Sabtu, 10 November 2018

[Cerbung] Sekeranjang Hujan #1-3









Sebelumnya



* * *



Hanya sekejap, tapi mata kelam itu berhasil menyeret Maxi tenggelam dalam pesonanya. Mata bening indah yang beberapa waktu belakangan ini berubah menjadi kelam. Maxi tak bisa lebih lama lagi memandangnya. Maka, ia pun mengalihkan perhatian dan berusaha untuk kembali terlibat dalam obrolan dengan teman-temannya.

Maxi menyeruput kopinya yang sudah hampir kehilangan panas. Hujan membuat udara sekitar mendingin. Pun minuman-minuman panas yang mereka nikmati di meja itu. Sambil tetap terlibat dalam obrolan, Maxi melayangkan lamunannya pada sesosok diri Pingkan, yang sebetulnya tak terlalu jauh jaraknya. Hanya dari sudut ke sudut pusat jajan itu.

Sebetulnya, ia sudah cukup lama mengenal Pingkan. Hampir satu setengah tahun, sejak gadis itu kuliah di sini, di jurusan Sastra Jepang. Donner-lah yang memperkenalkan mereka berdua, sehingga ia bisa memahami kedekatan Donner dengan Pingkan, sebagai sepasang saudara sepupu. Tapi, kedekatan mereka baru terjadi belakangan ini, beberapa bulan lalu. Saat ia mencoba untuk menyelamatkan gadis itu yang terjebak di tengah tawuran antar fakultas.

Saat itu, ia bersama Donner tengah berurusan dengan dosen pembimbing. Ia sudah selesai, sedangkan Donner masih menunggu giliran. Saat itulah Donner menerima telepon dari Pingkan yang terjebak di sebuah ruangan fakultas teknik mesin. Fakultas mereka itu diserbu fakultas lain. Pingkan sendiri terjebak karena hendak menghampiri Donner untuk pulang bersama, sedangkan mahasiswi dari antropologi apes karena sebetulnya hanya numpang lewat saja.

Sesungguhnya, ia dan Donner sama sekali tak mau terlibat dalam tawuran itu. Waktu mereka sudah tinggal sesaat lagi sebagai mahasiswa di sana. Sudah angkatan ‘tua’ yang sedang berjuang untuk lulus. Lagipula, masalah jelasnya mereka pun kurang begitu paham.

Melihat Donner yang bimbang antara menolong Pingkan atau memenuhi gilirannya, Maxi pun memutuskan untuk mewakili Donner menyelamatkan Pingkan. Gadis itu terjebak di sebuah ruangan yang sudah mulai diserang oleh bom molotov.

Di dekat gedung itu, Maxi bertemu dengan Omar, salah seorang adik tingkatnya. Berdua mereka kemudian menyelinap masuk ke gedung tempat Pingkan dan tiga orang gadis lainnya dari antropologi dan teknik mesin terjebak. Sayangnya, ada pihak ‘lawan’ yang memergoki keduanya. Pingkan dan tiga gadis lain selamat, tapi ia dan Omar terluka. Bahkan Omar harus menebus niat baik itu dengan nyawanya, sedangkan ia harus rela terkapar selama beberapa minggu di rumah sakit untuk memulihkan luka tikaman di pinggang kirinya.

Saat itulah ia mengenal Pingkan lebih dekat lagi. Merasa berutang nyawa, nyaris tiap hari Pingkan muncul untuk menjenguknya. Terkadang bersama Donner, tapi lebih sering sendirian.

Pingkan Estelle Undap, atau Keke panggilan akrabnya, adalah gadis yang cerdas dan sangat menyenangkan. Mereka berdua nyambung sekali ketika mengobrol. Bisa cepat akrab dengan Livi – kakak Maxi, maupun dengan Mela – adik Maxi. Pun dengan kedua orang tua Maxi. Sedikit demi sedikit, Maxi pun tertarik untuk mengenal Pingkan lebih dekat. Donner tentu saja menyambut baik keinginan itu. Apalagi Maxi adalah sahabatnya, dan Pingkan adalah sepupunya.

Sayangnya...

Maxi menggelang samar. Masih segar dalam ingatannya kejadian minggu lalu. Saat ia dan Pingkan menghabiskan malam Minggu berempat dengan Donner dan Tisha. Double date.


“Don, anterin gue beli bando buat Inka, dong, di situ,” Tisha menyebutkan nama adiknya sembari menunjuk toko aksesori di seberang kafe. “Sebentar aja.”

Tanpa banyak cakap, Donner segera bangkit dari duduknya. Mereka berempat memang sedang nongkrong di kafe sambl menunggu jam nonton bioskop mereka tiba. Tisha segera berpesan bahwa ia dan Donner akan segera kembali.

Maxi memuaskan diri menatap Pingkan yang tengah asyik dengan ponselnya. Membalas sebuah pesan penting dari salah seorang kawan kuliahnya. Gadis itu tampak sangat cantik sore ini. Rambut sebahunya yang sedikit ikal dan dicat kecokelatan tergerai bebas. Membingkai wajah ayunya yang hanya dilapis bedak tipis. Bibirnya yang berbentuk cukup penuh diwarnai lipstik merah muda. Terlihat sangat segar.

Ketika urusan berbalas pesan itu selesai, Pingkan segera menyimpan kembali ponsel ke dalam tas selempang kecil yang disandangnya. Saat meraih gelas jus jambunya, tanpa sengaja tatapannya bersirobok dengan tatapan Maxi. Dengan jelas Maxi melihat bahwa Pingkan sedikit tersipu. Perlahan pipi gadis itu merona. Tak banyak, tapi tetap terlihat nyata. Apalagi kulit Pingkan memang cukup terang warnanya.

Saat itu, entah karena dorongan apa, mendadak saja Maxi berucap, “Ke, aku suka sama kamu. Mau jadi pacarku, Ke?”

Pingkan tak menjawab. Hanya menatap Maxi dengan mata bulat beningnya yang berwarna cokelat muda. Bibir merah mudanya tampak sedikit ternganga. Mendadak saja Maxi merasa gugup ditatap Pingkan sedemikian rupa. Tapi ia mencoba bertahan dengan lekat-lekat menatap Pingkan, menunggu jawaban. Tapi, sejenak kemudian Pingkan mengerjapkan mata dan mengalihkan tatapannya.

“Aku... nggak bisa..., Max,” bisiknya kemudian. Nyaris tak terdengar.

“Aku nggak minta jawaban sekarang, Ke,” Maxi mencoba menutupi kegugupannya dengan mengulas senyum teduh. “Kamu berhak untuk berpikir.”

Pingkan terdiam. Tak menanggapi lagi ucapan Maxi. Gadis itu sedikit menunduk. Sibuk menyedot minumannya. Tangannya yang memegang gelas, tampak gemetar di mata Maxi.

Dan, itu adalah terakhir kali ia berkomunikasi dengan Pingkan. Setelah menjelang malam itu, Pingkan sama sekali tak pernah lagi membalas pesannya, tak pernah lagi membalas panggilan telepon darinya, menghindar dengan segala cara ketika ia sengaja datang untuk menemui gadis itu baik di rumah maupun di kampus. Hingga akhirnya ia pun memaksa diri bertanya kepada Donner.

“Keke kenapa, sih, Don?”

Donner melengak. Menatapnya dengan sorot mata balik bertanya. Maka, Maxi pun menjelaskan keadaan terakhir sebelum Pingkan bersikap aneh.

“Nanti gue tanyain sama dia.”

Hanya itu tanggapan Donner. Seketika ada alarm yang berdenting dalam benak Maxi.

Ada apa sebenarnya?

Sebuah pertanyaan yang belum juga mendapatkan titik terang jawaban hingga saat ini.


Suara tawa yang berkumandang di sekitarnya membuat Maxi tersentak. Untuk menutupi blank-nya, Maxi pun mengulas senyum tipis. Tapi rupanya salah seorang dari mereka menyadari perubahan raut wajah Maxi.

“Lu sudah sehat bener, Max?” tanya Raul dengan nada khawatir.

“Gue nggak apa-apa, kok,” gumam Maxi. “Cuma kalau kecapekan, pinggang gue masih sering berasa nyeri.”

“Lu bawa kendaraan?” Adi menimpali.

Maxi menggeleng. Tadi ia memang ke kampus nebeng ibunya. Ia belum berani mengendarai motor seperti biasa.

“Wah, siapa yang bisa antar lu pulang, ya?” gumam Raul. “Hujan-hujan gini...”

Kebetulan mereka memang sedang punya urusan sendiri-sendiri setelah ini. Lagipula, tak satu pun dari mereka yang sedang membawa mobil hari ini. Jadi bisa dipastikan bahwa Maxi akan sedikit telantar.

“Gampang,” Maxi mengibaskan tangan kanannya dengan ringan. “Gue bisa naik ojol atau taksol.”

“Lu bareng Donner aja, noh!” tunjuk Alif ke satu arah. “Gue lihat tadi dia bawa mobil. Jangan pulang sendiri, lu!”

Maxi mengikuti arah telunjuk Alif.

Oh... Jadi Keke nggak sendirian.

“Ya, deh, gue hubungi dia dulu.”

Beberapa detik kemudian, dari sudut ke sudut, ia bertukar tatapan dengan Donner sembari bicara melalui ponsel.

“Don, gue bisa nebeng lu?” tanyanya dengan suara rendah.

“Yo’ai...,” jawab Donner dengan nada santai. “Buru-buru?”

“Enggaklah. Terserah lu mau balik kapan. Gue nurut aja.”

“Oke, gue habisin makanan gue dulu, ya.”

Thanks, Don.”

Sayang, posisi duduknya tak memungkinkan Maxi untuk menatap Pingkan dengan bebas karena terhalang badan besar Adi. Padahal ia merindukan gadis itu.

Rindu sekali...

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)