Jumat, 09 November 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #1-2









Sebelumnya



* * *



Diam-diam, Donner menghela napas panjang sembari berjalan ke deretan lapak yang berjajar di pusat jajan itu. Ditujunya sebuah sudut untuk memesan minuman hangat. Setelah selesai, ia berjalan ke arah kasir. Tapi sebelum sampai di tujuan, hidungnya mencium aroma gurih dan lezat roti bakar. Maka, ia pun membelokkan langkahnya, kali ini menghampiri lapak roti bakar.

Lapak itu cukup ramai. Antreannya panjang. Sekilas, Donner melemparkan pandang ke arah luar bangunan tanpa dinding itu. Hujan tampaknya akan awet. Intensitasnya tak berubah. Tak berkurang, juga tak bertambah deras. Mendung pun tetap merata dengan warna yang sama, kelabu tua yang memudar.

Pada arah yang sama, tertangkap olehnya Pingkan tengah termenung menatap rinai hujan. Terlihat nyata betapa tebalnya awan hitam yang menggayuti wajah Pingkan. Donner mendegut ludah.

Dulu, Pingkan adalah penyuka hujan. Sama sepertinya. Masih segar dalam ingatannya, betapa seringnya ia sengaja menjemput Pingkan di luar jam sekolah saat musim hujan tiba. Pingkan anak yang kuat. Tak pernah terkapar sakit hanya karena bermain hujan bersamanya. Justru ia yang lebih sering tumbang. Tentu saja hal itu dijadikan Pingkan bahan tertawaan.

Orang tua Pingkan tak pernah melarang. Mereka tahu, Pingkan selalu aman bersamanya. Keduanya memang sangat dekat. Tumbuh besar bersama, dengan usia hanya terpaut hitungan bulan. Rumah pun sempat berdekatan letaknya dalam satu kompleks, sebelum ayah-ibunya memutuskan untuk pindah ke rumah yang lebih besar di sebuah kompleks baru. Tapi hal itu tak pernah mengurangi kedekatannya dengan Pingkan.

Baginya, Pingkan adalah sahabat, kakak perempuan, sekaligus adik yang tak pernah ia punya. Selain itu, keduanya memang bertalian darah sangat dekat. Saudara sepupu. Ibunya adalah adik ayah Pingkan.

Sayangnya...

Donner mengembuskan napas panjang pelan-pelan.

Pada suatu titik waktu, Pingkan berubah menjadi pembenci hujan nomor wahid. Bahkan pernah sampai di kondisi histeris saat hujan datang. Butuh waktu nyaris tiga tahun untuk membuat Pingkan jadi ‘normal’ kembali. Selama itulah ia benar-benar kehilangan Pingkan. Bukan saja tak bisa berjumpa, tapi komunikasinya dengan Pingkan sama sekali terputus. Semua itu karena...

Ah...

Donner mendesah dalam hati. Mau tak mau, gulungan ingatan akan peristiwa hitam itu menyeretnya kembali ke dalam perasaan bersalah yang tak seolah bertepi. Juga penyesalan yang hingga saat ini terasa tak sedikit pun berkurang.

Ia gagal menjaga Pingkan, justru saat ia berada begitu dekat dengan sang sepupu kesayangan. Tak hanya itu, ia juga sempat menjadi sasaran kemarahan yang sedemikian mengerikan menguar dari wajah omnya, ayah Pingkan. Pada saat itu ia ingin berontak dan menghindar, tapi di sisi lain ia juga paham, bahwa pantaslah bila omnya mengamuk seperti itu. Pingkan satu-satunya anak perempuan omnya. Gadis kesayangan sang ayah. Tak pernah dibiarkan seekor nyamuk pun hinggap dan mengisap sedikit darah Pingkan.

Apalagi...

Seketika Donner menyetop pikirannya. Tanpa terasa ia menggigil. Angin yang cukup kencang mengembus dan menerpa dari arah luar. Bersamaan dengan itu, antrean bergeser, dan ia ikut arus bergerak ke arah depan.

Tatapannya kembali jatuh pada Pingkan. Dilihatnya Pingkan terpaku sejenak ke satu arah, sebelum gadis itu tertunduk kembali. Sekilas, Pingkan mengembalikan tatapan ke arah yang sama, sebelum terlihat kecewa dan akhirnya berpindah tempat. Sepertinya menghindari tempias yang sesekali menghampiri saat angin berembus sedikit lebih kencang.

Donner mencoba mencari ujung tatapan Pingkan baru saja. Dan, ia pun paham. Yang baru saja mereka bicarakan tengah berada di sudut lain pusat jajan itu. Bersama serombongan teman yang juga dikenalnya. Tapi Donner memutuskan untuk tetap bersama Pingkan. Tidak menghampiri kelompok itu dengan Maxi berada di dalamnya.

Sebuah gerakan di depan membuat Donner tersadar. Antrean bergerak lagi, hampir sampai pada gilirannya. Setelah menunggu lagi sejenak, gilirannya tiba. Ia pun bergeser ke depan. Memesan setangkup roti bakar hazelnut-keju, setangkup lainnya berisi telur mata sapi dan daging asap, dan setangkup lagi berisi ayam cincang saus mayonaise. Tak lupa memesan seporsi salad buah kesukaan Pingkan. Setelah selesai, ia membayar ke kasir dan menyerahkan lagi nota lunas ke lapak roti bakar dan minuman, sebelum kembali kepada Pingkan.

* * *

“Kayaknya hujan begini bakalan awet.”

Gumaman Donner membuat Pingkan sedikit tersentak. Ditatapnya Donner yang duduk di seberangnya. Hanya itu tanggapannya dalam hening. Donner pun tampaknya paham bahwa membahas hujan bukanlah topik yang bisa menyeret keduanya keluar dari aura kelam yang tiba-tiba saja menyergap setelah ia bertanya tentang Maxi kepada Pingkan.

“Gue sekalian pesan roti bakar tadi,” Donner pun mengalihkan topik percakapan. “Sudah hampir lewat jam makan siang ini. Lagian, gue juga laper.”

“Ah, lu, Don,” Pingkan mengibaskan dengan ringan tangan kanannya. “Kapan, sih, lu nggak kelaperan?”

Seulas senyum terbit di wajah Pingkan. Walaupun hanya tipis-tipis saja, tapi berhasil membuat perasaan Donner sangat lega. Selega-leganya.

“Lu tahu sendiri, gue masih dalam masa pertumbuhan,” Donner nyengir.

Senyum tipis Pingkan berubah jadi gelak tawa yang mulai terdengar riang. Ia pun menyambutnya dengan membuat lelucon-lelucon lain. Mereka terus bercakap sambil menikmati minuman hangat, berbagi roti bakar dan semangkuk salad, dan melupakan kelamnya hujan yang masih setia mencurahkan diri dari langit.

“Lu jadi ikut wisuda periode terdekat?” tanya Pingkan sambil menyuapkan sesendok salad buah ke dalam mulut.

Donner hanya menjawabnya dengan mengangguk. Mulutnya masih penuh dengan kunyahan roti bakar. Seperti biasa, Pingkan menunggu dengan sabar hingga Donner menelan kunyahan itu, dan memberikan jawaban pastinya.

“Nama gue sudah muncul di list juga, kok,” jawab Donner, akhirnya.

Pingkan mengangguk. Selapis tipis kabut kembali menyelubungi wajahnya.

Sebetulnya, ia dan Donner seangkatan. Hanya saja, karena peristiwa itu, ia jadi tertinggal jauh. Tiga angkatan di bawah Donner.

Ah!

Pingkan memutuskan untuk meretas aura kelam itu.

“Yah, gue bakalan kehilangan lu kalau lu lulus, Don,” ucapnya. Berusaha mempertahankan nada ringan suaranya.

“Kehilangan gimana?” nada suara Donner terkesan menggerutu. “Gue aja disuruh langsung ambil S2 sama bokap.”

Pingkan ternganga sejenak sebelum menukas, “Ya, bagus, dong!”

“Bagus nenek lu, Ke,” Donner mendengus.

“Nenek gue, nenek lu juga,” balas Pingkan dengan nada kalem. Membuat Donner terbahak.

“Turutin aja...,” senyum Pingkan melebar. “Itung-itung lu nerusin tugas ngawal gue.”

“Harusnya gue pensiun jadi pengawal lu.”

Pingkan melengak mendengar suara Donner yang tiba-tiba saja berubah jadi serius.

“Lu kasih kesempatan sama Maxi-lah, Ke,” ucap Donner lagi. “Cuma dia yang gue yakin banget bisa jaga lu baik-baik. Kasih kebahagiaan juga ke lu. Kalau...”

“Ya, dia bisa kasih apa pun yang terbaik buat gue,” potong Pingkan. Getas. “Tapi apa yang bisa gue kasih ke dia? Gue cuma sampah, Don. Sampah!”

Seketika mata Donner menyipit. Menyambar wajah Pingkan tanpa ampun.

“Harus berapa kali gue bilang, kami semua bilang, lu sama sekali bukan sampah,” tegas Donner. “Kalau dicari siapa yang salah, gue yang utama, Ke. Bukan lu. Sama sekali bukan lu. Gue yang nggak bisa jaga lu baik-baik.”

Seketika mata Pingkan merebak. Donner buru-buru meraih dan menggenggam tangan Pingkan.

“Ke, dengerin gue, please...,” suara Donner terdengar sangat rendah. “Lu masih berhak bahagia. Lu berharga. Sangat berharga. Karena itu gue cuma bisa melepas lu ke tangan Maxi. Bukan cowok lain. Maxi sohib gue, Ke. Gue sudah kenal luar-dalamnya Maxi. Selain itu gue juga kenal lu. Kenal perasaan lu. Jujur sama gue, lu juga suka, kan, sama Maxi?”

Pingkan memilih untuk tak menjawabnya. Hanya saja raut wajah dan tatapannya sudah menjawab pertanyaan itu secara gamblang.

“Dia juga suka sama lu,” bisik Donner. “Dia...”

“Dan pasti perasaannya langsung berubah 180 derajat kalau tahu gue yang sebenarnya,” Pingkan buru-buru memotong ucapan Donner.

Senyum pahit tersungging di bibirnya. Membuat sebagian hati Donner runtuh.

Memaksa Keke jujur kepada Maxi?

Donner menggeleng samar. Itu artinya menoreh kembali luka jiwa Pingkan dengan sebilah pedang tajam, kemudian mengucuri sekujur luka itu dengan cairan asam. Tapi diam saja? Itu lebih buruk lagi.

“Kalau lu mau obral kisah hidup gue ke dia, silakan,” Pingkan mengangkat bahu. “Toh, gue sudah telanjur jadi sampah. Sampah nggak berhak mimpi untuk jadi ratu dongeng yang akan bahagia selamanya.”

Donner sudah membuka mulut, hendak membantah ucapan pilu Pingkan. Sayangnya, ponsel yang ada di saku kemejanya berteriak-teriak minta diperhatikan.

“Sebentar.” Hanya itu yang bisa diucapkannya sambil menarik ponsel dari saku kemeja.

Donner kemudian menjauh sejenak. Pingkan sama sekali tak ingin tahu urusan Donner. Maka ia kembali menatap curahan hujan yang menggelinding dari tepian atap pusat jajan. Seluruh perasaannya terasa kosong. Pun benaknya.

Ketika Donner kembali tak lama kemudian, mengatakan bahwa Maxi hendak nebeng pulang, Pingkan hanya mampu menatap Donner dengan mata bulatnya. Sama sekali tak bereaksi. Lebih tepatnya, sama sekali ‘tidak nyambung’ untuk sekadar menanggapi.

“Nggak apa-apa, kan?” Donner memaksakan seulas senyum.

“Gue bisa pulang naik taksi, Don,” gumam Pingkan pada akhirnya.

“Enggak!” Donner menggeleng tegas. “Lu gue anter pulang. Nggak usah bantah!”

Dan, Pingkan pun memilih untuk kembali mengheningkan diri.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)