Kamis, 12 November 2015

[Cerbung] Ruang Ketiga #8







Episode sebelumnya :  Ruang Ketiga #7


* * *


Delapan


Hening.

Dahlia pelan-pelan membuka matanya. Bagian ranjang di sebelahnya sudah kosong. Dahlia tersentak. Ia segera bangun dan mendapati bahwa dua buah kopor besar dan dua buah travel bag yang sudah disiapkan sendiri oleh Swandito semalam, begitu mereka pulang dari peringatan 40 hari mendiang Wulansari Rumekso, sudah lenyap dari sudut kamar.

Ia termangu sesaat. Masih tak percaya bahwa ia sekarang sendirian. Benar-benar sendirian. Bahkan tak pernah ada Mbok Saminten dan Pak Karsiman di hari Minggu seperti ini. Diam-diam ia keluar dari kamar dan melongok ke garasi. Hanya ada city car miliknya di sana. Tak ada lagi SUV Swandito.

“Dia ndak pamitan padaku,” gumam Dahlia, setengah linglung.

Perlahan ia menjatuhkan badannya di atas sofa panjang. Tatapannya berlabuh pada jam dinding di atas televisi. Sudah hampir pukul sembilan. Ketika ia hendak berbaring di sofa itu, telinganya mendengar notifikasi BBM disertai bunyi PING!

Dengan malas ia melangkah ke kamar untuk mengambil ponselnya. Ia baru membuka akun BBM-nya setelah duduk kembali di sofa. Dikedipkannya mata beberapa kali. Swandito.

‘Aku sudah sampai Jogja, Jeng. Maaf aku ndak pamitan. Aku ndak mau mengganggu tidur panjenengan. Jangan lupa makan. Jaga kesehatan. Sampai bertemu lagi.’

Dahlia menyusut airmatanya. 

Obat tidur sialan!

Tiba-tiba saja ia menyesal kenapa semalam ingin istirahat secepatnya dengan cara menelan sebutir obat tidur. Direbahkannya tubuhnya di atas sofa. Selanjutnya ia memejamkan mata. Ia tak ingin berbuat sesuatu yang lain.

* * *

Entah sudah berapa lama Dahlia terlelap. Ia mengerjapkan mata ketika mendengar suara ketukan di pintu. Dan kini suara ketukan itu sudah menyerupai gedoran.

Dahlia sepenuhnya terjaga. Hal pertama yang ada di benaknya adalah Swandito.

Dia kembali?

Tanpa berpikir panjang ia berlari ke arah pintu. Wajahnya menyimpan harapan.

Dia kembali!

“Mas Swan!” ucapnya bersamaan dengan pintu yang ia buka.

Tapi seketika wajahnya menjadi layu.

Bukan Mas Swan...

Tanpa terkendali, ia mulai terisak. Dan sejenak kemudian tersedu dalam pelukan orang yang menggedor pintu rumahnya.

* * *

Pintu terbuka.

“Mas Swan!”

Priyo terperangah. Dahlia menatapnya dengan mata berbinar. Tapi sekejap kemudian binar itu meluruh, diganti oleh tetesan airmata yang menderas. Tanpa banyak kata, Priyo meraih dan mendekap putrinya.

Dibiarkannya Dahlia menangis sampai puas. Sedikit banyak ia memahami apa yang belakangan ini terjadi. Antara Dahlia dan Swandito. Sesungguhnya, ia merasa sangat bersalah karena telah mengijinkan Seruni mengundang Rengga tempo hari.

Ditunggunya dengan sabar hingga sedu-sedan Dahlia berangsur reda menjadi isakan-isakan kecil. Setelah dirasanya Dahlia lebih tenang, Priyo melepaskan pelukannya. Ia mengambil segelas air dingin dari dalam kulkas, kemudian kembali dan menyodorkan gelas itu pada Dahlia.

“Ini,” ucapnya lembut, “minum dulu, Ndhuk...”

Dahlia menerima gelas itu sambil terbata-bata mengucapkan terima kasih. Priyo duduk di sebelahnya. Membelai-belai rambut Dahlia dengan begitu lembutnya. Setelah isi gelas itu berkurang separuh, dan Dahlia terlihat jauh lebih tenang, Priyo mulai bertanya. Perlahan-lahan. Sehalus mungkin.

“Sekarang ceritakan pada Romo, ada apa sebetulnya, Ndhuk?”

Perlu jeda beberapa detik sebelum Dahlia mengungkapkan semuanya. Tentang kemunculan kembali Rengga. Tentang kehendak Swandito. Tentang hatinya. Semuanya. Priyo mendengarkannya dengan sabar. Tanpa ingin memotong sedikit pun.

Setelah Dahlia kembali terdiam. Hening dalam wajah lelahnya, barulah Priyo berusaha menanggapi.

“Pertama,” Priyo merengkuh bahu Dahlia, “Romo, mewakili juga kanjeng Eyang dan Ibu, minta maaf yang sebesar-besarnya karena sudah membuat hidupmu jadi seperti ini.”

“Tapi, Romo...

"Sst...,” Priyo mengetatkan rengkuhannya ketika Dahlia hendak membantah, “dengarkan Romo dulu, Ndhuk...”

Dahlia kembali terdiam. Mendengarkan baik-baik.

“Bagaimanapun, semua yang terjadi saat ini padamu berawal dari sebuah kesalahan. Kesalahan kami dalam memilihkan jodoh yang ternyata sangat tidak tepat buatmu. Dan kesalahan itu hampir berulang terhadap adikmu. Walaupun semuanya berhasil menyadarkan eyangmu terhadap kesalahannya, tapi waktu tak bisa diputar ulang. Sejujurnya Romo jauh lebih hancur daripada yang kau kira. Melihatmu babak-belur, hampir mati, kehilangan masa depan, ayah mana yang masih bisa tersenyum? Apalagi ayah yang satu ini sepenuhnya turut terlibat dalam kemalangan yang menimpa putrinya. Yang membuat Romo bangkit lagi adalah ketegaranmu, dan kekuatanmu menghadapi hari esok.”

Dahlia mendesah.

“Kedua,” lanjut Priyo. “Romo berterima kasih karena kau sudah menyelamatkan Seruni. Hal yang seharusnya Romo lakukan, tapi nyatanya tidak. Yang membuat Romo sungguh menyesal, kenapa harus ndhuk Dahlia-ku yang paling cantik ini yang jadi tumbalnya lagi?”

Dahlia menengadah. Matanya menangkap telaga bening yang hampir tumpah dari mata ayahnya. Pelan ia melingkarkan tangannya di sekeliling tubuh besar Priyo. Disandarkannya kepala pada dada Priyo. Laki-laki itu balas memeluknya.

“Sedikit pun, saya ndak pernah menyalahkan Romo, atau Eyang, atau Ibu,” bisik Dahlia. “Pernah kecewa, marah pada diri sendiri karena saya ndak mampu mengelak. Tapi pada akhirnya saya bisa berdamai dengan kepahitan itu. Gusti mboten nate sare1), Romo... Saya percaya betul hal itu. Pada akhirnya Gusti mendengar semua doa saya, sehingga saya bebas dari semua hal yang menyakiti saya.”

Dahlia mengela napas sejenak. Priyo mengecup puncak kepala Dahlia.

“Dan Mas Swan...,” Dahlia melanjutkan, setengah mendesah. “Sejak awal saya tahu dia ndak sempurna. Tapi dia bukan iblis seperti suwargi Mas Dipta. Dan saya benar-benar ndak bisa membiarkan Seruni terjebak dalam pernikahan dengan orang yang salah, yang belum bisa dibayangkannya. Saya sudah pernah menjalani pernikahan yang seperti neraka. Ndak jadi masalah bagi saya, seperti apapun kondisi Mas Swan. Nyatanya, dia sangat menghargai saya, menerima saya apa adanya sebagai teman hidup. Kami bersahabat dengan sangat baik. Membina hubungan yang menyenangkan. Mungkin sama sekali lain dengan pernikahan normal seperti yang dijalani orang-orang pada umumnya. Saya hanya berusaha menikmatinya, Romo... Sesuatu yang saya pilih sendiri untuk saya jalani. Saya bukan tumbal. Tapi Mas Swan...”

Airmata Dahlia mendadak luruh lagi.

“Swandito ke mana?” bisik Priyo.

“Menyingkir... ke Jogja...,” jawab Dahlia terbata. “Memberi saya... kesempatan... untuk menjalin... komunikasi lagi... dengan... Mas Rengga...”

“Oh...”

“Saya pikir dia berubah pikiran..., lalu kembali... Saya kira... dia yang... pulang. Ternyata...”

“Ternyata orang yang sama sekali ndak kau harapkan yang tiba-tiba saja methungul2) di depanmu?” Priyo mencoba bercanda.

Dahlia tertawa di tengah derai airmatanya. Priyo tersenyum menatap Dahlia. Disingkirkannya dengan lembut helaian rambut yang jatuh di kening Dahlia.

“Sekarang bagaimana?”

Dahlia menggeleng. “Saya belum tahu, Romo. Belum bisa berpikir.”

“Coba pertimbangkan keinginan Swandito,” tutur Priyo. “Coba tengok hatimu sendiri.”

Dahlia mengangguk-angguk. Walaupun hatinya masih ragu.

“Sekarang mandilah, Ndhuk. Dandan yang cantik, siang ini kita kencan yang seru!”

“Kok Romo tahu saya belum mandi?” Dahlia berdiri dengan wajah tersipu.

“Percuma jadi ayahmu selama tiga puluh satu tahun lebih kalau ndak bisa membedakanmu sudah mandi atau belum,” Priyo terkekeh.

Dahlia meringis sekilas. “Ngomong-ngomong, Romo kok ndak sama Ibu?”

“Lha ibumu sibuk sendiri packing barang-barang Seruni. Romo ndak diurusi. Ya sudah, Romo ke sini saja.”

Dahlia mengulum senyum mendengar ada nada merajuk dalam suara ayahnya, sebelum mengundurkan diri ke dalam kamarnya.

* * *

Meninggalkan Jakarta dan kembali ke Solo ternyata banyak sekali membawa perubahan. Terutama perubahan pada hatinya. Jadi sering terjungkir-balik tak keruan belakangan ini. Apalagi setelah benar-benar bertemu kembali dengan Dahlia.

Pelan Rengga menggelengkan kepala. Kabar kematian Pradipta, tentu saja ia sudah mendengarnya sejak lama. Tapi ia tak pernah berani memikirkan kemungkinan ‘terbaik’ yang tersisa untuknya setelah kematian Pradipta. Masih ada Rana di sisinya saat itu. Dan ia hanya punya sedikit waktu untuk membahagiakan Rana. Hanya mencapai waktu enam tahun. Dan sudah berakhir setahun yang lalu.

Ada harapan yang tiba-tiba saja bersemi kembali walau ia masih berduka dengan kematian Rana. Dan ia memutuskan untuk mencoba menelusuri jejak harapan itu. Kembali ke Solo. Berharap bertemu kembali dengan Dahlia. Sayangnya status Dahlia sudah kembali bersuami.

Menyesal?

Rengga menggeleng samar. Setidaknya ia tak lagi terlalu kerepotan mengurus Lili sendirian. Di sini, statusnya sebagai pewaris usaha keluarga memberinya waktu longgar untuk mengurus Lili. Di samping itu masih ada ibu dan ayahnya, yang dengan senang hati membantu mengawasi Lili bila ia harus berada di luar rumah untuk urusan bisnis.

“Ini tempatnya, Ayah?” Lili melongokkan kepalanya, melihat lebih jelas dari balik kaca jendela mobil yang masih tertutup.

“Hm... Sepertinya iya,” gumam Rengga sambil membelokkan mobilnya, masuk ke area parkir.

“Uwiii... Kelihatannya asyik!”

Rengga tersenyum lebar mendengar ada nada antusias dalam seruan putrinya. Sejenak kemudian, mereka sudah bergadengan tangan masuk ke dalam rumah makan berkonsep kampung wisata kuliner itu.

Oh, no!

Napas Rengga hampir terhenti. Tapi terlambat! Lili rupanya sudah melihat juga siapa yang ia lihat.

“Lili!” seru Rengga kaget.

Segera dikejarnya Lili yang lepas dari tangannya dan berlari ke satu arah sambil berseru-seru, “Tante Dahlia! Tante Dahlia!”

* * *

Romo tahu saja ada tempat nongkrong asyik seperti ini,” celetuk Dahlia sebelum menyuapkan sesendok nasi pecel ke dalam mulutnya.

“Ya tahulah...,” gumam Priyo sambil menikmati thengkleng kesukaannya. “Wong sering kencan di sini sama ibumu.”

“Kok ndak pernah ketemu to?” Dahlia mengerutkan kening. “Saya juga sering ke sini lho, sama Mas Swan.”

Ndak jodho3) itu namanya,” jawab Priyo seenaknya. Membuat Dahlia tergelak.

“Terus, kalau sering ketemu ndak sengaja, itu namanya jodoh?”

“Bisa jadi...”

“Ini ngomong apa to, Romo?” Dahlia masih tergelak.

Ha yo embuh4)...,” Priyo tersenyum lebar, seolah tanpa dosa, sambil sedikit menjauhkan piringnya yang telah kosong dari depannya.

Tapi tawa Dahlia lenyap ketika telinganya menangkap seseorang menyebut namanya dengan suara yang nyaring. Ia menoleh dan mendapati Dahlia kecil tengah berlari ke arahnya.

“Lili...?” gumamnya.

Sopo5)?” tanya Priyo.

Tapi pertanyaan itu tak perlu dijawab oleh siapa pun. Karena Priyo masih cukup mengenali siapa sosok tinggi besar yang melangkah lebar di belakang gadis kecil berpipi bulat itu.

* * *

Rengga tampak berdiri serba salah ketika melihat Lili mencium punggung tangan Dahlia yang diraihnya tanpa permisi.

“Tante...,” ucap Lili, sopan.

“Halo, Lili!” senyum Dahlia.

Ada rona senang sekaligus salah tingkah di wajah Dahlia. Dielusnya kepala Lili dengan sayang.

“Lili, salim sama Kakung6) ya,” ucap Dahlia halus.

“Weee... tangan Kakung masih kotor, Ndhuk... Sebentar ya? Kakung cuci tangan dulu,” Priyo segera bangkit dan pergi untuk mencuci tangannya. Tapi sebelum melangkah ia sempat menoleh ke arah Rengga sembari berucap, “Monggo, duduk dulu, Mas...”

Rengga tak punya pilihan lain kecuali mengangguk dan duduk di kursi seberang kursi Priyo. Lili sendiri tampak menggayut manja pada Dahlia.

“Lili sudah makan belum?” tanya Dahlia sabar.

Saat itu tangan Rengga terulur padanya. Mau tak mau Dahlia menyambutnya. Keduanya sama-sama agak gemetar. Dengan telapak tangan terasa dingin.

“Apa kabar, Jeng?” tanya Rengga, nyaris hanya menyerupai gumaman.

“Baik,” jawab Dahlia sambil buru-buru melepaskan tangannya dari genggaman Rengga.

Ia kemudian kembali menatap Lili dan mengulangi pertanyaannya, ”Lili sudah makan?”

Lili menggeleng. “Baru datang, Tante,” jawabnya manis.

“Oh...”

“Lili jangan ganggu Tante sama Kakung ya? Yuk, kita pesan makanan dulu,” bujuk Rengga dengan nada sabar.

“Lili belum salim Kakung,” Lili menatap ayahnya dengan sorot mata memohon.

Tepat saat itu Priyo kembali dengan senyum lebarnya.

“Pak...,” Rengga buru-buru berdiri sambil membungkuk sedikit dan menjabat tangan Priyo.

“Mas Rengga...,” tangan kiri Priyo menepuk lembut bahu Rengga. “Bagaimana kabarnya, Mas?”

“Baik, Pak. Bapak?”

“Baik juga...”

Priyo kemudian membungkuk di depan Lili.

“Nah, sekarang tangan Kakung sudah wangi,” ucapnya dengan wajah cerah. “Sudah ndak bau kambing lagi, hehehe...”

Lili pun tergelak sambil menyambut uluran tangan Priyo, kemudian mencium punggung tangan seperti biasa. Sopan sekali. Dan Priyo merasa sangat terkesan dengan sikap baik yang ditunjukkan Lili.

“Siapa namanya, ndhuk cantik?”

“Dahlia...”

Priyo tampak sedikit terperanjat. Tapi ia menutupinya dengan senyum.

“... tapi biasanya dipanggil Lili.”

“Oh, Lili... Sudah kelas berapa?”

“Besok mau sekolah SD, Kung...

“Wah, anak pintar!” Priyo mengacungkan jempolnya. “Sudah makan belum?”

“Belum,” Lili menggelengkan kepalanya.

“Ayo, pilih makanan sama Kakung yuk!” ucap Priyo seraya meraih tangan Lili.

Romo...

“Pak...”

Dahlia dan Rengga mencoba memprotes bersamaan. Tapi Priyo menggeleng sambil tersenyum. Ditatapnya Rengga.

“Sudahlah, ndak apa-apa, Mas. Cucu-cucuku sudah beranjak mau ABG. Sudah ndak lucu lagi seperti ini. Monggo, slirane7) pilih makanan dulu, duduknya di sini saja.”

Nada suara Priyo seakan tak ingin dibantah. Membuat Dahlia dan Rengga menyerah. Hanya menatap Priyo yang menjauh dengan menggandeng tangan Lili.

* * *

“Hanya dengan Romo?” tanya Rengga sekembalinya dari memesan makanan.

Dengan ekor matanya ia melihat bahwa Priyo dan Lili tengah duduk sambil bercakap-cakap. Terkesan begitu asyik.

“Ya,” Dahlia mengangguk sambil menyesap wedang uwuh-nya, mengurangi rasa gugup.

“Dik Seruni bagaimana kabarnya?”

“Baik. Baru beberapa hari lalu kembali dari bulan madu.”

Hening sejenak.

Forgive me, Jeng... And I’m so sorry about everything,” ucap Rengga kemudian, lirih.

“Seharusnya aku yang minta maaf,” sahut Dahlia cepat. Terlalu cepat. Seolah takut kehabisan napas.

Ndak...

“Ya,” sahut Dahlia lugas. “Karena aku ndak berani berjuang.”

Rengga menatap Dahlia. Dalam. Segera saja didapatinya banyak sekali sisa goresan luka dalam mata Dahlia.

“Kalau boleh tahu, kenapa ibu Lili meninggal?”

Rengga menghela napas panjang sebelum menjawab, dengan mimik duka menghiasi wajahnya. “Rana lemah jantung sejak kecil. Impiannya sederhana. Menikah, punya suami, punya anak, punya keluarga. Dan ketika aku tak punya harapan lagi karena panjenengan sudah menikah dengan suwargi Pradipta, aku menyetujui permintaan Mbak Mila untuk menjodohkan aku dengan Rana, adik sahabatnya. Kami menikah tujuh tahun yang lalu. Lili lahir setahun kemudian dengan perjuangan habis-habisan dari Rana. Dia bertahan, tapi kondisinya terus menurun saat hamil lagi. Aku kecolongan. Dia melepas alat KB-nya tanpa sepengetahuanku. Hanya enam bulan dia bertahan. Lalu dia pergi, membawa serta adik Lili. Begitulah...”

“Dahlia...,” desah Dahlia dengan airmata mengembang. “Kenapa namanya Dahlia?”

“Rana yang memberinya nama,” berkali-kali Rengga mengerjapkan matanya yang juga berair. “Dengan harapan supaya aku selalu mencintai Lili seperti aku selalu mencintai panjenengan.”

Dahlia kehilangan kata.

Kalau sudah begini, harus bagaimana?

Tatapannya menerawang jauh.

Dan ketika cinta itu masih ada, masih tersimpan rapi, lantas bagaimana?

Ia tertunduk kemudian, dan menggumam, “Dia perempuan yang baik. Sangat baik.”

“Ya,” Rengga mengangguk. “Dan aku bahagia bisa memberinya kehidupan yang dia impikan hingga detik terakhir hidupnya.”

Dahlia menelan ludah. Terasa pahit.      

Sungguh-sungguh berbanding terbalik dengan nerakaku bersama Pradipta...

* * *

Bersambung ke episode berikutnya :  Ruang Ketiga #9


Catatan :

1. Gusti mboten nate sare = Tuhan tidak pernah tidur.
2. Methungul = muncul (secara tak terduga).          
3. Jodho = jodoh.
4. Ha yo embuh = wah, tidak tahulah.
5. Sopo = siapa.
6. Kakung (kependekan dari eyang kakung) = kakek.
7. Slirane = anda.

16 komentar:

  1. Dan ketika cinta itu masih ada, masih tersimpan rapi, lantas bagaimana?...

    dipun lajenganken kemawon Mbak Lia...Mas Swan rak sampun paring lampu ijo ta?# eh kok ndikte sing nulis...nunggu bae karo penasaran...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya, Mbak...

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Maksudnya ini apa ya, Mbak Siska? Kalo yang Anda maksud komen tanggal 16 Nov 2015 (dan Anda ingin menunjukkan bahwa komen itu telah saya hapus dengan sengaja) kenapa nongolnya baru tanggal 7 April 2016?

      Hapus
  2. Cinta yang saling menemukan, indah sekali

    BalasHapus
  3. Wegah aku, ngene iki...
    Wegaaaaaaahhhhhhhh....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... kabuuur... Nuwus mampire yo, Jeng...

      Hapus
  4. Balasan
    1. Jiaaah... melok mellow...
      Suwun mampire, Mbak...

      Hapus
  5. Balasan
    1. Wakakak... pukpuk Mbak Imas... Makasih mampirnya ya...

      Hapus
  6. Balasan
    1. Iya kali yaaa... Hehehe...
      Makasih mampirnya, Fris...

      Hapus
  7. benar-benar menguras air mata...mana gak disediain tissu pulaa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bawa anduk sendiri, Mbak, hehehe...
      Makasih mampirnya ya...

      Hapus