Kamis, 08 Agustus 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #11-1







Episode sebelumnya



* * *



𝗦𝗲𝗯𝗲𝗹𝗮𝘀

𝙋𝙚𝙧𝙞𝙨𝙖𝙞 𝙃𝙖𝙩𝙞 - 1



Mendung tipis menyelimuti langit Minggu pagi itu. Pada musim hujan seperti ini, bisa saja dalam waktu beberapa belas menit mendung tipis menjelma jadi hujan rintik, bahkan hujan angin.


Erid tidak mau ambil risiko. Kali ini ia tidak sendirian membawa trio anabul kesayangannya ke pertemuan komunitas. Ada ibunya ikut serta. Kalau biasanya ia dan trio anabul berjalan kaki ke taman, maka kali ini ia sudah menyiapkan mobilnya. Jarak taman dekat GOR dari rumahnya memang hanya sekitar dua kilometer, tapi lumayan jauh juga bila harus dilewati di bawah hujan.


Carina sudah siap. Dikenakannya setelan baju olahraga berwarna merah hati. Tampak kontras dengan kulit cerahnya. Rambut yang biasa disanggul kini hanya diikat tinggi-tinggi membentuk ekor kuda. Kakinya dialasi sepatu olah raga bermodel trendi. Penampilannya jadi kelihatan sekian belas tahun lebih muda. Apalagi dengan perawatan wajah dan kulit layaknya pemilik uang tak berseri.


Trio anabul sudah duduk manis di bagian belakang SUV Erid. Begitu Carina duduk nyaman di kursi sebelah pengemudi, Erid pun mulai melajukan mobilnya keluar dari garasi.


"Pulang dari gereja nanti kayaknya Ori mau ke sini," celetuk Carina. "Sejak lihat foto kamu gendong pom Lily, Loysi jadi ingin kenalan."


"Semoga ketemu, ya, Ma," senyum Erid.


Tak langsung ke taman tempat pertemuan KPN Griperga, Erid mengarahkan mobilnya ke samping GOR lebih dulu. Mampir sarapan di pujasera.


Tempat itu sudah cukup ramai walaupun waktu menunjukkan belum genap pukul setengah delapan pagi. Untungnya, Carina dan Erid masih bisa mendapatkan tempat duduk yang strategis. Tepat di sebelah dinding kaca yang membatasi pujasera dengan area parkir. SUV Erid berada tepat di titik terdekat. Erid masih bisa mengawasi mobilnya dengan leluasa. Ia memang meninggalkan trio anabul di dalam mobil, dengan kaca jendela terbuka satu.


"Mau makan apa, Ma?" tanya Erid.


"Bubur ayam Bangka saja, Rid."


"Minumnya?"


"Mm .... Apa, ya? Ah! Teh tawar hangat saja."


Beberapa menit kemudian Erid kembali ke hadapan Carina dengan membawa kardus kue kecil. Isinya empat buah onde-onde besar yang tampak menggiurkan. Sambil menunggu pesanan mereka datang, Carina mencomot onde-onde itu.


"Wah, enak banget ini!" gumam Carina. Tampak menikmati sekali. "Bener kamu bilang, makanan di sini enak-enak."


"Kapan itu aku iseng beli ote-ote ayam di sini. Bawa dua puluh biji, habis sama anak-anak poli." Erid tertawa. "Siangnya Dokter Cornelia malah nitip duit, buat beli lagi besok paginya. Jadi ketagihan."


Carina ikut tertawa mendengar cerita Erid.


"Di mana lapaknya?" tanya Carina kemudian. "Mama jadi ingin coba."


"Itu," tunjuk Erid ke ujung barat. "Goreng langsung dia. Onde-onde ini juga."


"Kalau begitu pesan sekarang, Rid, buat dibawa ke pertemuan. Sama onde-onde juga. Pas nanti kita selesai makan, sekalian bawa ke taman."


Erid pun menuruti permintaan ibunya. Bersamaan dengan ia berdiri untuk memesan, makanan mereka datang, dibawa oleh dua pramusaji berbeda. Semangkuk bubur ayam Bangka untuk Carina, dan semangkuk soto ayam Lamongan kesukaan Erid.


"Sudah, Ma. Aku pesankan masing-masing tiga puluh biji," lapor Erid.


"Lily rajin datang ke pertemuan gini, Rid?" celetuk Carina.


"Aku nggak tahu, Ma. Ini baru kali kedua aku datang. Baru bulan lalu aku masuk jadi anggota. Yang jelas, pendiri komunitas ini adalah mendiang suami Lily."


Carina tercenung sejenak. Kesalahannya selama setahunan ini cuma satu, tidak pernah 𝘬𝘦𝘱𝘰 dengan kehidupan Lily. Ia dekat dengan Lily, tapi tidak sedekat itu untuk mengulik segala segi kehidupan Lily sehari-hari.


Ia hanya tahu bahwa usia Lily 25 tahun, masih kuliah ambil kelas sore jurusan manajemen bisnis, tinggal di klaster terendah kompleks Griperga, dan memakai cincin kawin di jari manis kanan. Ia tak pernah tahu siapa suami Lily dan bagaimana kehidupan sehari-hari Lily. Ia terlalu takut untuk 𝘬𝘦𝘱𝘰 karena di matanya Lily seorang yang pendiam dan cukup tertutup. Soal pekerjaan, tak ada yang bisa dikeluhkan atau dicelanya. Lily adalah sosok paling sempurna di antara semua desainer yang pernah ia miliki.


* * *


Ketika Lily hendak mengeluarkan sepeda listriknya, sebuah mobil sport berwarna hitam berhenti di depan pintu pagar rumah. Wajahnya yang semula bertanya-tanya berubah seketika saat tahu siapa yang keluar dari mobil itu. Seorang pemuda tinggi besar berwajah tampan, dengan kacamata berbingkai trendi bertenggger di pangkal hidung mancungnya.


"Fonso!" serunya sambil berlari untuk membuka gembok pagar.


"Lov!" Pemuda itu membalas seruan Lily dengan seruan pula.


Ia memang selalu memanggil Lily dengan 'Lov', singkatan dari 𝘓𝘪𝘭𝘺 𝘰𝘧 𝘵𝘩𝘦 𝘷𝘢𝘭𝘭𝘦𝘺. Bunga yang menggambarkan sosok Lily di mata Fonso. Manis, mungil, elegan, melambangkan kepolosan dan kemurnian.


Tubuh Lily segera tenggelam dalam pelukan hangat pemuda itu. Memang kelihatan mungil bila disandingkan dengan sosok besar pemuda itu.


"Kapan kamu datang?" Lily menepuk pelan dada pemuda itu.


"Sabtu minggu lalu."


"Dan ... kamu langsung sibuk," gerutu Lily dengan bibir mengerucut.


"Kamu tahu sendirilah gimana abangku," Fonso, pemuda itu, tergelak.


"Kamu tinggal sama Bang Adrian atau masih 𝘯𝘨𝘦𝘮𝘱𝘦𝘯𝘨 sama mama-papamu?"


"Ya, pasti pilihan kedualah." Fonso kembali tergelak.


Lily kembali memukul dada Fonso.


Lily tahu, bahwa Fonso pasti pulang untuk menghadiri pernikahan Adrian minggu depan. Hanya saja ia tak menyangka bahwa Fonso akan 𝘯𝘰𝘯𝘨𝘰𝘭 begitu saja di depan hidungnya detik ini.


"Eh, kamu buru-buru mau ke taman?" tanya Fonso.


"Enggak, sih. Santai saja."


"Aku belum sarapan, Lov," gumam Fonso dengan wajah memelas.


Tawa Lily pecah seketika. Apalagi mendengar ucapan Fonso berikutnya.


"Aku kangen nasi goreng MaLing buatanmu." (MaLing = merek olahan daging babi dalam kaleng.)


"Astagaaa!" Lily menepuk kening. "Ayo, sini!" Diseretnya Fonso masuk ke rumah.


Dengan terampil Lily mengolah nasi goreng dengan tambahan tumisan MaLing yang sudah dipotong dadu kecil. Fonso duduk manis di kursi meja bar yang membatasi dapur dengan ruang makan. Athena anteng dalam gendongannya. Rupanya, anjing mungil itu masih bisa mengenalinya.


"ART-mu ke mana, Lov?" celetuk Fonso. "Siapa namanya? Enik? Masih kerja di sini?"


"Iya, Enik," jawab Lily. "Masiiih, masih awet di sini. Lagi ke gereja dia."


"Oh ...."


"Kamu masih mau balik lagi ke Inggris?" tanya Lily sambil tangannya menyiapkan piring.


"Iya, cuma tinggal tunggu wisuda. Kelar semua urusan di sana, aku balik ke sini lagi. Sama Bang Adri, aku disuruh pegang dulu perusahaanmu sambil membantunya di Amazona."


Lily menyodorkan piring berisi nasi goreng buatannya ke depan Fonso.


'𝘗𝘦𝘳𝘶𝘴𝘢𝘩𝘢𝘢𝘯𝘮𝘶.'


Lily baru tahu beberapa bulan lalu kalau ternyata mendiang ayah mertuanya mewariskan sebuah perusahaan milik pribadi laki-laki itu kepadanya. Setahunya, harta warisan milik Jonas dibagi lima sama rata dan diberikan kepada keempat keponakan Jonas dan ia sebagai menantu Jonas.


Belakangan baru diketahuinya bahwa Jonas punya wasiat khusus. Perusahaan pribadi Jonas yang bergerak di bidang ritel medis berskala besar diwariskan kepada satu-satunya menantu yang ia miliki. Lily-lah orangnya.


Pada awalnya Lily menolak warisan itu. Ia berada dalam keluarga Amazon karena pernikahannya dengan Andru. Dan, Andru pun sudah tiada. Bila Jonas masihlah menganggapnya sebagai menantu hingga detik laki-laki itu wafat, Lily bisa menerimanya. Namun, diberi warisan sebuah perusahaan besar, Lily merasa bahwa itu sudah berlebihan.


Sementara ini, Adrian-lah yang memegang kendali perusahaan itu. Setelah Fonso menyelesaikan kuliah magisternya dan kembali ke Indonesia, maka Fonso-lah yang akan menjadi nakhodanya. Lily masih memikirkan cara untuk mengembalikan perusahaan itu ke tangan keluarga Amazon yang dirasanya lebih berhak.


"Aku nggak berhak atas Alezon Medica, Fon," gumam Lily. "Itu milik mendiang Papa Jonas, milik mendiang Andru, milik keluarga kalian."


Fonso menghentikan sejenak suapannya. Ditatapnya Lily baik-baik.


"Sekarang Alezon milikmu, Lov," ucap Fonso, lembut tapi tegas. "Sudah wasiat dari mendiang Om Jo."


Lily tertunduk. Dihelanya napas panjang. Selintas pikiran berkelebat dalam benaknya.


Mungkin dengan menikah lagi, ia jadi punya alasan untuk mengembalikan Alezon Medica kepada keluarga Amazon. Masalahnya, menikah dengan siapa? Hingga detik ini pun statusnya sudah kembali lagi jadi lajang selajang-lajangnya.


"Nasi goreng MaLingmu nggak ada tandingannya, Lov."


Lily tersentak mendengar suara Fonso. Pemuda itu rupanya sudah selesai makan. Piringnya tampak licin. Lily tersenyum.


"Padahal kamu bisa membuatnya sendiri," cibir Lily.


"Wah, laiiin!" Fonso tergelak. "Pasti lain rasanya."


Keduanya tertawa bersama.


"Eh, jadi ke taman nggak?" ujar Fonso.


"Iya, tadi juga aku sudah siap-siap mau berangkat."


" Ya, sudah, ayo!"


Fonso kemudian menggiring Lily ke mobilnya sambil tetap menggendong Athena.


Beberapa belas detik kemudian mobil sport mewah itu sudah meluncur keluar dari klaster Safir. Athena duduk dengan tenang di pangkuan Lily.


* * *


Fonso melirik sekilas ke arah Lily yang duduk manis di sebelahnya. Sebenarnya ia sudah gatal untuk mengucapkan satu kalimat, tapi entah kenapa hatinya masih menahan.


Dulu, hanya ia sendiri yang tahu jadi berapa ratus keping hatinya pecah ketika tahu bahwa Lily dan Andru akan menikah. Ia menyesali keputusannya untuk berpisah sekolah dengan Lily saat masuk SMP. Keputusan yang membuatnya makin jauh dari Lily.


Tentu saja ia sangat bersedih ketika Andru meninggal. Bagaimanapun, Andru adalah sepupunya yang paling dekat. Saat Adrian harus kuliah di luar negeri dan ia butuh teman curhat, Andru-lah yang dengan sabar selalu mendengarkan.


Kesedihannya jadi berlipat ganda  ketika melihat betapa sedih dan hancurnya Lily ditinggal Andru. Seikhlas apa pun, Lily pasti tetap merasa kehilangan.


Hanya sekitar satu minggu ia pulang demi mengikuti prosesi pemakaman Andru. Lalu, secepatnya ia kembali ke Inggris. Jadwal kuliahnya sudah menunggu. Itu alasannya. Alasan yang sesungguhnya, ia tidak kuat menatap sosok letih Lily.


Dengan cepat Fonso mengerjapkan mata. Mengusir embun yang mulai muncul.


Lily yang ditemuinya kini sudah mulai kembali jadi Lily yang dulu dikenalnya. Belum seratus persen, karena waktu pun sudah mengubah Lily jadi sosok yang jauh lebih tenang dan dewasa. Namun, satu hal dalam hati Fonso yang tak berubah hingga kini.


Perasaannya.


Perasaan yang membuatnya ingin membisikkan satu kalimat kepada Lily.


'𝘓𝘰𝘷, 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘵𝘢𝘩𝘢𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘯 𝘬𝘦𝘮𝘣𝘢𝘯𝘨𝘬𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘦𝘻𝘰𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢. 𝘔𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘦𝘯𝘨𝘢𝘯𝘬𝘶.'


* * *


Episode berikutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi

 



2 komentar: