* * * * *
𝗗𝗲𝗹𝗮𝗽𝗮𝗻
𝙎𝙚𝙡𝙞𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙎𝙚𝙣𝙮𝙪𝙢 𝙙𝙖𝙣 𝙏𝙖𝙬𝙖
Pelan-pelan Salim menghentikan mobil Bara di belakang sebuah SUV putih. Lampu lalu lintas di perempatan dekat GOR itu sedang menyala merah. Bara yang tadinya sibuk dengan iPad-nya, kini mengangkat wajah. Dilabuhkannya tatapan ke luar jendela. Sore begitu kelabu dengan awan gelap bergulung-gulung di angkasa. Ia mendesah.
Saat itu tertangkap oleh matanya sebuah mobil ada di area parkir pujasera. Mini cooper berwarna merah, dengan stiker KPN Griperga memanjang di bagian bawah kaca belakang. Hanya ada satu mini cooper berciri seperti itu di Griperga. Mobil milik Lily. Bara buru-buru melepas jasnya.
"Pak Lim, aku turun di sini aja," putus Bara dari jok belakang.
"Hah? Gimana, Pak?" Salim menatap dari spion tengah.
"Aku mampir makan dulu. Nanti pulangnya gampang. Pak Lim langsung pulang aja."
Tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut dari sopirnya, Bara keluar dari mobil dan berjalan dengan langkah panjang di antara mobil-mobil yang masih berhenti. Dilonggarkannya dasi dan digulungnya lengan panjang kemeja biru langitnya hingga ke siku.
Begitu kaki kirinya menginjak lantai pujasera, sepasang matanya segera beredar. Ketemu! Lily duduk sendirian menghadapi sebuah mangkuk besar dan segelas minuman. Dari arah samping, Bara masih dapat mengenalinya dengan sangat jelas.
"Ly ...."
Gadis itu menoleh. Sedikit mendongak menatap siapa yang telah menyapanya. Seulas senyum terukir manis.
"Sendirian?" Tanpa permisi, Bara duduk di depan Lily, di seberang meja.
"Halo, Mas Bara. Iya, sendirian. Lagi ingin bakso." Lily melebarkan senyumnya.
"Sebentar, aku pesan dulu." Bara pun bangkit dan melangkah meninggalkan Lily.
Melihat Lily makan semangkuk besar bakso Malang dengan isi lengkap seperti itu, air liur Bara pun terbit. Ia memesan makanan yang sama, dengan porsi yang sama pula. Porsi besar. Segelas jus sirsak melengkapi pesanannya.
"Tumben pulang gini hari, Ly?" Bara duduk kembali. Dilihatnya sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih pukul lima lebih sedikit. "Nggak kuliah?"
"Jadwalku kosong hari Kamis gini. Mas Bara sendiri, tumben juga gini hari jajan?"
"Capek, Ly. Dari Senin aku pulang tengah malem terus. Banyak banget yang harus kubereskan. Ada proyek baru."
"Makin kenceng aja rezekinya," senyum Lily kembali melebar.
"Ya, gimana juga harus terus maju. Banyak yang hidupnya bergantung pada perusahaan."
Obrolan mereka terjeda sejenak ketika dua orang pramusaji dari lapak berbeda berjalan beriringan menghidangkan pesanan Bara. Segelas jus sirsak, dan semangkuk bakso Malang komplet. Ditambah dengan dua mangkuk masing-masing berisi goreng kembang dan goreng panjang, disodorkan ke arah Lily.
"Bonus dari Cak Jeki, Mbak," ucap pramusaji lapak bakso.
"Wah, pakai bonus segala. Makasih banyak!" Wajah Lily terlihat ceria.
Sebagai pemilik pujasera itu, tak jarang Lily mendapat bonus dari penyewa lapak. Uang sewa yang relatif murah dengan pangsa pembeli yang lumayan besar membuat para penyewa merasa terbantu.
"Dimakan, Mas!" Lily menggeser kedua mangkuk tambahan itu ke arah Bara.
"Wah, bisa hilang ini roti sobekku!" Bara cengengesan, menepuk perutnya. "Kebanyakan ngemil."
"Halah, tinggal nge-gym aja, beres." Lily menyambungnya dengan tawa renyah. "Kayak aku, dong, nggak takut gendut."
"Emang cewek langka kamu, Ly."
"Abis gimana? Makan banyak, badanku segini-segini aja. Makan dikit, adanya tambah kerempeng. Kayaknya cacingan juga enggak."
"Artinya bagus metabolismemu, Ly."
"Gitu, ya?"
"Anggap aja gitu." Bara kembali cengengesan.
Mereka asyik ngobol sembari makan. Lily yang ketika Bara datang tadi porsi baksonya tinggal setengah, sengaja memperlambat makannya. Bara juga tak malu-malu mencomot gorengan siomay ekstra dari mangkuk.
"Eh, Mas, udah pernah nyobain es puter yang di sana belum?" Tunjuk Lily ke suatu arah. "Aku pesenin sekalian, ya?"
"Belum," geleng Bara. "Enak?"
"Banget!" Mata Lily berbinar. "Dijamin makanan di sini enak semua."
"Percayaaa," timpal Bara.
"Mau es puter atau es podeng?"
"Bedanya?" Bara sedikit mendongak, menatap Lily yang sudah berdiri.
"Es puter, ya, es puter aja. Ada rasa ori santan, alpukat, tape ketan hitam, nangka ... apa lagi, ya? Kalau es podeng, ada isinya agar-agar, terus apalah, ada dikasih es puternya juga yang ori santan."
"Rekomendasi?"
"Ya, es podenglah."
"Boleh, deh, mau es podeng." Dengan cepat Bara menarik dompet dari saku belakang celananya. Diulurkannya dompet itu pada Lily. "Pakai ini aja, Ly."
"Haish, nggak usah!" Lily mengibaskan tangan kanannya, tanpa menerima dompet Bara.
"Yah ...," gumam Bara. Lily sudah melangkah pergi.
Bara masih menatap Lily yang bergerak menjauh. Masih ada antrean di lapak es puter. Tampak Lily menunggu dengan sabar.
"Heh!"
Sebuah tepukan mampir di bahu kiri Bara. Membuat laki-laki itu terlonjak kaget. Ia memutar leher dan menengadah. Mendapati seulas senyum mengejek terpampang di depan mata.
* * *
Erid meraba ulu hatinya yang terasa sedikit perih. Karena terlambat bangun, tadi pagi ia melewatkan sarapannya. Seusai 𝘷𝘪𝘴𝘪𝘵𝘦 ia langsung praktik di poli anak. Selepas praktik, sebelum ia sempat ke kantin, seperti biasa ada calon bayi yang memaksa diri ingin segera melihat dunia melalui SC darurat. Setelah itu, ada persalinan yang sudah terjadwal dari pagi, yang ternyata maju satu jam dari perkiraan. Hasilnya, hingga waktunya pulang sore ini belum ada sedikit pun makanan yang masuk ke lambungnya. Hanya air mineral saja yang sempat diteguknya beberapa kali. Mencegah dehidrasi.
Sebelum ada gejala yang lebih berat dari hanya sekadar sedikit perih di lambung, Erid memutuskan untuk langsung pulang. Sesampainya di gerbang utama kompleks, terpikir untuk mampir makan lebih dulu saja di pujasera.
Baru sekali ini ia menginjakkan kaki ke tempat itu. Sudah lama ingin, sebenarnya. Apalagi setelah tempo hari sepupunya datang ke rumahnya dengan membawa sekotak martabak telur beraroma menggoda.
Keadaan di dalam cukup ramai. Rupanya banyak juga orang yang mampir untuk jajan di tengah hujan rintik seperti saat ini. Erid mengedarkan pandangan, dan mendapati sepupunya tengah duduk seorang diri dengan tatapan mengambang entah ke mana. Dengan langkah panjang, ia mendekat.
"Heh!" Ditepuknya bahu sang sepupu. "Widiiih! Ini gimana 𝘪𝘮𝘢𝘨𝘦-nya si CEO jomlo, makan di pujasera sampai habis dua mangkuk gede?"
Bara menatap sinis. "Lah, situ? Ngapain dokter jomlo mampir ke sini?"
"Ya, mau makanlah. Lapar." Dengan santai Erid duduk tepat di depan Bara. Tangannya dengan luwes menyingkirkan sebuah mangkuk besar yang sudah kosong. Setelah itu, mencomot goreng panjang, mencocolkannya pada lepek yang berisi sisa saus tomat dan sambal cabe, kemudian melahapnya.
"Eeeh!" Bara terlambat mencegah.
"Pelit amat!" gerutu Erid.
"Masalahnya, itu bukan punyaku." Bara meringis. "Gorengan dan sisa sausnya."
Seketika Erid tersedak. Bara segera menyodorkan jus sirsaknya yang masih sisa setengah. Erid meneguknya sampai habis.
"Lantas? Punya siapa?" Erid berusaha menormalkan napasnya.
"Lily."
Hampir saja gigitan terakhir goreng panjang yang masuk ke mulut Erid menyangkut di kerongkongan.
* * *
Antrean panjang es puter dan es podeng lezat itu akhirnya sampai juga pada Lily. Senyum dan keramahan penjual es itu menyapanya.
"Eh, Neng Lily. Mau pesan apa, Neng?"
"Es podengnya dua, ya, Mang."
"Siap! Nanti biar diantar Didin."
"Meja nomor 19, Mang, yang di depan mie ayam."
"Oke!"
Lily mengeluarkan selembar uang berwarna merah dari dalam dompetnya. "Kembaliannya nanti aja."
"Rojer!"
Lily sempat terkekeh mendapatkan jawaban ajaib itu. Ia kembali ke mejanya sambil menjawab sapaan beberapa penyewa lapak yang sangat mengenalnya. Tak memperhatikan bahwa ada tambahan seorang lagi di meja nomor 19.
Langkahnya terhenti satu meter di belakang sosok baru itu. Bara yang melihat kedatangannya segera menegur Erid.
"Pindah, Mas!"
"Eh?" Erid buru-buru berdiri dan memutar tubuhnya ke arah belakang.
"Sudah, nggak apa-apa," cegah Lily.
Alhasil Erid hanya bergeser sedikit. Kini duduk di kursi sebelah kursi yang awalnya ditempati Lily.
"Sore, Ly," sapa Erid. "Maaf ganggu."
"Sore, Dok. Enggak, nggak ganggu, kok," jawab Lily.
"Nggak ganggu gimana?" sergah Bara. "Orang ketiga biasanya setan."
"Adik lucknut!" gumam Erid, membuat Bara dan Lily tergelak.
Namun, ketiganya tetap berada dalam satu meja. Erid meninggalkan meja itu sejenak untuk memesan makanan dan minuman.
"Mas Bara adik Dokter Erid?" Lily melebarkan matanya.
"Iya," angguk Bara. "Adik sepupu. Mamaku adik mendiang papa Mas Erid."
"Oh ...."
Walaupun sudah cukup lama mengenal Bara, tapi Lily memang tidak pernah 𝘬𝘦𝘱𝘰 dengan urusan pribadi Bara. Apalagi memang keduanya tidak cukup sering bertemu. Saat bertemu pun, keduanya hanya mengobrolkan hal-hal yang ringan ataupun terkini saja. Ia hanya tahu bahwa Bara masih lajang dan saat ini menjadi seorang CEO sebuah perusahaan besar, tanpa ingat bahwa Adrian pernah menyebut nama Garudeya Grup. Apalagi ketika ada akad jual beli properti berupa rumahnya dan tanah yang saat ini menjadi pujasera itu, tak ada nama Garudeya di belakang nama Bara.
Datangnya pesanan es podeng bersamaan dengan hadirnya kembali Erid yang membawa piring berisi nasi dan segala pelengkapnya dan sebotol air mineral dari warteg yang ada di pujasera itu. Erid sempat melirik es itu dengan penuh minat.
"Mau, Dok?" tawar Lily.
"Boleh, tapi nanti saja," jawab Erid.
"Din, tolong sisipkan pesanan satu es podeng lagi di antrean, ya. Sesuai urutan saja, jangan menyela."
"Oke, Kak. Ini kembaliannya saya bawa balik dulu?"
"Iya. Makasih, ya, Din."
"Sama-sama, Kak."
"Langganan?" celetuk Erid setelah Didin berbalik.
"Langganan gimana?" tukas Bara sambil mulai menyendok es podengnya. "Semua penyewa lapak di sini kenal sama Lily. Gimana nggak kenal? Yang punya pujaseranya aja Lily."
Erid terbengong sejenak. Ia ingat Bara pernah mengatakan bahwa pujasera ini adalah cabang dari pujasera yang ada di sebelah d'Nali.
"Yang di sebelah d'Nali itu juga punyamu?" Erid menatap Lily di sebelah kirinya.
"Hehe ... Iya." Lily tersipu malu menjawabnya.
"Wah, hebat kamu, Ly." Setulusnya Erid memuji Lily.
"Hidup juga butuh cuan, Dok," gurau Lily.
Erid dan Bara tergelak mendengarnya.
"Eh, Ly, boleh minta satu hal nggak?" Erid tampak serius.
"Apa itu, Dok?" Lily mengerutkan kening.
"Boleh nggak, nggak panggil 'dok'? Apalagi di luar lingkungan rumah sakit gini."
"Maunya dipanggil 'beb', 'ay, 'cin', atau sejenisnya itu, Ly," ledek Bara.
"Heleh! Itu, 'kan, harapanmu," sergah Erid, sebal.
Bara terbahak-bahak. Sementara Lily menyunggingkan seulas senyum lebar.
"Ay, ayam. Beb, bebek." Lily mencoba melawak, membuat Erid dan Bara seketika tergelak. "Oh ... jadi maunya dipanggil 'pak' atau 'om', gitu?"
"Makanya rajin 𝘴𝘬𝘪𝘯𝘤𝘢𝘳𝘦-an, Mas. Biar nggak dipanggil 'om' sama Lily." Bara kembali terbahak-bahak.
Mau tak mau Erid turut terseret dalam tawa penuh ledekan itu.
"Emangnya beda berapa tahun dari Mas Bara?" tanya Lily, mode serius.
Erid dan Bara bertatapan sejenak.
"Tiga tahunan," jawab Erid, kembali menatap Lily.
"Iya, tiga tahun." Bara menegaskan. "Lebih tua dia."
"Nggak beda jauh," gumam Lily. "Aku panggil 'mas' kayak Mas Bara, gimana?"
"Boleh, boleh," sahut Erid, cepat.
Ketika senja merambat makin tua, ketiganya menyudahi obrolan asyik mereka dengan berat hati. Suasana bertabur senyum dan tawa untuk sementara harus diakhiri. Rangkaian mendung tebal, hujan rintik, dan hujan deras sudah berlalu. Menyisakan hawa dingin dan udara yang terasa basah di luar pujasera.
"Mas Bara nggak jadi nebeng aku?" Lily menekan tombol alarm mobilnya.
"Enggak, Ly, makasih banyak," jawab Bara. "Aku nebeng Mas Erid aja. Satu blok ini."
Mereka pun berpisah di parkiran. Bara dan Erid menunggu hingga Lily masuk ke dalam mobil merahnya dan melajukan mobil itu. Mereka mengiringi kepergian Lily dengan lambaian tangan sebelum berjalan ke arah mobil Erid yang parkirnya agak di ujung.
* * *
"Sudah sejauh mana hubunganmu dengan Lily?"
Posisi sebagai abang sepupu dengan usia yang lebih tua pula berhasil membuat Erid menanyakan itu dengan nada ringan. Terkesan sambil lalu, tanpa terdengar terlalu 𝘬𝘦𝘱𝘰. Sambil mengendarai SUV-nya, pulang.
"Baru taraf teman baik," jawab Bara, terdengar ringan pula.
"Sudah lama kenal Lily?"
"Empat tahunan. Rumahku sekarang dulunya rumah Lily. Aku membelinya dari Lily."
"Aku dengar, suaminya meninggal?"
"Iya," angguk Bara. "Beberapa bulan setelah suaminya meninggal, Lily menjual rumah mereka. Wasiat dari mendiang suaminya, katanya, supaya Lily cepat 𝘮𝘰𝘷𝘦 𝘰𝘯."
"Oh ...."
"Mas kenal Adrian, 'kan? Dia sepupu mendiang suami Lily. Jadi ceritanya ...."
* * * * *
Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar