Kamis, 15 Agustus 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #12

 





Episode sebelumnya


* * * * *



𝗗𝘂𝗮 𝗕𝗲𝗹𝗮𝘀

𝙎𝙚𝙗𝙚𝙣𝙩𝙪𝙠 𝙈𝙖𝙖𝙛



Hujan yang mengguyur bumi sejak sore kemarin hingga dini tadi menyisakan awan gelap di atas sana. Langit seakan sudah siap untuk menumpahkan kembali derai tangisnya. Sungguh, Senin pagi yang muram.


Pelan-pelan Lily melajukan mobil merahnya keluar dari 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵. Dari spion tengah, dilihatnya Enik menggembok pintu pagar sembari menggendong Athena. Sekilas Lily melirik ke jok sebelahnya. Kembaran Athena dalam bentuk boneka terbungkus plastik itu duduk manis, menanti diserahkan ke pemilik barunya.


Lily menghela napas panjang. Semalaman ia susah tidur. Masih merasa sebagai turunan nenek sihir paling jahat sedunia. Mungkin boneka kembaran Athena itu tidak akan mampu menghapuskan luka hati seorang anak kecil karena perbuatan impulsifnya semalam. Anggaplah sebagai sebentuk permintaan maaf, yang mungkin tidak akan pernah cukup.


Kembali dihelanya napas panjang ketika hujan mulai turun kembali rintik-rintik. Menambah muram suasana pagi itu. Sampai di belokan terakhir sebelum mencapai RSGH, hujan seakan dicurahkan begitu saja dari langit. Dengan mulus, Lily meluncurkan mobilnya masuk ke area parkir khusus staf yang bagian atasnya tertutup atap baja ringan.


Dengan langkah cepat ia menyusuri koridor menuju ke arah sayap timur. Bahu kirinya menyandang tas besar berbahan denim yang berisi segala macam perangkat kerja, sedangkan tangan kanannya menggendong Athena imitasi. Ketika angin tiba-tiba saja berembus cukup kencang, tangan kirinya segera merapatkan kardigan.


Kantor yayasan masih kosong ketika ia tiba. Kehadirannya memang masih agak terlalu pagi, tapi sudah ada pekerjaan yang menunggunya. Pukul lima tadi Carina mengirimkan pesan melalui WA. Memberi tahu bahwa akan ada pasien kiriman dari Curug-Tangerang yang akan masuk pagi ini. Data pasien sudah dikirimkan kepadanya melalui email, dan Lily harus membuatkan surat-suratnya.


Ketika Lily sedang mencetak surat pernyataan yang nanti harus ditandatangani keluarga pasien, Elida datang. Bila Lily disibukkan dengan urusan administrasi, maka Elida dihadapkan pada urusan rumah singgah dan keperluan keluarga pasien.


"Ini pasien sudah jalan dari sana, Ly," ucap Elida. "Diperkirakan pukul sembilan sampai sini. Nggak tahu lagi kalau molor."


"Iya, Bu. Hujan deras begini."


"Tahu nggak, Ly, ini yang sakit anak ketujuh, loh." Elida mulai ber-𝘨𝘩𝘪𝘣𝘢𝘩. "Parahnya, si ibu sekarang hamil lagi."


Soal anak ketujuh, Lily sudah tahu dari data yang tadi masuk padanya. Namun, soal si ibu pasien yang sedang hamil anak kedelapan, ia baru saja tahu.


"Kok, Bu Elida tahu?" Lily mengerjapkan mata. Takjub.


"Perawat yang nanti mau ikut mendampingi ke sini itu teman sekolahku dulu, Ly," jelas Elida. "Yang cari cara buat perawatan lanjutan pasien itu juga dia, nembus ke sini lewat aku. Kalau aku, sih, kasihan sama anak itu, nggak kasihan sama emak-bapaknya."


Lily memahami seutuhnya ekspresi wajah Elida saat ini. Cemberut, seolah menahan kesal yang menggunung. Bagaimanapun, keluarga pasien itulah yang harus Elida urus.


"Nggak dibolehin KB sama suaminya," lanjut Elida, melanjutkan 𝘨𝘩𝘪𝘣𝘢𝘩-nya. "Duh, aku jadi ingin bilang 'miskin boleh, bego jangan'!"


"Yang jadi korban anak-anak juga," gumam Lily.


"Nah, itu dia!" sahut Elida dengan nada antusias.


"Selamat pagi."


Ucapan itu membuat Lily dan Elida seketika menoleh dan membalasnya. Carina masuk diikuti Erid yang menggendong Loysi. Seketika jantung Lily berdebar lebih kencang. Apalagi ketika Loysi buru-buru menyembunyikan wajahnya di leher Erid ketika tahu Lily ada di situ. Samar, Lily menghela napas panjang.


"Aduh! Anak cantik ikut ke sini!" seru Elida dengan wajah riang.


Memang, siapa yang tidak jadi riang melihat wajah cantik dan imut Loysi?


"Iya," jawab Carina. "Mamanya harus ngajar kelas pagi, papanya harus ke terbang ke Surabaya, ada seminar."


Lily tak terlalu memperhatikan ucapan Carina. Ia sibuk meraih Athena imitasi yang sejak ia datang tadi ia geletakkan di dekat kakinya. Dengan langkah ragu, ia mendekati Erid dengan Loysi masih menempel erat pada Erid.


"Loysi," ucap Lily, selembut mungkin, "Tante minta maaf, ya. Semalam harus bawa Athena pulang."


Yang dimintai maaf masih menyembunyikan wajahnya. Rasa bersalah makin menggunung dalam hati Lily. Fonso benar, anak ini pasti terluka sekali.


"Loy, Tante Lily minta maaf, tuh," bujuk Erid lembut, membelai kepala Loysi. "Mana wajah cantiknya?"


Gadis kecil itu bergeming. Lily mengangkat Athena imitasi ke depan Erid dan Loysi.


"Ini untuk Loysi," ujar Lily. "Kembaran Athena."


"Loh, bagusnyaaa!" Erid berusaha menarik perhatian Loysi. "Cantik dan lucu, sama kayak Athena."


Ucapan itu berhasil membuat Loysi mengintip sedikit. Kehadiran Athena imitasi yang terbungkus plastik bening membuat wajahnya segera beralih dari leher Erid.


"Aduh, lucunya!" seru Carina. "Kalau Loysi nggak mau, biar buat Moma saja, deh!"


"Eng ...." Loysi merengek kecil, tidak rela.


"Loysi mau?" Suara Erid terdengar sangat lembut. "Kalau mau, kasih maaf ke Tante Lily dulu, ya? Apalagi, 'kan, Athena memang punya Tante. Kita kemarin cuma pinjam."


Mata Loysi mengerjap lucu. Dengan ragu-ragu, diulurkannya tangan ke arah Athena imitasi. Lily menyerahkan boneka itu.


"Maafin Tante, ya?" ucap Lily setulus-tulusnya.


Loysi mengangguk. Begitu Athena imitasi berada dalam pelukannya, ia berbisik, "Atih, Ate."


"Sama-sama," balas Lily dengan senyum dan wajah lega.


Erid membawa Loysi duduk di sofa. Dibantunya Loysi membuka plastik pembungkus. Mata Loysi berbinar melihat boneka itu.


"Dadus!" serunya riang.


"Iya, bagus!" Erid turut berseru. "Sama kayak Athena, ya?"


Loysi mengangguk riang. Ia segera merosot dari pangkuan Erid, kemudian berlari dan menubruk kaki Lily. Refleks, Lily mengangkat dan menggendong Loysi yang masih memegang Athena imitasi.


"Atih, Ate," ucapnya lagi.


"Loysi suka?"


Gadis kecil itu mengangguk-angguk dengan mata berbinar. Lily lega sekali melihatnya.


"Nanti kalau Loysi sudah lebih besar, bisa merawat Athena beneran, Tante kasih yang kayak Athena, ya?"


Loysi kembali mengangguk-angguk. Lily gemas sekali melihatnya.


"Tante boleh cium pipi Loysi, nggak?" senyum Lily.


Loysi tidak menjawab, tapi langsung menyodorkan pipi kiri, kemudian pipi kanannya. Lily menciumnya dengan gemas.


"Anak pintar!" puji Lily.


"Loysi, ayo, sama Moma sini!" Carina mengulurkan kedua tangannya. "Tante dan Daddy harus kerja. Loysi main sama Moma, ya? Eh, mau dikasih nama siapa, nih?"


Loysi segera berpindah ke tangan Carina. Keduanya masuk ke ruang kerja Carina. Elida mengikuti langkah Carina, karena memang ada yang harus dibicarakan tentang kebutuhan keluarga pendamping calon pasien yang sedang dalam perjalanan. Lily beralih menatap Erid, yang ternyata juga tengah menatapnya.


"Saya benar-benar minta maaf atas kejadian semalam, Dok," ucapnya sungguh-sungguh.


"Aku yang harusnya minta maaf," tukas Erid dengan nada lembut. "Kamu dan pacarmu jadi repot begitu."


Lily sedikit mengerutkan kening. '𝘗𝘢𝘤𝘢𝘳?' Namun, dalam sekejap waktu ia memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. '𝘉𝘶𝘢𝘵 𝘢𝘱𝘢 𝘫𝘶𝘨𝘢?'


"Nggak apa-apa, Dok," tanggapnya kemudian. '𝘈𝘥𝘢 𝘩𝘢𝘵𝘪 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘥𝘪𝘫𝘢𝘨𝘢,' lanjutnya dalam hati.


Erid mengangguk.


"Jadi, boleh aku lihat data pasien yang mau masuk?" tanyanya kemudian, kembali ke urusan profesi.


Dengan cepat Lily mengulurkan map berisi surat pernyataan yang sudah selesai dicetaknya. Erid dengan cepat membacanya.


"Oke, aku akan segera koordinasi dengan tim. Terima kasih, Ly." Erid mengembalikan berkas itu pada Lily.


"Sama-sama, Dok."


* * *


"Kamu sudah menikah, Ly?" Laki-laki tampan itu memberanikan diri bertanya.


Sekilas Lily melihat ke arah jari manis kanannya. Ia tersenyum.


"Sudah janda malahan," jawabnya ringan.


Laki-laki itu terbengong. Lily tertawa.


Genta, atau Dokter Magenta Rahadian, adalah teman semasa SMP Lily. Mereka bertemu lagi menjelang siang ini, karena Genta adalah dokter yang mendampingi perjalanan pasien anak dari Curug tadi dalam ambulans, bersama seorang perawat senior.


Dulu rumah orang tua Genta dekat dengan panti asuhan tempat Lily tinggal. Mereka berteman cukup dekat, apalagi orang tua Genta pun baik pada Lily. Sayangnya, saat naik ke kelas 3 SMP, mereka sekeluarga pindah ke Surabaya karena ayah Genta yang seorang hakim harus pindah tugas. Sejak itu Lily dan Genta hilang kontak.


Awalnya tadi, Lily sama sekali tidak mengenali Genta. Laki-laki itu tentunya sudah jauh berubah secara fisik. Gentalah yang mengenali Lily. Di mata Genta, sosok Lily seolah tak pernah berubah. Hanya lebih tinggi, dan bentuk tubuhnya lebih molek, khas perempuan usia dewasa.


Urusan pasien dari Curug selesai pukul 11.30. Dengan seizin Carina, Lily mengajak Genta, perawat senior yang mendampinginya, dan Elida makan siang di kantin rumah sakit. Masih cukup waktu sebelum Genta harus kembali ke Curug dan Lily meneruskan pekerjaannya di d'Nali.


Di kantin, Elida dan perawat temannya itu memisahkan diri, agar mendapatkan kesempatan untuk mengobrol dengan kenalan masing-masing. Seusai urusan pembayaran semua pesanan yang diambil Lily dari kantung pribadi, Lily pun kembali ke tempat duduknya di hadapan Genta. Dan, dengan nada rendah Genta tadi langsung bertanya tentang status terkini Lily.


"Ly, kalau boleh tahu, bagaimana ceritanya?" Suara Genta terdengar ragu-ragu.


Lily pun berkisah dengan nada ringan. Toh, ia memang sudah mengikhlaskan semuanya.


"Dia kakak kelasku ketika SMA. Dia sakit, limfoma, dan aku memutuskan untuk menikahinya begitu aku lulus SMA. Aku mencintainya, iya. Aku balas budi kepada tantenya yang sudah membiayai sekolahku, iya juga. Yang jelas, aku ingin merawatnya, menemaninya sampai sembuh, baru aku akan memikirkan lanjutan pendidikanku.


"Namun, Tuhan berkehendak lain. Statusku berubah dari istri menjadi janda cerai mati. Lalu, aku pun melanjutkan hidupku. Aku melanjutkan pendidikanku. Kuliah, walaupun agak telat. Baru tahap menyusun tugas akhir saat ini. Bekerja, dan ... di sinilah aku sekarang untuk sementara waktu. Menjadi pengganti staf Bu Carina yang sedang cuti bersalin."


"Setelah tidak di sini lagi?" Genta mengerutkan kening.


"Oh, aku punya kerjaan tetap sebagai desainer perhiasan di 𝘫𝘦𝘸𝘦𝘭𝘭𝘦𝘳𝘺 milik Bu Carina."


"Lalu, kuliahmu?"


"Aku ambil kelas sore, Gen."


Genta menghela napas panjang. Mengulas senyum tipis. Sejak dulu, ia memang mengagumi ketegaran seorang Lily. Sampai kini pun ternyata ketegaran itu masihlah kokoh.


"Kamu sendiri?" tanya Lily.


"Kekasihku seorang dokter gigi," Genta mengulas senyum. "Kalau sesuai rencana, kami akan menikah tiga bulan lagi. Kamu datang, ya, Ly. Akan kukirimkan undangan."


"Akan kusempatkan, Gen."


Lalu, keduanya melanjutkan obrolan tentang banyak hal sembari menikmati makanan. Ada banyak cerita yang terungkap, disertai senyum dan tawa. Rasanya senang sekali bertemu kembali dengan teman lama.


* * *


Seusai berdiskusi dengan tim dokter yang akan menangani pasien anak dari Curug, Erid melanjutkan langkah ke kantin. Sendirian. Carina dan Loysi sudah sejak pukul sembilan tadi meluncur ke d'Nali. Bagaimanapun, rumah sakit bukanlah tempat yang aman bagi anak kecil yang sehat.


Kantin terlihat penuh ketika Erid menginjakkan kaki di area itu. Tatapannya jatuh pada tempat kosong di sebelah Elida bersama temannya. Namun, saat ia sedang berhenti sejenak untuk membalas salah seorang rekannya yang ia lewati, tempat itu sudah terisi.


Tatapannya beralih pada tempat di belakang Elida. Kosong dua bangku. Ia segera melangkah cepat ke sana. Tak mau diserobot lagi. Ia baru tahu siapa yang jadi teman satu mejanya saat mendudukkan diri di salah satu bangku kosong. Tepat di sebelah Lily.


"Eh, Dokter Genta, Lily," sapanya ramah.


"Dokter Erid," Genta membalas senyum, sementara Lily hanya mengangguk sopan karena mulutnya tengah mengunyah sesendok nasi rawon.


"Sudah lama saling kenal?" Erid bertanya dengan nada ringan sambil bergantian menatap Lily dan Genta.


"Teman SMP, Dok," jawab Lily.


"Tapi terpisah saat naik kelas tiga," sambung Genta. "Saya ikut ortu pindah tugas ke Surabaya."


"Dan, nggak pernah kontakan lagi sampai ini tadi," timpal Lily.


"Oh ...." Erid manggut-manggut.


"Ngomong-ngomong, ada lowongan di sini nggak, Dok?" Genta iseng bertanya.


"Mm ... sementara ini belum ada," jawab Erid dengan nada bersahabat. "Tapi klinik kami di Tangsel sedang ada pengembangan, butuh tenaga dokter lagi. Dokter umum, dokter gigi, dan dokter bedah umum."


"Nah, tuh!" seru Lily antusias. "Kamu dokter umum. Calon istrimu dokter gigi, 'kan?"


"Serius, Dok?" Mata Genta dipenuhi pengharapan.


"Serius," angguk Erid. "Memang kenapa, kok, cari tempat baru?"


"Saya sama calon istri masih kontrak, Dok. Tugsus, Tugas khusus. Akhir tahun ini kontrak kami sama-sama selesai."


"Masukkan saja lamaran kalian, Dok. Jadi begitu kontrak selesai, bisa langsung saya tempatkan di Garudeya Medika Pamulang."


"Status suami-istri apa jadi masalah nantinya, Dok?"


"Enggaklah," geleng Erid. "Ada banyak pasangan dokter yang bekerja di jaringan rumah sakit maupun klinik kami."


"Wah, terima kasih banyak atas pencerahannya, Dok," sambut Genta dengan wajah berseri-seri. 


"Sama-sama, Dok. Saya tunggu berkas lamarannya. Nanti emailkan saja ke saya. Sebentar," Erid merogoh saku belakang celananya, mengeluarkan dompet, lalu mengeluarkan sehelai kartu nama dari dalamnya. Diserahkannya kartu nama itu pada Genta. "Ini, Dok."


Kembali Genta mengucapkan terima kasih berkali-kali. Ketika dirasa sudah waktunya harus kembali ke tempat tugasnya, Genta dan perawat pendampingnya pun berpamitan.


Ketika Lily hendak beranjak, Erid menahannya.


"Sudah telanjur kupesankan es buah, Ly," ujarnya.


Hujan memang sudah lama berhenti. Bahkan matahari saat ini sudah memunculkan kembali kuasanya. Tak tersisa lagi hawa dingin.


"Lagipula belum pukul satu," sambung Erid.


"Baiklah," Lily menurut.


Ia pun duduk kembali. Erid menatapnya.


"Sekali lagi, aku minta maaf atas insiden kemarin," ucap Erid.


"Enggak, Dok. Saya sajalah yang terlalu impulsif."


"Sebetulnya Athena sudah gelisah sejak sebelum hujan. Aku sudah akan mengantarkannya ke rumahmu, tapi Loysi malah nangis kejer. Salahku juga, terlalu memanjakannya. Susah untuk bilang tidak. Padahal papanya sudah sering memprotesku." Erid meringis.


"Papanya?" Lily ternganga. '𝘔𝘢𝘬𝘴𝘶𝘥𝘯𝘺𝘢?'


"Loysi anak adikku, Ori." Erid menangkupkan sendok dan garpunya di dalam piring gado-gado lontong yang sudah licin. "Ketika Loysi lahir, Ori belum pulang dari Jepang. Dia ambil doktoralnya di sana. Waktu itu aku masih tinggal dengan Mama. Ori baru pulang setahun yang lalu, tapi Loysi telanjur lengket padaku. Ada sosok papa, tapi akulah 𝘥𝘢𝘥𝘥𝘺-nya."


Terlalu terkejut dengan kenyataan itu, Lily hanya bisa terdiam.


"Semalam saja, Loysi lebih memilih untuk tidur denganku. Semuanya jadi menginap di rumahku." Erid mengakhiri kisahnya dengan tawa ringan.


'𝘑𝘢𝘥𝘪 ... 𝘪𝘣𝘶 𝘓𝘰𝘺𝘴𝘪 𝘪𝘵𝘶 𝘢𝘥𝘪𝘬 𝘪𝘱𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢, 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢.' Lily mengerjapkan mata. '𝘓𝘢𝘭𝘶 ... 𝘥𝘪 𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪𝘯𝘺𝘢?"


* * * * *


Episode berikutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar