Senin, 12 November 2018

[Cerbung] Portal Triangulum #5-1







Sebelumnya



* * *


Lima


Sudah lima hari lamanya rombongan dari Bhumi berada di Ancora. Mereka masih menunggu pulihnya hubungan komunikasi dan portal Ancora dengan Gerose. Di antara kesibukannya menangani urusan negara dan antar planet di galaksi Andromeda, Gematri menyempatkan diri mengantar para tamunya melihat-lihat keadaan planet Ancora.

Pada suatu ketika, Gematri mengajak mereka naik ke permukaan planet Ancora. Tapi mereka hanya bisa melihat dari balik dinding kaca puncak piramida. Piramida yang sama dengan gerbang yang memungkinkan pesawat yang beberapa hari lalu membawa mereka dari Bhumi ke Ancora.

Kana termangu melihat keadaan permukaan planet Ancora. Benar-benar terlihat hening. Sama sekali kering kerontang tanpa ada kehidupan. Yang ada hanya tanah biru bercampur cokelat yang meretak di sana-sini, bukit batu yang tampak gersang, dan juga satelit besar berupa bulan dalam lingkaran penuh berwarna biru dengan semu kehijauan, menggantung di angkasa biru gelap kehitaman. Memantulkan cahaya yang berasal dari bintang terdekat. Nyaris serupa Lunar, bulan milik Bhumi.

“Planet paling indah di Andromeda adalah Catana,” celetuk Gematri tiba-tiba.

Kana menoleh. Laki-laki yang berdiri di dekat Salindri itu tampak sedikit tercenung menatap ke arah luar dinding puncak piramida.

Catana...

Kana berusaha mengingat-ingat. Ia pernah membaca jurnal lama yang dibuat saat tim dari Bhumi pertama kali menjelajah Andromeda, dan ‘jatuh’ di Catana. Penghuni planet Catana sangat bersahabat. Planet itu juga sangat indah. Memiliki empat bulan warna-warni yang muncul bergantian sesuai periodenya. Ada saatnya empat bulan itu muncul bersamaan. Dua puluh delapan tahun sekali di Catana. Selalu dirayakan dengan pesta besar-besaran dan pergantian pemimpin.

Catana adalah perpaduan antara teknologi dengan magis. Itu yang tertera dalam jurnal. Mereka bangsa yang maju, dengan sihir putih yang masih berkembang dan cukup kuat. Membuat Catana unik dengan segala keindahannya.

”Konon, Ancora dulu seindah Catana,” gumam Gematri lagi. Masih melabuhkan tatapan menerawangnya ke luar dinding kaca puncak piramida. “Lebih tepatnya, sedikit mirip dengan Bhumi. Sayangnya...”

Semua terdiam. Sedikit ngeri membayangkan bila suatu saat kelak bisa berubah menjadi seperti Ancora bila Sonar sudah kehilangan inti kehidupannya dan meledak hancur.

“Ah, coba, nanti akan kuhubungi Ratu Amarilya,” mendadak suara Gematri berubah menjadi bersemangat. “Siapa tahu dia bersedia menerima kunjungan kita di Catana. Senyampang kita belum bisa terhubung dengan Triangulum.”

“Apa tidak akan merepotkan, Yang Mulia?” sergah Salindri. Halus. Sopan.

“Kukira tidak,” bibir Gematri mengembangkan seulas senyum. “Sekalian aku ingin mengetahui perkembangan migrasi kaum Maleus. Siapa tahu Ratu Amarilya sudah mendapatkan kabar terkini?”

Sekilas, Kana menangkap pantulan samar tatapan Aldebaran pada dinding kaca piramida.

‘Kenapa?’ ia mencoba menembus pikiran Aldebaran.

‘Wohooo... Ada kemajuan pesat, rupanya?’

Kana tersenyum samar. Menangkap ada nada tawa ringan dalam suara Aldebaran yang menggema dalam benaknya.

‘Hei! Pertanyaanku belum kamu jawab!’ Kana memprotes.

‘Apanya yang kenapa?’ Aldebaran meringis sekilas.

‘Arti tatapanmu ketika Gematri menyebut tentang kunjungan ke Catana.’

‘Oh... tidak apa-apa.’

Kana diam. Tapi dicobanya salah satu ilmu yang diajarkan oleh Salindri. Pelan-pelan, ia memindahkan frekuensi pikirannya sambil tetap berusaha menjaga jarak aman. Menjelajah, sekaligus menutup pikirannya sendiri agar tidak ‘tembus’ keluar.

‘Astaga... Dia cantik sekali! Kurasa, aku jatuh cinta padanya...’

