Selasa, 20 Agustus 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #13-1

 






Episode sebelumnya



* * * * *



𝗧𝗶𝗴𝗮 𝗕𝗲𝗹𝗮𝘀

𝙂𝙚𝙢𝙞𝙣𝙜 𝙎𝙚𝙜𝙤𝙧𝙚𝙨 𝙇𝙪𝙠𝙖 - 1



Lily menghela napas lega karena urusan dengan dosen pembimbing skripsinya selesai untuk sore ini. Revisinya mendapatkan persetujuan. Tinggal melangkah ke bab berikutnya. Lalu ... sedikit lagi paripurna. Padahal dosbingnya termasuk jajaran pembimbing 𝘬𝘪𝘭𝘭𝘦𝘳. 


Kampus masih lumayan ramai karena masih ada kelas sore hingga pukul delapan malam nanti. Sambil melangkah ke parkiran, Lily berbalas sapa dengan beberapa mahasiswa dan dosen yang dikenalnya.


Saat sudah masuk ke dalam mobil, ia menghela napas lega. Diliriknya jam digital di dasbor. Masih cukup waktu untuk meluncur ke pujasera kompleks. Ia ada janji untuk bertemu dengan Erid sore ini.


Siang kemarin, obrolan mereka memang harus terjeda jam kerja. Erid harus kembali bekerja, dan Lily harus segera ke d'Nali. Merasa masih banyak yang ia ingin obrolkan dengan Lily, Erid pun memberanikan diri mengajak Lily bertemu di pujasera sebelah GOR kompleks perumahan yang mereka huni. Lily menyetujuinya. Hari ini, walaupun agak malam, karena ia masih harus ke kampus seusai bekerja.


* * *


𝘈𝘬𝘶 𝘴𝘶𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘱𝘶𝘫𝘢𝘴𝘦𝘳𝘢, 𝘓𝘺. 𝘗𝘰𝘴𝘪𝘴𝘪 𝘱𝘢𝘴 𝘥𝘪 𝘥𝘦𝘱𝘢𝘯 𝘔𝘢𝘳𝘵𝘢𝘣𝘢𝘬 𝘗𝘶𝘳𝘯𝘢𝘮𝘢.


Lily menyempatkan diri memeriksa pesan yang mampir di aplikasi WA sebelum keluar dari mobilnya. Pesan Erid ada di bagian paling atas, dikirimkan sekitar empat menit yang lalu.


Angin berembus membawa sisa dingin hujan menjelang sore tadi. Lily melangkah masuk ke dalam pujasera sembari merapatkan kardigannya. Sambil berjalan, dibalasnya sapaan beberapa penyewa dan pekerja lapak makanan yang mengenalnya. Ia langsung menuju ke depan penjual martabak. Erid sudah menunggu di sana.


"Halo, Mas," sapanya sambil menghenyakkan diri di bangku seberang Erid, berbataskan meja. "Selamat sore jelang malam. Sudah lama? Maaf, telat."


"Hai! Selamat sore jelang malam juga," sambut Erid, mengulas senyum. "Baru beberapa menit. Aku sempat kena macet tadi di bundaran patung Punakawan."


"Ah, iya! Ini tadi juga masih macet sedikit. Sudah mulai terurai, sih, tapi tetap saja padat merayap."


"Langsung dari kampus?"


"Iya," angguk Lily.


"Ayo, kamu mau pesan apa? Aku juga belum pesan. Kamu belum makan, 'kan?"


Lily menggeleng, kemudian mengedarkan pandangannya. Sejenak kemudian pilihannya jatuh.


"Sup kacang merah saja, Mas. Sama ... sekoteng. Kayaknya enak dingin-dingin gini."


"Supnya sama nasi?"


Lily mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Sudah mereka sepakati kemarin siang, bahwa sore ini Eridlah yang akan mentraktirnya. 


"Oke, siap!" Dengan sigap Erid berdiri dan melangkah pergi.


Di luar rumah sakit, Lily merasa lebih bisa 'berteman' dengan Erid. Pun laki-laki itu. Terkesan lebih akrab.


Lily mengembuskan napas pelan-pelan sambil menatap punggung kukuh Erid. Dengan kemeja merah marun yang masih terlihat rapi dan sekilas menebarkan aroma wangi 𝘮𝘶𝘴𝘬, dan lengan panjangnya yang sudah terlipat hingga ke siku, Erid sungguh ....


'𝘚𝘦𝘬𝘴𝘪? 𝘗𝘢𝘥𝘢𝘩𝘢𝘭 𝘣𝘢𝘳𝘶 𝘥𝘪𝘭𝘪𝘩𝘢𝘵 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨.'


Sedetik kemudian Lily menepuk keningnya. Berusaha keras mengeluarkan pikiran 'kotor' itu dari kepala.


'𝘏𝘶𝘶𝘶𝘧𝘵!'


Beberapa menit kemudian Erid kembali. Membawa dua bungkus kerupuk kakap dan dua botol air mineral. Setelah duduk kembali, dibukanya satu bungkus kerupuk, kemudian disodorkannya pada Lily sebelum membuka bungkusan satunya.


"Ngemil dulu, Ly," ujarnya, "sambil menunggu."


Lily mengangguk, kembali mengucapkan terima kasih.


"Kamu sehari-harinya baru pulang jam segini?" tanya Erid.


"Dulu awal-awal kuliah iya, tapi belakangan ini sudah enggak, sih. Tadi cuma janjian sama dosen pembimbing."


