Sebelumnya
* * *
Begitu melihat Ingrid muncul, Inez yang baru bangun tidur segera lengket dalam dekapan sang bibi. Ingrid menciumi pipi bulat bayi cantik dan montok berusia delapan bulan itu, sementara ibu si bayi asyik melahap rujak buah yang dibelikan Endra. Berkali-kali Inez terkekeh kegelian. Membuat Ingrid makin bersemangat meng-uyel-uyel-nya.
“TA[1]-mu sudah sampai mana?” Erma menghempaskan tubuhnya di sofa, di sebelah Ingrid.
“Sudah sampai bikin puyeng,” Ingrid nyengir.
Erma tertawa mendengarnya. Tapi sejurus kemudian, wajahnya berubah jadi serius.
“Jadi, kamu sekarang ‘jalan’ sama Endra?” celetuknya.
Ingrid sempat terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan gaya acuh tak acuh, “Apaan, sih? Enggak.”
“Bimbim?”
“Ha! Dia lagi,” gerutu Ingrid.
“Terus?” kejar Erma.
Ingrid menoleh dengan ekspresi wajah sedikit kesal. Erma nyengir melihatnya.
“Apa perlu kutambahi?” Erma tergelak ringan.
Ingrid langsung mengerucutkan bibir.
“Dua saja sudah bikin aku pusing, jangan ditambah lagilah...,” gumamnya.
“Sepupu Mas Rakai ada yang ciamik, lho!” Erma meneruskan godaannya.
“Yang kapan hari Kakak kenalin itu?” mata Ingrid membundar seketika. “Yang ‘melambai’ itu?”
Erma terbahak. Tangannya terulur. Mengacak rambut di puncak kepala Ingrid.
“Bukaaan...,” jawabnya kemudian. “Itu, sih, aku nggak pernah rekomendasikan. Yang ini lain. Kamu pasti suka, deh. Type-mu banget!”
Sesungguhnya, Ingrid sama sekali tidak percaya dengan penilaian kakaknya. Bahkan belum-belum ia sudah apriori. Sedikit sebal karena lama-lama Erma sama dan sebangun dengan dua saudara kembarnya soal mencarikan ia seorang kekasih.
“Kalian ini maksain banget, deh!” ujar Ingrid dengan nada menggerutu.
“Bukan maksain,” Erma menanggapi dengan serius. “Tapi mau sampai kapan kamu terbelenggu oleh Ken? Realistislah, In.”
Ingrid tercenung sejenak. Celoteh lucu Inez-lah yang membuatnya tersadar. Dengan senang hati, ditanggapinya celoteh itu. Seketika hatinya sejuk melihat senyum di bibir mungil Inez. Tapi ia masih bisa mengingat ucapan kakaknya baru saja.
“Aku bukannya terbelenggu,” elaknya kemudian. “Cuma merasa belum ada yang pas saja.”
“Karena kamu selalu membandingkan setiap cowok yang mencoba mendekatimu dengan Ken,” tandas Erma. Lugas. Membuat Ingrid mati kutu.
Jauh dalam lubuk hati, ia terpaksa membenarkan ucapan Erma. Ia bukannya ‘tidak laku’. Walaupun tak pernah masuk ke taraf ‘artis kampus’, ia cukup dikenal. Beberapa kali ia mewakili kampus dalam gelaran seni tari di banyak tempat. Penampilannya yang masih nyata menyisakan garis wajah keturunan Eropa membuatnya cukup menonjol. Apalagi ditunjang oleh kecintaannya terhadap seni tari tradisional, khususnya tari Jawa klasik. Pengagumnya banyak. Tapi tak satu pun yang istimewa di hati. Itu semua karena tanpa sadar ia sudah membandingkan semuanya dengan Ken.
“Lama-lama nggak sehat lagi jiwamu, In,” gerutu Erma.
Ingrid kembali mengerucutkan bibir. Masa iya, jatuh cinta pada Ken bisa membuatku kehilangan kewarasan? Tapi dipikir-pikir, kakaknya benar juga. Sepertinya ia perlu mulai membuka diri dan wawasan, sekaligus menghapus bayangan Ken dari benaknya. Dan, mulai memikirkan pilihan.
Mas Endra, atau Mas Bimbim? Diam-diam ia meringis dalam hati.
Kalau mau objektif, baik Endra maupun Bimbim adalah pemuda-pemuda yang benar-benar terekomendasi. Erwin dan Ernest pasti juga tak sembarangan memilih calon terbaik dari segerombolan sahabat mereka untuk diberi kartu pass kelas VVIP, sebagai akses bebas mendekati Ingrid.
Tapi masih ada satu pilihan lagi, kan? Ia meringis jahil. Dengan senyum terkulum, ia kemudian menatap Erma.
“Mm.... Jadi, kapan aku mau dikenalkan sama sepupu Mas Rakai?”
Erma langsung terlonjak takjub, dan balas menatap adiknya dengan wajah cerah.
* * *
Rasanya baru sekejap ia terlelap, tapi sudah ada yang mengusiknya. Didengarnya dengungan-dengungan tak jelas di dekatnya. Dengan malas, ia mengerjapkan mata beberapa kali.
“Astaga.... Ini anak gadis, sudah mau magrib masih juga molor.”
Demi mendengar suara berat itu dengan lebih jelas, Ingrid segera membuka mata. Tatapannya yang kabur segera bertemu dengan tatapan ayahnya. Bian menggelengkan kepala melihat kelakuan putri bungsunya. Terkapar dalam lelap di sofa ruang tengah rumah Erma, belum juga bangun hingga senja menjelang, dan kini menguap lebar-lebar. Ingrid nyengir, kemudian bangun. Sempat terbengong sejenak ketika menyadari sesuatu.
“Papa ngapain di sini?” ujarnya dengan suara terdengar sedikit ‘tolol’.
“Lha, ya, jemput kamu,” Bian menjitak lembut kepala Ingrid.
“Itu, si Abang ngapain?” mendadak saja kejengkelannya timbul.
Hari ini Erwin betul-betul tidak bertanggung jawab. Tadi menyerahkannya begitu saja pada Endra. Sekarang malah sang papa sendiri yang jadi korban. Padahal ia juga tidak manja-manja amat. Tak ada fasilitas antar-jemput dan kendaraan pribadi pun, ia sudah biasa memakai kendaraan umum untuk ke mana-mana. Sayangnya, ayah dan kedua abangnya terkadang sangat protektif.
“Abangmu harus menengok proyek di Bogor,” jawab Bian, sabar. “Tadi pesan sama Papa agar jemput kamu di sini. Sekalian Papa juga kangen sama Inez.”
Ingrid menguap sekali lagi. Di sebuah sofa tunggal, Erma tampak duduk dengan santai sambil menyusui Inez.
“Mandi dulu, sana!” tegur Erma lembut.
Tanpa banyak protes, Ingrid pun mematuhi perintah kakaknya. Beberapa belas menit kemudian, ia sudah muncul lagi dengan wajah segar. Pakaiannya pun sudah ganti, karena ia memang meninggalkan seperangkat peralatan mandi dan baju ganti di rumah Erma.
“Kenapa?” Ingrid melihat sisa tawa di wajah Erma ketika menjatuhkan diri kembali di sofa. Bian sendiri sedang asyik mencandai Inez, cucu yang baru satu-satunya itu.
“Itu, si Papa,” Erma kembali tertawa geli, “ternyata bela-belain jemput kamu, karena ogah sendirian di rumah.”
“Halah...,” Ingrid pun ikut tertawa.
Memang sudah tiga hari ini ibu mereka ikut tur ke Jogja dan Jawa Tengah bersama kelompok arisan sosialita. Sekalian bakti sosial, alasannya. Padahal lebih banyak acara belanja-belanjanya. Sedangkan dua pemuda yang dimiliki Bian, lebih susah lagi dipegang ‘buntutnya’.
“Mas Rakai belum pulang, Kak?” Ingrid meraih secangkir teh hangat milik ayahnya yang ada di atas meja kopi.
“Belum. Jelang akhir tutup buku gini dia sibuknya bukan main. Paling cepat sampai rumah jam delapan malam.”
“Oh....”
Beberapa menit kemudian, Bian pun mengajak putri bungsunya pulang. Dengan wajah lempeng, laki-laki berusia pertengahan lima puluhan yang masih sangat tampan dan bugar itu terus menggendong Inez hingga membuka pintu mobil.
“Eh! Eh!” Erma langsung mengejar sambil berseru. “Bayiku mau dibawa ke mana itu? Mau diculik, rupanya?”
Ingrid tertawa geli melihat adegan itu. Apalagi ketika mendengar gumaman Bian ketika menyerahkan kembali Inez pada sang ibu, “Wong Inez saja mau ikut Kakung[2], ya, Nez, ya?”
“Dih!” Erma mencibirkan bibir dengan ekspresi geli.
Ingrid terbahak.
* * *
Bian tidak mengarahkan mobilnya langsung pulang ke rumah, melainkan menuju ke sebuah pusat jajanan terbuka di Depok yang dikelilingi belasan food truck aneka bentuk dan warna. Dengan tenang, ia membelokkan mobil yang dikemudikannya ke area parkir.
“Lapar, Pa?” celetuk Ingrid.
“Enggak, mau numpang tidur di sini.”
Ingrid tertawa lebar mendengar jawaban ‘nggak nyambung’ ayahnya. Tapi diikutinya gerakan ayahnya keluar dari mobil. Sebelumnya ia sempat mengambil sling bag berisi dompet, ponsel, dan beberapa benda kecil lain, dari dalam ranselnya. Beberapa detik kemudian, sekeliling bahunya terasa hangat dalam rengkuhan tangan kekar sang ayah.
“Mau makan apa, In?”
“Apa saja. Yang penting Papa yang bayar.”
“Jawaban standar,” gerutu Bian. “Nggak asyik, ah!”
Ingrid kembali tertawa. Ia menurut ketika Bian mengajaknya berkeliling sejenak sebelum menentukan pilihan akan makan di mana. Laki-laki itu sempat membeli sekantong besar pop corn karamel kesukaan putri bungsunya, dan dua gelas mango bubble.
Setelah puas berkeliling area yang mulai dipadati pengunjung karena sudah mendekati waktu makan malam, mereka duduk menghadap sebuah meja untuk berdua, di depan food truck yang menyediakan aneka olahan iga, seafood, dan ‘teman-temannya’. Food truck itu milik Ernest dan Bimbim. Bian mau mampir dan makan di sana karena di samping rasa makanan yang tersedia di situ sangat enak, ia juga tahu bahwa hari ini Bimbim dan Ernest sedang sibuk di Serpong. Jadi, ia bisa makan di sana tanpa mendapatkan fasilitas gratisan sebagai ayah Ernest.
“Aku mau udang bakar saus asam-manis, cah kangkung pedas, sama nasi merah, Mbak Yuyun,” ucap Ingrid manis kepada pramusaji food truck yang sudah dikenalnya. “Minumnya, mm.... es lemon tea saja.”
Bian pun ganti memesan sesuai keinginannya. Iga bakar saus barbeque, tumis pare pedas, nasi merah, dan jahe hangat. Sekaligus ia membayarnya. Yuyun sempat menolak karena tahu Bian adalah ayah dari bosnya. Tapi Bian bersikeras untuk membayar apa yang sudah dipesannya.
“Nanti Mas Ernest marah, Pak,” elak Yuyun.
“Ya, jangan sampai Ernest tahu kalau kami ke sini,” tukas Bian halus.
Akhirnya Yuyun pun menerima pembayaran itu dan menyetorkannya ke kasir. Bian kemudian menatap Ingrid dengan serius setelah Yuyun meninggalkan mereka.
“Jadi, kapan kamu mau masuk ke kantor kita?” ucapnya dengan nada halus.
“Segera setelah TA-ku beres, Pa,” tegas Ingrid.
Ia memang sudah berencana untuk bergabung ke perusahaan properti milik keluarga mereka begitu mendekati tamat kuliah. Setidaknya, setelah tugas akhirnya beres hingga ke tahap yudisium. Ia tak mau setengah-setengah. Soal ia nanti ingin melanjutkan lagi studinya, itu perkara belakangan.
“Oke...,” Bian manggut-manggut sambil mencomot segenggam pop corn. “Papa tahu satu hal, bahwa kamu selalu mengerjakan sesuatu dengan serius. Lakukan terus hal itu, tanpa mengurangi waktumu menikmati masa muda.”
“Apa itu termasuk dalam hal aku bisa memperoleh kelonggaran untuk terus menari?” Ingrid balas menatap ayahnya.
“Itu salah satunya,” senyum Bian. “Papa percaya, kok, kamu akan bisa menyelaraskan kewajiban dan hobimu. Selama ini bisa, kan? Nggak akan jauh berbeda dengan saat kamu nanti masuk ke dunia kerja. Apalagi itu perusahaan milik kita sendiri. Asal jangan pakai kelonggaran itu untuk berbuat seenaknya.”
“You know I won’t do that, Pa.”
“Iya,” angguk Bian, “Papa percaya. Oh, ya, soal lawatan ke Perth itu bagaimana?”
Dengan wajah bercahaya, Ingrid kemudian menceritakan rencana perjalanan dan kegiatan Sanggar Tari Cipta Kencana. Ia bukan sekali ini saja hendak berangkat ikut misi kebudayaan ke luar negeri. Tapi setiap perjalanan selalu menimbulkan kesan tersendiri. Termasuk perjalanan yang akan datang ini. Karena ia ditunjuk sebagai salah satu duta utama rombongan gabungan.
Setelah makanan dan minuman pesanan mereka terhidang, sambil menikmatinya, Ingrid sekaligus curhat kepada sang ayah soal ‘ulah’ kedua abangnya. Bian tersenyum lebar mendengarnya.
“Apalagi sekarang Kakak juga ikut-ikutan mau mengenalkan aku pada sepupu Mas Rakai,” ucap Ingrid dengan nada aleman. “Apa senista itu, sih, Pa, nasib jomlo di negeri ini?”
Bian tertawa geli mendengar curhatan putri bungsunya. Seutuhnya ia mengerti maksud baik ketiga putra-putri kembarnya. Ingin si bungsu yang cantik jelita ini mendapatkan belahan jiwa yang terbaik.
“Ya, sudah, jalani saja dulu,” Bian kemudian menanggapinya dengan nada bijak. “Seandainya kamu sendiri punya pandangan di luar yang disodorkan abang dan kakakmu, itu hakmu. Nanti yang menjalaninya, kan, kamu sendiri. Tapi....”
“Jangan terpaku pada Ken,” sahut Ingrid dengan wajah berlagak jemu. “Ya, aku tahu.”
“Nah!” senyum Bian melebar.
Percakapan keduanya kemudian melebar ke banyak hal. Mulai dari berita terkini, gosip para artis dan politisi, kemajuan tugas akhir Ingrid, sampai gambaran kondisi perusahaan, nyaris semuanya dikupas tuntas. Sesekali diselingi pula dengan canda dan tawa. Terlihat seru sekali!
Tak terasa, waktu terus bergulir hingga mendekati pukul setengah sembilan. Area pusat jajanan terbuka itu makin ramai. Makanan dan minuman yang ada di hadapan Bian dan Ingrid pun sudah licin tandas. Setelah mencuci tangan dengan air berisi irisan jeruk nipis dalam mangkuk, menyekanya dengan tisu basah yang selalu ada dalam sling bag Ingrid, dan kembali membersihkan telapak tangan dan semua jari dengan cairan antiseptik, keduanya meninggalkan tempat itu.
Tanpa malu, Bian menenteng kantung berisi sisa pop corn dengan tangan kirinya. Tangan kanannya kembali melingkari bahu sang putri bungsu. Beberapa menit kemudian, mobil yang dikemudikan Bian meluncur perlahan meninggalkan area parkir, masuk ke jalan raya, dan terus membelah udara malam, pulang ke rumah.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Catatan :