Kana hampir tersedak ketika mendapati ada pikiran yang melintas seperti itu dalam benaknya. Sekilas, ia menatap pantulan samar diri Gematri pada dinding kaca puncak piramida. Laki-laki itu buru-buru mengalihkan tatapan, yang sepertinya baru saja terarah pada pantulan samar dirinya. Kana nyaris lupa bernapas. Tapi sebelum sempat terseret lebih lama dalam gulungan pikiran Gematri dan pesona laki-laki itu, Kana kembali melayarkan pikirannya. Menjelajah lagi frekuensi yang lain. Di tengah-tengah riuhnya obrolan antara Gematri dan para tamunya.

Hmm... sepertinya...

Kana menyipitkan mata. Ada suara yang cukup dikenalnya. Pada awalnya, hanya ada dengung seperti suara lebah yang berputar di kepalanya. Tapi semakin ia berkonsentrasi, semakin ia mendengar secara jelas kalimat yang mengudara dalam hening itu.

‘... lalu tak bisa kembali? Ah! Naluriku mulai kacau belakangan ini!’

‘Apanya yang tak bisa kembali?’

Ekor mata Kana menangkap gerak seperti jengit kaget tepat di sebelah kanannya. Ia tersenyum samar. Penuh kemenangan.

‘Bagaimana kamu bisa menembus pikiranku?! Aku sudah menutupnya! Mengalihkan frekuensinya!’

Kana nyaris saja terbahak mendengar nada protes dalam suara Aldebaran. Laki-laki itu masih mencoba untuk berdiri mematung menghadap ke dinding kaca puncak piramida.

‘Kamu sendiri yang menganjurkan agar aku bertanya tentang cara menutup pikiran kepada Bu Salindri, kan?’ kilah Kana. ‘Mm... Tapi sebenarnya aku tidak bertanya kepadanya. Dia sendiri yang menemukan dan mengajari aku. Katanya, ternyata aku punya bakat terpendam untuk bicara melalui berbagai frekuensi. Jadi, dia mengajariku macam-macam.’

‘Tapi aku sudah menutup pikiranku!’

‘Hehehe... Tidak bisa lagi, partner. Sekarang aku lebih sakti daripadamu.’

Sekilas, sembari bersikap seolah-olah ikut menikmati obrolan, Kana menatap Aldebaran. Wajah laki-laki itu sedikit membeku. Tapi Kana memutuskan untuk tidak menghentikan keisengannya terhadap Aldebaran kali ini.

‘Jadi, apanya yang tak bisa kembali?’ ulangnya lagi, dengan gema nada sedikit menuntut.

‘Kita bicara nanti. Jangan di sini!’

‘Janji?’

‘Janji! Sekarang, keluar dari pikiranku, Nona!’

Secara tersamar, Kana mengangkat tangan kanannya. Telapaknya kini menutupi bibirnya. Lebih tepatnya, menutupi senyumnya yang mekar tanpa bisa ditahan lagi. Masih dari pantulan samar diri Aldebaran pada dinding kaca puncak piramida, Kana melihat bahwa laki-laki itu menatap ke arahnya dengan sorot mata sebal. Kana terkikik dalam hati.

* * *

Beberapa hari tidak bertemu Kana, Sverlin seolah menggila. Semua yang terjadi di observatorium serba salah di matanya. Tak ada satu pun staf yang terhindar dari semprotan omelannya selama beberapa waktu belakangan ini. Semua pekerjaan tak ada yang sempurna, semua staf tidak tepat pada tempatnya, laporan-laporan terbaca berantakan, jadwal penelitian dikatakannya meleset. Padahal semua itu hanya karena pikirannya saja yang kacau.

Tanpa sebab jelas, ia menggebrak meja. Sebenarnya, ia mulai menyesali keputusannya untuk menyingkirkan Moses. Seandainya saja tahu bahwa akan seperti ini akibatnya, tentu ia akan memikirkan cara yang lain.

Bukan itu saja. Hatinya penuh sumpah serapah terhadap Caruso yang sudah seenaknya saja memutuskan untuk mengikutsertakan Kana dalam rombongan ke Andromeda. Tapi ia hanya bisa mengomel dalam hati. Kontra dengan Caruso, bisa jadi kariernya akan berakhir tanpa bisa diganggu gugat lagi. Padahal, karier di Observatorium Tandan adalah impiannya yang jadi nyata.

Tapi demi Kana...

Sverlin menatap proyeksi layar grafis yang terus berubah keadaannya.

Hmm... Bagaimana kalau kita bertemu di sana, Na?

Sverlin mendadak saja menjentikkan jari telunjuk dan jempolnya. Jantungnya berdebar kencang. Adrenalin seolah terpompa maksimum mengaliri seluruh tubuhnya dari ujung rambut ke ujung kaki.

Kita akan bertemu di sana, Na. Kita akan bertemu di sana!

Bersamaan dengan itu, Sverlin menekan sebuah tombol berwarna biru yang ada di sudut kanan atas panel yang ada di depannya.

Dan, hitungan di sudut kiri bawah layar proyeksi pun mulai berjalan mundur.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)