"Skripsi?"


Lily menjawabnya dengan anggukan. Bersamaan dengan itu, makanan yang dipesan datang. Ternyata Erid menyamakan pesanannya dengan pesanan Lily. Pramusaji menghidangkan dua piring nasi putih, dua mangkuk sup kacang merah yang masih mengepulkan asap dan menguarkan aroma sangat sedap, dua bungkus emping melinjo, dan satu piring kecil berisi empat buah perkedel kentang.


"Perkedelnya ekstra dari Tante Suki," ujar pramusaji, tersenyum.


Lily segera menoleh ke arah lapak penjual sup kacang merah. Ada sang pemilik bernama Suki di sana, tengah menatap ke arahnya, tersenyum lebar. Lily pun berseru riang, "Makasih, Tante!"


Suki melambaikan tangan, kemudian mengacungkan jempol. Bersamaan dengan itu wedang ronde yang dipesan datang juga. Membuat meja kecil di depan Lily dan Erid terlihat penuh.


"Kamu kuliahnya ambil jurusan managemen bisnis, ya, Ly? Di mana?"


"Iya, Mas. Di UGW." (UGW = Universitas Garudeya Wiyata.)


"Loh, berarti kamu mahasiswa adikku?" Erid mengangkat alis dan melebarkan mata.


Lily balas menatap, bertanya.


"Adikku Ori, papa Loysi, 'kan, ngajar di sana," jelas Erid.


Lily mengerutkan kening. Rasa-rasanya tidak ada dosennya yang bernama Ori.


"Orionid Caldera," lanjut Erid.


'𝘈𝘴𝘵𝘢𝘨𝘢!' Lily menepuk keningnya.


"Pak Dera?" tanggapnya. "Doktor Dera?"


"Iya!" Erid menyambungnya dengan tawa.


"Dia dosbingku." Lily meringis. "𝘒𝘪𝘭𝘭𝘦𝘳 pula."


Tawa Erid makin kencang. "Masa, sih?"


"Dibilangin," gerutu Lily. "Tapi jangan bilang-bilang, ya?"


Erid masih melanjutkan tawanya. Sambil makan, mereka melanjutlan obrolan.


"Ngomong-ngomong, Loysi bener-bener sudah nggak apa-apa, Mas?" Suara Lily terdengar ragu.


Erid menatap Lily. "Iya, sudah nggak apa-apa, kok. Jangan khawatir. Apalagi kemarin sudah dapat gantinya. Dia suka banget."


Lily menghela napas lega. Tampaknya, ia memang harus melepaskan rasa bersalahnya.


"Justru aku minta maaf," sambung Erid. "Aku sudah bikin kamu repot."


"Enggaklah, nggak apa-apa."


"Mm ... tapi kata Danita, boneka pom yang kayak kamu kasih Loysi kemarin itu mahal, Ly. Aku ganti, ya? Minta nomor rekeningmu."


"Eh, nggak usah!" Lily buru-buru menolak. "Lagipula bukan aku, kok, yang belikan, tapi Fonso. Uang dia nggak bakalan habis walaupun beli tokonya sekalian. Oke-oke saja dia aku porotin."


Erid mengerjapkan mata. "Malah bikin repot pacarmu, Ly," gumamnya.


"Ralat," senyum Lily, menggeleng. "Bukan pacar. Dia adik Bang Adrian."


"Oh?"


"Dia ambil magister di Inggris. Sudah hampir selesai, tinggal tunggu wisuda. Pulang ke sini sebentar untuk nikahan Bang Adrian Sabtu besok ini."


"Oh, iya, aku dapat undangannya," gumam Erid. "Kukira dia pacar kamu."


"Hah?" Lily menunda memasukkan suapannya ke dalam mulut. "Enggak, kok, bukan. Aku anggap dia saudara, sama kayak Bang Adrian. Mereka, 'kan, sepupu mendiang suamiku."


'𝘓𝘢𝘭𝘶 ... 𝘱𝘢𝘯𝘨𝘨𝘪𝘭𝘢𝘯 '𝘭𝘰𝘷𝘦' 𝘪𝘵𝘶?' Erid mengerjapkan mata. Terombang-ambing antara ingin membahasnya lebih lanjut dan tidak. Namun, ia memutuskan untuk memilih yang kedua.


"Kalau boleh tahu, Ly, sudah berapa lama kamu sendirian lagi?"  Nada suara Erid terdengar sangat berhati-hati.


"Sekitar empat tahun," jawab Lily langsung, dengan nada sangat biasa. Mengalir begitu saja. "Ketika Pak Baruna wafat, itu pas aku cuti kerja karena ada acara doa peringatan seribu harinya Andru. Malamnya sesudah acara, atau entah dini hari, papa mertuaku meninggal dalam tidurnya. Aku baru tahu Pak Baruna wafat setelah masuk kerja lagi seminggu kemudian."


Erid mengangguk paham. Karena itulah mereka baru bertemu saat untuk sementara waktu Lily ditarik oleh Carina masuk ke yayasan, beberapa minggu lalu.


"Lalu ... mm ... aku belum pernah tahu ... istri Mas Erid," ucap Lily ragu-ragu, terbata-bata. "Kukira ... Bu Danita ... istri Mas Erid."


"Oh, itu ...." Erid menghela napas panjang.


* * *


𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙢𝙗𝙪𝙣𝙜 𝙝𝙖𝙧𝙞 𝙆𝙖𝙢𝙞𝙨


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar