Senin, 15 Juli 2024

[Cerbung] Guci di Ujung Pelangi #5-1

 






Episode sebelumnya



* * * * *



𝗟𝗶𝗺𝗮

𝙏𝙚𝙧𝙠𝙞𝙧𝙞𝙢 - 1



Hari masih gelap ketika bel rumah Lily berbunyi. Enik menyibak sedikit gorden jendela dapur yang langsung menghadap ke 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵. Ada seseorang yang berdiri di luar pagar yang pintunya masih tergembok. Tidak begitu jelas, karena cahaya lampu yang berada di langit-langit 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵 tak mampu menjangkau hingga pintu pagar. Yang terlihat, sosok itu memegang payung yang terbuka lebar. Derai hujan masih awet dari semalam.


Bel berbunyi sekali lagi. Enik menoleh mendengar langkah di belakangnya. 


"Tolong buka pagarnya, Nik," ujar Lily. "Itu Pak Sidik nganterin mobil. Semalam Bang Adrian sudah kasih info ke aku."


Enik buru-buru melakukan tugasnya. Dibukanya pintu pagar lebar-lebar. Sebuah 𝘮𝘪𝘯𝘪 𝘤𝘰𝘰𝘱𝘦𝘳 berwarna merah pelan-pelan meluncur mundur, masuk ke 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵. Setelah mobil yang tak lagi baru itu sudah parkir sempurna, Adrian keluar dari dalamnya.


"Sudah kubilang nanti kuambil sendiri, Bang," ucap Lily.


"Harusnya dari kemarin-kemarin kamu ambil, Ly," tegur Adrian halus. "Sudah mulai musim hujan ini."


"Makasih banyak, ya, Bang," ucap Lily tulus. "Maaf ngerepotin. Sampai dianter sendiri, loh!"


"Enggaklah. Nggak repot." Sekilas Adrian mengibaskan tangan kanannya. "Lagian deket ini."


"Ayo, masuk dulu, Bang," ajak Lily. "Aku buatin cokelat hangat."


"Eh, nggak usah, Ly." Adrian buru-buru menolak halus. "Aku langsung pulang saja."


"Masih hujan gini, Bang."


"Aku sama Sidik, kok. Nggak bakal kehujanan."


Lily mengarahkan tatapan ke arah jalan. Ada SUV putih Adrian kini parkir di depan pagar. Adrian pun segera berpamitan. Lily mengantarnya sampai di depan pagar.


"Mobilmu biar di sini saja, Ly," ucap Adrian sebelum membuka payungnya. Antara pintu pagar dan mobilnya lumayan berjarak. Apalagi rintik hujan perlahan menderas.


"Aku nggak boleh nitip lagi, nih, ceritanya?" Lily 𝘯𝘺𝘦𝘯𝘨𝘪𝘳.


"Boleh, Ly." Adrian menanggapinya dengan nada sabar. "Sampai kamu pindah ke klaster Ruby."


"Siapa juga mau pindah ke sana,  Bang?" Lily tersenyum lebar. "Di sini sudah cukup buatku. Ya, sudahlah, si Mini biar di sini saja seterusnya."


"Eh, tapi beneran nggak apa-apa kalau kamu mau nitip lagi seusai musim hujan." Adrian terlihat serius.


Lily menanggapinya dengan senyum. '𝘕𝘢𝘯𝘵𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘢𝘬𝘶 𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳-𝘱𝘪𝘬𝘪𝘳 𝘭𝘢𝘨𝘪,' batinnya.


Adrian benar-benar berpamitan kini. Sejenak menembus hujan di bawah lindungan payung, lalu menghilang ke dalam SUV-nya melalui pintu kiri depan. Terdengar klakson pendek sebelum mobil itu diluncurkan Sidik. Lily melambaikan tangan. Tak lupa kembali menutup pintu pagar sebelum berbalik masuk ke rumah.


Mobil mungil itu memang milik Lily. Ketika ia pindah ke klaster ini, ia menitipkannya pada Adrian. Garasi rumah Adrian lumayan besar, mampu menampung enam mobil. Tidak seperti Lily yang sejak pindah ke klaster Safir rumahnya hanya memiliki 𝘤𝘢𝘳𝘱𝘰𝘳𝘵.


Adrian sendiri sama sekali tak keberatan menerima titipan mobil kecil itu. Ia hanya memiliki tiga buah mobil dan beberapa motor besar. Garasinya masih longgar. Mobil Lily aman berada di sana. Bahkan Adrian selalu mengingatkan sopir pribadinya untuk merawat mobil Lily baik-baik.


Lily hanya menggunakan 𝘮𝘪𝘯𝘪 𝘤𝘰𝘰𝘱𝘦𝘳 merahnya saat musim hujan tiba. Selebihnya, sebuah motor 𝘮𝘢𝘵𝘪𝘤 setia menemani perjalanan menuju kampus, tempatnya bekerja, atau ke mana pun ia ingin pergi.


* * *


Lily berlari kecil dari parkiran ke teras sayap timur RSGH. Hujan masih menyisakan tetesan lembutnya. Tepat saat ia menginjakkan kaki ke tepi teras, sebuah sedan Audi putih berhenti di belakangnya. Lily membalikkan badan. Carina turun dari mobil itu. Dengan penuh hormat, Lily menyapa sang atasan. Keduanya beriringan masuk ke kantor yayasan.


"Ly, nanti kamu tinggal di sini saja sampai pasien kiriman dari Cikarang datang, ya," ucap Carina halus. "Diperkirakan datangnya setelah jam makan siang. Aku ada janji dengan klien pukul sebelas dan pukul dua. Bisa?"


"Mm ...." Sejenak Lily berpikir.


"Kalau sampai pukul tiga urusannya baru selesai, kamu langsung pulang saja," sambung Carina. "Nggak usah ke d'Nali."


Sebenarnya ia sudah telanjur ada janji bertemu dengan Adrian dan Olin yang hendak memesan set perhiasan. Pukul satu.


"Saya ada klien juga pukul satu," gumam Lily. "Tapi nggak apa-apa, deh. Nanti saya suruh ke sini saja."


"Loh ...." Carina menatap Lily. Bingung.


"Nggak apa-apa, Bu," senyum Lily. "Saudara saya mau pesan set buat seserahan. Gampanglah, bisa diatur. Ketemuan di luar juga bisa. Rumahnya dekat rumah saya, kok."


"Beneran nggak apa-apa?" Carina masih menatap Lily.


"Bener, Bu, nggak apa-apa."


Carina menghela napas lega. Ia memang belum genap dua tahun mengenal Lily. Namun, kinerja Lily tak pernah mengecewakannya. Lily sangat rajin, disiplin, kreatif, dan sabar menghadapi klien yang terkadang permintaannya agak tak masuk akal.


Dua tahun lalu, Carina membutuhkan tambahan desainer perhiasan untuk lini eksklusif di 𝘫𝘦𝘸𝘦𝘭𝘭𝘦𝘳𝘺 miliknya. Ia membuat poster yang disebarkannya di berbagai tempat, termasuk kampus tempat Lily kuliah.


Lalu, karya itu pun mendarat di mejanya. Sketsa desain Lily dalam bentuk set lengkap. Kalung, gelang, cincin, anting, giwang, gelang kaki, dan hiasan rambut. Padahal, Carina hanya mensyaratkan minimal tiga jenis perhiasan dalam satu set desain.


Desain yang dibuat Lily sangat elegan. Tak banyak bentuk rumit, tapi terlihat sangat berkelas. Yang paling penting, desain Lily adalah orisinal.


Carina jatuh cinta seketika. Apalagi ketika desain yang menempati urutan tiga besar teratas diwujudkan dalam bentuk jadi dengan bahan premium sesuai spesifikasi yang diinginkan desainer dan sesuai dengan pangsa pasar yang dikehendaki d'Nali Jewellery. Carina tak mau melepas set hasil desain Lily, sementara dua set hasil karya desainer peserta lomba lainnya berhasil dijualnya dengan harga tinggi. Desainernya mendapat kompensasi besar, sedangkan Lily langsung ditarik menjadi desainer tetap d'Nali.


Hasil karya Lily? Hingga detik ini, set perhiasan yang ditaksir seharga tujuh milyar rupiah itu masih aman dalam brankas pribadi Carina yang tersimpan pada sebuah bank. Menjadi koleksi pribadinya.


Jam kerja baru akan dimulai sekitar lima belas menit lagi. Elida muncul, sementara Lily mulai menyiapkan bahan untuk membuat ringkasan kegiatan minggu lalu sambil bertegur sapa dengan Elida. Mendengar suara percakapan itu, Carina pun keluar dari kantornya dan bergabung.


"Eli, nanti urusan singgah keluarga pasien baru tolong kamu tangani, ya," ucap Carina pada suatu detik.


"Siap, Bu."


"Dananya sudah kamu pegang?"


"Sudah, Bu." Elida menepuk tas kecil berwarna biru langit yang tergeletak di atas mejanya.


"Lily, kamu fokus ke kedatangan mereka saja. Kamu dampingi proses pemeriksaan lanjutannya. Datanya sudah ada di kamu, kan?" 


"Iya, Bu," angguk Lily.


Pasien kurang mampu yang perawatannya akan ditanggung Yayasan Garudeya Peduli kali ini berasal dari Cikarang. Seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun penderita leukemia. Perawatan awalnya sudah ditangani RSGH Cikarang, namun Carina menariknya untuk dirawat di RSGH Jakarta yang jauh lebih besar dan lengkap.


"Nanti kamu ngobrol saja sama Erid. Dia dokter pendamping karena pasiennya masih anak-anak. Catat saja semua kebutuhannya, nanti sampaikan padaku," ujar Carina lagi.


Ketika nama itu tersebut, ingatan Lily meloncat ke arah lain. Tanpa bisa dicegah, ia mengutarakan begitu saja apa yang saat itu melintas di otaknya.


"Maaf, Bu, boleh saya tahu nomor WA Dokter Erid?" Lily menatap Carina dengan polosnya. "Kemarin kami ketemu di komunitas. Dokter Erid foto-fotoan dengan anjing saya, pakai ponsel saya. Mau saya kirim, saya nggak punya nomor WA Dokter Erid."


"Oh ...." Carina pun mengirimkan nomor ponsel Erid kepada Lily.


Tanpa menunggu lama, Lily mengirimkan foto-foto Erid. Centang satu sedetik, kemudian centang dua. Abu-abu.


"Aku mau juga foto Erid, Ly. Tolong sekalian kirim ke aku."


Lily menuruti permintaan Carina.


"Wah! Anjingmu imut betul, Ly!" seru Carina dengan mata berbinar. "Pom?"


"Iya, Bu," senyum Lily.


"Siapa namanya?"


"Athena, Bu."


"Ah ... lucu banget!" Carina melangkah kembali ke ruangannya sambil masih menatap foto-foto Erid dan Athena yang masuk melalui WA. Mengusung senyum lebarnya.


Lily meletakkan ponselnya dan mulai bekerja. Di luar sana, hujan kembali menderas.


* * *


Episode selanjutnya


Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi







Tidak ada komentar:

Posting Komentar