Kamis, 08 November 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #1-1







Satu


“Kenapa, Ke?” suara itu menggema lembut.

Pingkan hanya bisa menatap Donner, tanpa mampu menjawab. Seharusnya lu sudah tahu jawabannya, Don, bisiknya dalam hati. Perih. Dan, ia masih tetap terdiam ketika pemuda itu meraih kedua telapak tangannya. Menggenggamnya hangat.

“Maafin gue, Ke,” bisik Donner, terdengar patah. “Seharusnya gue...”

“Sudah!” potong Pingkan. Getas. Mencoba mendongak, menatap Donner.

Yang ditatap mengalihkan arah pandangannya. Seutuhnya Donner menangkap nada luka yang masih terkesan parah dalam suara Pingkan. Gadis itu menghela napas panjang.

“Bukan salah lu, Don,” lanjut Pingkan. Hampir tak terdengar. “Bukan salah lu... Ngomong-ngomong," Pingkan mengerjapkan mata, "dia ngadu apa sama lu?”

Donner menggeleng. “Dia nggak bilang apa-apa. Apalagi ngadu. Tapi gue tahu jawaban lu dari ekspresi wajahnya.”

Pingkan mendegut ludah. Kembali tertunduk.

Pada saat itu, butir-butir hujan mulai menetes satu demi satu. Donner segera menarik lembut tangan Pingkan. Angkat kaki dari bawah kerindangan pohon trembesi di salah satu sudut kampus. Mencari tempat berteduh lain. Ketika kaki keduanya menjejak selasar pusat jajan kampus, bangunan terdekat, hujan pun melebat bagai tercurah begitu saja dari langit. Sejenak, Pingkan menengadah. Menatap awan kelabu tua yang yang terpulas rata di langit dari ujung ke ujung bidang pandangnya. Samar, diembuskannya napas panjang.

Ia tak pernah menyukai hujan. Suara rintik hujan selembut apa pun seolah suara godam yang bertalu-talu dalam benaknya. Tak ada yang indah dari serangkaian hujan yang turun beriringan membasahi bumi dan segenap isinya. Bahkan tempias hujan seolah-olah hadir untuk mencongkel kembali luka-luka hati yang merembeskan darah. Menyeretnya pada suatu titik waktu, yang seolah berhenti berputar dan terjebak dalam sepotong kisah kelam yang masih juga terasa sangat mengerikan dan menyakitkan.

Apalagi...

Pingkan mengerjapkan mata. Kembali diembuskannya napas panjang.

“Nanti gue antar pulang,” ujar Donner, lembut. “Gue bawa mobil, kok, hari ini. Atau lu masih ada kuliah lagi?”

Pingkan menggeleng.

“Lu mau minum apa? Jahe hangat mau?” ucap Donner lagi.

Pingkan mengangguk. Saat Donner beranjak untuk memesan minuman, Pingkan kembali melabuhkan lamunannya pada sepotong hujan. Pada seraut wajah teduh yang membayang di tengah rinai hujan. Pada luka hati yang belum seutuhnya pulih sempurna.

Tak akan pernah pulih...

Pingkan menggeleng samar. Hatinya telanjur pecah berkeping. Ketika dicobanya untuk merangkai dan merekatkan kembali seperti semula, ia mendapati ada bagian-bagian yang telanjur remuk dan hilang. Bagaimana hatinya bisa kembali utuh tanpa goresan?

Embusan angin membawa sedikit tempias air hujan membasahi wajahnya. Dingin. Diam-diam Pingkan menggigil. Diusapnya wajah yang sedikit basah dengan telapak tangannya. Pun kedua matanya yang terasa sedikit berembun. Dikerjapkannya mata beberapa kali untuk mengusir embun hangat itu.

Seandainya...

Sebelum terlalu dalam terseret dalam atmosfer kelabu hujan, Pingkan memutuskan untuk keluar dari lamunannya. Seketika, seolah ada magnet yang menarik dan memaksa tatapannya jatuh ke satu arah.

Lalu, ada dua pasang mata yang bersirobok. Tatapan mengunci tatapan. Rindu mengunci rindu. Debar mengunci debar. Hanya sekian detik. Sebelum Pingkan benar-benar tersadar dan menikmati keteduhan itu tanpa digayuti beban, tatapan di sudut sana teralih begitu saja.

Ah... Maxi...

Pingkan mengeluh dalam hati. Tapi segera menyadari kesalahannya.

Setelah apa yang terjadi beberapa minggu lalu, masihkah boleh mengeluh?

Ia mencoba mengembalikan arah tatapannya ke sudut sana. Tapi keteduhan yang dicarinya tak sedikit pun terarah lagi padanya. Yang ditatap tengah sibuk mengobrol dengan beberapa teman yang duduk bersama mengitari satu meja. Ia menggeleng samar.

Seandainya aku boleh mencintainya... Tapi dia berhak mendapatkan yang lebih baik. Yang terbaik. Dan...

Ia kembali menggeleng samar.

... yang jelas itu bukan aku.

Angin kembali berembus. Mengembalikan titik tempias ke wajahnya. Ia kemudian memutuskan untuk pindah ke meja sebelah. Yang lebih jauh letaknya dari selasar pusat jajan. Ketika ia mencoba mencari sosok Donner, pemuda itu tak ada di lapak minuman. Ia memutar lehernya. Menemukan Donner sedang berada di lapak roti bakar, selang beberapa lapak dari lapak minuman.

Ia tahu arti tatapan Donner tadi. Berlumur penyesalan. Tak luruh walaupun ia berkali-kali mengatakan bahwa apa yang pernah terjadi sama sekali bukan salah Donner. Mungkin itu memang sudah jadi nasibnya.

Tapi kenapa bisa sebegini pahit?

Ia menunduk. Terdiam. Kembali menggigil ketika angin berembus lagi.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)