* * *
𝙏𝙚𝙧𝙠𝙞𝙧𝙞𝙢 - 2
Sambil berjalan menyusuri salah satu koridor RSGH, Erid membuka ponselnya. Ada beberapa email yang menunggu untuk dilihat dan dijawab, juga beberapa notifikasi pesan. Terbanyak berasal dari WAG gosip dan lawak tenaga medis rumah sakit yang nada deringnya sengaja ia sunyikan. Ada juga puluhan pesan dari WAG lain. WAG SD, SMP, SMA, kuliah, dan lainnya. Ia memutuskan untuk membukanya nanti saja kalau sudah benar-benar senggang dan butuh hiburan. Kemudian ada WA pula dari adiknya. Dan, terakhir ada pesan dari sederet nomor yang ia tak tahu siapa pemiliknya. Karena penasaran, ia membuka pesan WA itu yang disertai beberapa foto itu.
"Dokter Erid!"
Erid mengangkat wajahnya, balas menyapa, "Dokter Bagas, selamat siang."
Dokter senior yang merupakan spesialis onkologi itu pun menjejeri langkah Erid. Tujuan keduanya sama. Kantin rumah sakit. Belum pukul dua belas, tapi waktu longgar mereka hanya saat itu, karena sekitar jam resmi istirahat makan siang pukul dua belas nanti, mereka harus sudah siap menunggu kiriman pasien dari Cikarang.
Kantin sudah lumayan ramai walaupun belum bisa terbilang penuh. Masih ada beberapa meja kosong. Salah satunya menjadi tujuan Erid dan Bagas.
"Mau pesan apa, Dok? Sekalian saya pesankan," ucap Erid.
"Apa sajalah, Dok," jawab Bagas. "Samakan saja denganmu."
"Nasi soto ayam dan es jeruk?" tawar Erid.
"Boleh, jangan lupa kerupuknya." Bagas tersenyum lebar. "Makasih, loh."
Erid tertawa sembari melangkah pergi. Saat itu, ada gerakan halus di kursi meja sebelah. Refleks Bagas menoleh. Sejenak tatapannya terkunci. Sepertinya ia mengenal sosok itu.
"Lily, ya?" ujarnya, sedikit ragu-ragu.
Si pemilik nama menoleh. Mata bulatnya mengerjap.
"Dokter Bagas! Wah, nggak lupa sama saya?"
"Mana pernah lupa!" Bagas pun pindah ke kursi di meja yang ditempati Lily. "Apa kabar?"
"Baik, Dok. Dokter?"
"Baik juga."
"Sudah punya cucu pastinya." Lily terkekeh. Ia memang menghadiri resepsi pernikahan putri tunggal Bagas sekitar empat tahun lalu.
"Iya, sudah mau dua," jawab Bagas dengan riang. "Eh, kok, kamu di sini lagi?"
"Oh, saya diminta Bu Arin untuk sementara jadi asistennya di yayasan."
"Oh .... Kenal Bu Arin di mana?" Bagas mengerutkan kening.
"Saya desainer di d'Nali, Dok. Baru dua tahun ini."
"Kamu baik-baik saja, 'kan? Kamu lanjut kuliah?"
Lily mengembangkan senyum manisnya. "Saya baik, Dok. Iya, saya lanjut kuliah. Agak telat, memang. Saya ambil kelas sore. Semester depan rencananya mulai skripsi."
"Hidup berjalan terus, ya, Ly. Kamu kuat. Harus tetap seperti itu, ya." Bagas menepuk halus punggung tangan Lily.
Seorang pramusaji datang membawa pesanan Lily. Nasi, ayam bakar, lalapan, semangkuk air kobokan berisi irisan jeruk nipis, dan segelas jus semangka. Di belakang pramusaji itu ada Erid.
"Ly," sapa Erid, "selamat siang."
Lily mendongak. "Selamat siang, Dok."
Erid duduk di sebelah Bagas. Paham kenapa Bagas pindah meja. Dari kejauhan tadi, sambil melangkah kembali, ia melihat Bagas bercakap dengan Lily. Agaknya, keduanya memang sudah saling mengenal.
"Dok, saya makan dulu, ya." Dengan nada sangat sopan Lily izin untuk makan dulu. "Nanti pukul dua belas ada klien saya mau mampir untuk dibuatkan desain perhiasan. 'Kan, setelah itu ada jadwal pasien masuk dari Cikarang."
"Silakan, Ly," ucap Erid dan Bagas berbarengan.
Lily berdoa sejenak, lalu mencelupkan kedua tangannya di kobokan, lalu mengelapnya dengan tisu basah. Setelah mengucapkan kata 'mari', Lily pun mulai menikmati makanannya. Tanpa sungkan, ia makan menggunakan tangan.
Erid sempat menelan saliva melihat betapa nikmatnya Lily menyantap makan siangnya. Samar ia tersenyum. Rasanya senang sekali melihat seorang perempuan muda menikmati makanan tanpa 𝘫𝘢𝘪𝘮. Tidak pula terkesan rakus. Hanya 'menikmati' dengan penuh rasa syukur.
Hingga beberapa saat kemudian ada 'gangguan'. Seorang pramusaji datang membawa nampan besar berisi dua mangkuk nasi soto, dua gelas es jeruk, dua lepek kecil berisi sambal dan jeruk nipis, sebungkus kerupuk keriting, dan sebungkus emping melinjo.
Lily selesai lebih dulu. Ia sempat membuka ponselnya dan segera berpamitan. Adrian dan Olin sudah dalam perjalanan untuk menemuinya.
"Oh, iya, makasih kiriman fotonya, ya," ucap Erid sebelum Lily melangkah pergi. Hampir saja ia lupa.
Lily berbalik sejenak. "Sama-sama, Dok," senyumnya. "Mari."
"Dokter Bagas kelihatannya sudah kenal sama Lily?" gumam Erid sambil menatap punggung Lily yang bergerak menjauh.
"Iya, sudah lumayan lama, sih. Tapi baru bertemu lagi ini tadi."
"Oh ...."
"Suaminya dulu pasienku."
Ucapan bernada rendah dari Bagas itu seketika membuat Erid tersedak hebat.
* * *
Dengan sabar Lily mendengarkan keinginan Olin. Tunangan Adrian itu terlihat antusias sekali bicara tentang desain set perhiasan yang ia inginkan. Ditunjukannya gambar seuntai kalung.
"Aku inginnya kayak gini, Ly," ucap Olin.
"Aku modifikasi dikit gimana, Kak?" tanya Lily halus. "Biar nggak jiplak model yang sudah ada."
"Iya, iya," sahut Olin dengan antusias. Sedikit banyak ia paham mengenai hak cipta sebuah desain.
Lily kemudian mencoretkan pensilnya di atas lembaran kertas sketsa. Wajahnya tampak serius.
"Bikin satu set, ya, Ly," ujar Adrian.
"Ini mau dipakai buat acara nikahan atau buat acara lain sesudahnya?" Lily menghentikan sejenak kegiatannya.
"Buat acara lain, Ly," jawab Olin. "Kondangan, kek, apa. Buat koleksilah. Yang buat nikahan udah ada. Aku dikasih sama Mama, warisan keluarga."
Lily manggut-manggut. Tak lama, desain itu pun jadi. Masih kasar, tapi sudah terlihat bentuknya. Seuntai kalung, seuntai gelang, sebentuk cincin, dan sepasang anting. Olin ternganga melihatnya.
"Aaa .... Bagus banget, Ly!" serunya takjub.
Adrian pun melongok ke arah desain Lily. Di matanya, bahkan desain modifikasi yang dibuat Lily jauh lebih bagus daripada gambar kalung asli yang tadi ditunjukkan Olin.
"Yang," Adrian menatap Olin, "biasanya kalau pesta, 'kan, rambut pakai disanggul-sanggul kek gimana, gitu. Mau sekalian dibikinin hiasan sanggul, nggak?"
"Boleh, Dri?" Mata Olin makin berbinar.
"Apa, sih, yang enggak buat kamu, Yang?"
Lily menahan tawa mendengar jurus gombalan yang diucapkan Adrian. Ia kemudian menunduk. Tangannya kembali mencoretkan sesuatu pada lembar sketsanya.
"Nih, kayak gini?" Lily menunjukkan sketsa sirkam dengan desain dasar yang sama dengan set perhiasan.
"Aaa ... mauuu ...." Mata Olin mengerjap indah.
"Bikin, dah, Ly," ujar Adrian, terlihat bahagia.
Kemudian mereka berdiskusi tentang material, jenis batu permata, dan ukuran yang diinginkan Olin.
Sembari mendengarkan diskusi antara Olin dan Lily, Adrian mengetikkan sesuatu pada ponselnya.
'𝘓𝘺, 𝘵𝘰𝘭𝘰𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘥𝘦𝘴𝘢𝘪𝘯𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘵𝘶 𝘴𝘦𝘵 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘱𝘢𝘬𝘢𝘪 𝘴𝘦𝘩𝘢𝘳𝘪-𝘩𝘢𝘳𝘪. 𝘔𝘢𝘵𝘦𝘳𝘪𝘢𝘭𝘯𝘺𝘢 𝘦𝘮𝘢𝘴, 𝘸𝘢𝘳𝘯𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘮𝘢𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘴𝘢𝘮𝘱𝘢𝘯𝘺𝘦. 𝘔𝘢𝘬𝘢𝘴𝘪𝘩, 𝘺𝘢.'
Terkirim.
Obrolan itu harus diakhiri ketika ada pengumuman bahwa Lily sudah ditunggu di IRD. Adrian dan Olin berpamitan, dan Lily segera berlari ke IRD dengan membawa berkas yang diperlukan.
Elida sudah menunggu di sana mendampingi ayah dan ibu pasien, sementara pasien kecil dari Cikarang itu sudah masuk ke IRD. Lily duduk di ujung sebuah bangku panjang. Tak jauh dari tempatnya menunggu, ada Bagas, Erid, dan dua orang lagi terlihat tengah berdiskusi.
Beberapa belas menit kemudian, seorang perawat melongokkan kepala dari balik tirai, memanggil Erid dan Bagas.
Tanpa Lily sadari, sebelum menghilang ke balik tirai, Erid sekilas melemparkan tatapan padanya. Terkirimlah tatapan yang sangat sukar diartikan.
* * * * *
Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi
Setia menunggu...
BalasHapusMakasih banyaaak, Mbak Mila. 😘💕
Hapus