Sabtu, 17 November 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #2-3








Sebelumnya



* * *



Pingkan bersikukuh duduk di jok belakang ketika mereka bertiga kembali ke Jakarta. Bujukan Donner lagi-lagi terpental karena Pingkan beralasan mengantuk. Akhirnya pemuda itu menyerah. Dengan diiringi lambaian tangan Michelle, city car putih itu pun meluncur meninggalkan rumah keluarga Donner. Hujan masih setia menumpahkan tangisnya dari langit.

“Lu kalau mau tidur, tidur aja, Max,” ujar Donner.

“Nggak ngantuk gue,” Maxi tertawa ringan.

Tawa yang membuat jantung Pingkan mendadak sukar dikendalikan detak liarnya.

“Padahal hawa kayak gini, kalau di rumah pasti molor kita, ya?” Donner tergelak.

Pemuda itu tak langsung meluncurkan mobilnya ke arah Jakarta, melainkan berputar dulu ke Jalan Pajajaran. Ibunya sudah memberi pesan agar ia membeli oleh-oleh dulu untuk keluarga Maxi.

* * *

Dari balik kaca gelap jendela mobil yang terbuka sedikit, Pingkan menatap punggung Maxi yang bergerak menjauh bersama Donner, di bawah naungan sebuah payung. Ia memang memilih untuk menunggu saja di mobil, sementara kedua pemuda itu masuk ke dalam toko. Debar liar jantungnya muncul lagi melihat punggung tegap dan bahu kukuh Maxi.

Benarkah aku tidak bersyukur?

Dikerjapkannya mata yang mendadak terasa mengembun.

Sedikit banyak, ia memang tahu Maxi saat ini tengah dibelit masalah keluarga. Tapi kini ibu pemuda itu sedang berusaha ‘kembali dari arah lain’. Mereka sekeluarga sedang memulihkan diri pasca dihantam badai. Selebihnya, ia kenal Maxi sebagai pemuda yang baik. Bahkan sangat baik.

Kebaikan yang membuat aku sama sekali tak pantas untuknya...

Pingkan menggelengkan kepala. Menghela napas panjang. Terkadang ia menyesal tak melanjutkan niatnya untuk mengakhiri hidupnya secara paksa, beberapa tahun lalu.

Kalau bakal seperti ini jadinya, buat apa... Ah!

Ia buru-buru menepis pikiran hitam itu. Masa depan yang berkaitan dengan relasinya bersama seorang laki-laki mungkin benar akan tetap suram selamanya. Tapi ia masih punya masa depan lain. Masa depan yang bisa diraih dan dinikmatinya sendiri.

Tapi apakah benar CUMA seperti itu yang aku inginkan?

Sebagai gadis yang masih normal, tentu ia menginginkan ada cerita cinta yang manis mewarnai kehidupannya. Hanya saja...

GADIS? Ia menelan ludah. Gadis dari Hongkong? Ia tersenyum pahit. Ditatapnya jarum-jarum hujan yang masih setia menjatuhi bumi.

Oh, betapa bencinya ia pada hujan!

* * *

Selesai dengan urusan oleh-oleh yang memakan waktu cukup lama karena ramainya toko, Donner dan Maxi pun kembali ke mobil. Mereka segera melihat bahwa Pingkan sudah terlelap di jok belakang. Sejenak Maxi menatap gadis itu. Dihelanya napas panjang sebelum menutup pintu mobil.

“Kasihan Keke, Don,” gumam Maxi ketika Donner sedang memasang sabuk pengaman. “Kalau dia tahu gue ikut, pasti dia nggak mau ikut,”

“Biarin, sih,” Donner balas menggumam. “Mau sampai kapan dia menghindar terus?”

“Ck!” Maxi menggeleng.

Kaki Donner mulai menekan pedal gas, dan mobil itu meluncur kembali. Pelan-pelan, obrolan mereka beralih dari Pingkan ke urusan kuliah mereka. Terutama tentang rencana melanjutkan kuliah ke jenjang magister.

“Gue udah masukin formulir ke program beasiswa, Don,” ujar Maxi. “Entah bisa tembus apa enggak.”

“Kalau lu, sih, kayaknya bisa tembus, Max,” Donner menoleh sekilas. “IP lu tinggi. Lha, gue?” Donner terkekeh sendiri. “IPK dua koma tujuh aja udah gas pol gue.”

“Lu, sih, nggak masalah pakai biaya sendiri. Yang dibiayain bokap-nyokap lu cuma lu doang. Lha, gue? Udah nggak bisa bebanin Bokap lagi gue, Don. Belum lagi Mela masih panjang banget jalannya,” Maxi menyebut nama adik satu-satunya yang ia miliki. “Kalau gue minta lanjut ke S2, pasti langsung dikasih sama Bokap. Tapi, kan, lu tahu sendiri kondisi kesehatan bokap gue sekarang kayak apa.”

“Iya, sih...,” Donner manggut-manggut.

“Kapan hari gue lihat bursa kerja di papan pengumuman dekat kantor Pak Dekan,” ujar Maxi lagi. “Gue masukin dua lamaran. Belum ditutup, sih. Jadi belum ada panggilan.”

“Di mana?”

“Mm...,” Maxi berusaha mengingat-ingat. “ Di Royal Interinusa sama Permatin.”

“Oh...”

Royal Interinusa? Sejenak Donner menyipitkan mata. Hmm...

* * *

Langit sudah gelap sempurna ketika mereka sudah hampir sampai di akhir perjalanan. Hujan sudah kehilangan warna, tapi masih menyisakan embusan angin basah. Terasa dingin ketika Donner dan Maxi mengantar Pingkan pulang.

“Masuk dulu, Don, Max,” ujar Sonia.

“Nggak usah, Tante,” jawab Donner. “Mau langsungan saja. Nggak enak sama mamanya Maxi, sampai jam segini bawa mobilnya.”

Sonia pun tak menahan keponakannya lebih lama lagi. Begitu Donner kembali meluncurkan mobil, Maxi menoleh. Menatap Donner lurus-lurus.

“Cerita lu tadi siang kepotong,” ucapnya lugas.

“Cerita apa?” Donner berlagak pilon.

“Soal Keke,” tandas Maxi.

Donner menghela napas berat.

“Panjang ceritanya, Max,” ia masih berusaha menghindar.

“Gue punya banyak waktu buat dengerin.”

Donner kembali menghela napas. Panjang dan berat.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)