Selasa, 06 November 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #4-2









Sebelumnya



* * *



Perjalanan menuju ke planet Ancora yang ada di galaksi Andromeda hanya sekejap saja bila dilakukan melalui portal lubang cacing. Jauh lebih lama daripada bila menggunakan teleporter antar stasiun di sesama planet, memang. Tapi tetap saja terasa cepat. Hanya kurang dari dua jam lamanya.

Rombongan dari Bhumi menumpang pesawat milik Gematri. Sebuah pesawat yang sangat nyaman. Interior kabinnya ditata menyerupai sebuah ruangan tavern, lengkap dengan aneka pilihan menu dan makanannya. Cukup untuk mengalihkan perhatian penumpang dari kilasan cahaya warna-warni yang berkelebat dan menyambar bergantian di luar jendela pesawat. Setelah mengganti sistem pesawat dengan auto-pilot, pilot dan co-pilot pun bergabung dengan rombongan dalam kabin penumpang.

Gematri pun memperkenalkan orang-orangnya itu kepada rombongan dari Bhumi. Luxia, sang pilot jelita yang tampak masih sangat muda. Nyaris seperti remaja sekolahan dengan tubuh mungil dan rambut pirang dipangkas pendek yang sangat modis. Sikapnya malu-malu ketika menyalami rombongan dari Bhumi. Itu karena Gematri sangat membanggakan kemampuan perempuan Ancora yang ternyata sudah seusia Kana. Pilot terbaik dan terberani yang dimiliki Ancora, begitu ujar Gematri. Dan Rochas, co-pilot berusia akhir lima puluhan, berbadan tinggi besar dan kekar, dengan garis wajah tegas dan cambang lebat, tapi sikap dan mata abu-abu kehijauannya bersinar sangat ramah.

Mereka kemudian asyik mengobrol, hingga alarm berbunyi, dan lampu berwarna kuning di atas pintu yang menuju ke kokpit menyala berkedip-kedip. Tanda bahwa Luxia dan Rochas harus kembali ke tempat mereka semula. Gematri pun segera mengajak tamu-tamunya duduk di tempat masing-masing dan memasang sabuk pengamanan.

Sama seperti saat mereka hendak menembus portal, masuk ke lorong lubang cacing, pesawat mereka akan berguncang seperti tergulung turbulensi saat hendak keluar dari lorong lubang cacing. Bahkan bila pilot kurang cakap, pesawat bisa terhempas menghantam dinding lorong dan terpental-pental hingga akhirnya bisa keluar melalui portal ujung. Sebuah akhir perjalanan yang sama sekali tidak mulus dan bisa membuat penumpang mabuk.

Kana pernah punya pengalaman buruk itu saat ikut Sverlin menghadiri konferensi observatorium semesta beberapa bulan lalu di Rebans. Perjalanan dari Bhumi ke Rebans, salah satu planet di galaksi Andromeda, dilakukan melalui portal yang ada di pusat pintu portal Observatorium Tandan. Sialnya, Sverlin yang suka pamer itu memutuskan untuk mengemudikan sendiri salah satu pesawat berpenumpang dua orang milik Observatorium Tandan. Ia memang memegang lisensi terbang antar portal. Tapi, perjalanan melalui lubang cacing bukanlah keahliannya. Pesawat mereka terbanting-banting tak keruan begitu masuk ke portal, dan juga saat hendak keluar di ujung yang mengarah ke planet Rebans.

Kalau saja tidak bisa mengendalikan diri dan menyadari bahwa Sverlin adalah bosnya, ingin rasanya Kana membunuh laki-laki itu saat itu juga. Dan, pengalaman itu kembali terulang saat mereka pulang. Begitu tiba kembali ke Observatorium Tandan seusai konferensi, saat harus membuat laporan, Kana memasukkan juga pengaduan tentang ulah Sverlin. Begitulah bentuk protes bahwa ia telah diperlakukan semena-mena oleh sang bos. Akibatnya Salindri, sebagai pemimpin Negara Serikat Javantara yang juga membawahkan lembaga-lembaga penelitian semacam Observatorium Tandan, menegur Sverlin dengan sangat keras. Bahkan mengancam akan mencabut lisensi terbang Sverlin bila terulang hal yang sama.

Tapi tidak dengan pesawat Gematri kali ini. Pesawat itu berhasil melampaui portal keluar dengan cukup mulus. Tetap ada guncangan, tapi tidak terlalu berarti. Dengan penuh rasa ingin tahu, Kana melihat ke luar jendela pesawat. Ia belum pernah ke planet Ancora. Cukup terkejut ketika mendapati bahwa permukaan planet Ancora ternyata diselimuti daratan tandus dalam berbagai gradasi warna biru, dan ada sebagian yang berwarna cokelat kemerahan. Terlihat ada retakan tanah kering di sana-sini. Tak ada tanda-tanda kehidupan yang bisa ditemukan oleh matanya. Kana mengerjapkan mata dengan hati terasa entah.

Kini mereka terbang berputar, hingga mengambang di atas sebuah bangunan besar berbentuk piramida yang sepertinya terangkai dari keping-keping kristal berbentuk segitiga simetris. Perlahan, keempat sisi piramida membuka. Ujung-ujung runcing piramida itu kini tampak seperti mulut terbuka yang siap mencaplok mangsa. Kana merasa pesawat itu turun perlahan. Terus turun hingga ujung atas piramida kembali lagi menutup dengan sempurna.

Kini, mereka ada di sebuah lorong oval panjang dengan lampu menyala terang di bagian tengah atas lorong itu. Pesawat yang dikemudikan Luxia terus meluncur perlahan, hingga sampai di ujung lorong. Mereka kini sampai di sebuah hanggar luas yang kosong. Luxia mengarahkan pesawat itu ke sebuah anjungan di sebelah kiri lorong. Ketika pesawat benar-benar berhenti, barulah Gematri melepaskan sabuk pengamannya, diikuti oleh para penumpang lain.

Pintu pesawat terbuka, dan Gematri mengajak tamu-tamunya keluar. Ada yang menyambut mereka di anjungan. Sepertinya pasukan keamanan. Dengan sikap penuh hormat, pemimpin pasukan itu mengarahkan mereka ke sebuah ruang tertutup di sebelah kanan anjungan. Mereka yang baru datang dari luar planet harus dipindai tanpa terkecuali, demi keamanan planet sendiri.

Setelah dinyatakan aman, barulah Gematri dan tamu-tamunya keluar dari ruangan, diiringi pasukan kemananan berjumlah dua belas orang itu. Mereka kini berjalan di dalam lorong terang dengan dinding dan langit-langit terbuat dari bahan metal buram berwarna kebiruan.

“Setelah ini, silakan Anda semua beristirahat dulu,” ucap Gematri ketika mereka hampir sampai di ujung lorong. “Wilden dan pasukannya akan melayani kebutuhan Anda semua. Sampai bertemu lagi saat makan siang nanti.”

Mereka berpisah di koridor ujung lorong. Wilden dan pasukannya segera menggiring rombongan dari Bhumi ke arah kanan. Sementara itu, Gematri menunggu hingga tamu-tamunya lenyap dari pandangan sebelum berbalik dan menyeberangi koridor. Ada sebuah lift yang sudah menunggunya. Ia menyelinap masuk ke dalam lift itu. Segera saja pintu tertutup rapat.

Wilden membawa para tamu dari Bhumi ke pangkal sebuah eskalator horisontal yang membawa mereka memasuki sebuah lorong lain yang sepertinya berbentuk melingkar. Lorong itu berdinding kaca tembus pandang. Kana ternganga melihat ada taman yang tertata sangat indah di luar lorong. Tampak bahwa area luar lorong berada di bawah sebuah kubah dengan langit-langit sangat tinggi. Ada sinar terang yang berasal dari puncak kubah. Menyorot lembut ke bawah.

Sebelum Kana selesai mengagumi keindahan taman dan kubah itu, mereka sudah hampir sampai di depan sebuah pintu lebar dan tinggi terbuat dari kaca. Pelan-pelan kecepatan eskalator berkurang, hingga akhirnya berhenti tepat di depan pintu, yang langsung terbuka, bergeser ke arah samping kiri dan kanan, tanpa suara.

“Mari,” ucap Wilden ramah.

Mereka melangkah keluar, dan seketika disambut hangatnya cahaya yang berasal dari atas. Kana mendongak, mendapati bahwa mereka kini berada di bawah naungan sebuah kubah yang nyaris tak bertepi. Cahaya lembut dan hangat itu berada di puncak kubah. Menyebar ke segala arah. Tampak seperti Solar yang sehari-harinya menerangi Bhumi sepanjang setengah hari penuh.

“Kami tidak punya bintang, Nona,” ucap Wilden, seolah mengerti apa yang dipikirkan Kana. “Kami tidak punya Solar seperti Bhumi Anda. Inilah sistem penerangan kami. Ada di setiap penjuru planet ini. Di dalam.”

Kana mengangguk mengerti. Tanpa penjelasan pun, ia sudah paham bahwa mereka kini ada di bawah permukaan planet Ancora. Tak ada kehidupan yang dibangun di atas. Semuanya ada di bawah tanah. Ancora punya sistem kehidupan yang mirip dengan Bhumi. Hanya saja, tak sealami Bhumi.

Keterpaksaan dan kemajuan berpikir membuat mereka berhasil merancang dan mengembangkan sistem penunjang kehidupan di bawah tanah. Hampir setengah milenium lalu, bintang Erbuz yang menerangi Ancora padam perlahan. Perlu waktu sepersepuluh milenium bagi penghuni Ancora untuk membangun sistem kehidupan baru, sebelum Erbuz benar-benar mati dan permukaan tanah Ancora tak lagi bisa mendukung kehidupan. Mereka tidak berpindah ke planet atau galaksi lain. Tapi hanya melesap ke bawah tanah.

Dan, seperti itulah kehidupan mereka sekarang. Tetap indah di mata Kana. Karena Ancora yang ia lihat sekarang penuh dengan kehidupan yang terus berputar.

Tak jauh dari pintu tempat mereka keluar, ada sebuah bangunan berbentuk piramida yang tidak terlalu tinggi. Itu adalah wisma tamu kehormatan planet Ancora. Wilden membawa mereka ke sana. Para pelayan sudah menunggu di lobi ketika mereka masuk. Wilden segera mengarahkan para tamu untuk mengikuti pelayan masing-masing menuju ke tempat istirahat.

Deretan kamar yang akan mereka tempati saling berhadapan pintunya. Satu orang mendapatkan satu kamar. Jumlah mereka delapan belas orang. Salindri dan Kana mendapatkan kamar yang pintunya tepat berhadapan. Letaknya tepat di tengah-tengah deretan. Para pelayan pun menyilakan mereka masuk ke kamar masing-masing, diiringi pesan bahwa mereka ditunggu untuk menikmati makan siang sejam lagi.

Seketika, saat pintu sudah tertutup di belakang punggungnya, Kana ternganga. Kamar itu kira-kira seluas lima belas meter persegi dengan tempat tidur tunggal yang cukup lebar. Ada jendela kaca yang membentang dari ujung ke ujung dinding yang ada di seberang pintu. Ketika Kana melongok ke luar jendela itu, terpampang pemandangan laut yang sangat indah. Pun, sayup-sayup terdengar debur ombak dan nyanyian burung bersahutan. Pantai dengan pasir yang berwarna putih tulang itu, yang tampak disiram cahaya hangat serupa Solar di Bhumi, seolah memanggil Kana untuk bersantai dan berjemur.

‘Jangan terkecoh, sayang...’

Suara yang begitu saja menggema dalam benaknya membuat gadis itu terjingkat kaget. Tapi ia mengenali suara itu. Salindri.

‘Boleh aku masuk?’

Kana tak menjawab. Hanya buru-buru melintasi kamar dan membuka pintu. Salindri sudah berdiri tegak di depan pintu. Tersenyum lebar ke arahnya. Kana buru-buru menyilakan Salindri masuk ke kamarnya. Dengan gerakan anggun dan tangkas, Salindri duduk di salah sofa tunggal, diikuti Kana yang menempatkan diri di sofa tunggal lainnya.

“Mm... Ibu... menggunakan telepati?” tanya Kana, ragu-ragu.

“Ha! Ternyata kamu punya dasarnya!” wajah Salindri tampak riang. “Sayang, kamu tidak melatihnya dengan baik.”

“Maksud Ibu?”

Salindri gemas sekali melihat ekspresi ‘tolol’ mewarnai wajah imut Kana. Tapi diterangkannya juga dengan sabar.

“Kamu sebetulnya bisa membaca pikiran orang lain,” ujar Salindri. “Juga melakukan telepati. Hanya saja, selama ini kamu terlalu mengabaikan kemampuanmu itu.”

“Oh...,” Kana mulai paham. Ia kemudian tersipu. “Saya tidak tahu caranya.”

“Hmm... Ibu asuhmu mungkin terlalu banyak urusan,” gumam Salindri. Menatap Kana dengan sorot mata prihatin.

Kana mendegut ludah. Tentu saja banyak urusan. Harus mengasuh dan membesarkan lima belas orang anak super sekaligus. Mau tak mau, kenyataan itu membuat Kana sejenak dibalut kesedihan. Aku memang bukan orang normal...

“Hei!”

Seruan bernada lembut itu menyentakkan Kana dari lamunan yang sekejap menyeret kesadarannya. Ia mengangkat wajah, menatap Salindri.

“Tidak ada kata terlambat!” Salindri menggeleng tegas. “Kita bisa melatihnya mulai...,” Salindri sekilas menatap pergelangan tangan kirinya, “... sekarang!”

Seketika, Kana ternganga.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)