* * *
Sembilan
Hari Kamis siang, saat ia menikmati makan
siang bersama Rika di Cijantung, saat itulah terakhir Bismaka bertemu gadis
itu. Sudah berlalu sekitar satu bulan. Sepanjang waktu itu jugalah ia sama
sekali tak menjumpai Rika. Gadis itu menghilang bak ditelan bumi. Tak pernah
ditemuinya ada di food truck mana pun
di area Jakarta. Bisa jadi mereka memang sedang berselisih lokasi.
‘Wah,
aku lagi di Cikarang, Bim. Mau langsung pulang.’
Begitu jawaban Rika atas suatu pesan pendek
yang pernah ia kirimkan. Atau....
‘Baru
aja aku nyampe Surabaya.’
Pada kali lain....
‘Aku
belum pulang, Bim. Sekalian mampir Semarang, nih.’
Dan, baru saja ia nekad menelepon gadis itu.
Jawabannya....
“Nanti
dulu, Bim. Aku masih di Serpong, lagi nyetir,” jawab
Rika dari seberang sana.
Bismaka mengembuskan napas keras-keras begitu
Rika mengakhiri pembicaraan melalui ponsel. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu.
Besok hari Sabtu. Biasanya Rika mengunjungi makam Andries. Bismaka menyipitkan
mata. Sebuah rencana segera saja tergambar dalam benaknya.
* * *
“Mbak, dicari temannya yang kapan hari itu ke
sini, tuh.”
Rika menatap Tarsi begitu tumpukan piring
kotor mendarat di tempat cuci piring. Ia mengerutkan kening. Siapa? Matanya menyiratkan tanya itu.
“Itu, lho, Mbak, mas-mas yang tinggi gede
itu.” Tarsi memahami arti sorot mata Rika.
Astaga....
Seketika
Rika menahan napas. Bimbim? Ngapain dia
ke sini? Ia buru-buru mencuci tangan, mengeringkannya, kemudian melangkah
ke ruang tamu. Kosong. Terdengar gelak tawa dari arah teras depan. Ia pun
melanjutkan langkah ke sana.
Benar!
Bimbim. Sedang mengobrol dengan ayahnya sambil duduk santai di
kursi teras. Menyadari Rika sudah muncul dan berdiri di tengah pintu yang
terbuka, Bismaka menoleh.
“Hai!” sapanya ringan. “Sorry, aku langsung ke sini, nggak pakai janjian dulu. Mau
berangkat jam berapa?”
“Ke mana?” Rika mengerutkan kening.
“Ke San Diego Hills?” Bismaka mengangkat
alisnya. “Biasanya akhir minggu gini kamu ke sana?”
Sejenak Rika terhenyak. Iya juga, sih....
“Bimbim diajak sarapan dululah, Rik,” celetuk
Owen sambil berdiri, bermaksud meninggalkan dua muda-mudi itu.
“Eh, nggak usah, Om,” sahut Bismaka, cepat.
“Tadi sudah sarapan, kok. Semalam saya pulang ke rumah, nggak ke apartemen.”
Pemuda itu meringis lucu, membuat Owen tersenyum lebar sambil melangkah masuk
ke dalam rumah.
Rika masih terdiam. Bismaka menatapnya.
“Rik, aku ada salah apa sama kamu?” gumamnya,
membuat Rika tersentak.
“Ngomong apa, sih?” Rika mengibaskan tangan
kanannya di depan wajah. Berusaha untuk tersenyum. “By the way, aku nggak ke makam Andries hari ini, tapi besok. Ini
aku mau antar Mia ekskul, setelah itu aku mau ke rumah Eyang. Nanti sore ada
pertemuan ibu-ibu gereja di rumah Eyang. Aku mau bantuin di sana. Mama nggak
bisa. Ada meeting mendadak dengan
staf.”
“Wah, aku juga bisa, lho, bantuin.” Bismaka
begitu sigap menanggapi.
Rika menggaruk pelipisnya. Benar-benar tak
tahu bagaimana cara melepaskan diri dari Bismaka. Tengah ia berpikir, Mia
muncul dari dalam.
“Sorry,
nih, Kakak dan Mas,” sela Mia. “Nggak bermaksud ganggu. Tapi ini sudah jam
tujuh lewat. Nasibku gimana, nih?”
Rika mengerjapkan mata. Sebetulnya ia sudah
siap. Tinggal menyambar tas dan kunci mobil, kemudian berangkat. Tapi Bismaka?
“Ya, sudah, sana masuk mobil Mas, Mi,” sahut
Bismaka, cepat. “Mas antar, sekalian Mas ikut kakakmu.”
Rika tak punya pilihan lain. Owen dan Kencana
mengikutinya ke teras setelah ia berpamitan. Bismaka pun kemudian berpamitan
dengan sangat sopan. Tak ada hitungan menit, mobil Bismaka sudah meluncur
membelah jalan.
* * *
“Jadi, aku punya salah apa sama kamu?” ulang
Bismaka, dengan nada halus, setelah menurunkan Mia di depan gerbang sekolahnya.
Mobil Bismaka sudah meluncur kembali, tapi
Rika masih terdiam. Benar-benar tak mampu menjawab. Karena memang benar-benar
Bismaka tak punya salah apa pun terhadapnya. Tapi ia paham seutuhnya arah
pertanyaan Bismaka. Dihelanya napas panjang.
“Sorry,
Bim,” ucapnya lirih, akhirnya. “Aku sama sekali nggak ada maksud menghindari
kamu. Cuma....” Rika tertunduk. “Ternyata aku masih butuh ruang buat diriku
sendiri setelah Andries nggak ada.”
“Bukan karena bertemu keluarga Mas Andries
saat kamu nggak sedang sendirian?” tanya Bismaka, sangat halus.
Rika serasa tertohok tepat di ulu hati.
Didegutnya ludah.
“Rik, aku paham posisimu, seutuhnya,” lanjut
Bismaka, masih dengan nada sangat halus. “Tapi kamu juga butuh tetap melangkah
tegak ke depan. Bukan untuk melupakan bahwa kamu pernah punya lembaran kisah
yang kamu tulis bersama Mas Andries. Hanya... melanjutkan hidupmu. Itu saja.
Entah dengan berteman denganku, atau dengan orang-orang lain. Itu kehidupanmu.”
Rika mengerjapkan mata. Masih dengan
heningnya.
“Aku nggak memaksamu untuk suka berteman
denganku,” lanjut Bismaka lagi. “Tapi aku suka sekali berteman denganmu. Aku
menikmati waktu yang pernah kita habiskan bersama. Kamu teman yang baik dan
menyenangkan. Obrolan kita nyambung. Yah....” Bismaka mengedikkan bahu. Sebenarnya aku kehilangan kamu belakangan
ini. Kehilangan banget. Tapi kalimat itu hanya menggantung saja di ujung
lidah Bismaka.
Rika masih terdiam. Seutuhnya ia merasakan
hal yang sama bersama Bismaka. Dan, betapa ia mulai merasa kehilangan pemuda
itu saat ia mencoba untuk menghindar selama beberapa minggu terakhir ini.
Dihelanya napas panjang.
“Jujur....” Akhirnya Rika pun berucap. “Kamu
membantuku keluar dari kesedihanku karena kehilangan Andries. Kamu membuatku
banyak tertawa, menghiburku. Tanpa pernah merasa itu terlalu cepat... sebelum
bertemu dengan keluarga Andries... dengan posisi aku sedang bersamamu.
Entahlah, Bim.” Rika menggeleng.
“Iya, aku ngerti, kok,” senyum Bismaka. “Oke,
apa pun yang kamu mau, aku amini saja. Sekarang, kita harus ke mana ini?”
Bismaka menunjuk perempatan sekitar lima puluh meter di depan mereka. “Lurus,
kanan, atau kiri?”
Sesuai arahan Rika, Bismaka pun menyalakan
lampu sein kanan. Jalan dua arah yang hanya cukup untuk tiga mobil berdampingan
itu cukup lengang. Sesuai arahan Rika pula, Bismaka menepikan mobilnya di depan
sebuah rumah bercat kuning gading dengan pagar besi tempa berwarna hitam. Rika
turun dan membuka pintu pagar lebar-lebar. Memberi isyarat agar Bismaka
memasukkan mobilnya ke carport.
Tepat ketika Bismaka mematikan mesin mobil,
pintu rumah terbuka. Sepasang insan lanjut usia keluar dan menenggelamkan Rika
dalam pelukan mereka. Rika kemudian menggapaikan tanggannya kepada Bismaka.
Pemuda itu mendekat, menyalami kakek dan nenek Rika dengan sikap sangat sopan.
“Ini Bimbim, Yang. Temanku sesama pemilik food truck.” Rika menjelaskan. “Ada
beberapa truk kami yang mangkal di area yang sama.”
“Ayo, masuk! Masuk!” Kakek Rika menggiring
keduanya masuk.
“Nah, ini mau masak apa saja, Yang?” Rika
menatap Ndari, neneknya. “Buat berapa orang?”
“Cuma lontong sayur-telur, opor ayam, sama
sambel,” jawab Ndari. “Kerupuk udangnya sudah Yangti goreng kemarin. Lontongnya
juga sudah Yangti pesan. Kue-kuenya
pesan matengan, sudah langsung per box.
Nanti diantar jam duaan. Buat sekitar empat puluh orang. Eh, kalian sudah
sarapan belum?”
“Sudah, Yang,” angguk Rika.
“Buat minum sendiri, ya?” ucap Ndari lagi.
Rika kembali mengangguk. Gadis itu kemudian
menarik tangan Bismaka, mengajaknya ke dapur.
* * *
Pasangan
sepuh Jati dan Ndari ternyata tidak memiliki ART. Hanya ada tukang cuci,
seterika, dan bersih-bersih yang datang dua hari sekali. Jadi, tanpa bantuan
dari Kencana ataupun Rika, tentu saja mereka sangat kerepotan. Bisa saja memesan
makanan dari luar, tapi selama ini Ndari lebih suka memasak sendiri.
Sambil duduk mengelilingi sebuah meja besar
yang ada di tengah dapur yang luas itu, mereka berempat bekerja sambil
mengobrol. Kehadiran Bismaka yang cukup ‘ramai’ menyemarakkan suasana di
ruangan itu. Jati mengupas labu siam, Ndari menyiangi cabai keriting dan rawit
merah, Rika mengupas dan menyiangi aneka jenis bumbu, sedangkan Bismaka
menyiangi sebaskom buncis. Di atas kompor menyala, sudah ada panci besar berisi air dan telur ayam.
Menjelang pukul sebelas siang, labu siam dan
buncis sudah selesai diiris. Itu semua Bismaka yang melakukannya. Sekilas Rika
melihat, Bismaka bekerja lumayan cepat dengan irisan cukup rapi. Saat ini,
pemuda itu sudah bergabung dengan Jati untuk mengupas telur rebus. Sementara
Ndari menggoreng setengah matang potongan-potongan ayam untuk opor sembari menghaluskan
bumbu dengan bantuan blender. Rika
menumis bahan sambal.
“Kamu harus jemput Mia, nggak?” celetuk
Ndari, sekilas menatap Rika. “Ini sudah jam segini, lho.”
“Enggak, Yang. Papa nanti yang mau jemput.
Katanya, sih, mau sekalian ke sini. Bantu menata kursi.”
“Eh, kalian mau makan apa? Yangti malah nggak
sempat masak, nih. Pesan dari Greatfood saja, ya? Mau?”
“Aku minta tolong Papa saja suruh belikan,
Yang. Sebentar, aku telepon Papa dulu,” ujar Rika sambil mematikan kompor.
“Merepotkan papamu nanti, Nduk,” gumam Ndari.
“Enggak.... Toh, nanti juga ke sini, butuh
makan juga.”
Ndari tersenyum mendengar ucapan cucunya.
Hampir satu jam kemudian, Owen dan Mia muncul
dengan menenteng satu kantong besar berisi beberapa bungkus gado-gado. Kesibukan
mereka terjeda sejenak. Kini, kegiatan mereka terpusat di meja makan. Tapi, baru
saja hendak mengucap doa, bel pintu berbunyi.
“Biar aku buka dulu.” Owen segera beranjak.
Beberapa saat kemudian terdengar percakapan
dalam suara-suara yang sudah tidak asing lagi. Jati dan Ndari bertatapan ketika
suara percakapan itu terdengar makin dekat. Wajah keduanya jadi makin cerah
ketika Owen muncul diikuti sesosok laki-laki tinggi besar berusia pertengahan lima
puluhan.
“Nanan!” pekik Ndari. Segera tenggelam dalam
pelukan laki-laki itu. Begitu juga Jati.
“Pakdeku,” bisik Rika pada Bismaka yang duduk
di sebelah kanannya. “Satu-satunya abang Mama.”
Nanan, abang tunggal Kencana itu adalah
seorang pastor yang bertugas di Semarang. Cukup jarang punya waktu khusus untuk
pulang ke Jakarta. Saat ini pun sekadar mencuri waktu sebelum ia harus
mengikuti sebuah pertemuan di Jakarta.
Mereka melanjutkan acara makan, diawali
dengan doa yang dipimpin Nanan tentu saja. Untunglah Owen tidak membeli
gado-gado dalam jumlah pas. Ia lebihkan dua bungkus. Sengaja. Jaga-jaga,
kalau-kalau Bismaka merasa kurang bila hanya makan satu bungkus saja.
Obrolan di sekitar meja maka itu berlangsung
meriah dan menyenangkan. Apalagi Bismaka selalu diajak terlibat di dalamnya. Dari
masalah bisnis hingga kegiatan mereka hari ini. Suasanya jadi kian ramai ketika
Kencana muncul menjelang acara makan siang itu berakhir. Satu bungkus gado-gado
yang tersisa disantap Kencana, dan semua yang sudah selesai makan menemaninya
sambil menghabiskan satu kotak lapis talas yang sengaja dibawa Kencana.
Setelah itu, kebersamaan mereka berpindah
lagi ke dapur. Dengan dibantu Owen, Jati mengeluarkan panci dan wajan berukuran
besar dari sebuah lemari raksasa di sudut dapur. Beberapa belas menit kemudian,
aroma tumisan bumbu yang menggelitik hidung dan syaraf rasa pun menguar.
Bismaka asyik mengulek sambal di sebuah
sudut. Ndari sebetulnya ingin yang praktis saja. Bahan sambal yang sudah ditumis
Rika akan diblender saja sebelum ditumis kembali. Tapi Bismaka ‘mengacaukan
rencana’.
“Enakan diulek saja, Yang,” ujarnya. Diakhiri
dengan ia meminta cobek batu dan ulekan pada Jati, dan diambilkan sebuah cobek
berukuran raksasa dari dalam lemari.
Pemuda itu tak terlihat canggung mengulek
bahan sambal. Gerakannya cukup luwes, membuat Rika tertawa.
“Nggak rugi, ya, punya badan gede,” ledeknya.
“Ulekanmu yahud juga, Bim.”
“Anaknya tukang katering gitu, loh...,”
selorohnya, menjawab ledekan Rika. “Sekalian pedagang penyetan.”
Ketika segunung bahan sambal sudah selesai
diulek Bismaka, Ndari mencolek sedikit dan mencicipinya. Seketika matanya
terbuka lebar. Menatap Bismaka dengan takjub.
“Enak banget sambalmu, Bim!” serunya.
“Ya, jelas, Yang,” tukas Rika, tertawa. “Dagangan
penyetannya laris manis, kan, gara-gara sambal mautnya itu.”
Semua yang ada di situ tergelak.
* * *
Pukul setengah enam sore, ketika pertemuan
ibu-ibu itu sudah diakhiri dengan doa, hidangan pun hampir siap. Bismaka
membantu Rika menyuguhkan minuman dan kotak-kotak kue. Kencana mengisi mangkuk-mangkuk
yang sudah ada potongan lontongnya dengan sayur dan telur, kemudian
menggesernya ke arah Mia. Gadis bungsunya itu menambahkan sepotong ayam opor
pada setiap mangkuk, sekaligus menaburkan bawang goreng, dan menggeser mangkuk
ke arah Jati. Sang kakek menambahkan kerupuk udang dan menaruh mangkuk yang
isiannya sudah lengkap di atas nampan. Nanan yang masih ada di situ tak
canggung ikut membawa nampan besar berisi mangkuk-mangkuk makanan yang sudah
siap hidang. Hilir mudik antara dapur dengan ruang depan, bergantian dengan
Owen.
Menjelang pukul tujuh, semua kesibukan itu
nyaris berakhir dengan pamitnya tamu terakhir. Baru nyaris, karena masih ada
kursi lipat yang harus dibereskan. Tapi dengan gotong royong, semuanya cepat
terselesaikan. Dan, mereka pun mengakhirinya dengan makan bersama.
“Besok pagi-pagi aku ke sini lagi, Bu,” ucap
Kencana. “Biar aku yang cuci semua mangkuk, gelas, dan alat masak bekas pakai.”
“Nggak usah!” sergah Nanan, setengah berseru.
“Nanti aku saja yang bereskan. Aku menginap, kok.”
Lewat sedikit dari pukul delapan, keluarga
Owen plus Bismaka kemudian berpamitan. Ketika Bismaka mencium tangan Ndari,
perempuan sepuh itu mengelus bahunya.
“Semua memuji sambalmu tadi,” ujar Ndari.
Tersenyum. “Terima kasih banyak, ya. Sering-sering main ke sini.”
“Hehehe....” Bismaka hanya bisa terkekeh,
setengah tersipu. “Sama-sama, Eyang.”
“Aku pulangnya ikut mobil Papa saja, Bim,”
celetuk Rika, di carport.
“Wah....” Bismaka kehabisan kata.
Rika masih menatapnya. Sementara itu, Owen
masih bercakap sejenak dengan Nanan.
“Kan, aku yang jemput kamu tadi, Rik,” ucap
Bismaka, akhirnya. “Aku juga, dong, yang harus tanggung jawab antar kamu
pulang.”
“Halah... Ribet banget!” Rika tertawa ringan
sambil mengibaskan tangannya. “Udah, deh, praktisan aku ikut Papa saja.”
“Masalahnya....” Bismaka menggantung
ucapannya, tampak berpikir.
Rika kembali menatapnya dengan sorot mata
bertanya.
“Aku mau ajak kamu nonton film midnight,” Bismaka nyengir sekilas. “Kalau kamu nggak capek. Mau?”
Seketika Rika terbengong.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar