Sebelumnya
* * *
Pelan-pelan, Nugra menghenyakkan punggungnya ke sandaran sofa teras belakang. Pendar cahaya lampu kebun belakang seredup hatinya. Tangan kirinya terangkat, beberapa kali mengusap wajahnya.
Sebenarnya, apa yang salah? Di mana letak kesalahan itu?
Sejak memutuskan untuk menikahi Adita, ia sudah bertekad untuk tidak akan pernah merampas kebebasan Adita. Adita sudah menjadi seorang pengusaha kedai yang memiliki beberapa cabang saat Nugra mengenalnya.
Ketika lebih dalam lagi mengenal Adita, Nugra pun tahu bahwa kedai-kedai itu serupa anak bagi Adita, yang dilahirkannya sendiri dan dibesarkan dengan penuh cinta. Ia sama sekali tak hendak mengusik itu. Maka, dibebaskannya Adita untuk lebih mengembangkan lagi usahanya setelah mereka menikah. Seperti ia juga mengembangkan usaha miliknya sendiri. Lagipula, dalam perjalanan kebersamaan mereka, Adita tak sedikit pun pernah lalai terhadap urusan keluarga kecil yang mereka miliki.
Adita sendiri tak penah menyembunyikan masa lalunya. Termasuk bagaimana jaringan kedainya berawal. Pun, berasal dari mana modalnya. Tentang Rafael pun Nugra tahu, karena Adita memang pernah bercerita kepadanya.
Ketika Adita mengungkapkan hal itu, dianggapnya apa yang terjadi antara Adita dan Rafael sudah selesai. Apalagi kemudian Adita memutuskan untuk menerima pinangannya, dan mereka menikah. Menutup lembar masa lalu. Menjalankan masa kini dan masa depan mereka.
Lalu, tiba-tiba saja, masa lalu itu menyelinap lagi tanpa diundang...
Nugra menghela napas panjang. Berusaha untuk mengurangi rasa sesak dalam dadanya. Ditatapnya layar ponsel yang masih ada dalam genggaman. Dalam hitamnya layar itu, seolah masih terbayang pesan tertulis dari Renata yang diterima dan dibacanya beberapa menit lalu.
Soal pertemuan dengan Rafael, Adita sama sekali tak mengatakan padanya. Sedikit pun. Apalagi yang namanya minta izin. Nugra menggeleng resah. Ia merasa dilangkahi. Ia merasa ditelikung. Sebesar apa pun kebebasan yang ia berikan pada Adita, bukan seperti ini seharusnya penerapannya.
Ia ingat Adita pernah mencemberutinya beberapa bulan lalu, saat menghadiri reuni akbar antar angkatan SMA-nya. Ada Santika di sana. Mantannya. Cinta pertamanya.
Hubungan mereka terpenggal begitu saja karena Santika melanjutkan kuliah di Amerika Serikat. Pada awalnya masih bisa mengatasi hubungan jarak jauh dengan penuh semangat, tapi lama-lama hubungan itu mendingin. Keduanya kemudian memutuskan untuk mengakhiri saja hubungan itu secara baik-baik. Ia tetap berteman dengan Santika. Menjadi saksi betapa berubahnya Santika saat mereka bertemu pada suatu reuni angkatan beberapa tahun selepas SMA.
Santika yang terlihat sangat nyaman dengan budaya baru yang jauh lebih ‘bebas’ dan ‘terbuka’ memang menyempatkan diri untuk pulang. Hanya sejenak. Hanya untuk temu kangen dengan keluarga dan menghadiri reuni. Sebelum cepat-cepat kembali ke Amerika Serikat karena pekerjaannya sudah menunggu. Penampilannya berubah banyak. Begitu pula caranya berinteraksi.
Diam-diam Nugra merasa lega karena tak jadi melanjutkan hubungan dengan Santika. Semaju apa pun pandangan dan pola pemikiran yang ia miliki, ia merasa bahwa ia tak akan sanggup ‘mengikuti’ Santika.
Ia pernah bercerita tentang Santika kepada Adita. Karena itu, ia enteng-enteng saja memboyong Adita ke reuni akbar itu. Kabarnya Santika akan datang. Kabarnya pula, Santika akan menggandeng suami bulenya. Tak ada yang perlu dicemaskan. Apalagi romantika antara ia dan Santika memang sudah lama padam.
Seperti yang pernah terjadi saat reuni angkatan, Santika pun me-‘nyosor’-kan bibirnya ke kedua pipi Nugra. Disertai sebuah pelukan erat. Disertai obrolan yang mengandung kemesraan ‘main-main’. Suatu yang biasa bagi Santika ketika bertemu kawan lama. Tapi tidak bagi Adita. Pun, sesungguhnya Nugra risih dengan perlakuan Santika. Hasilnya, Adita nyaris tidak berhasil menyembunyikan kerucut di mulutnya sepanjang akhir minggu.
Nugra minta maaf dengan tulus atas hal itu. Walaupun dalam ‘kasus’ itu ia pun cuma ‘korban’. Dan, memang sudah tak ada apa-apa lagi antara ia dan Santika. Jadi, Adita tak perlu khawatir.
Tapi sekarang?
Nugra menggeleng samar.
Apakah aku berhak untuk marah?
Sejenak, ia merasa bahwa di satu sisi ia merasa berhak untuk marah. Minimal mempertanyakan hal itu. Tapi di sisi lain, suara hati menyuruhnya untuk bersabar. Siapa tahu Adita akan menceritakan pertemuannya dengan Rafael siang tadi, nanti saat sudah pulang?
Sekilas, Nugra melihat arlojinya. Sudah hampir pukul enam. Terkadang, saat berkeliling meninjau kedai-kedai yang dimilikinya, Adita bisa sampai pukul delapan malam baru pulang. Tapi itu tidak sering. Sebulan sekali belum tentu. Hanya saja, kali ini keluarnya Adita dari rumah membawa keresahan sendiri bagi Nugra.
Ketika ia hendak beranjak, terdengar bunyi derum mobil Adita memasuki garasi. Nugra mengerjapkan mata seraya menghela napas panjang.
Sabar.... Sabar....
* * *
Sambil bersenandung, Adita keluar dari mobil. Ia melangkah dengan ringan masuk ke dalam rumah. Sedikit banyak, pertemuannya dengan Rafael siang tadi sudah memberi warna sendiri di hatinya. Suasana jadi terlihat cerah. Beban yang selama ini disandangnya perlahan menguap.
Adita tersenyum simpul. Rafael baik-baik saja. Berbahagia dengan pernikahannya bersama Renata. Pun ia bersama Nugra. Begitu pula kedai-kedai yang tadi ditinjaunya. Semua berada dalam kondisi prima.
Dasar tidak jodoh, ia menghibur dirinya sendiri, ya, seperti inilah akhirnya.
Kalau mau jujur, sebetulnya masih ada sedikit perasaan sesal atas kandasnya hubungan dengan Rafael. Bagaimanapun, ia pernah sangat mencintai laki-laki itu. Tapi, ceritanya sudah lain sekarang. Ia dan Rafael sudah sama-sama berkeluarga. Selesai.
Seharusnya semudah itu, ia berusaha menyemangati dirinya sendiri.
Suasana rumah sedikit hening ketika ia masuk. Biasanya ada celoteh Gwen menggema di seantero rumah itu. Tapi tidak sore ini. Ketika kakinya menapak ruang tengah, dilihatnya Nugra tengah duduk di teras belakang. Sendirian. Ia pun melangkah ke sana.
“Hai!” sapanya.
Nugra menoleh. Tersenyum tipis. Ia mebalas sekilas ketika Adita mendaratkan kecupan hangat di pipi. Sejenak, Adita mengerutkan keningnya.
“Sepi banget?” gumamnya.
“Gwen siang tadi dijemput Mbak Livi,” jawab Nugra, menyebutkan nama istri salah seorang sepupunya. “Diajak menginap. Mumpung besok tanggal merah, mau diajak ke Taman Safari sama Mas Luken. Biar Rora ada temannya.”
“Oh...,” Adita menghenyakkan tubuh di samping Nugra.
“Ada cerita apa hari ini?” Nugra menoleh sekilas. Berusaha menutupi debar liar yang bermain dalam dadanya.
“Hmm....”
Pembicaraan itu terjeda ketika Rusni muncul membawa dua gelas jeruk hangat dan sepiring pisang goreng yang masih mengepulkan asap.
“Ini pisang yang tadi?” tanya Nugra, mendongak sedikit.
“Iya, Pak,” angguk Rusni. “Saya pilih yang paling matang.”
“Dapat dari Mbak Livi tadi,” Nugra menoleh pada Adita. Menjelaskan tanpa diminta. “Pisang uli setandan. Sebagian sudah menjelang matang.”
“Oh...,” Adita manggut-manggut. “Panenan sendiri?”
“Iya.”
“Kebun yang di mana? Purwakarta?”
“Iya.”
Sambil menikmati lezatnya pisang goreng dan manisnya minuman jeruk hangat, Adita pun menceritakan keadaan beberapa kedai yang tadi dikunjunginya. Termasuk juga celetukan Dayu soal ruko di sebelah kedai di Cikarang. Terlihat sangat bersemangat.
“Tapi aku belum berani kalau sekarang,” Adita menggeleng. “Yang di sebelah tokomu itu saja masih perlu banyak perhatian. Lagipula modal belum kembali. Sayang, sih, sebetulnya. Pasar di Cikarang termasuk gede banget.”
“Aku lagi nggak ada uang buat suntikan modal,” celetuk Nugra.
“Iyaaa.... Aku tahu,” Adita menepuk lembut punggung tangan Nugra. “Rejeki nggak akan tertukar. Kalau memang kedai di Cikarang nanti bisa diperluas, ya, itu rejeki kita. Tapi kalau belum, ya, memang belum rejeki. Gitu saja, mudah. Di Tangsel, gimana?” Adita menoleh.
Nugra mengangkat bahu. Terlihat sedikit kurang bersemangat.
“Berjalan sesuai rencana,” jawab Nugra kemudian. “Bahkan lebih cepat daripada rencana semula. Mbak Renata itu kerjanya cepat. Sudah cepat, rapi, tepat sesuai dengan draft pula.”
“Oh, secara khusus, dia memang yang terbaik,” Adita menanggapi dengan nada riang. “Dan, secara umum, Savannah and Co. memang pelayanannya masih nomor satu.”
“Hmm.... Ya.”
Hening sejenak.
“Ada lagi yang mau diceritakan?” Nugra menoleh sekilas.
Adita menggeleng cepat. “Sementara itu saja memang kerjaku seharian tadi.”
“Nggak terlambat makan siang?”
“Sedikit terlambat, sih,” Adita meringis samar.
“Sudah, itu saja?” Nugra menegaskan sekali lagi.
“Iya. Kenapa, sih?” Adita sedikit melengak.
“Kalau sudah selesai ceritanya, aku mau tidur,” jawab Nugra lugas. “Aku capek.”
“Nggak makan malam dulu?” Adita ternganga.
Nugra menggeleng seraya beranjak. “Kenyang makan pisang goreng.”
Adita menatap punggung Nugra yang bergerak menjauh. Ia kemudian mengangkat bahu.
Tampaknya Mas Nugra memang benar-benar lagi capek hari ini....
Dihabiskannya sisa air jeruk dalam gelas. Sudah dingin. Setelah itu ia pun ikut beranjak.
Tak akan ada cerita tentang acara makan siangnya bersama Rafael. Kali ini, ia ingin menyimpannya untuk diri sendiri.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)