𝗦𝗲𝗽𝘂𝗹𝘂𝗵
𝙅𝙖𝙡𝙪𝙧 𝙃𝙖𝙩𝙞
"Jadi gimana, Tan?" Bara menyandarkan punggungnya.
"Kamu ... yakin dengan perasaanmu?" Carina balik bertanya.
Bara mengangguk mantap. Sudah cukup lama ia mengenal Lily. Makin hari makin memahami perasaannya terhadap Lily.
"Tapi ... bagaimana kalau Lily justru salah memahami?" gumam Carina.
"Enggak, Tante," Bara meyakinkan Carina. "Percaya sama aku. Lagipula selama ini kami juga tidak seintens itu. Aku sibuk, dia juga sibuk. Interaksi kami tidak lebih akrab daripada sekadar teman."
Carina manggut-manggut. Sejujurnya, ia percaya dengan omongan keponakannya itu, tapi ia masih harus meyakinkannya sendiri.
"Hmm ... coba nanti aku ulik lagi," gumam Carina.
"Ya, sudah kalau begitu, Tan. Aku pamit dulu."
Bara pun berdiri, kemudian mencium punggung tangan Carina dengan takzim. Carina mengiringinya keluar dari ruang kerja.
* * *
Putra sulungnya sudah cukup lama menduda. Masih sulit membuka hati kembali seusai kepergian Salindri. Sudah lima tahun berlalu, tapi Erid masih juga betah sendiri. Padahal Carina yakin, perempuan sebaik Salindri pasti sudah mendapatkan tempat terbaik di Surga.
Seusai istirahat makan siang tadi Bara mengunjungi ruang kerja Carina di d'Nali Jewellery. Bercerita bahwa Erid sudah mulai 𝘬𝘦𝘱𝘰 tentang Lily. Terkesan sambil lalu. Namun, bagi Bara yang sudah seumur hidup mengenal Erid, sedikit ke-𝘬𝘦𝘱𝘰-an Erid sudah berarti banyak. Apalagi menyangkut lawan jenis.
Seberapa besar dan dalam cinta Erid kepada Salindri, seluruh keluarga besar mereka tahu. Seberapa sedih dan terpuruknya Erid ketika Salindri meninggal dunia, seluruh keluarga besar mereka pun jadi saksinya. Bahkan Erid masih menganggap dirinya suami Salindri hingga detik ini. Hanya mau melepaskan cincin kawinnya pada saat-saat tertentu dalam menunaikan tugasnya sebagai seorang dokter.
Kepergian Salindri yang sangat tiba-tiba pun sudah mengubah Erid menjadi sosok yang jauh lebih tertutup. Hidupnya adalah kerja, kerja, kerja. Apalagi setahun ini, setelah Baruna berpulang, dan Erid harus menggantikan ayahnya itu untuk mengendalikan jaringan RSGH. Masih sering mengobrol dengan keluarganya, terutama dengan ibu dan adiknya, tapi segera menghindar ketika masuk ke ranah pengganti Salindri.
Kini, tampaknya sudah ada yang mengusik hati Erid. Seorang perempuan muda mandiri bernama Lily. Bagi Carina, tidak penting status Lily sebagai seorang janda. Lily yang dikenalnya adalah sosok setia, sederhana, baik hati, dan seorang pekerja keras. Bahkan Lily adalah seorang janda yang masih gadis. Begitu yang dikatakan Bara. Info valid dari seorang informan tepercaya.
Carina melemparkan tatapannya ke luar jendela mobil. Sudah cukup anak sulungnya berkabung. Ia juga butuh seorang ahli waris d'Nali Jewellery. Kedua anaknya laki-laki semua, dan satu-satunya menantu perempuan yang masih ia miliki lebih memilih berkarier sebagai seorang dosen. Siapa yang lebih bisa dititipi d'Nali Jewellery selain Lily?
Bukannya ia tidak memiliki pegawai lain yang kompeten. Namun, harus bagaimana lagi kalau semuanya sudah berkeluarga? Lalu, ia mengenal sosok Lily. Baru sekitar setahun, tapi hatinya sudah tertambat. Baginya, Lily adalah orang yang tepat untuk masa depan d'Nali Jewellery dan putra sulungnya.
'𝘚𝘦𝘢𝘯𝘥𝘢𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘢𝘴𝘪𝘩 𝘩𝘪𝘥𝘶𝘱, 𝘗𝘢, 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘴𝘦𝘯𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘬𝘢𝘭𝘪 𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘢𝘯𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘓𝘪𝘭𝘺,' gumam Carina dalam hati. '𝘒𝘢𝘮𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪 𝘫𝘶𝘨𝘢 𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘯𝘨𝘢𝘵 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘦𝘱𝘦𝘳𝘵𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘚𝘢𝘭𝘪𝘯𝘥𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘯 𝘋𝘢𝘯𝘪𝘵𝘢.'
Baruna Garudeya dan Carina Denali hanya punya dua orang putra. Komplikasi yang dialami Carina saat hamil si bungsu membuat mereka mengambil keputusan untuk 'sudah cukuplah dua anak saja'. Laki-laki semua, apa mau dikata? Toh, pada akhirnya mereka punya juga menantu-menantu perempuan rasa anak sendiri, saking sayangnya.
Kini, saat ada tanda-tanda bahwa Erid mulai tergugah. Tampaknya Carina pun harus mulai memikirkan cara.
"San, putar balik di bundaran depan, ya," ucap Carina pada sopirnya. "Kayaknya aku ingin menginap di rumah Erid saja."
"Baik, Bu," jawab Hasan.
* * *
Erid baru saja selesai mandi ketika pintu kamarnya diketuk dari luar.
"Ya, Yuk?!" seru Erid sambil memakai kaus oblongnya.
"Ada Ibu, Mas."
"Hah?" Erid buru-buru membuka pintu kamar. "Mama?"
"Iya, Bu Arin," jawab Atik. "Baru saja saya antar ke kamar. Mau menginap, katanya. Saya masakkan gimana, Mas?"
Sesuai kesepakatan tadi pagi sebelum Erid berangkat bekerja, Atik tidak perlu memasak. Erid bermaksud makan di luar sore ini, sedangkan pasangan Atik dan Nono dibebaskannya untuk mengatur sendiri makan mereka. Mau memasak sendiri silakan, mau pesan makanan daring juga boleh.
"Biar aku ajak makan di luar saja, Yuk," putus Erid.
Atik mengangguk dan undur diri. Bersamaan dengan itu, pintu kamar di sebelah kamar Erid terbuka, dan Carina pun muncul. Tampak segar dengan daster rumahan krem berbunga merahnya, dan kaki dialasi sandal jepit sejuta umat.
"Mama nggak bilang kalau mau menginap," ujar Erid sambil mencium kedua pipi Carina.
"Tiba-tiba saja ingin," senyum Carina. "Kamu tumben jam segini sudah ada di rumah?"
"Aku, 'kan, Jumat sore gini nggak praktik, Ma. Eh, Ma, Yuk Atik sudah telanjur nggak kusuruh masak hari ini. Makan di luar, yuk!" ajaknya.
"Boleh .... Mama lihat di dekat GOR ada pujasera baru. Mama terakhir ke sini kapan hari kayaknya baru tahap pembangunan." Carina digandeng Erid turun ke lantai bawah.
"Mama mau ke sana? Enak-enak, kok, makanannya. Bersih pula tempatnya."
"Mau! Mau! Jadi Mama nggak perlu ganti baju ini, ya."
"Nggak usaaah." Erid terkekeh. "Santai saja kita."
Erid pun menggiring Carina ke SUV miliknya yang masih ada di 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵. Beberapa menit kemudian mobil itu sudah meluncur membelah jalanan kompleks Griperga.
"Mama pindah ke sini saja, tinggal sama aku," celetuk Erid.
"Lah, Mama punya rumah sendiri, Rid." Carina tertawa ringan. "Lagipula sudah ada temannya di sana. Setengah mati Mama bujuk Ori supaya nggak keluar dari rumah setelah menikah, masa sekarang mau ditinggal?"
Erid pun terkekeh ringan.
"Seharusnya bukan Mama yang menemanimu, Rid," gumam Carina kemudian. "Sudah lima tahun, loh,"
"Giliran Erid suka, dia sudah ada yang punya, Ma." Erid tersenyum sumbang.
"Hah???" Carina benar-benar terperanjat. "Kamu nggak pernah cerita! Siapa???"
"Ada, deh," jawab Erid, terkesan main-main.
"Kamu ini, yaaa!" gerutu Carina. "Tapi sebelum janur kuning melengkung, Rid."
"Apa, sih, Ma?" Erid menoleh sekilas. "Masa nikung saudara sendiri?"
"Hah???" Carina lebih kaget lagi.
Saudara Erid, setidaknya kerabat dekat yang diakui Erid sebagai 'saudara sendiri', hanya tiga orang: Ori, Bara, dan Tamtama. Semua dari pihak Baruna, karena Carina anak tunggal.
Ori, adik kandung Erid, sudah menikah. Tamtama, saudara sepupu Erid, juga sudah menikah. Bara, saudara kembar Tamtama, memang masih lajang. Setahu Carina, Bara sedang lajang selajang-lajangnya.
'𝘓𝘢𝘭𝘶 𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢?' pikir Carina. '𝘈𝘵𝘢𝘶 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯-𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯 ....'
"Nggak mungkin kamu mau jadi pebinor saudara-saudaramu sendiri," ujar Carina. "Bara ... memangnya dia sudah punya pacar? Bukannya dia belum pacaran lagi sejak dikhianati Verisa?"
"Bara lagi dekat sama cewek," jawab Erid, menyerupai gumaman.
"Lily?" Carina mengangkat alis.
"Ya."
'𝘚𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘬𝘶𝘥𝘶𝘨𝘢! Carina menggeleng samar.
Makin besar pula tekadnya untuk mengurai kerumitan itu.
* * * * *
Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar