* * *
Dalam remang lampu kecil di bawah tenda yang
menaungi bagian belakang truknya, Rika menatap kejauhan. Pada sosok Bismaka
yang tengah duduk sendiri, entah memikirkan apa.
Ia belum lama berada di situ. Beberapa menit
lalu, begitu melihat mobil Bismaka ada di tempat parkir, ia memutuskan untuk
memutar rutenya. Berlari-lari kecil supaya bisa menghindari Bismaka, yang ia
yakin duduk tak jauh dari truk penyetan seperti biasanya. Perkiraannya benar.
Pemuda itu duduk di salah satu tempat untuk berdua di bawah pohon trembesi.
Tenda payung lebar sudah dibentangkan, membuat pemuda itu aman dari siraman
rintik hujan.
Tak bisa lagi ia mengingkari hatinya sendiri.
Ia merindukan pemuda itu. Sudah cukup lama menyadarinya. Rindu pada obrolan
mereka, rindu pada canda yang setiap saat bisa terhambur begitu saja di udara,
rindu pada tatapan teduh Bismaka, rindu pada senyum Bismaka yang selalu
menenangkan dan menyejukkan hati.
Tapi
apakah dia punya perasaan yang sama?
Sekilas-sekilas pesan-pesan pendek yang
dikirimkan Bismaka muncul dalam benaknya. Menanyakan kabar, menanyakan
posisinya, mengingatkan supaya ia tidak telat makan, mengingatkan agar ia tidak
memforsir diri. Namun, tak satu pun mencetuskan perasaan Bismaka.
Apakah
dia juga rindu padaku?
Rika menggeleng samar. Ia tidak tahu. Lebih
tepatnya, ia tak mau salah sangka, tak mau gede
rasa. Dihelanya napas panjang.
Samar, didengarnya suara yang cukup
dikenalnya bercakap-cakap di truk. Ia mencoba mengintip melalui jendela kaca
kecil yang ada di dekatnya. Di bawah terangnya cahaya lampu yang ada di depan counter, terlihat olehnya sosok Pringgo
tengah memesan sesuatu pada kasir. Ditunggunya sebelum Pringgo beranjak,
sebelum ia berdiri dan melangkah memutari setengah badan truknya.
“An, baru saja Om Pringgo ngapain?” tanyanya
pada Antin, kasirnya.
“Biasa, Mbak. Pesan cwimie.”
“Nanti balikin saja duitnya.”
“Oh, oke, Mbak.” Antin mengacungkan jempol.
Lalu, Rika kembali ke tempatnya semula.
Memuaskan diri menatap sosok Bismaka yang sedikit kabur karena adanya tirai
rintik hujan. Kini, sosok itu tak lagi duduk sendirian. Ada ayahnya yang
menemani. Tampak keduanya asyik mengobrol. Entah tentang apa. Ia pun mengalihkan
tatapan dan kembali merenung.
Ia mencintai Andries? Ya. Tak sekadar
berlembar-lembar perasaan kasihan. Ia belajar banyak hal dari Andries.
Kesabaran yang lebih, ketegaran, semangat juang, kerja keras, tanggung jawab, ketenangan
dalam menghadapi berbagai hal, dan juga bagaimana harus bersyukur dalam setiap
situasi. Sedangkan Bismaka adalah sosok yang sama sekali lain, walaupun ia
mendapati banyak hal yang sama. Ia tak ingin membandingkan, tapi ia juga bisa
melihat bahwa Bismaka pun adalah seorang pejuang.
Bismaka adalah seorang pemuda yang ulet,
pekerja keras, realistis, tak pernah terlena oleh kemapanan yang ditawarkan
oleh kedua orang tuanya. Ia juga sangat bertanggung jawab terhadap jalan hidup
yang sudah dipilihnya sendiri. Selalu terlihat riang dan bersemangat. Dua hal
yang menulari Rika sejak keduanya makin dekat berteman. Membuat Rika lebih cepat
mengeluarkan diri dari rasa berkabungnya.
“...
Bimbim. Mama bisa rasakan bahwa dia juga pemuda yang sangat baik. Cocok sekali
untukmu.”
Rika mengerjapkan mata ketika suara Sonia
terngiang di telinganya.
“...
Masa berkabungmu sudah habis. Andries harus pergi, memang itu yang terbaik buat
dia. Yang tertinggal adalah kita, kamu, dengan kehidupan yang terus berlanjut.
...”
Benarkah?
Rika
kembali mengerjapkan mata. Harus
bagaimana memulainya? Sedangkan....
“Rik....”
Seketika ia mendongak. Mata bulat besarnya
terbelalak melihat siapa yang saat ini berdiri di depannya. Benar-benar ada di hadapannya.
“Rik....” Bismaka masih menatapnya. Dengan
kerlip berlompatan keluar dari matanya. “Apa kabar?”
Seluruh perbendaharaan kata dalam benak Rika seolah
menguap tanpa sisa. Ia masih mendongak. Menatap Bismaka. Dengan kerinduan yang tak
lagi bisa disembunyikan. Pendar-pendar kerinduan itu pun mulai berlompatan
keluar dari matanya. Bergandengan dengan kerlip Bismaka dan mulai menari-nari
di sekitar mereka.
“Rik, aku kangen sama kamu.”
Ucapan lirih Bismaka itu seolah mengandung
kekuatan sihir yang menarik kembali isi benak Rika. Ia mengerjap.
“Aku... juga kangen... sama kamu, Bim.”
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba saja
keduanya sudah saling tenggelam dalam pelukan.
* * *
Dua Belas
Rika dan Kencana saling bertatapan melalui
cermin. Kencana sempat beberapa kali mengerjapkan mata. Mengusir telaga bening
yang sempat menggenang,
“Kamu sudah siap?” bisik Kencana, setengah
tersendat.
Rika mengangguk. Mantap.
Sejak awal, pada saat ia menyadari bahwa
Bismaka adalah laki-laki yang tepat untuknya, ia sudah siap kapan pun Bismaka
akan melamarnya. Tak butuh waktu lama, hanya tiga bulan sejak mereka memutuskan
untuk belajar melangkah bersama. Beberapa hari lewat dari peringatan setahun
berpulangnya Andries. Ia mengangguk tanpa banyak pernik ketika Bismaka
menyodorkan sebuah cincin bermata berlian tiga setengah karat dan menanyakan
apakah ia bersedia selamanya menjadi belahan jiwa pemuda itu.
Lalu, keduanya mempersiapkan pernikahan setelah
keluarga Bismaka datang untuk melamarnya secara resmi, sambil menunggu Bismaka
menyelesaikan program S-2-nya. Wisuda Bismaka sudah berlangsung dua minggu yang
lalu. Dan, hari ini adalah hari pernikahan mereka.
Rika kembali menatap pantulan dirinya pada
cermin. Sudah berias cantik dengan paes adat
Jawa-Solo, dengan tubuh bagian atas dibalut kebaya brokat panjang berwarna
putih. Ibunya juga tampak cantik dalam rias dan sanggul tradisional Jawa,
dengan tubuh rampingnya dibalut kebaya berwarna merah hati dan jarik truntum garuda berprada warisan keluarga.
“Yuk, Pakde Nanan dan Pakde Denta sudah menunggu
di gereja,” ucap Kencana halus. Menyebut dua nama pastor yang akan memberkati
pernikahan Rika dan Bismaka.
Rika pun berdiri.
* * *
Di kamar sebelah, bekas kamar Neri, Bismaka
memasrahkan dirinya untuk didandani sesuai adatnya dan Rika. Setelah memakai jarik yang ikatannya cukup ketat di
pinggang, orang yang meriasnya membantunya memakai beskap berwarna putih.
Beberapa belas menit kemudian, penampilannya sudah sempurna.
Tak jauh darinya, Neri pun tampak sudah siap.
Pemuda itu mengenakan jarik juga, dengan tubuh bagian atas dibalut surjan
berwarna merah hati, warna seragam keluarga, dilengkapi blangkon di kepala. Tampak sibuk dengan gawainya.
Bismaka baru dua kali kali ini bertemu secara
langsung dengan Neri. Pemuda yang tinggal di seminari itu memang tak bisa
seenaknya pulang ke rumah. Pertama mereka bertemu adalah saat keluarganya
datang melamar Rika secara resmi. Kedua kalinya adalah hari ini, hari
pernikahannya dengan Rika.
“Titip
putriku Rika. Cintai dan sayangi dia, jagalah baik-baik.”
Sejenak Bismaka tercenung. Teringat akan
mimpinya semalam. Saat menatap Neri sekali lagi, barulah ia sadar seutuhnya siapakah
yang ‘berpesan’ kepadanya itu. Laki-laki dalam mimpinya mirip sekali dengan
Neri.
Mendiang
ayah Rika dan Neri.... Begitulah kesimpulan yang ia ambil. Dengan perasaan merinding, sekaligus lega. Karena tampaknya mendiang ayah Rika pun merestui pernikahan itu.
Samar, dihelanya napas panjang. Tugas berat
sudah menunggunya. Menjaga baik-baik belahan jiwanya. Tapi ia tak pernah merasa
gentar. Ia sudah memilih untuk mengambil tanggung jawab itu. Ia mencintai Rika.
Mengasihi gadis itu. Seutuhnya dengan segala lembar kehidupannya di masa lalu.
“Aku
masih ingin tetap mengunjungi makam Andries sesekali. Bolehkah?” Tatapan Rika
beberapa saat setelah ia melamar gadis itu tampak penuh harapan.
Tak
ragu, Bismaka mengangguk. Bukankah ia makin dekat dengan Rika karena Andries
juga?
“Lakukan
apa yang kamu mau,” jawabnya kemudian. “Seperti itulah aku ingin mencintaimu.”
“Oke, kita sudah siap,” ujar periasnya.
Laki-laki kemayu itu menoleh ke arah Neri. “Gimana, Mas? Mbak Rika-nya sudah
siap atau belum?”
“Sudah,” angguk Neri. “Baru saja Mama WA, di
kamar sebelah juga sudah siap.”
Bismaka pun dibimbing keluar dari kamar. Mereka
berdua akan bersama-sama berangkat ke gereja. Ketika pintu kamar dibuka Neri, mendadak
saja Bismaka merasa jantungnya berdentam lebih cepat dan keras.
* * *
Di belakang Nanan dan Denta, Rika berjalan perlahan di atas karpet merah, yang terbentang dari pintu gereja hingga ke depan altar. Tangannya menggenggam erat sebuah buket bunga lili segar. Sosok Bismaka terlihat gagah dan tampan di sebelahnya. Mereka melangkah bersisian diiringi kedua pasang ibu dan ayah, Neri dan Mia, serta didampingi perias pengantin dan seorang asistennya.
Rika merasa sangat terharu ketika sekilas melayangkan tatapan ke seluruh penjuru gereja. Segenap keluarga besarnya hadir pada misa pemberkatan pernikahan itu.
Rika merasa sangat terharu ketika sekilas melayangkan tatapan ke seluruh penjuru gereja. Segenap keluarga besarnya hadir pada misa pemberkatan pernikahan itu.
Hatinya terasa hangat ketika mendapati Ndari, dan Jati sudah duduk di
bangku paling depan sebelah kiri. Keluarga dari pihak ayah kandungnya duduk di
sebelah Jati. Ada Stella dan Vito dengan busana masing-masing sebagai biarawati
dan pastor, dan Paul. Opa Paul-nya duduk di kursi roda. Entah bagaimana
caranya, pada beberapa waktu terakhir menjelang pernikahan Rika, laki-laki
renta itu bisa mengingat dengan jernih beberapa episode kehidupan sang cucu
keponakan, sekaligus turut berbahagia atas persiapan pernikahan itu. Membuat
Rika merasa sangat terberkati.
Di deretan
kedua, ada Oma Lidya dan Opa Johan-nya. Keduanya adalah orang tua Owen. Duduk bersebelahan
dengan keluarga adik Owen: Ussy, Arnold suaminya, dan ketiga putra-putri
mereka.
Di deretan ketiga
ada eyang-eyang Bismaka. Masih lengkap berempat, baik dari pihak ibu maupun
ayahnya. Datang jauh-jauh dari Jogja dan Semarang. Keluarga besar Bismaka lainnya
menempati bangku hingga deret kelima.
Keluarga besar
Undap ada di deretan keenam. Formasinya sangat lengkap. Harvey dan Sonia,
keluarga kecil Nicholas, serta Pingkan dan Maxi.
Tim kor yang
duduk di bangku deretan kanan pun turun dengan pasukan lengkap. Mulai dari anggota
senior hingga anak-anak. Pun kerabat, sahabat, dan teman-teman lainnya, baik
dari pihaknya maupun Bismaka, duduk menyebar di seluruh penjuru gereja.
Dan, beberapa saat kemudian, dengan
dimulainya misa pemberkatan pernikahan itu, lembar kehidupan baru Rika dan
Bismaka pun dimulai.
* * * * *
S.E.L.E.S.A.I
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Catatan:
Terima kasih banyak kepada semua pembaca blog
FiksiLizz atas kesabarannya mengikuti cerbung ini hingga selesai. Mohon maaf
yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan.
Sampai jumpa lagi pada cerita berikutnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar