimanapun seorang ayah seperti Rengga jauh lebih berhak untuk menentukan kehidupannya sendiri bersama putrinya. Dan ia masihlah berada di luar lingkaran itu walaupun posisinya tak jauh. Bibi dari Lili.

Maafkan aku, Mbak... Tak bisa memenuhi harapan terakhir Mbak Rana, sebesar apapun rasa sayangku pada Lili. Tapi siapapun perempuan itu, semoga nanti bisa menjaga Lili dengan baik, dan menyayangi dia sepenuhnya...

Didekatinya Lili. Sejenak ditatapnya gadis kecil itu sebelum menepuk-nepuk pipi bulat Lili dengan sangat lembut.

“Li... Li...,” bisik Denna. “Bangun yuk... Sudah sore. Li...”

Denna menciumi pipi Lili. Lili menggeliat ketika merasakan gangguan itu. Ia lalu menguap dan mengerjap-ngerjapkan matanya yang dinaungi bulu mata yang sangat lentik. Sama seperti milik Denna.

“Yuk, bangun. Mandi...,” bujuk Denna halus.

Lili menguap lagi, kemudian mengulurkan kedua tangannya pada Denna. Denna segera menyambut uluran tangan itu, kemudian menggendong Lili dengan penuh kasih sayang ke kamar mandi.

Tampaknya tugasnya memang harus selesai sampai di sini. Berakhir dengan kegagalan untuk memenuhi permintaan terakhir Rana. Menjaga suami dan putri kecil kakak tercintanya itu.

“Tante kok nangis?”

Denna tersentak. Ia buru-buru menggeleng.

“Ini... mata Tante kena cipratan sabunnya Lili. Perih...”

Dan ia ingin semua itu selesai secepatnya. Agar secepatnya pula ia mengepak seluruh bajunya, dan meninggalkan tempat itu. Karena harapannya sudah pecah terburai. Tanpa bisa dipungut lagi dan direkatkan kembali semua remahnya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga  #11


Catatan :

1. Gedhe dhuwur (gedhe = besar ; dhuwur = tinggi) = tinggi besar.
2. Baguse = gantengnya.
3. Thuk-mis (berasal dari istilah bathuk klimis) = mata keranjang.
4. Ngendika (baca : ngendiko) = bicara ; mengutarakan


11 komentar:

  1. Maca karo ketenggengen dik ckckckck ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ojo suwe-suwe ketenggengen, Mbak. Lali masak blaen engkok... Hihihi...
      Makasih mampirnya...

      Hapus
  2. Balasan
    1. Hehehe... dikiiit lagi ketauan hasilnya kok, Bu...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  3. oh garwa itu artinya sigaraning nyawa. Belahan jiwa. Ck, inilah nasib anak jawa kelahiran sumatera... hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Pujakesuma ya? Putri Jawa kelahiran Sumatera...
      Makasih dah mampir, Mbak...

      Hapus
  4. wis to..sama Denna aja Rengga...yg bulum punya suami..kasihan Swandito...to..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Pada punya jagoan sendiri-sendiri.
      Makasih mampirnya ya, Mbak Bekti...

      Hapus