Sepuluh
Seperti yang sudah diduga Bismka, kejadian
terulang lagi. Setelah keduanya kepergok Pingkan
sekitar tiga minggu yang lalu, Rika
kembali sulit untuk dijumpai. Membuat Bismaka hanya mampu menghela napas
kecewa.
Kenapa,
sih, selalu rumit begini? Dulu Ingrid, sekarang Rika.
Pada detik itu Bismaka seolah tersentak.
Ingrid?
Rika? Lantas Lusi?
Bismaka tercenung, tapi kemudian menyadari.
Ceritanya dengan Ingrid, bahkan sudah keburu tamat sebelum sempat dimulai.
Halamannya dengan Lusi, pun sudah ditutup dengan keputusan bahwa mereka jauh
lebih baik bila hanya berteman saja.
Rika?
Bismaka tak mau mengingkari. Rika yang manis tidaklah
secantik Ingrid. Tak bisa pula dibandingkan dengan Lusi yang lincah dan
‘ramai’. Hanya saja Rika memiliki keindahannya sendiri.
Gadis yang satu ini begitu tenang, kalem.
Tapi bisa juga tergelak dengan begitu cerianya saat menemukan hal yang kocak.
Membuat Bismaka merasa nyaman berada bersamanya. Seolah tak perlu
mengkhawatirkan apa pun. Baik ia maupun Rika sama-sama tetap bisa menjadi diri
sendiri dengan segala sisi absurd yang mereka punyai.
Bismaka kembali menghela napas panjang. Ia
tercenung lagi ketika diam-diam menemukan hal, yang bahkan tak didapatinya saat
bersama Lusi maupun saat mendekati Ingrid dulu. Perasaan takut kehilangan.
Perasaan ikut merasa sakit ketika melihat Rika masih bersedih sesekali.
Seutuhnya ia paham bahwa Rika masih butuh
waktu untuk membuat jarak dengan kesedihannya karena kehilangan Andries.
Mungkin Rika juga butuh waktu untuk mengkaji hubungan pertemanannya dengan
Bismaka belakangan ini.
Untuk kesekian kalinya, dihelanya napas panjang.
Setelah itu, ia menyesap wedang jahe
yang sudah beberapa belas menit tidak hangat lagi. Langit senja sudah gelap
seutuhnya. Sejenak tatapannya menyapu berkeliling. Pertengahan minggu seperti
ini, kondisi area pusat jajan itu cukup penuh. Sepertinya karena pengaruh
tanggal muda.
Pada satu detik, tatapannya jatuh ke truk
milik Rika yang parkir tak jauh dari truknya. Ada sedikit antrean di depan truk
itu. Sama seperti yang ada di depan truknya. Sekilas ia melirik arloji yang
melingkar di tangan kiri. Hampir pukul tujuh. Keinginannya untuk menyantap
cwimie menguap, padahal perutnya sudah memberi isyarat minta diisi.
Maka ia kembali berdiam diri sejenak lagi.
Hingga sebuah nampan terulur di depannya. Aroma sedap cwimie seketika menyerbu
rongga hidungnya. Ia mendongak, dan seketika ternganga.
* * *
Langkah Rika seketika surut ketika ia melihat
siapa yang tengah duduk sendirian di salah satu perangkat kursi-meja untuk
berdua di bawah pohon trembesi. Saat meluncur kembali dari Depok tadi, ia sudah
merasa ragu untuk mampir ke sini. Tapi diingatnya bahwa sepanjang hari tadi
Bismaka tidak mengiriminya pesan apa pun. Maka, ia berasumsi bahwa Bismaka akan
langsung pulang ke apartemen seusai jam kantor. Tidak mampir ke truknya di mana
pun juga.
Tapi nyatanya?
Rika pun mencoba untuk menghindar. Rute
terdekat dari area parkir menuju ke lokasi truknya adalah belok ke kanan, melewati
sebelah meja Bismaka. Maka, ia mengambil rute yang kiri. Memutari area pusat
jajan itu.
Setelah melihat-lihat kondisi truk dan
menerima sedikit laporan dari anak buahnya, Rika pun duduk di area belakang
truknya. Dari tempatnya duduk di tempat yang sedikit gelap itu, ia bisa melihat
sosok Bismaka secara bebas.
Sepertinya pemuda itu tengah memikirkan
sesuatu. Sesekali menunduk menatap gawainya. Sesekali menyesap minumannya. Tapi
lebih banyak terlihat melamunkan sesuatu.
Akukah
yang dia pikirkan?
Rika menggeleng samar. Terlalu GR rasanya.
Toh, statusnya dan Bismaka saat ini hanyalah berteman biasa.
Tapi
kenapa rasa bersalah itu tetap mengikuti?
Hingga detik ini, ia masih berusaha
menyibukkan diri. Membuat alasan supaya tidak secepat itu bertemu ibu Andries
kembali. Entah kapan ia akan siap.
Ia menghabiskan hari dengan berkutat di
kantor pusat Han’s Food. Pada hari lain ia ‘terbang’ dari satu food truck ke food truck-nya yang lain di seputaran Jabodetabek. Sebisa mungkin
menghindari pertemuan dengan Bismaka. Pada beberapa kesempatan ia mengantar Mia
ke sekolah pagi-pagi, kemudian mampir menjenguk Paul. Pada kesempatan lain, ia
menyempatkan diri menjemput Mia dari sekolah, lalu mampir ke rumah Jati dan
Ndari. Sesekali ia mengambil libur dan mengisinya dengan janji bertemu teman-teman
sekolah dan kuliahnya dulu. Tak lupa ia menyisihkan beberapa kali waktunya
untuk menikmati makan siang bersama ibu atau ayahnya. Namun, seperti apa pun ia
berusaha menjalani kehidupannya yang saat ini lebih bebas, tetap saja terasa
ada satu sisi kosong dalam hatinya.
Hingga saat ini. Ketika ia menemukan
sebabnya. Tatapannya kembali jatuh pada pemuda itu. Bismaka. Yang masih
menghabiskan senjanya dengan duduk sendirian. Sekelebat bayangan yang melintas
membuatnya sedikit tersentak.
“Ki!” panggilnya pada salah seorang pramusaji
truknya yang baru kembali dari mengantarkan pesanan.
“Ya, Mbak?” Kiki menghampirinya.
“Tadi Mas Bimbim sudah pesan cwimie belum?”
“Kayaknya belum, Mbak.” Kiki menggeleng. “Dari
tadi datang, Mas Bimbim cuma duduk bengong-bengong saja di situ.”
“Oh.....” Rika berpikir sejenak, kemudian
mengeluarkan dompet dari tas selempangnya. “Ya, deh. Tolong, suruh Mas Ton
bikinkan tumpeh-tumpeh satu buat dia,
ya. Abis itu kamu pesan paket penyet lobster bakar nasi merah di truknya Mas
Bimbim, sama es jeruk kelapa di sebelahnya. Dua gelas, ya. Ini uangnya. Suruh
antar ke meja Mas Bimbim. Nanti kalau tumpeh-tumpeh-nya
sudah jadi, kasih tahu aku. Biar aku bawa sendiri ke sana.”
“Oke, Mbak.” Dan, Kiki pun segera beranjak.
Sekitar tujuh menit menit kemudian, cwiemie tumpeh-tumpeh pun sudah siap. Rika
sempat meminta tambahan dua buah pangsit goreng sebelum membawa nampan ke meja
Bismaka. Sejenak ia merasa langkahnya goyah, tapi setelah itu ia mencoba untuk
menegarkan diri.
* * *
“Makan dulu....”
Teguran halus itu membuat Bismaka tersedot
kembali ke alam nyata. Ia masih menatap Rika dengan mata bulatnya. Mulutnya
seolah terkunci, sementara Rika sudah mengambil tempat di seberangnya, dan
menyorongkan nampan berisi makanan lebih dekat ke arahnya.
“Kenapa kayak lihat setan gitu, sih?” Rika
mengembangkan senyumnya.
Bismaka mengerjapkan mata. Benar-benar
tersadar kini. Sosok yang sedari tadi dan sudah beberapa hari belakangan ini
memenuhi pikirannya itu, kini benar-benar nyata ada di depannya.
“Hai! Apa kabar, Rik?” Ia hanya mampu
mengucapkan itu, dengan suara seolah sedikit tercekik.
“Baik.” Rika tetap mengembangkan senyum
cantiknya. “Sibuk banget belakangan ini. Banyak banget yang harus dibenahi.”
Bismaka membalas senyuman itu.
“Nih, makan dulu.” Rika kembali menyorongkan
nampan lebih dekat lagi. “Spesial ekstra pangsit kesukaanmu.”
“Kamu nggak makan?” Bismaka mengerutkan
kening sembari tangannya meraih sumpit.
“Sudah pesen tadi.” Rika menoleh sekilas ke
arah truk Bismaka. “Sama sekalian aku pesankan es jeruk kelapa.”
“Wah, makasih,” gumam Bismaka.
Ia menunggu sejenak hingga pesanan Rika
diantarkan, kemudian mereka makan bersama. Seolah tak pernah ada sesuatu yang
terjadi belakangan ini. Obrolan mereka mengalir lancar. Dengan cahaya semangat
berlompatan keluar dari kedua mata Rika, dan seolah berlarian riang gembira di sekelilingnya,
gadis itu menceritakan perkembangan truknya. Terutama yang ada di Cikarang.
“Eh, kamu sudah dengar bakal ada bukaan
lokasi baru di sana?” tanya Rika dengan mata berbinar-binar.
“Di mana?” Bismaka menanggapi dengan
antusias.
“Di sekitar perbatasan Cikarang-Karawang,”
jawab Rika penuh semangat. “Kan, lagi ada pembangunan kompleks baru di sana.
Gede, lho!”
“Kamu dapat info dari mana?”
“Dari Pak Joni.” Rika menyebut pengelola area
pusat jajan di Cikarang. “Baru kemarin, sih, aku tahunya. Itu juga belum resmi.
Cuma, jadi satu manajemen sama lokasi truk kita. Kalau berminat, tinggal
hubungi dia.”
“Kamu mau ambil slot di sana?” Bismaka
mengerjapkan mata.
“Kayaknya, sih...,” jawab Rika sambil
berpikir-pikir. “Tapi aku juga belum tahu beroperasinya kapan. Cuma, sementara
waktu ini aku memang belum mau buka investasi baru. Kalau yang itu prospeknya
cerah, kayaknya aku ambil. Kamu gimana?”
“Coba nanti aku cari info dulu ke pak Joni,”
sahut Bismaka. “Setelah itu, baru aku akan bilang Papa. Entah nanti
keputusannya gimana.”
Rika manggut-manggut.
“Eh, perasaan aku tadi nggak lihat kamu
lewat.”
Celetukan Bismaka itu sempat membuat Rika
tertegun sejenak. Tapi, ia segera bisa menguasai diri.
“Aku tadi ke sana dulu.” Rika menunjuk ke
suatu arah. “Mia minta dibelikan pop
corn.”
“Oh....”
Tepat saat itu ponsel Rika berbunyi pendek.
Rika buru-buru mencuci tangannya dalam mangkuk berisi irisan jeruk nipis,
mengeringkannya dengan tisu, kemudian mengambil ponsel dari dalam tas. Sejenak
kemudian ia tersenyum membaca pesan pendek dari Mia.
‘Kak,
lagi di mana? Jam segini, kok, belum pulang? Kalau nggak repot, bisa bawain pop
corn karamel nggak? 😘’
Rika mengulum senyum. Entah kenapa bisa
secocok itu situasinya. Ia kemudian mengetikkan balasan. Sekalian mengirimkan
pesan lain ke kasir truknya.
‘An,
tolong belikan pop corn karamel
ukuran paling gede. Ambil dulu uang di kas, nanti aku ganti.’
Setelah menerima balasan ‘oke’, barulah Rika
menyimpan kembali ponselnya. Ketika ia mengangkat wajah, ditemukannya tatapan
Bismaka tengah jatuh kepadanya. Sebelum ia memecahkan keheningan itu, suara
lirih Bismaka sudah mendahuluinya.
“Rik, aku sudah nggak bisa kehilangan kamu
lagi.”
Seketika, Rika serasa terlempar ke dalam sebuah
lorong, dengan sinar warna-warni berkelebatan di sepanjang dindingnya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar