Maxi merasa bahwa keberuntungan sedang berpihak kepadanya sore ini. Perjalanan dari Karawang menuju ke Jakarta sangatlah lancar. Apalagi ia dan para trainee lainnya memang sudah diperbolehkan meninggalkan pabrik pada pukul tiga. Menjelang pukul enam, ia sudah turun dari bus, di seberang resto cepat saji tempat ia dan Prima berjanji untuk bertemu.
Ketika Maxi melangkahkan kaki masuk ke area parkir, dilihatnya mobil ayahnya sudah terparkir di dekat jalur masuk. Ia pun bergegas masuk ke dalam resto. Sejenak ia mengedarkan pandangan sebelum menemukan lambaian tangan ayahnya yang sudah duduk di depan sebuah meja untuk berdua di sudut dekat dinding kaca.
“Gimana kabar hari ini?” Prima mengembangkan senyumnya.
“Lancar, Pa,” Maxi membalas senyum itu. “Pada dasarnya nggak beda jauh antara pabrik yang di Cikarang dengan yang di Karawang. Kalau kemarin pengenalan lokasi dan staf, hari ini cuma pengenalan mesin.”
Setelah mendapatkan paket makanan dan minuman yang mereka inginkan, Maxi bercerita bahwa tadi pagi ia bertemu dengan Gandhi. Plus, tentang Blue Flag yang sedang melakukan perluasan pabrik.
“Oh, iya, pabrik barunya persis ada di belakang slot Chemisto yang di Cibitung,” Prima menanggapi. “Lantas, maumu gimana?”
Sejenak Maxi tercenung. Ya, sebenarnya seperti apa tepatnya hal yang ia mau? Dihelanya napas panjang.
“Sebelum tahu kalau Royin punya keluarga Keke, aku sebetulnya sudah mantap untuk kerja di sana, Pa,” gumamnya kemudian. “Royin terkenal sebagai perusahaan besar yang produknya banyak dicari. Adalah masa depan di sana. Tapi ... setelah tahu bahwa itu punya keluarga Keke, bahkan yang pegang pabrik-pabriknya adalah abang-abang Keke, rasanya ....” Maxi menggeleng dengan ekspresi pasrah.
“Merasa nggak enak?” pancing Prima.
Maxi mengangguk. Ia mengangkat wajahnya, menatap sang ayah.
“Jadi atau enggak aku sama Keke, jatuhnya tetap nggak enak,” ujarnya, lirih.
“Nggak enaknya di mana?” pancing Prima lagi. Sabar.
“Ya ....” Maxi mengedikkan bahu. “Semisal beneran jadian sama Keke, tekanannya besar, Pa. Nggak mungkin statusku ke depannya cuma sekadar karyawan biasa. Nggak ge-er ini, sih. Tapi rasanya bakal kayak gitu. Kalau nggak jadian sama Keke, malah nggak apa-apa aku terus di sana. Cuma ... aku beneran sayang sama Keke, Pa.”
Prima mengerucutkan bibirnya. Manggut-manggut. Ia paham betul jalan pikiran anaknya itu.
“Hmm .... Kalau gitu, saran Papa, nih, beresin dulu hubunganmu sama Keke. Kalau sudah ada kepastian, baru kamu pikirkan lagi posisi kariermu. Nggak di Royal Interinusa pun masih ada kesempatan untuk berkarier di tempat lain. Mau pakai sistem koneksi ataupun cari sendiri, Papa yakin ada masih tempat untukmu di luar sana. Atau kalau kamu bisa cari celah untuk usaha mandiri, Papa masih ada tabungan buat modal. Mamamu juga simpanannya banyak, lho.” Prima tertawa ringan di ujung kalimatnya.
Maxi meringis sekilas ketika ayahnya menyinggung soal ‘modal’. Selama ini ia berpikir akan bekerja dulu untuk mencari modal. Ia memang sudah berpikir untuk memiliki usaha mandiri. Jadi, tidak tergantung selamanya akan ‘ikut orang lain’ seperti ayahnya.
“Oke, jadi kuncinya sekarang ada di hubunganku sama Keke, ya?” ia memastikan lagi.
“Ya.” Prima mengangguk. “Papa pikir lebih baik kalau soal itu kamu bereskan dulu.”
Masalahnya ..., gimana cara beresinnya?
Maxi tercenung lagi. Prima rupanya tahu perubahan mimik wajah anaknya, yang kembali sedikit mendung.
“Kenapa lagi?” usiknya.
Maxi sedikit tersentak, kemudian menggeleng sambil tersenyum tipis.
“Oh, ya, satu pesan Papa, Max.” Tatapan Prima tampak sangat serius. “Jangan pernah kamu memaksanya untuk membuka kisah masa lalunya. Jujur di awal itu memang lebih baik. Tapi dalam kasus Keke, dia itu murni korban. Sama sekali dalam posisi nggak bersalah. Nggak adil kalau kita menuntutnya untuk jujur sejujur-jujurnya. Karena itu artinya memaksa dia untuk mengorek lagi luka yang mungkin hingga saat ini pun belum seutuhnya pulih. Belum lagi traumanya. Yang penting kamu sudah tahu ceritanya walaupun bukan dari mulutnya sendiri. Paham maksud Papa?”
Seketika Maxi mengangguk.
“Tapi kamu juga harus siap seandainya dia memang benar-benar menutup kisah itu.” Prima tajam-tajam menatap Maxi. “Bukan berarti dia nggak mau jujur. Tapi beneran, Max, masa lalu yang seperti itu kadang lebih baik ditutup dan nggak dikorek lagi. Supaya nggak menimbulkan luka baru yang mungkin lebih menyakitkan buat dia.”
Maxi kembali mengangguk. Pada saat seperti itu, ingin rasanya ia berlari untuk mencari dan mendapatkan Pingkan di mana pun gadis itu berada, dan memeluknya erat-erat.
* * *
“Keke, kamu sama sekali nggak bersalah. Kamu berhak meraih bahagia. Jangan pernah sia-siakan kesempatan yang sudah ada dalam genggaman. Tapi jujurlah kepadanya. Jangan mengawali segala sesuatu dengan kebohongan.”
“Kalau menurut Kakak, sebaiknya kamu memang menceritakan hal itu padanya di awal. Sebelum hubungan kalian telanjur berkembang lebih dalam lagi.”
Dua nasihat itu bergantian terngiang di telinga Pingkan. Nasihat Mai beberapa waktu lalu, dan nasihat Ariana menjelang siang tadi. Dua nasihat yang serupa dan berinti sama.
“Memang rasanya berat, karena itu artinya kita seolah dipaksa untuk membuka lagi hal yang kita ingin benar-benar lupakan.” Begitu Ariana kembali berucap. “Tapi percayalah, akan terasa lebih ringan setelah itu. Kalau Maxi tetap bersedia menerimamu apa adanya, berarti memang dia yang terbaik buat kamu. Tapi kalau dia mundur, tetaplah percaya, bahwa di luar sama masih ada satu laki-laki yang benar-benar terbaik buatmu.”
Meragukan ucapan Kak Ariana? Pingkan menggeleng. Kehidupan Ariana bagaikan buku terbuka yang sudah ia baca hingga lembar terkini. Ariana bahagia bersama Nicholas. Ia tahu betul seberapa besar cinta abang sulungnya itu terhadap Ariana. Membuatnya berharap ada Nicholas lain yang bisa menemukan dan mencintainya dengan sedemikian dalam.
Apakah benar Maxi orangnya?
Pingkan mendegut ludah.
Apakah harapanku tidak terlalu tinggi?
Pingkan menghela napas panjang. Dari dalam kegelapan kamar, ia menoleh ke luar jendela yang tirainya masih terbuka separuh. Menatap kilatan-kilatan jarum rintik hujan yang mulai menghunjam bumi, memantulkan cahaya lampu taman.
Ketika hendak beranjak untuk memenuhi panggilan hangat ranjangnya, ponsel yang diletakkannya di atas meja tulis berbunyi pendek. Ia meraih benda itu dan mengaktifkan layarnya. Sejenak ia tertegun.
‘Ke, apa kabar? Bisa nggak, kita ketemuan Sabtu ini? Aku kangen banget sama kamu.’
Maxi!
Sejenak Pingkan merasa terlambung tinggi sebelum kembali terhempas menginjak lantai kamarnya. Ia pun merindukan pemuda itu. Sangat.
Tapi ....
Dihelanya napas panjang.
Mungkin memang sudah saatnya menentukan nasib!
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)