* * * * *
𝗘𝗻𝗮𝗺
𝙂𝙚𝙩𝙖𝙧 𝙍𝙖𝙨𝙖
"Spadaaa!"
Alih-alih memencet bel, Bara berseru sambil membuka pintu pagar rumah Lily yang tak terkunci. Bersamaan dengan itu, pintu depan terbuka dan kepala Lily menyembul.
Bara menanggapi dengan senyum lebarnya. Ia duduk manis di teras. Tadi pagi ia memang sudah berjanji untuk menjemput Lily. Sengaja menggunakan skutik besarnya karena langit terlihat cerah walaupun sudah masuk musim hujan.
Pertandingan futsal antar klaster Sabtu sore itu jadi digelar. Hanya pertandingan persahabatan, tapi tetap saja disambut meriah oleh hampir seluruh warga komples. Bara tak mau kehilangan momen mendudukkan Lily di tempat strategis sebagai penggembira legendaris klaster Emerald. Karenanya ia dan Lily berangkat lebih awal.
Tak lama, Lily muncul kembali. Terlihat sangat siap mendukung tim favoritnya. Busananya berwarna meriah, sesuai dengan warna seragam tim Emerald. Merah membara.
Bara tersenyum lebar melihat penampilan Lily. Terlihat sangat total dari kepala hingga kaki. Serba merah. Mulai 𝘴𝘤𝘳𝘶𝘯𝘤𝘩𝘪𝘦 untuk mengikat rambutnya tinggi-tinggi, bandana yang melingkari kepala, kaus polo lengan pendek, celana denim, hingga kaus kaki dan sepatu kets. Tas besar yang disandangnya di bahu juga berwarna merah. Bahkan helm yang ditentengnya pun berwarna merah.
"Oke, siap?" Bara berdiri.
"Siap!" Lily melangkah ringan di belakang Bara.
"Tapi pakai motor, ya, Ly. Kayaknya nggak hujan ini."
"Nggak masalah," jawab Lily, ceria. "Tadinya, 'kan, sebelum Mas Bara bilang mau jemput, aku mau naik sepeda aja."
"Lumayan jauh, loh, Ly."
"Halah, cuma ke depan ini," bantah Lily. "Lagian sepedaku juga listrik, Mas, nggak harus gowes."
Lily kemudian 𝘯𝘦𝘮𝘱𝘭𝘰𝘬 di boncengan skutik BMW Bara. Dan, mereka meluncur ke arah GOR.
Bara lebih dulu mampir ke minimarket terdekat dengan GOR. Dibelinya beberapa kotak jus buah, beberapa botol air mineral, dan aneka kudapan.
Saat mereka tiba di tujuan, ruang parkir GOR belum ramai. Masih kurang dari pukul empat, sementara pertandingan baru akan dimulai pukul lima. Namun, sudah ada tim 𝘰𝘧𝘧𝘪𝘤𝘪𝘢𝘭 yang bertugas menyiapkan tempat bagi pemain dan pendukung. Tribun utara untuk klaster Emerald, dan tribun selatan untuk klaster Ruby. Lapangan futsalnya sendiri saat itu masih dipakai untuk latihan karate satpam kompleks Griperga.
Lily dan Bara duduk menunggu dengan santai. Bara menyodorkan belanjaannya.
"Ambil, Ly," tawarnya. "Lumayan buat ganjel gigi sambil nunggu."
Tanpa sungkan, Lily pun mengaduk kantung itu, mengambil sebungkus kacang panggang dan sekotak jus mangga. Keduanya mengobrol sambil mengudap. Sesekali tertawa renyah saat saling melempar humor.
Pada satu detik, tatapan Lily terkunci pada satu sosok di tengah lapangan. Sosok yang tengah melatih para satpam. Sosok tinggi gagah dengan seragam putih dan sabuk berwarna hitam. Sosok yang cukup dikenalnya.
Lily sempat ternganga.
'𝘐𝘵𝘶 ....'
* * *
Bara sudah cukup lama mengenal Lily. Sudah sekitar empat tahun. Perkenalan mereka diawali dengan transaksi pembelian sebuah rumah di klaster Emerald. Rumah yang semula milik Lily, berpindah kepemilikan pada Bara yang membelinya.
Sebetulnya Bara sudah memiliki dan menempati sebuah rumah besar dan mewah di kompleks lain yang masih berada di bawah naungan Garudeya Estate. Tepat bersebelahan dengan rumah saudara kembarnya. Kedua rumah itu memang pemberian ibu mereka.
Baru setahun menempati, ia sudah merasa kurang betah. Rumah itu terlalu besar untuk ditinggalinya sendiri bersama beberapa asisten rumah tangga.
Ia memang masih lajang. Hingga saat ini belum berpikir untuk berkeluarga dengan alasan sibuk walaupun usianya sudah menginjak 31 tahun. Berpacaran sering, tapi selalu saja berujung gagal karena berbagai sebab. Padahal, kisah percintaan saudara kembarnya berjalan sangat mulus hingga masuk ke gerbang pernikahan.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Pertemuannya kembali dengan Adrian Pradana, salah seorang teman SMA-nya, dalam sebuah perjamuan bisnis mengeratkan kembali hubungan itu. Mereka sama-sama baru 'dipaksa' menjabat sebagai CEO pada usia muda. Bara sebagai CEO Garudeya Grup, dan Adrian sebagai CEO Amazona Chemifarma.
Ia beberapa kali mengunjungi rumah Adrian. Merasa jatuh cinta dengan suasana dan lingkungan sekitar rumah Adrian. Sayangnya, sudah tidak ada lagi unit baru yang dijual ataupun hendak dibangun di klaster itu.
Hingga beberapa waktu kemudian, Adrian menawarinya untuk membeli rumah tepat di sebelah rumah Adrian. Kata Adrian, itu milik saudaranya yang hendak pindah. Sengaja dijual, bukan lagi untuk disewakan atau dikontrakkan.
Setelah melihat kondisi rumah itu, Bara pun membayarnya lunas tanpa menawar. Ia sudah telanjur jatuh cinta pada rumah itu. Rumah yang dilepas kepemilikannya oleh Lily.
Setelah pindah ke kompleks Griperga, agenda Bara selanjutnya adalah masuk menjadi anggota komunitas pencinta anjing dan masuk pula ke tim futsal klaster. Lily juga menjadi anggota komunitas itu, sekaligus penggembira tim futsal klaster Emerald saat ada pertandingan.
Dari cerita Adrian yang dilengkapi Lily sendiri, Bara pun makin mengenal Lily. Sebagai perempuan biasa yang luar biasa, Diam-diam ada getar rasa yang tersembunyi. Getar rasa yang masih ia simpan rapi di balik keakrabannya dengan Lily. Getar rasa yang jalan di tempat, karena Bara merasa Lily terlalu agung untuknya. Karena kisah hidup seutuhnya seorang Lily.
* * *
Latihan itu usailah sudah. Erid membubarkan sepasukan satpam untuk kembali lagi bertemu seminggu kemudian. GOR sudah ramai dengan orang yang hendak menonton pertandingan futsal antar klaster. Ia ingin menontonnya juga, tapi lebih dulu hendak membersihkan diri dan berganti pakaian.
Dengan langkah ringan, Erid menuju ranselnya yang tergeletak di pinggir arena. Diambilnya handuk kecil untuk menyeka keringat. Lalu, sambil melangkah ke toilet, ia menghabiskan sebotol air yang dibawanya.
Beberapa menit kemudian ia kembali lagi ke dalam GOR. Terlihat lebih segar dengan wajah sudah bersih dan rambut tersisir rapi. Terlihat santai pula dengan kaos oblong putih, celana jins selutut, dan sandal gunung mengalasi kakinya.
Ia menoleh ketika seseorang berseru memanggilnya.
"Mas Erid!"
Sedetik tatapannya terkunci pada satu sosok yang dikenalnya, sebelum matanya menangkap kehadiran orang yang memanggilnya, duduk di sebelah sosok itu. Ia pun melambaikan tangan dan berjalan mendekat.
"Nonton, Mas!" Bara masih berseru.
"Yo-ai," senyum Erid.
"Duduk sini aja, aku mau turun."
Erid pun menjatuhkan tubuhnya di bekas tempat duduk Bara. Di sebelah kiri Lily, sosok yang tadi sempat dikunci tatapan matanya.
"Halo, apa kabar?" Erid mengulurkan tangan kanannya.
"Baik, Dok." Lily menyambut uluran tangan Erid.
Beberapa orang di sekitar mereka pun menyapa Erid dan sejenak terlibat pembicaraan ringan.
"Siapa?" bisik Olin, yang duduk di sebelah kanan Lily.
"Anak bosku," Lily balas berbisik. "Direktur RSGH."
"Wuih, mangstaf!" Olin masih berbisik. "Gebet, Ly!"
"Hus, udah 𝘮𝘢𝘳𝘳𝘪𝘦𝘥."
Seketika Olin mengerucutkan bibir. Ia menyenggol lengan Lily.
"Tawarin cemilan, Ly. Masih ada, nih."
Lily pun menyodorkan kantung plastik besar berisi cemilan dan minuman. Entah itu yang dibeli Bara tadi, ataukah yang dibawa oleh Olin. Tak bisa membedakan, karena cap kantungnya sama, berasal dari minimarket sejuta umat.
Pada beberapa detik jeda obrolan, Lily pun menyodorkan kantung itu.
"Cemilan, Dok," tawarnya.
"Oh, iya, makasih," senyum Erid. Diambilnya sebungkus kecil pilus dan sekotak kecil susu UHT rasa cokelat. "Rumahmu di Emerald blok berapa?"
"Oh, saya nggak di Emerald sekarang, Dok," jawab Lily. "Sudah lama pindah ke Safir. Tapi sudah telanjur jadi tim hore Emerald."
"Tim tetap," sahut Olin, tersenyum lebar sembari menyodorkan tangan. "Saya Olin."
Erid yang belum jadi membuka bungkusan pilusnya menyambut jabat tangan itu dengan hangat. "Erid. Mbaknya di blok berapa?"
"Oh, saya orang luar, Mas. Sama kayak Lily, tim penggembira tetap." Olin tersenyum lebar.
"Calon istrinya Bang Adrian dia, Dok," celetuk Lily.
"Oh ...." Erid menyambungnya dengan tawa empuk.
Di tepi arena yang berlawanan, masing-masing tim futsal mulai melakukan pemanasan. Tiba-tiba saja terjadi kesibukan di sekitar Erid. Lily bangkit berdiri, diikuti oleh gerakan serentak di sekitarnya.
Belum sempat Erid lepas dari bengongnya, terdengar pekikan meriah berirama tepat dari sebelah kanan, "Klas-ter E-me-rald!"
"Klas-ter E-me-rald!!!"
"Se-la-lu menang!"
"Se-la-lu me-nang!!!"
"Klas-ter E-me-rald!"
"Klas-ter E-me-rald!!!"
"Nggak per-nah ka-lah!"
"Nggak per-nah ka-lah!!! Yeeey!!!" Diikuti berisik suara puluhan balon tepuk berwarna merah, dan masih panjang lagi deretan yel-yel mereka.
Seketika Erid seperti terjebak dalam situasi salah kostum. Di tengah 'lautan' busana warna merah di tribun utara, hanya dirinya yang berkaus putih. Untunglah kostum tim lawan dominan warna kuning, sehingga ia tak tampak seperti lakon kisah 'suporter yang tertukar'.
Masih beberapa saat perang yel berkumandang, hingga pertandingan dimulai. Erid menikmati tontonan itu sambil mulutnya mengunyah pilus. Ketika tim Emerald menyarangkan gol, ia turut bersorak meriah. Ketika pihak lawan yang membalas gol itu, ia turut berseru kecewa, "Aaah!"
Ia tersenyum ketika menyadari bahwa Lily-lah sesungguhnya motor suporter tim Emerald. Seruannya membahana. Pengikut yelnya terlihat antusias dan setia. Membuatnya takjub karena sepertinya Lily bukanlah tipe semeriah itu.
Ketika tiba waktu istirahat, seorang ibu muda berusia empat puluhan mencolek lengan kiri Erid. Sepertinya memahami ketakjuban Erid. Erid mengenalnya. Ibu muda itu bernama Vida, tetangga sebelah rumahnya. Suaminya masuk dalam pemain inti tim futsal Emerald.
"Masih meriah dulu waktu Dik Lily masih di Emerald, Mas," celetuk Vida, yang paham betul bahwa Erid adalah orang baru. "Tiap tanding dia heboh banget. Penampilannya kocak, teriakannya jauh lebih meriah. Kadang juga joget-joget konyol. Pokoknya keren, deh, penggembira klaster kita."
"Oh, ya?" Erid tampak sekali tertarik.
"Iya, Mas," angguk Vida. "Sayangnya sekarang Dik Lily sudah nggak semeriah dulu. Sejak Mas Andru meninggal dan Dik Lily pindah rumah, Dik Lily jadi lebih sepi. Ya, walaupun tetap jadi penggembira kita, sih."
Erid mengerutkan kening.
"Mas Andru siapa, Mbak?"
"Mas Andru itu suami Dik Lily, Mas. Sepupu Mas Adrian. Ah, pokoknya kisah mereka jadi legenda di tim futsal kita. Mengharukan, sekaligus mengagumkan."
Erid tertegun. Lama. Hingga mendadak saja suara Dokter Bagas terngiang di telinganya.
"𝘚𝘶𝘢𝘮𝘪𝘯𝘺𝘢 𝘥𝘶𝘭𝘶 𝘱𝘢𝘴𝘪𝘦𝘯𝘬𝘶."
* * * * *
Ilustrasi dari pixabay, dengan modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar