Berhari-hari Adita gelisah, berhari-hari pula ia mencoba menutupinya dengan berusaha bersikap seperti biasa. Ia sendiri merasa bahwa usahanya itu tak seratus persen berhasil. Untungnya, Nugra sedang sangat sibuk dengan urusan pembukaan toko barunya. Jadi, frekuensi pertemuannya dengan Nugra agak jauh berkurang setiap harinya.
Penataan ruang toko baru Nugra kabarnya sudah hampir selesai. Maka Nugra harus mempersiapkan gudang penyimpanan. Semua urusan dengan pemasok harus diselesaikannya dengan baik dan benar agar roda toko barunya nanti bisa berputar dengan lancar.
“Aku nggak terlalu sibuk hari ini,” ucap Nugra tadi pagi, saat mereka menikmati sarapan. “Kalau mau ke Pondok Gede, berangkat saja. Nanti Gwen aku yang jemput.”
“Oh, sekalian saja aku ke Cikarang dulu kalau gitu,” sambut Adita. “Mumpung bisa keluar.”
Nugra mengangguk.
Maka, setelah mengantarkan Gwen ke sekolah, Adita pun meluncurkan mobil mungilnya ke Cikarang, untuk menengok salah satu cabang kedainya. Ia menyempatkan diri untuk duduk di sofa yang ada di sudut teras belakang kedainya. Hendak menerima laporan dari Dayu, manajer kedai. Kedai itu sedang dalam persiapan buka.
Perkembangan kedai di Cikarang ini tergolong yang paling bagus di antara semua cabang kedainya. Di samping memang angka konsumennya tergolong tinggi, pengelolaan yang dilakukan Dayu memang sangat baik.
“Ruko sebelah mau dijual, Mbak,” celetuk Dayu tiba-tiba. “Siapa tahu Mbak mau sekalian menebus buat gedein kedai ini.”
Seketika Adita menatap gadis berparas manis yang duduk di seberangnya itu. Tiba-tiba saja semangat ‘berjudi’-nya tergelitik. Tapi....
“Modalku belum ngumpul lagi, Yuk,” Adita menggeleng. Meringis sekilas. “Aku sudah habis-habisan di Jagakarsa. Sementara ini harus bilang ‘cukup’ dulu. Lagipula papanya Gwen juga lagi ekspansi. Gwen bisa keteter kalau aku maksain diri.”
Dayu manggut-manggut.
“Aku mau baca ini dulu, Yuk,” Adita menunjuk map berisi laporan tertulis di depannya. “Silakan kalau kamu mau kembali kerja.”
“Oke, Mbak,” Dayu menanggapi sambil berdiri. “Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku.”
Sepeninggal Dayu, Adita menghela napas panjang. Teras belakang ini cukup ideal untuk dipakainya melamun sejenak. Melamunkan apa dan siapa yang belakangan ini menggelitik pikirannya. Sebersit sesal mendadak saja timbul.
Kadang-kadang aku lupa bahwa Jakarta bisa sedemikian luas, sekaligus sempit.
Dulu, bertahun-tahun lalu, pada waktu-waktu tertentu, ia masih mengumpulkan harapan untuk bisa berjumpa lagi dengan Rafael. Tapi seiring perjalanan kehidupannya yang terus melaju, harapan itu makin tipis. Bahkan nyaris hilang. Ia sendiri yang berusaha menghilangkannya. Apalagi setelah Nugra hadir.
Entah apa yang dilihat laki-laki tinggi besar bernama Nugra itu dalam dirinya. Yang jelas, ia merasa tersanjung dan disayangi sepenuh hati. Perasaan yang jelas-jelas ia butuhkan. Membuatnya merasa utuh sebagai manusia dan perempuan.
Bersama Rafael? Samar, Adita mengangkat bahu.
Sejak awal, hubungannya dengan Rafael berangkat dari kesalahan. Bila pada suatu titik hubungan itu berkembang jadi sesuatu yang ‘lain’, rasa-rasanya itu hanyalah bonus belaka. Rafael tetap saja terasa jauh di awang-awang baginya. Terlalu tinggi, hingga pada saat yang ‘tepat’ itu, jadi makin tak terjangkau.
Seandainya benar Rafael memang mencintainya, tetap saja ada perasaan bahwa ia terlalu ‘kecil’ untuk Rafael. Dan, ia tak tahu bagaimana cara menghilangkan perasaan itu. Apalagi Rafael terlalu pendiam dan lebih sering datar-datar saja. Benar-benar berbeda 180o dengan Nugra yang lebih ekspresif dan ‘ramai’. Membuatnya merasa jauh lebih mudah masuk ke dalam kehidupan Nugra. Karena itulah ia menerima lamaran Nugra, sembari berusaha sedikit demi sedikit melepas bayangan cintanya terhadap Rafael.
Tapi....
Sayangnya, ia harus melihat Rafael lagi. Dilanjutkan dengan pertemuan yang cukup menggoncangkan hatinya. Apalagi dalam pandangan matanya, Rafael sudah cukup banyak berubah. Jadi jauh lebih matang dan memesona.
Beruntung sekali dia bisa jadi pendamping Mas Rafael....
Mata Adita mengerjap ketika mengingat pula sosok Renata. Dari sisi mana pun ia mencoba untuk memandang, tampaknya memang Renata jauh lebih layak mendampingi Rafael. Perempuan itu kelihatan sekali punya sesuatu yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Memang benar! Renata sudah membuktikannya secara telak melalui karya-karyanya. Dari desas-desus yang beredar di antara teman-temannya sesama pengusaha yang pernah menggunakan jasa Savannah and Co., memang Renata-lah yang terbaik.
Adita sedikit tersentak ketika ponselnya berbunyi nyaring. Ia buru-buru mencari benda itu di dalam tasnya. Ternyata pesan dari Velma. Ia sudah ditunggu di cabang Pondok Gede. Adita pun segera mengemasi map laporan yang terbuka lebar di pangkuannya. Setelah berpamitan pada Dayu, ia pun meluncur ke Pondok Gede.
* * *
“Kenapa tidak mencoba untuk bertemu saja dengan Mas Rafael?”
Adita ternganga mendengar ucapan Velma.
“Selesaikan apa yang belum selesai,” ujar Velma lagi.
Adita mengatupkan bibirnya. Mengerjapkan mata.
“Biar sama-sama nggak ada ganjalan,” lanjut Velma.
Adita menelan ludah? Bertemu lagi dengan Mas Rafael? Belum-belum, ia sudah merasa ngeri. Ia takut tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri.
“Buka luka hati saja,” gerutunya kemudian.
Velma menggeleng samar. Ia ingat betul Rafael pernah mencari Adita bertahun-tahun lalu. Ia juga ingat pesan Rafael setelah tak berhasil bertemu Adita. Digigitnya bibir bawahnya. Menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya....
“Kak..., sebenarnya...,” Velma menatap Adita. Ragu-ragu. “Sebenarnya... Mas Rafael... pernah mencari Kakak.”
Seketika mata Adita membulat.
“Kapan?!” pekiknya.
Velma menghela napas panjang terlebih dulu.
“Beberapa minggu setelah Kakak menikah dengan Mas Nugra,” Velma tertunduk sejenak. “Sebenarnya aku nggak boleh bilang hal ini ke Kakak, tapi....”
Adita menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi.
Jadi, dia....
Ia menggeleng pelan. Pada satu detik ia tersadar. Ia meraih tasnya yang tergeletak di atas meja. Diaduknya isi tas itu untuk menemukan ponselnya. Dengan tangan sedikit gemetar, ia kemudian memainkan ponsel itu.
Seingatnya, ia tak pernah menghapus nomor kontak Rafael. Benar! Ia menemukannya. ‘Hero’. Begitu ia menamainya. Ketika ia mencoba untuk mencocokkan nama itu dengan daftar nama yang ada dalam aplikasi WhatsApp-nya, nama ‘Hero’ itu terpampang nyata.
Jadi, nomornya masih tetap sama....
Ada yang terasa menyentak-nyentak hati Adita saat membuka foto profil Rafael. Laki-laki berkaca mata modis itu sungguh tampan dalam balutan jas berwarna hitam dan kemeja putih, dengan dasi berwarna merah. Sebelah tangannya merengkuh bahu Renata. Perempuan itu terlihat sangat cantik dalam balutan kebaya berwarna merah marun, dengan dandanan berkonde modern sempurna. Keduanya mengulas senyum. Terlihat sebagai pasangan yang sangat berbahagia dan saling mencinta. Sekali lagi, ia merasa kalah makin telak.
Tapi....
Impulsnya menang kali ini. Apalagi ketika dilihatnya status Rafael sedang online. Jemarinya segera mengetikkan sesuatu.
‘Mas Rafael, ini Adita. Apa kabar?’
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)